Share

Bab 2. Penyelamat

Aku terus berlari. Tak kupedulikan kakiku yang mulai kesakitan.

Hanya saja…

"Dinda …!"

Aku mendengar teriakan Mas Aditya.

Sontak aku menoleh dan menemukan bahwa mobil Mas Aditya ternyata berhenti di depan!

Aku lantas berlari melawan arah, sambil memperhatikan Mas Aditya kembali masuk ke dalam mobil.

"Ya Allah, dia pasti mengejarku." Aku berlari sekuat tenaga, meski seluruh tubuhku bergemetar hebat melawan rasa takut dan panik yang melanda hebat.

"Dinda!"

Terdengar teriakan Mas Aditya, disusul suara klakson mobilnya.

"Umma, Abba… Tolong Dinda!” lirihku.

“Tolong!"

Aku pun berteriak sepanjang jalan, berharap orang disekitar pun menolongku.

Tampaknya, beberapa orang yang naik motor mulai berhenti ke pinggir jalan.

"Ada apa, ada apa?" tanya mereka.

Sayangnya, aku tidak berani menghentikan kakiku dan hanya terus mengucapkan kata tolong dengan ketakutan.

Orang- orang itu menjadi nampak bingung karena aku yang ketakutan.

"Tolong bantu tangkap dia, Pak. Itu istri saya, dia setengah waras," ujar Mas Aditya tiba-tiba, "Dia bisa mencelakai orang, tetangga saya sudah jadi korbannya."

Mendengar tuduhan itu, aku sontak semakin menangis meski terus berlari.

Bugh!

Seketika, orang yang berada di depanku langsung menarik tanganku begitu saja.

"Tenang, Mbak! Tenang," pinta bapak- bapak, yang kini memegangi tanganku.

"Lepaskan saya, lepas!! Saya ingin pulang, saya ingin pulang," raungku. Namun malah beberapa orang ikut memegangi tanganku dan memintaku untuk tenang.

Tapi aku tidak bisa tenang sama sekali, apalagi ketika Mas Aditya semakin dekat hingga langsung memeluk tubuhku.

Ya Allah, sia- sia aku berlari sejauh ini, nyatanya kini aku malah tertangkap lagi.

Entah apa yang akan terjadi padaku setelah ini.

Apakah Mas Aditya akan menyiksaku lagi di dalam rumah?

"Allahuakbar… Ya Allah, tolong Dinda, tolong ...." Aku histeris, ketakutan membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi padaku setelah ini.

"Umma, Abba, tolong Dinda ...."

Aku terus meraung, mencoba melepaskan diri dari pelukan Mas Aditya. Namun, lelaki ini justru semakin erat memelukku.

"Jangan pergi dari mas, Din. Mas sayang kamu, kamu pasti akan sembuh, tolong jangan begini sayang," ujarnya sambil terisak.

"Ini istri saya, saya tidak bohong. Kalau kalian tidak percaya, saya punya buku nikah kami di rumah," ucap Mas Aditya pada orang-orang yang sudah membantunya menangkapku yang berusaha kabur.

Aku menangis keras.

Rasanya sakit sekali karena tidak bisa membela diri.

Dengan aktingnya seperti suami yang setia dan mencintai sepenuh hati, lagi- lagi semua orang percaya pada Mas Aditya.

"Tolong saya! Tolong! Dia jahat," pekikku, kembali.

Aku tak bisa berhenti sekarang!

Sebentar lagi, aku bisa bertemu orang tuaku dan pergi dari pria ini.

Hanya saja, bisikan Mas Aditya membuatku meremang. "Jika mau kedua orang tua kamu selamat, jangan macam- macam! Ikut aku pulang atau kamu akan menyesal!"

Pelukannya semakin erat, hingga membuatku nyaris tidak bisa bernapas.

Aku sontak terdiam.

Kurasakan suamiku itu menahan senyum.

"Bapak- bapak, Mas, makasih sudah bantuin saya," ucapnya penuh keramahan pada para warga.

Aku hanya bisa menangis tanpa suara lagi sembari mengikuti langkah Mas Aditya, menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.

Tangannya begitu kuat memegangi tanganku, dan menuntunku masuk ke kursi belakang mobil.

***

"Nyusahin banget kamu, ya!” maki Astri, “awas saja nanti sampai rumah, habis kamu!"

Mendengar ancaman itu membuatku semakin gemetar ketakutan.

Sedangkan Mas Aditya, terus melajukan mobilnya menuju kembali ke rumah kami, masih tanpa suara.

Setelah memasuki gerbang rumah, mobil pun diparkirkan di tempat biasa.

Mas Aditya keluar lebih dulu dan langsung membuka pintu belakang mobil.

"Cepat keluar," titahnya dengan tatapan dingin.

Ya Allah, aku takut sekali melihat sikapnya yang menampakkan kemarahan.

"Cepat!!" bentaknya lagi sembari menarik tanganku. Aku tersungkur dan dia pun tetap menarikku hingga aku terjatuh ke tanah.

Sakit sekali rasanya. Mas Aditya semakin kasar memperlakukan aku.

"Kurung saja dia di gudang, Mas! Biar kapok," ujar Astri.

Mas Aditya tidak menyahut, dia kembali meraih tanganku dan menyeretku hingga aku nyaris tersungkur lagi.

"Dasar pembangkang! Kamu mau bikin aku malu?" bentak Mas Aditya, sambil terus menyeretku yang tertatih- tatih mengikuti langkahnya.

Mas Aditya membawaku ke rumah belakang dan langsung melemparkan tubuh ringkihku masuk ke dalam kolam renang.

Aku panik luar biasa, karena aku tidak bisa berenang. Aku berusaha meminta tolong padanya, dengan melambaikan tanganku, berharap Mas Aditya mau membantuku naik dari kolam.

Apakah sudah menjadi nasibku, mati tenggelam dikolam renang, ditangan suamiku sendiri.

Aku nyaris hilang kesadaran, kehabisan tenaga juga kesulitan bernapas. Hingga tiba- tiba seseorang masuk ke dalam kolam renang dan meraih tubuhku.

Setelah menuju pinggiran kolam renang, aku menatap Mas Aditya, yang ternyata dialah yang membawaku ke pinggir kolam renang ini.

"Jika kamu ulangi lagi seperti tadi, aku tidak akan menolongmu lagi, akan kubiarkan kamu mati di dalam kolam renang impianmu ini," ujarnya sambil beringsut naik dari kolam renang. Aku pun naik tersengal- sengal.

Aku menghirup udara sebanyak- banyaknya, dan mengucap rasa sukur dalam hati berkali- kali, karena aku tidak mati di kolam renang.

"Aku tidak boleh mati, kasihan kedua orang tuaku," batinku.

"Kenapa basah- basahan begini, Mas?" tanya Astri, yang tiba- tiba datang, entah kemana saja dia tadi.

"Dinda, Dinda ...." Terdengar suara wanita yang sangat aku kenali memanggil.

"Iren?" batinku.

"Suara Iren?" Mas Aditya tampak sama terkejutnya denganku.

"Kamu nggak tutup gerbang, As?" tanya Mas Aditya pada Astri.

"Nggaklah, ngapain harus aku? Nggak liat aku hamil besar begini, masa disuruh nutup gerbang."

"Itu jadinya ada yang lancang langsung masuk rumah," ujar Mas Aditya nampak kesal pada Astri.

"Dinda, kamu di sini? Loh, kamu mandi di kolam renang, ya? Bukannya kamu nggak bisa berenang?" tanya Iren yang tiba- tiba sudah berada di pintu belakang rumah.

"Heh, bisa sopan nggak masuk rumah orang? Nggak ada adab sama sekali, main masuk gitu aja," tegur Astri pada Iren, sahabatku.

"Lah, siapa dia, Din? Aku sudah biasa datang ke sini langsung masuk." Iren berkata sambil memindai penampilan Astri.

"Aku lama di sini, tapi baru kali ini ketemu kamu! Jadi, seringnya dibagian mana?" tanya Astri tidak senang.

"Aku kan baru datang dari luar negeri, wajar baru hari ini lagi ke sini,” balas Iren tampak tak mengerti situasi.

“Oh, iya Din! Aku bawain kamu tas branded limited edition. Jamin deh, kamu bakal suka," ujarnya lagi sambil tersenyum manis ke arahku, sampai dia menyadari sesuatu.

"Loh, wajah kamu kenapa?"

Wanita itu berjalan cepat dan hendak mendekatiku. Hanya saja, Mas Aditya tiba-tiba berbicara, "Ren, jangan kesini dulu! Sebaiknya kamu pulang saja."

Iren jelas bingung dengan sikap dingin suamiku itu.

Padahal, dia juga berteman baik dengan Mas Aditya sebelumnya.

"Dit, memangnya kenapa? Aku lama loh baru kesini, aku kangen sama Dinda. Tapi kenapa kamu suruh pulang. Dan itu, Dinda kenapa dari tadi cuma diam?"

Aku menatap sayu ke arah Iren, berharap dia mampu membaca situasi yang tidak beres dari tatapanku.

"Kenapa Dit? Ada apa ini?" desak Iren, yang nampaknya mulai penasaran dengan kondisiku.

Wanita itu kembali berjalan ke arahku yang terdiam di samping kolam renang.

Matanya membulat seketika…. “Astaga!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
cahayaituaku20
Jahat sekali mereka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status