"Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati.
Demi menghemat kantong biar ngga kering, Syila menyewakan satu kamarnya. Sayangnya, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Keduanya sepakat untuk menjadi penghuni saling asing. Artinya tidak ada dua orang di tempat yang sama. Saat salah satu menggunakan dapur, maka salah lainnya tidak berada di situ. Terdengar ribet, tapi demi keamanan bersama terutama Syila yang aslinya gadis polos lulusan pesantren. Di luarnya saja dia menjadi gadis bar-bar untuk tameng dari godaan playboy. Pria itu mengenalkan diri dengan nama panggilan Refan. Syila sempat membatin, pria itu mirip bosnya. Namun kelakuan mereka bertolak belakang. Apalagi penampilan Refan berambit gondrong, menambah kesan plaboynya. Menjelang malam, cacing di perut mulai berteriak protes. Syila mengeluarkan bahan untuk makan malam yang sudah menjadi bekal di tas. Keluar kamar dengan kerudung instan, kaos panjang dan celana training. Wajah celingukan tak nampak laki-laki pemilik nama Refan. Dia melenggang menuju dapur. Tangan lincah mengadu perkakas dapur. Bukan pandai memasak sih aslinya, hanya khusus menu inilah yang dia bisa, karena sering memasaknya saat tinggal di kontrakan ibukota. Terdengar pintu berderit, sepertinya penyewa kamarnya juga merasa kelaparan. "Hai, Syila! Pesan makan malam buat gue sekalian bisa, nggak?!" teriak Refan. Hening, Syila tampak memutar otak. Tercetus ide menambah isi kantongnya. "Bisa, tapi mau enggak menunya?! Dan juga ini enggak gratis!" balasnya berteriak. "Hmm, terserah menunya." "Oke, soto dan jahe panas." Refan menelan ludah sambil meremas perut yang mulai keroncongan." Aroma soto menguar di seluruh ruangan. Pun sedapnya menusuk indra penciuman Refan meski berada di kamar. Mau tak mau dia keluar kamar dan duduk di meja makan dengan dua kursi disana. "Soto dan jahe, 500 ribu," ucap Syila dengan senyum tersungging. "Busyet, lu mau malak gue?" ujar Refan dengan mata melotot dan dua kaki naik ke kursi. "Mau, enggak? Nggak juga nggak apa, aku yang habisin." "Gila nih cewek, perut apa karet?"Syila santai meletakkan semangkuk mie dan segelas jahe untuk Refan, dan sisanya lagi untuknya. "Ada tambahan juga denda 200ribu." "What?!" Bahu Refan pura-pura lemas, uang segitu kecil untuknya. Hanya saja nggak cocok dengan pengakuannya sebagai office boy di awal kenalan. "Ingat, nggak ada yang gratis, Bang. Udah dibilang jangan sampai kita berdua di tempat yang sama, atau Abang kena denda." Refan mengalah karena protes pun tak bertenaga, perutnya sudah melilit.Memilih menikmati makan malam, dia membuka penutup mangkuk. "Astaga, katanya soto?" "Iya, itu, Bang. Cicipin dulu kalau nggak percaya!" "Ini mie rasa soto, gue hafal rasanya." "Sini kalau nggak mau!" "Eits, mana boleh. Terpaksa buat ngisi perut. Udah harganya selangit, zonk." "Nggak zonk juga kali, udah makan anget-anget di cuaca yang dingin menusuk tulang ditemani gadis cantik. Rugi apa coba?" "Astaghfirullah, mimpi apa gue semalam. Ditemani pelayan aja bangga." "Cihh, nggak tahu gini-gini pelayannya direktur," batin Syila seraya menyeruput jahenya, lalu mulai menikmati mie rasa soto yang menggoyang lidah. Selama tiga malam berturut-turut Refan menikmati mie rasa soto. Menggelikan. Di akhir kebersamaan mereka menikmati keindahan gunung Bromo, sebuah perjanjian pun disepakati. "Astaga, tiga hari bersama lu bisa-bisa gue bangkrut." "Di dunia ini nggak ada yang gratis, Bang. Mau BAK di terminal aja bayar, lho. Abang kan ganteng, nggak mungkin jatuh miskin. Cukup senyum-senyum di pinggir jalan juga ada yang jatuhin receh." "Lu kira, gue pengamen?!" ***** Seminggu sudah Syila kembali ke kantor dengan profesinya sebagai sekretaris Zein. "Syil, sarapan seperti biasa dua porsi, ya!" "Hah? Tumben pak bos pesan dobel" "Duduk dulu!" "Mana sarapannya, Bang? Buruan lapar, nih." "Nah, itu dia soto kesukaanmu." "Hah, kamu?" Syila terbelalak mendapati office boy di ruang bosnya. "Kamu kenal Syila, Fan?" "Dia pelayan di sini?" seru Refan dengan telunjuk mengarah ke Syila. "Bos, dia office boy di sini?"tanya Syila sambil menunjuk Refan yang duduk di sofa. "Kalian apa-apaan, sih? Syila sekretaris sekaligus calon kakak iparmu, Fan." "Hah, nggak, Bang. Gue nggak terima dia jadi kakak ipar." "Lhah?" "Gue maunya dia jadi adik ipar, Abang.""Gimana, bisa?" protes si abang. "Menurut perjanjian, kalau gue makan mie soto yang keempat kali buatan dia, maka dia jodoh gue," ucap santai Refan, sedangkan Syila melotot tajam ke arahnya. "Perjanjian dari mana?" "Perjanjian saat tiga hari menginap bersama di Bromo." "Syila! Jadi kamu jalan-jalan sama adikku?" "Nggak, Bos. Saya jalan sama office boy." Syila tersenyum sambil meringis.Semoga suka cerita baruku. jangan lupa like dan komen ya. mampir juga ke cerbung best seller "ISTRI YANG KABUR DI MALAM PERTAMA"
BAB 7A Ciuman"Sudah ketawanya. Tadi aja nangis-nangis, sekarang ketawa nggak jelas. Dikira lu cantik-cantik nggak waras nanti.""Fan, tadi malam yang mindah aku ke ranjang siapa?" Syila berubah serius saat menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.Refan hanya bergeming membuat Syila menoleh dan menatap lama adik iparnya."Fan.""Hmm." Refan menyunggingkan senyum, membuat Syila mendecis."Kamu maunya gue yang angkat atau Mas Zein?" Refan justru berbalik tanya semakin membuat Syila kesal."Ckk, selalu begitu kalau ditanya. Ya, jelas aku berharap suamiku yang mindahin lah. Lain kali awas ya kalau aku tidur di sofa, kamu jangan mindahin aku. Panggilkan saja Mas Zein.""Tentu saja, suami lu yang lebih pantas memindahkan." Syila menghentikan perdebatannya setelah merasa lega, bukan Refan yang memindahkan tidurnya di ranjang melainkan suaminya. Mobil akhirnya memasuki pelataran perusahaan kosmetik yang turun temurun dari keluarga kakeknya. Awal mula perusahaan itu dipegang omnya karena
Bab 7B"Pagi, Bu Syila." Seorang karyawan bagian keuangan barusan melintasinya."Selamat atas pernikahannya ya, Bu. Bos memang serasi dengan Bu Syila." Syila memandnag kesal pria di sampingnya."Terima kasih, Pak." Refan berdehem membuat karyawan itu menunduk hormat."Pagi, Bos." "Lanjutkan kerjamu!" titah Refan diangguki patuh oleh karyawan laki-laki yang berusia muda tadi. Syila hanya mengernyit, dan bertanya-tanya dalam hati."Apa mereka tidak tahu Refan kembaran bosnya?" Syila hanya mengedikkan bahunya lalu melangkah kembali menuju ruang kerjanya yang menjadi satu dengan ruang direktur. Ia lupa kalau Refan sudah memangkas rambut hingga pendek seperti Zein.Syila melangkah tanpa ragu. Ia sudah biasa mengetuk pintu, lalu masuk ke ruang Zein seperti hari biasa saat bekerja."Kayaknya yang ini lucu deh bajunya.""Iya, Sayang." Zein terlihat mencolek dagu Sania, saat Syila masuk ruang kerjanya."Ishh, nakal." Suara manja khas wanita menyapa telinga Syila saat masuk ruang Zein. Ia mel
BAB 8A Coba-coba"Mas Zei...." Bersamaan dengan bunyi lift berdenting. Pintunya terbuka, tampak dua orang karyawan berdiri terperangah di luar. Keduanya melihat adegan dewasa telah terjadi di dalam lift. Reflek Syila mendorong dada Refan sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia menerobos dari bawah lengan Refan yang mengurungnya."Syila?! Apa yang kamu lakukan?" Refan ikut menoleh ke arah sumber suara."Hah. Maaf Bos, kami sungguh tidak melihat apa-apa. Bener, deh!" Salah satu karyawan yakni Merry sahabat Syila segera menarik tangan temannya untuk kabur dari situ. Keduanya takut dipecat karena kedapatan mengganggu kesenangan bosnya.Syila hanya melongo melihat Merry yang terbirit bersama rekan yang lain. Ia berbalik ternyata lift sempat menutup dengan Refan memberikan kiss dari jauh."Hufh, menyebalkan." Tubuh Syila merinding melihat tingkah adik iparnya. Gegas ia mencari Merry untuk berbagi cerita.Langkah Syila yang tadinya cepat berubah melambat setelah sampai di depan ruang bertuli
BAB 8B Coba-coba"Lalu, buat apa nikah sama kamu? Kasian amat kamu, Syil. Sekali menikah jadi istri kedua.""Kamu meledekku, Mer?" Merry hanya tersenyum meringis."Dah lah jangan tanya alasannya kenapa. Tahu sendiri kan, bos patah hati ditinggalin seorang wanita, sikapnya jadi dingin kayak es kutub. Eh tahu-tahu wanita itu mencarinya saat hari pernikahan kami tiba.""Iya, wanita itu katanya cinta pertamanya. Bos masih cinta kali ya sama wanita itu.""Ckk, kamu bukannya menghibur malah bikin aku sakit hati sih, Mer.""Iya, maaf. Trus gimana kelanjutannya? Kamu minta pisah?"Syila menggeleng. Janjinya pada diri sendiri juga keluarganya selama masih kuat bertahan, maka ia akan mempertahankan pernikahannya. Meskipun pernikahannya lahir dari perjodohan, ia menganggap pernikahan adalah hal yyang sakral bukan untuk dipermainkan."Lalu?""Kamu bantu aku, Mer. Gimana caranya menarik perhatian Mas Zein.""Hmm, kalau itu mah gampang. Kamu coba-coba aja menggodanya. Nanti malam, pas di kamar tuh,
BAB 9A Jemari LentikSyila duduk di sofa pantry, masih terpaku dengan pikirannya. Langkah kaki terdengar memasuki ruang untuk pelarian para karyawan menghalau kantuk dan pegal karena duduk terlalu lama. Perusahaan kosmetik turun temurun milik keluarga Ilyas Arkana Wijaya memang mengedepankan kenyamanan tidak hanya bagi petinggi, tetapi juga bagi karyawannya. "Nona, Syila. Ngapain di sini pagi-pagi?" Pria berpostur layaknya seorang bodyguard itu berjalan mendekat ke arah rak berisi aneka minuman. "Eh Pak Alex. Bikin coklat panas, biar moodnya naik, Pak." Syila mencoba memberikan senyum terbaiknya seperti saat dia masih menjadi sekretaris Zein sebelum menikah. Walaupun hatinya sedang dongkol dengan bosnya, Syila tidak mau orang lain kena getahnya. Sebisa mungkin ia menghindari hal itu. Tidak heran banyak karyawan yang menyukainya sifat Syila. Dia wanita yang mudah bergaul dan pandai bicara. Obrolannya selalu menyenangkan. Bahkan pertemuan pertamanya di Bromo dengan Refan membuat pria
BAB 9B Jemari Lentik "Nona Sania apa kabar?" Refan mengernyitkan dahi. Ia merasa heran, kenapa tiba-tiba Alex menanyakan wanita itu. Wanita yang telah pergi meninggalkan abangnya dan kini kembali dengan berbadan dua. Setitik nyeri hadir di dadanya, seolah membuka luka lama yang belum kering. "Baik, Pak. Dia sedang hamil." "Apa?! Hamil?!" Refan melihat perubahan wajah Alex yang mendadak serius. "Kenapa? Pak Alex sepertinya kaget begitu." Refan sedikit menaruh curiga kalau Alex mengetahui hal penting tentang Sania. "Tidak ada, Mas." Alex berusaha bersikap biasa. "Maksud saya, Mbak Sania hamil anak siapa?" "Suaminya lah. Pak Alex ini gimana, sih?" canda Refan membuat Alex tercenung. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berdua, Pak?" Refan menghentikan tawanya. Ia mulai berbicara serius. "Saya tidak tahu, Mas." "Ayolah, Pak Alex nggak bisa berbohong di
BA 10A Masih Cinta"Hentikan!" Suara merdu khas wanita terdengar di telinga Refan dari arah belakang. Jemari-jemari lentik menggenggam tangan kanan Refan yang dipakai untuk menepuk dadanya."Jangan menyakiti diri sendiri!" Wajah wanita itu bahkan menempel di punggung Refan hingga membuat jantungnya berdesir. Peringatan Refan tidak digubris oleh wanita yang tak lain adalah Sania. Kedua lengannya justru melingkar erat di pinggang Refan."Lepaskan! Jangan melewati batasan yang ada. Apa yang kamu lakukan justru membuat pijakan luka semakin dalam.""Fan. Maafkan aku! Cintaku padamu masih sama seperti dulu."Refan hanya mendecis, tangannya berusaha melepaskan pelukan Sania dari belakang. Ia tidak mau orang lain melihat mereka berdua dalam kondisi seperti itu. Apalagi kalau orang itu yang amat disayanginya."Aku merindukanmu, Fan. Aku rindu wangi parfum ini." Sania mengendus aroma parfum yang memabukkan baginya kala itu. Ia mencium kemeja yang dikenakan Refan membuat tubuh pria itu menegang.
BA 10B Masih Cinta"Kita kan mau makan siang bareng Sania. Perutku bukan perut karet, Syila. Ada orang lain yang lebih pantas mendapatkannya, " ucap ketus Zein. Syila tertegun dengan jawabannya. Dipikir Syila Zein akan menjawab dengan kalimat yang menyakitkan. Ternyata kata-kata itu justru membuat Syila semakin mengaguminya. Sikapnya memang dingin, tetapi jiwa sosialnya tinggi."Oh, baiklah." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Syila, ia merasa sedikit malu sudah berprasangka buruk."Mas, boleh aku tanya nggak?" Kali ini Syila dihantui dengan obrolannya bersama Alex saat di pantry."Apa Mbak Sania datang untuk kembali menjadi sekretaris Mas Zein?" Syila sedikit khawatir Zein akan marah mendengar pertanyaannya. Sorot tajam mata elang Zein sudah mengunci manik mata Syila. Pria itu tak menjawab justru memajukan wajahnya mendekati Syila yang mendasak gugup."Mas?!"Syila segera membenahi posisi duduknya agak mundur untuk menjaga jarak dengan suaminya."Kamu berharapnya apa?" Zein