Share

Bertukar Akad: Menikahi Adik Ipar Sendiri
Bertukar Akad: Menikahi Adik Ipar Sendiri
Penulis: D Lista

Bab 1 Wanita Lain

Bab 1 Wanita Lain

"Siapa wanita ini, Mas?"

Syila mengernyit saat Zein pria yang berstatus suaminya belum genap 24 jam menggandeng wanita cantik berwajah layaknya artis masuk ke kamar pengantin. Perutnya terlihat membuncit. Jika ditaksir, kemungkinan wanita itu sedang hamil trimester dua atau malah tiga.

"Dia Sania. Biarkan dia istirahat di kamar ini," ucap Zein tegas sembari melambaikan tangannya pada seorang wanita bergaun selutut dengan bagian bahu terbuka, menampakkan kulit putihnya. Wanita itu tersenyum tipis saat Zein kemudian merangkul bahu sosok itu.

Melihatnya, Syila tertegun. Matanya membola, meneguk ludah dengan susahnya, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya.

"Sania akan tinggal di sini." Lagi, suaminya berucap tanpa melihat siapa lawan bicaranya. Ya, Syila adalah sekretaris di kantor Zein, juga wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya tanpa mempertimbangkan perasaannya.

"Tinggal? Maksud Mas?" sahut Syila cepat. Ia menatap nyalang sang suami yang tangannya sibuk membuka kancing kemeja bagian atas. Ia menginginkan sebuah penegasan. Ia mengira sedang diprank suaminya, malam pertama kamarnya ditempati wanita lain.

"Mas nggak sedang bercanda, kan?" Lagi, Syila butuh penjelasan.

Syila berdiam menatap heran. Kebaya broklat warna pastel masih melekat ditubuh. Bahkan riasan make up artist (MUA) masih awet di wajahnya. Cantik, tetapi apa guna jika si suami tidak mau bersanding dengannya, justru ingin bersama wanita lain.

"Aku tidak pernah bercanda, bukan?" ucap Zein dingin.

Syila memindai manik mata berwarna coklat milik pria yang baru saja menikahinya siang tadi. Jelas tidak ada kebohongan di sana. Ia telah mengenal Zein selama dua tahun menjadi sekretarisnya. Pun keluarga mereka sudah saling kenal sejak kerja sama antara bisnis kosmetik milik orang tua Zein dengan bisnis tekstil milik orang tua Syila. Mereka menikah karena skenario perjodohan.

"Lalu aku tidur di mana, Mas?!" cecar Syila tak percaya.

Syila menagih jawaban yang sejatinya takut ia dengar. Namun, ia tetap berusaha tenang menanti ucapan Zein.

"Kamu bisa di sini atau pindah ke kamar kita biasanya di sebelah," jawab Zein sedikit tak acuh.

"Di sini?!" tanya Syila dengan wajah merah padam. Zein mengangguk dengan irit senyum, sedangkan Sania yang masih setia mengatupkan bibir hanya bergeming dengan seringaian tipis, mengamati perdebatan pengantin baru di depannya.

"Mas sudah tidak waras!" seru Syila tidak terima.

Jika dipikir, orang awam pun tahu, siapa yang menikah dan siapa pula yang menempati kamar pengantin.

"Ya, aku memang tidak waras!" sahut Zein mulai menaikkan intonasinya.

"Aku istri, Mas Zein. Kenapa harus aku yang pindah. Ini kamar pengantin, sudah seharusnya kita berdua yang di kamar ini," balas Syila tidak mau tahu.

"Kita, huh?" Zein mendecis tanpa menghiraukan Syila.

"Sejak awal, kita menikah karena terpaksa," tegas Zein sembari masih mempertahankan sikap dinginnya.

"Mas, meski terpaksa. Aku masih menghormati pernikahan sakral ini." Ucapan Syila hanya mendapat respon tatapan sinis Zein.

Tidak ingin memperpanjang debat kusir, Syila menyeret suaminya masuk ke kamar. Diikuti Sania yang mengekor di belakang. Benar saja, terlihat langkahnya sedikit kesusahan membawa perutnya yang besar.

"Astaga, wanita ini nggak ada malunya sama sekali. Main nerobos aja ke kamar pengantin," guman Syila dengan wajah yang sudah berkerut, berbeda dengan saat beberapa menit yang lalu.

"Mbak. Bisa nggak biarkan kami berdua bicara lebih dulu!" ujar Syila dengan kesabaran tingkat dewa.

Syila mencoba mengusirnya dengan berkata halus. Giginya bahkan saling gemeretak menahan diri agar bara api di dalam dadanya tidak membesar. Kedua tangannya ia biarkan mencengkeram kebaya yang menjulang sampai lantai. Sania hanya mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Ya Rabb, bagaimana bisa aku mengajaknya adu mulut kalau sikap wanita ini lemah lembut di depanku. Aku bukan penindas. Tapi aku juga nggak mau ditindas. Mas Zein harus bertanggung jawab atas semua ini."

Syila meyakinkan diri dalam hati bahwa dirinya wanita yang kuat.

"San, tetap di sini!" titah Zein jelas tak terbantahkan. Sania menghentikan langkahnya saat hampir berdiri di ambang pintu.

"Tutup pintunya!" Sania menuruti apa kata Zein.

"Duduk!" Telunjuk Zein mengarah ke sebuah sofa mini di dalam kamar pengantin. Ia meminta Sania duduk di sana. Sofa yang dilengkapi meja kecil sudah tersedia minuman dan aneka cemilan untuk menemani malam pertama mereka.

Syila kembali terbelalak melihat Sania begitu penurut. Ia menatap nyalang suaminya yang masih mengenakan jas hitam. Gagah, tidak bisa dipungkiri Syila. Tampan jelas iya, terlihat dari alisnya yang tebal dan juga garis rahangnya yang tegas.

Penglihatan Syila mulai kabur karena setitik cairan bening mulai berkumpul di pelupuk mata. Netranya mengikuti pergerakan suaminya yang baru saja mendaratkan bok*ngnya di bibir ranjang. Sementara itu, Syila masih setia berdiri dengan anggun bersama kebaya yang melekat di tubuhnya.

Hening, Syila menelan salivanya seraya menatap penuh permohonan agar suaminya memberi penjelasan. Ingin berteriak lantang, tetapi pita suara Syila seolah tidak mau bergetar. Berusaha sekuat tenaga, ia melontarkan kata.

"Mas. Tolong jelaskan, siapa dia? Aku istri Mas Zein, kenapa harus ada wanita lain di kamar pengantin kita?" desak Syila dengan air mata berderai.

Syila akhirnya berhasil mengucapkan kalimat itu lirih meski dengan terbata. Ia bergantian menatap suami dan wanita itu. Bersamaan dengan itu, air matanya tumpah tak tertahankan. Punggung tangan kanannya segera mengusapnya. Menyedihkan, ditambah lagi Zein hanya diam tanpa ekspresi. Menanti Syila meluapkan emosi.

"Dia nggak punya hak tinggal di kamar ini, Mas. Kenapa nggak minta dia istirahat di kamar tidur tamu?" ucap Syila lirih, tetapi penuh penegasan.

Sejatinya Syila malu dilihat orang lain, apalagi kalau sampai keluarga besar mendengar pertengkaran mereka. Pengantin baru berdebat tentang sosok yang akan menempati kamar pengantin. Impiannya melepas kebaya dibantu suami seperti di drama Korea yang ia tonton ataupun novel romantis yang ia baca terhempas begitu saja bagaikan kapas tertiup angin.

Ya, ini dunia nyata bukan dunia drama pun novel. Kenyataan tidak seindah bayangan. Memimpikan sebuah pernikahan layaknya seorang putri dalam dongeng ternyata realita sangat menyakitkan.

"Dia berhak tinggal di sini!" Sebuah kalimat yang bernada tinggi membuat Syila tersentak. Suaminya benar-benar mempertahankan egonya. Syila tidak habis pikir, suami yang merupakan bosnya di kantor bersikukuh membela wanita itu. Tangan kanannya menepuk lembut dada yang terasa sesak seperti terhimpit beban berat.

"Sebenarnya siapa wanita ini? Apa Mas Zein berniat menjadikannya istri kedua? Tidak bisa. Aku tidak terima," guman Syila.

"Katakan siapa wanita ini, Mas!"

"Duduk dulu!" Zein mencoba mendinginkan suasana. Tangannya menepuk ranjang kosong di samping kirinya. Namun, Syila menolaknya. Ia tetap setia berdiri meskipun sebenarnya tidak sopan berbicara sambil berdiri sementara suaminya duduk.

"Duduk!" titah Zein kembali. Syila justru memutar bola matanya jengah.

"Dia siapa, Mas?" Syila menunjuk Sania sambil bergantian menatap Zein dan Sania.

"Sania istriku. Dia ibu dari anakku."

Mulut Syila membuka lebar. Ia terpaku seolah bumi berhenti berputar. Ucapan suaminya bagai petir yang menyambar. Memorinya merekam, lalu memutar ulang kalimat itu seperti kaset rekaman yang diputar kembali. Tubuhnya lunglai, hampir limbung seakan tulang-tulang tak mampu menopang. Kepalanya mendadak terserang pening akut.

"Is...istri?" Lirih, tetapi masih bisa didengar Zein. Syila meraba pinggiran ranjang supaya pant*tnya bisa mendarat dengan benar.

"Ya. Sania Istriku." Hati Syila berdenyut nyeri. Kenyataan menamparnya, bagaikan menelan pil pahit, ia seharusnya bahagia di hari pernikahannya. Namun, justru kekecewaan yang ia dapatkan. Hal ini menjadi sebuah kejutan besar yang ia terima dari suaminya.

"Lalu anak yang ada di dalam perutnya itu anak kalian?" Dengan terbata, Syila bersyukur akhirnya berhasil mengucapkannya. Sebelum tubuhnya ambruk tepat di samping Zein, ia sempat melihat anggukan suaminya.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
D Lista
makasih kak. lanjut baca yuk
goodnovel comment avatar
Dwi MaRITA
lalakik kok nggak tegas... kalok dah beristri... ngapain nikahin anak orang yg dijodohkan & nggak sreg dihati..... ...
goodnovel comment avatar
D Lista
lanjut yuk sdh tamat 3 season
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status