Aku terus berlari. Tak kupedulikan kakiku yang mulai kesakitan.
Hanya saja…
"Dinda …!"
Aku mendengar teriakan Mas Aditya.
Sontak aku menoleh dan menemukan bahwa mobil Mas Aditya ternyata berhenti di depan!
Aku lantas berlari melawan arah, sambil memperhatikan Mas Aditya kembali masuk ke dalam mobil.
"Ya Allah, dia pasti mengejarku." Aku berlari sekuat tenaga, meski seluruh tubuhku bergemetar hebat melawan rasa takut dan panik yang melanda hebat.
"Dinda!"
Terdengar teriakan Mas Aditya, disusul suara klakson mobilnya.
"Umma, Abba… Tolong Dinda!” lirihku.
“Tolong!"
Aku pun berteriak sepanjang jalan, berharap orang disekitar pun menolongku.
Tampaknya, beberapa orang yang naik motor mulai berhenti ke pinggir jalan.
"Ada apa, ada apa?" tanya mereka.
Sayangnya, aku tidak berani menghentikan kakiku dan hanya terus mengucapkan kata tolong dengan ketakutan.
Orang- orang itu menjadi nampak bingung karena aku yang ketakutan.
"Tolong bantu tangkap dia, Pak. Itu istri saya, dia setengah waras," ujar Mas Aditya tiba-tiba, "Dia bisa mencelakai orang, tetangga saya sudah jadi korbannya."
Mendengar tuduhan itu, aku sontak semakin menangis meski terus berlari.
Bugh!
Seketika, orang yang berada di depanku langsung menarik tanganku begitu saja.
"Tenang, Mbak! Tenang," pinta bapak- bapak, yang kini memegangi tanganku.
"Lepaskan saya, lepas!! Saya ingin pulang, saya ingin pulang," raungku. Namun malah beberapa orang ikut memegangi tanganku dan memintaku untuk tenang.
Tapi aku tidak bisa tenang sama sekali, apalagi ketika Mas Aditya semakin dekat hingga langsung memeluk tubuhku.
Ya Allah, sia- sia aku berlari sejauh ini, nyatanya kini aku malah tertangkap lagi.
Entah apa yang akan terjadi padaku setelah ini.
Apakah Mas Aditya akan menyiksaku lagi di dalam rumah?
"Allahuakbar… Ya Allah, tolong Dinda, tolong ...." Aku histeris, ketakutan membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi padaku setelah ini.
"Umma, Abba, tolong Dinda ...."
Aku terus meraung, mencoba melepaskan diri dari pelukan Mas Aditya. Namun, lelaki ini justru semakin erat memelukku.
"Jangan pergi dari mas, Din. Mas sayang kamu, kamu pasti akan sembuh, tolong jangan begini sayang," ujarnya sambil terisak.
"Ini istri saya, saya tidak bohong. Kalau kalian tidak percaya, saya punya buku nikah kami di rumah," ucap Mas Aditya pada orang-orang yang sudah membantunya menangkapku yang berusaha kabur.
Aku menangis keras.
Rasanya sakit sekali karena tidak bisa membela diri.
Dengan aktingnya seperti suami yang setia dan mencintai sepenuh hati, lagi- lagi semua orang percaya pada Mas Aditya.
"Tolong saya! Tolong! Dia jahat," pekikku, kembali.
Aku tak bisa berhenti sekarang!
Sebentar lagi, aku bisa bertemu orang tuaku dan pergi dari pria ini.
Hanya saja, bisikan Mas Aditya membuatku meremang. "Jika mau kedua orang tua kamu selamat, jangan macam- macam! Ikut aku pulang atau kamu akan menyesal!"
Pelukannya semakin erat, hingga membuatku nyaris tidak bisa bernapas.
Aku sontak terdiam.
Kurasakan suamiku itu menahan senyum.
"Bapak- bapak, Mas, makasih sudah bantuin saya," ucapnya penuh keramahan pada para warga.
Aku hanya bisa menangis tanpa suara lagi sembari mengikuti langkah Mas Aditya, menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Tangannya begitu kuat memegangi tanganku, dan menuntunku masuk ke kursi belakang mobil.
***
"Nyusahin banget kamu, ya!” maki Astri, “awas saja nanti sampai rumah, habis kamu!"
Mendengar ancaman itu membuatku semakin gemetar ketakutan.
Sedangkan Mas Aditya, terus melajukan mobilnya menuju kembali ke rumah kami, masih tanpa suara.
Setelah memasuki gerbang rumah, mobil pun diparkirkan di tempat biasa.
Mas Aditya keluar lebih dulu dan langsung membuka pintu belakang mobil.
"Cepat keluar," titahnya dengan tatapan dingin.
Ya Allah, aku takut sekali melihat sikapnya yang menampakkan kemarahan.
"Cepat!!" bentaknya lagi sembari menarik tanganku. Aku tersungkur dan dia pun tetap menarikku hingga aku terjatuh ke tanah.
Sakit sekali rasanya. Mas Aditya semakin kasar memperlakukan aku.
"Kurung saja dia di gudang, Mas! Biar kapok," ujar Astri.
Mas Aditya tidak menyahut, dia kembali meraih tanganku dan menyeretku hingga aku nyaris tersungkur lagi.
"Dasar pembangkang! Kamu mau bikin aku malu?" bentak Mas Aditya, sambil terus menyeretku yang tertatih- tatih mengikuti langkahnya.
Mas Aditya membawaku ke rumah belakang dan langsung melemparkan tubuh ringkihku masuk ke dalam kolam renang.
Aku panik luar biasa, karena aku tidak bisa berenang. Aku berusaha meminta tolong padanya, dengan melambaikan tanganku, berharap Mas Aditya mau membantuku naik dari kolam.
Apakah sudah menjadi nasibku, mati tenggelam dikolam renang, ditangan suamiku sendiri.
Aku nyaris hilang kesadaran, kehabisan tenaga juga kesulitan bernapas. Hingga tiba- tiba seseorang masuk ke dalam kolam renang dan meraih tubuhku.
Setelah menuju pinggiran kolam renang, aku menatap Mas Aditya, yang ternyata dialah yang membawaku ke pinggir kolam renang ini.
"Jika kamu ulangi lagi seperti tadi, aku tidak akan menolongmu lagi, akan kubiarkan kamu mati di dalam kolam renang impianmu ini," ujarnya sambil beringsut naik dari kolam renang. Aku pun naik tersengal- sengal.
Aku menghirup udara sebanyak- banyaknya, dan mengucap rasa sukur dalam hati berkali- kali, karena aku tidak mati di kolam renang.
"Aku tidak boleh mati, kasihan kedua orang tuaku," batinku.
"Kenapa basah- basahan begini, Mas?" tanya Astri, yang tiba- tiba datang, entah kemana saja dia tadi.
"Dinda, Dinda ...." Terdengar suara wanita yang sangat aku kenali memanggil.
"Iren?" batinku.
"Suara Iren?" Mas Aditya tampak sama terkejutnya denganku.
"Kamu nggak tutup gerbang, As?" tanya Mas Aditya pada Astri.
"Nggaklah, ngapain harus aku? Nggak liat aku hamil besar begini, masa disuruh nutup gerbang."
"Itu jadinya ada yang lancang langsung masuk rumah," ujar Mas Aditya nampak kesal pada Astri.
"Dinda, kamu di sini? Loh, kamu mandi di kolam renang, ya? Bukannya kamu nggak bisa berenang?" tanya Iren yang tiba- tiba sudah berada di pintu belakang rumah.
"Heh, bisa sopan nggak masuk rumah orang? Nggak ada adab sama sekali, main masuk gitu aja," tegur Astri pada Iren, sahabatku.
"Lah, siapa dia, Din? Aku sudah biasa datang ke sini langsung masuk." Iren berkata sambil memindai penampilan Astri.
"Aku lama di sini, tapi baru kali ini ketemu kamu! Jadi, seringnya dibagian mana?" tanya Astri tidak senang.
"Aku kan baru datang dari luar negeri, wajar baru hari ini lagi ke sini,” balas Iren tampak tak mengerti situasi.
“Oh, iya Din! Aku bawain kamu tas branded limited edition. Jamin deh, kamu bakal suka," ujarnya lagi sambil tersenyum manis ke arahku, sampai dia menyadari sesuatu.
"Loh, wajah kamu kenapa?"
Wanita itu berjalan cepat dan hendak mendekatiku. Hanya saja, Mas Aditya tiba-tiba berbicara, "Ren, jangan kesini dulu! Sebaiknya kamu pulang saja."
Iren jelas bingung dengan sikap dingin suamiku itu.
Padahal, dia juga berteman baik dengan Mas Aditya sebelumnya.
"Dit, memangnya kenapa? Aku lama loh baru kesini, aku kangen sama Dinda. Tapi kenapa kamu suruh pulang. Dan itu, Dinda kenapa dari tadi cuma diam?"
Aku menatap sayu ke arah Iren, berharap dia mampu membaca situasi yang tidak beres dari tatapanku.
"Kenapa Dit? Ada apa ini?" desak Iren, yang nampaknya mulai penasaran dengan kondisiku.
Wanita itu kembali berjalan ke arahku yang terdiam di samping kolam renang.
Matanya membulat seketika…. “Astaga!”
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.