PLAK
Satu tamparan mendarat ke pipi Ricky. Hanna mendorong tubuh Ricky dengan kuat. “Jangan macam-macam kamu, Ricky,” ucapnya seraya mengacungkan tangan di depan wajah Ricky.“Hey, kamu kenapa, Hanna? Aku hanya bercanda, dan kamu menyerangku seakan aku ini penjahat.” Ricky memegangi pipinya yang memerah dan membentuk bekas tangan Hanna.Hanna menyadari telah keterlaluan memukul Ricky. “Maaf,” ucapnya terbata-bata. “Maaf, aku pikir kamu ingin....” ucapan Hanna terputus oleh tawa Ricky.“Tidak masalah. Aku memahaminya.” Ricky tertawa pelan. “Aku yang seharusnya meminta maaf karena telah membuatmu ketakutan tadi.” Dia berkata dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.“Baiklah, Hanna! Sekarang, ayo kita nikmati pesta ini!” Ricky mengulurkan tangan pada Hanna, seolah dia adalah seorang pangeran yang sedang meminta kepada sang putri untuk berjalan bergandengan tangan bersamanya.Hanna berjalan melewati Ricky begitu saja tanpa memedulikan tangan Ricky yang masih terulur ke arahnya.Ricky melihat tangannya yang tiba-tiba terasa dingin karena Hanna sama sekali tidak menyentuhnya. Jangankan menyentuh, Hanna sama sekali tidak meliriknya. Dia meniup tangan itu, lalu mengibas-ngibaskannya dan berlari mengikuti Hanna.“Hey! Tunggu aku! Kenapa kamu meninggalkan aku?” Ricky berteriak kencang mengikuti Hanna. Dia berjalan di samping Hanna seraya tersenyum riang.Hanna melihat suasana di sekelilingnya. Di dalam gedung itu telah ramai beberapa orang duduk di kursi yang mengelilingi meja besar. Banyak sekali makanan yang tersaji di atas meja besar itu. Hanna merasa mengenali beberapa wajah yang duduk di kursi itu. Dia menjadi ragu untuk bergabung bersama mereka.“Ricky, kurasa tugasku malam ini sudah selesai. Aku sudah bertemu dengan mantan tunanganmu yang sulit untuk kamu lupakan itu. Jadi, kurasa sekarang sudah saatnya aku pulang.” Hanna berbalik hendak meninggalkan Ricky.“Tunggu, Hanna!” seru Ricky saat Hanna mulai melangkah. “Tetaplah di sini. Kita berangkat bareng, pulang juga harus bareng-bareng,” bujuknya.“Tidak apa-apa jika kamu masih ingin di sini. Aku bisa mencari tumpangan untuk pulang. Mungkin ada taksi atau ojek yang bisa mengantarku sampai rumah.” Hanna melirik Ricky dan tersenyum tipis.“Tunggu aku say helo sebentar dengan mereka. Setelah itu, kita pulang bersama.” Ricky menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon kepada Hanna. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu melanjutkan berkata, “Mereka juga teman-temanmu. Apa kamu tidak ingin menyapa teman-teman kita sebelum pulang, Hanna?”“Apa kamu lupa? Hanna tidak datang ke acara reuni ini. Aku datang sebagai Cindy.” Hanna menjawab dengan pasti.“Betul juga. Kamu adalah Cindy, kekasihku yang secantik permaisuri. Baiklah, mari meyapa teman-temanku sebagai Cindy.” Ricky berjalan mendekati teman-temannya yang sedang berkumpul. Dia mengambil tempat duduk dan mempersilakan Hanna untuk duduk di sebelahnya.Hanna melebarkan mata saat melihat Elmira dan Adrian juga duduk di antara teman-teman yang lain. Dia hendak mengurungkan niat untuk ikut duduk bersama mereka, tetapi Ricky sudah lebih dulu mengambil posisi duduk dan menarik lengan Hanna agar segera mengikutinya duduk.“Jadi ini calon istrimu, Ricky? Wah, sudah kuduga ketua OSIS kita yang satu ini memang pandai memilih pasangan. Pasti banyak yang patah hati di hari pernikahan kalian nanti,” puji salah satu wanita yang terlihat sok akrab dengan Ricky. Dia melirik Elmira yang duduk tepat berhadapan dengan Hanna, seperti sedang sengaja memulai perkara.“Ricky memang selalu beruntung. Setelah putus dengan Elmira, dia mendapat pengganti yang lebih cantik,” sahut salah seorang yang lain, juga sambil melirik Elmira.Elmira tersenyum miring dan menatap Hanna dengan tatapan mengejek. “Kenapa kalian memuji mereka? Mereka bisa besar kepala jika kalian terus memuji seperti itu,” ucapnya seraya menatap Ricky dan Hanna bergantian.“Kenapa, Elmira? Apa kamu juga ingin mendapat pujian dari kami?” tanya wanita yang sok akrab tadi seraya tersenyum miring. Dia terlihat tidak menyukai Elmira.Elmira mulai merasa jengkel. Dia menggebrak meja dengan keras, lalu berdiri dengan tegap. “Kurasa kalian semua buta dan tidak bisa melihat dengan baik. Dulu, Ricky memang keren, karena dia seorang ketua OSIS. Tapi sekarang dia hanya penjual skincare yang miskin dan tidak ada gunanya. Seharusnya kalian memuji Adrian, calon suamiku. Dulu dia memang siswa badung, tapi sekarang dia sudah sukses menjadi manager perusahaan besar.” Dia menatap tajam orang-orang yang duduk di kursi melingkar itu.“Lalu, wanita yang bersama Ricky itu? Dia juga tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Lihatah aku. Aku model dan bintang iklan yang paling dicari saat ini. Kecantikanku seribu kali dibandingkan kecantikan dia. Seharusnya kalian memujiku, bukan memuji dia. Bukankah begitu?” Elmira terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling sambil memajukan wajahnya dan tersenyum sangat manis. Dia ingin menunjukkan pada semua orang, bahwa dirinya yang paling cantik.“Huuuu!” Beberapa wanita muak melihat kepercayaan diri Elmira yang terlalu berlebihan. Mereka berdiri dan pergi dari tempat duduk mereka. Sementara beberapa laki-laki yang tetap berada di sana, ditarik dan diseret oleh pasangannya untuk ikutan pergi. Hanya tersisa Elmira, Adrian, Hanna, dan Ricky di tempat itu.Hanna dan Ricky tidak bisa menahan tawa. Mereka sangat menikmati melihat Elmira membelalakkan mata karena kesal.“Kalian menertawakan aku?” Elmira semakin membelalakkan mata menatap Hanna dan Ricky seolah hendak memakan keduanya.Ricky mengatur napas dan menghentikan tawanya. Dia menatap Elmira lantang, lalu berkata, “Elmira, Elmira, kamu terlalu percaya diri. Seharusnya kamu melihat pantulan wajahmu di cermin ini.” Dia melemparkan sebuah cermin berbentuk persegi kepada Elmira.“Selama ini, kamu selalu menganggap dirimu yang paling cantik di dunia ini. Sekarang, cobalah bertanya pada cermin itu. Dia akan menjawab dengan jujur, jika malam ini calon istriku yang paling cantik.” Ricky tersenyum miring menatap Elmira dengan tatapan mengasihani.“Apa kamu sudah gila? Kamu pikir kita sedang berada di negeri dongeng, dan cermin itu adalah cermin ajaib?” Elmira mengambil cermin dari Ricky yang tergeletak di atas meja. Dia mengangkat cermin itu dan meletakkannya tepat di hadapannya. Terlihat pantulan wajah Elmira yang buram di cermin itu.Elmira melebarkan mata menatap pantulan wajahnya di cermin. Beberapa kali, dia menatap cermin dan menatap Hanna secara bergantian. Sejujurnya, hatinya membenarkan ucapan Ricky, bahwa malam ini Hanna terlihat lebih cantik. Namun, dia tidak ingin mengakuinya secara lisan.Di saat Ricky dan Elmira sedang asyik berdebat, diam-diam Adrian menuliskan sesuatu pada secarik kertas dan memberikannya kepada Hanna.Hanna membelalakkan mata membaca secarik kertas dari Adrian. Dia segera melipat kertas itu dan menyimpannya di dalam tas, lalu tersenyum tipis.'Ini sudah saatnya. Kamu sudah masuk ke dalam perangkapku, Adrian,' gumam Hanna di dalam hati.Tiba waktunya pulang kerja. Saat berjalan di trotoar, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Seorang lelaki menurunkan kaca jendela mobil dan memindai Hanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Adegan ini mengingatkan Hanna pada Ricky. Namun kali ini Hanna lebih berdebar karena pria yang sedang dia hadapi adalah atasan kerjanya. "Ada apa, Pak?" tanya Hanna ragu-ragu. Dia bertanya-tanya di dalam hati, kesalahan apa yang dia perbuat sampai membuat marah atasannya. Apa Pak Alan sedang marah kepadanya? Dia memejamkan mata dan menundukkan kepala, menutupi rasa gugupnya. "Kamu pulang sendirian, Hanna?" Akan bertanya basa-basi. "Eh?" Hanna mengangkat wajahnya menatap Alan. Bibir ranumnya ternganga. "Bapak bertanya apa?" Dia bertanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengar. "Apa kamu pulang sendirian?" Alan mengulangi pertanyaannya."Oh ya, saat di luar jam kantor, jangan memanggilku "bapak". Aku belum setia itu." Alan berkata dengan suara bariton. "Panggil aku "Alan
Hanna kembali ke ruang kerjanya. Dia tersenyum senang sambil menikmati makanan. Beruntung sekali rasanya, di saat perut sedang lapar, tiba-tiba sudah ada makanan siap tersaji di meja kerjanya. Jadi tidak perlu susah-susah memesan atau membeli makanan di luar kantor. Hanna terlalu asyik menikmati makanan hingga tidak menyadari jika diam-diam Alan sedang tersenyum memperhatikannya. Telepon Alan berdering. Lelaki itu segera mengangkat telepon dan berbicara pada orang di seberang. "Kamu tenang saja. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja. Dia aman di sini." Alan berbicara dengan suara bariton pada sesorang di seberang telepon. "Sebentar lagi jam kerja. Jangan terlalu sering menggangguku." Alan menutup telepon dengan cepat. Dia kembali memperhatikan Hanna dan tersenyum tipis. Adrian merebahkna tubuhnya di sofa depan televisi rumahnya. Dia bersendawa sambil memegangi perutnya yang kekenyangan.Hampir saja Adrian tertidur saat tiba-tiba pintu rumahnya berbunyi. Dengan malas Adrian
"Mengundurkan diri?" Hanna mengerutkan kening, tidak mengerti bisa-bisanya rekan kerjanya meminta dia untuk mengundurkan diri dan mundur dari pekerjaan yang baru saja dia dapatkan. Padahal, mendapatkan pekerjaan itu bukanlah hal yang mudah. Jika dia mundur, belum tentu dia bisa mendapatkan pekerjaan lagi. Terlebih, dia sangat butuh uang untuk menafkahi dirinya sendiri setelah perpisahannya dengan suami. Dia tidak mungkin mengundurkan diri begitu saja. "Iya, kamu harus mengundurkan diri secepatnya." Anita menatap tajam Hanna dan tersenyum sinis. Hanna membalas tatapan Anita, lalu berkata, "Memangnya apa urusanmu? Apa dengan menjadi sekretaris aku merugikanmu? Kenapa aku harus mengundurkan diri?" Dia benar-benar tidak mengerti. "Tentu saja. Bukankah sudah kubilang jika seharusnya akulah yang menjadi sekretaris direktur? Aku lebih lama kerja di sini dari pada kamu." Anita bersikukuh. "Maaf, Mbak Anita. Aku paham, sepertinya kamu sangat menginginkan posisi sebagai sekretaris. Namun, s
Hanna serius sekali mempelajari berkas-berkas yang ada di meja. Dia bertekad untuk bekerja dengan maksimal dan tidak ingin mengecewakan perusahaan yang telah menerimanya bekerja. Hanna masih merasa tatapan Alan tertuju kepadanya. Dia merasa risih dan salah tingkah. Karena merasa terus diperhatikan oleh Alan, konsentrasi Hanna menjadi terganggu. Apa ada yang salah dengan penampilannya? Hanna menoleh ke arah kaca dan merapikan kerudung hitam yang dia kenakan. Rasanya tidak ada yang aneh dengan penampilannya. Perusahaannya memperbolehkan karyawan wanitanya untuk berhijab. Apakah direkturnya itu sedang mengawasi pekerjaannya? Gawat, mungkin dia akan dipecat sewaktu-waktu jika ketahuan melakukan kesalahan. Hanna kembali sibuk membuka-buka berkas. Dia tidak ingin memberi kesan buruk pada direktur sekaligus pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Jam istirahat akhirnya tiba. Perut Hanna tiba-tiba berbunyi. Dia merasa sangat lapar karena tadi pagi lupa sarapan. Sepanjang pagi tadi dia bekerj
Elmira berjalan menjauh dari rumah Adrian dengan hati penuh dendam. Dia benaknya terus berputar bayangan saat Adrian mengusirnya dari rumah dan tidak mengakui calon bayi yang dikandungnya. "Kamu wanita licik, Elmira! Kamu pasti menggunakan alat itu untuk memaksaku menerimamu," teriak Adrian dengan tatapan mengerikan. "Aku tidak bohong. Bukankah kita pernah melakukannya? Ingatlah malam-malam saat kita bersama, Adrian," lirih Elmira. Tatapannya begitu memohon. Dia sangat berharap Adrian mau mengakui anak di kandungannya. "Kamu pikir aku percaya? Aku tidak akan pernah mempercayaimu, Elmira. Pergilah dari rumah ini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi." Kata-kata Adrian yang begitu menyakitkan bagi Elmira. "Oh ya? Kamu tidak percaya? Bagaimana kalau aku mempunyai bukti?" Elmira menantang Adrian. "Bukti apa yang kamu maksud?" Adrian tidak mau kalah. Dia tidak akan terpedaya oleh wanita licik seperti Elmira. "Bukti apa lagi, tentu saja bukti saat kita bercocok tanam." Elmira tersenyu
Hampir satu jam lamanya Hanna menunggu di bangku yang terletak di depan perusahaan PT. Cahaya Cosmetics. Sesekali dia melihat jam tangan. Hanna melihat beberapa orang mulai memasuki kantor perusahaan. "Bagaimana, Pak? Apa saya bisa bertemu dengan pemilik perusahaan ini?" Hanna kembali menghampiri seorang satpam dan bertanya. Belum sampai satpam itu menjawab, sorang berbadan kekar menghampiri Hanna. "Ehm, kamu bukannya wanita yang kemarin?" Lelaki kekar itu menatap lekat Hanna. Hanna membalas tatapan lelaki kekar itu. Memang, wajah dan perawakan lelaki itu tidak asing. Tapi di mana mereka pernah bertemu? Hanna mengingat-ingat. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Hanna bertanya hati-hati. "Kamu melupakannya? Kamu wanita yang menabrakku kemarin, 'kan?" ucap lelaki berbadan kekar itu. Hanna baru mengingatnya. Dia laki-laki yang dia tabrak sebelum jadwal interview di perusahaan lain. Kejadian tabrakan yang membuatnya ketinggalan sesi interview dan kehilangan kesempatan untuk diter