Plak!
"Sudah syukur kamu tidak aku ceraikan, Dinda! Lagipula, apa susahnya melayani adik madumu yang sedang hamil tua? Hitung-hitung itu bakti kamu kepada suami!"
Aku meringis, menahan rasa sakit dan panas di pipi akibat tamparan suamiku itu.
Sepertinya, nyaris setiap hari aku mendapatkannya sejak dia menikah kedua kalinya dengan mantan kekasihnya itu.
Aku hendak membalas ucapannya.
Sayangnya, istri kedua suamiku tiba-tiba menimpali."Tahu tuh Mas. Kenapa Dinda malas sekali, ya? Padahal, aku cuma minta pijitin kaki.”
“Mas lihat sendiri kan, kaki aku mulai bengkak?"
Setelahnya, wanita itu menunjukkan kakinya yang memang agak besar karena sudah mendekati HPL.Tatapan Mas Aditya sontak nyalang kepadaku. "Din, kenapa kamu membantah permintaan Astri?"
Aku pun menggeleng. Meski tahu benar bahwa setiap kali Astri melayangkan fitnahan kejam padaku, Mas Aditya pasti tak percaya. Benar saja, kudapati tatapan Mas Aditya penuh ketidaksukaan dan ketidakpuasan."Dinda, kamu kenapa sih jadi begini. Sudah nggak bisa hamil, setidaknya kamu hargain Astri yang sedang hamil anak aku yang artinya anak kamu juga," tekan Mas Aditya kepadaku.
"Hadeuh… aku yakin kamu pasti iri sama aku karena aku bisa hamil anak Mas Aditya, kan?. Sedangkan kamu? Sudah lama jadi istri Mas Aditya, tidak juga kunjung hamil. Dasar produk gagal!" sahut Astri sembari menghina kekuranganku.
Deg!
"Kalian nyakitin aku terus," lirihku, menahan tangis, "Mas, aku ingin pulang. Aku ingin pulang." Hanya itu yang selalu ada di pikiranku.
Aku ingin keluar dari rumah ini. Aku ingin pergi dan menghamburkan diri ke pelukan Abba dan Ummaku di kampung halaman.
Ya Allah, sampai kapan aku terkurung di rumah yang seperti neraka ini?
Kepalaku menggeleng, tak mau.Bugh!
Tiba-tiba kurasakan, kakiku ditendang.
Astri menatapku tajam. "Dasar wanita tidak berguna! Berhentilah jadi gila!" bentaknya.Kurasakan tubuhku gemetar, terlebih kala mendengar Mas Aditya menggebrak meja.
Bayang-bayang pukulannya dua bulan lalu tiba-tiba muncul.“Ampun. Jangan pukul aku! Aku hanya ingin pulang…..” lirihku, pedih, “Aku kangen Umma dan Abbba.”
Otakku terasa kosong dan terus memutar kata-kata itu saja.
"Mas, kurasa Dinda sudah gila! Besok, kita antar saja dia ke rumah sakit jiwa!"
Astri tiba-tiba berkata pada Aditya yang tiba-tiba terdiam.
"Mas, kok kamu diam saja?" Wanita itu tampak menuntut tanggapan suamiku atas sarannya.
"Sayang, sudah! Lebih baik, kita ke kamar saja, kamu istirahat. Tidak baik wanita hamil marah- marah terus, nanti bisa darah tinggi, bahaya buat kamu dan calon anak kita."
"Iya juga sih, Mas. Semua gara- gara wanita ini. Kenapa kamu nggak ceraikan dia saja sih, Mas?"
"Astri, dari awalkan aku sudah bilang. Aku tidak akan pernah menceraikan Dinda," jawab Mas Aditya.
"Nggak berguna juga dia di sini, Mas."
"Setidaknya, kamu nggak sendirian di rumah ketika aku pergi kerja. Lagipula, Dinda ‘kan bisa bantu aku ngurusin kamu dan anak kita nantinya," ujar Mas Aditya membujuk Astri.
"Ya juga sih, tapi aku nggak suka aja liat Dinda di rumah ini," jawabnya.
Keduanya terus berbicara bagaikan aku tak ada di sana.
Rasa sakitku semakin menjadi-jadi.
"Mas, aku mohon, biarkan aku pergi dari sini. Aku nggak akan nuntut semua perbuatan kamu, aku ikhlas. Aku juga nggak akan minta bagian harta. Aku cuma mau pulang ke kampung, Mas …,"ucapku kembali.
Mendengar itu, rahang Mas Aditya tampak mengeras. "Dinda, kamu dengar nggak sih apa yang sering aku katakan? Kamu nggak akan ke mana- mana. Kamu tetap di rumah ini, ngurus rumah, aku dan juga Astri, paham!!" tekan Mas Aditya.
Matanya menatap nyalang ke arahku.
Tiada belas kasihan ataupun cinta sama sekali. Yang ada, kini hanya kemarahan yang memancar dari sana.
"Sayang, kamu masuk kamar duluan, aku mau bicara dulu sama Dinda."
"Bicara apa? Lagian Dinda ini sudah mulai kurang waras, Mas. Liat sendiri kan tadi, dia kayak orang kesurupan begitu."
Mas Aditya menarik napas berat dan menatap dingin ke arah Astri.
"Tolong," ujarnya sambil menatap dalam ke arah Astri. Wanita itu nampaknya paham dan pergi begitu saja dari dapur tanpa suara lagi.
Kini tinggalah aku dan Mas Aditya di ruang tamu ini, dia berjongkok ke arahku yang duduk meringkuk ketakutan.
"Dinda, kamu sudah makan, Sayang?" tanya Mas Aditya padaku. Suaranya lembut.
Aku menunduk, sembari terisak. Aku rindu perhatiannya yang sudah 1 tahun ini menghilang, semenjak Astri memasuki hatinya lagi.
"Mas lihat kamu begitu pucat. Dinda, terimakasih, kamu begitu baik sama mas selama ini. Ayo makan sayang, mas temani," bisiknya sambil meraih tanganku.
Aku spontan menjauh, entah kenapa rasa nya aku takut sekali dengan sentuhan tangannya. Tangan yang selama ini mulai terbiasa menyakiti fisikku.
"Jangan takut," lirihnya.
"Mas nggak akan nyakitin kamu, Din. Kamu nurut ya, kita makan ...."
Aku menggeleng.
"Jangan bantah, oke."
Aku yang semula menunduk, kini menatap ke arahnya.
"Mas, tolong biarkan aku pulang ke kampung," pintaku lagi, memelas menatap ke arahnya, berharap dia iba dan mau mengabulkan keinginanku.
Hanya saja, Mas Aditya justru mengamuk! "Jangan coba- coba, meminta sesuatu yang tidak mungkin aku kabulkan. Kalau kamu terus berniat ingin pulang, akan kukirim beberapa orang, untuk menghabisi kedua orang tuamu di kampung! Apa kamu mau itu?" ancamnya.
Aku kembali menangis.
Tidak kusangka, pernikahan yang sudah berjalan 3 tahun, menjadi hancur kebahagiaannya, ketika Astri si masa lalu, memasuki kehidupan kami.
Dan semua ini, tidak luput dari campur tangan Ibu mertua yang ingin sekali Astri dan Mas Aditya bersatu lagi….
Lelaki yang dulunya baik, perhatian dan penyayang itu, kini berubah jauh, kasar dan tidak segan- segan main fisik padaku.
“Mulai hari ini, jangan harap kamu bisa keluar dari rumah, Dinda!” tekannya lagi.
Tidak berani membantah, malam itu, aku masuk ke dalam kamar yang dulu ditempati pembantu sebelum Astri datang ke hidup aku dan Mas Aditya…
Berdiri di depan cermin kaca, kupandangi tubuh ini.
Tubuh yang dulunya berisi, kini sangat kurus dan mengerikan. Rambutku rusak tidak beraturan lagi.
Aku sungguh bagaikan tengkorak hidup.
***
"Kapan aku bisa keluar dari sini?"
Sejak kejadian itu, Mas Aditya benar- benar mengurungku. Aku bahkan tidak memiliki ponsel lagi karena rusak dihempasnya kala ketahuan ingin menghubungi orang tuaku.
"Dinda, kami pergi dulu, mau periksa kandungan Astri!" ucap Mas Aditya tiba-tiba.
Aku yang duduk di teras rumah hanya mengangguk lemah.
"Ngapain pake ngasih tau dia segala? Dia juga nggak bakal respon apa- apa, bisanya cuma manggut- manggut doang," ujar Astri.
Mas Aditya tidak menanggapi apapun.
Ia hanya membukakan pintu mobil untuk Astri, kemudian membuka pintu gerbang rumah.
Hanya saja, ketika mobil meluncur keluar, aku pun berdiri.
Aku berlari ke arah luar pagar dengan cepat.
‘Aku harus kabur dari rumah ini! Jika terus di sini, aku takut aku benar- benar akan gila ....’
Aku terus berlari. Tak kupedulikan kakiku yang mulai kesakitan.Hanya saja… "Dinda …!" Aku mendengar teriakan Mas Aditya. Sontak aku menoleh dan menemukan bahwa mobil Mas Aditya ternyata berhenti di depan! Aku lantas berlari melawan arah, sambil memperhatikan Mas Aditya kembali masuk ke dalam mobil. "Ya Allah, dia pasti mengejarku." Aku berlari sekuat tenaga, meski seluruh tubuhku bergemetar hebat melawan rasa takut dan panik yang melanda hebat. "Dinda!" Terdengar teriakan Mas Aditya, disusul suara klakson mobilnya. "Umma, Abba… Tolong Dinda!” lirihku. “Tolong!" Aku pun berteriak sepanjang jalan, berharap orang disekitar pun menolongku. Tampaknya, beberapa orang yang naik motor mulai berhenti ke pinggir jalan. "Ada apa, ada apa?" tanya mereka. Sayangnya, aku tidak berani menghentikan kakiku dan hanya terus mengucapkan kata tolong dengan ketakutan. Orang- orang itu menjadi nampak bingung karena aku yang ketakutan. "Tolong bantu tangkap dia, Pak. Itu istri saya, dia seten
Matanya membulat seketika…. karena Astri mendadak menghalanginya! "Pulang sana!!" teriaknya di depan Iren seketika."Ini kenapa sih? Aku cuma mau lihat Dinda dari dekat," ujar sahabatku nampak kesal pada Astri yang menghalangi langkahnya."Dasar nggak sopan! Kamu nggak diterima lagi di rumah ini. Sana keluar," bentak Astri dengan keras."Din, ini kenapa sih? Kamu kenapa diam aja?" teriak Iren ke arahku. Hanya saja, aku tidak berani bersuara karena merasakan Mas Aditya yang kini melayangkan tatapan penuh ancaman padaku."Keluar atau aku akan teriaki kamu maling!" ancam Astri, membuat Iren mendengkus kesal.Aku hanya bisa memandangi Iren dengan sedih.Namun diam-diam, aku berharap dia bisa membaca situasiku saat ini. Aku yakin Iren wanita cerdas. Dia tidak mungkin tidak curiga dengan keadaanku."Oke, aku akan pergi. Tapi ingat, aku nggak akan tinggal diam, kalau Dinda kenapa- kenapa! Aku akan bikin perhitungan sama kalian, terutama kamu, Aditya," tunjuk Iren, dengan tatapan marah pad
"Tapi, aku takut, Ren." Iren tampak mendengus. "Apa sih, Din? Takut apalagi? Kamu mau dijadikan samsak dan babu gratisan seumur hidup?” “Lihat badan kamu, Din. Kamu kurus sekali, nggak karuan lagi penampilan kamu itu. Padahal dulu kamu tidak seperti ini.” Tunjuknya kesal. “maaf aja, Din. Aku emang blak-blakan begini." "Inget, orangtuamu, besarin kamu capek-capek, sampai memeras keringat dan air mata. Terus, dia ngambil kamu dari mereka untuk disiksa? Bodoh banget kalau kamu diam aja," lanjutnya terus mengomel. "Setidaknya, kalau mereka mengurungmu, kamu harus kasih mereka semua racun. Biar selesai semuanya." Mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu, aku memegangi teralis jendela sambil menangis. "Ren, maaf." "Aku nggak butuh maaf kamu, Din. Tolong beranikan diri kamu untuk melawan! Kita harus balas mereka. Tapi, kita kumpulkan semua bukti dulu sebelum menyeret mereka ke penjara," ujar Iren, berusaha meyakinkan aku. Wanita itu kini tampak memainkan ponselnya, sementara aku
“Dinda!”Belum sempat aku berjalan menuju dapur, Mas Aditya lagi-lagi berteriak. Ternyata, dia memintaku membuatkannya minuman teh hangat.Pikiran tidak waras kembali membisik. Aku tersenyum dan dengan gembira membuatkannya “minuman spesial”.Setelah selesai, kubawa naik menuju lantai dua dan memasuki kamarnya. Namun, Mas Aditya tidak ada di dalam kamar.Hanya saja kudengar suara guyuran air yang berasal dari kamar mandi. Mendengar itu, secepat kilat kuletakkan minumannya di atas bupet, kemudian aku berlari keluar kamar menuju dapur.Kuambil bubuk gatal tadi sesuai rencana dan aku berlari lagi menaiki lantai dua."Mampus," batinku sambil membuka lemarinya dengan pelan dan menabur bubuk gatal itu dengan pelan ke celana dalamnya Mas Aditya dan juga Astri."Maaf, aku nggak akan lakuin ini. Tapi, Iren benar. Kalian semua sudah terlalu jahat sama aku," gumamku dan bergegas kembali menutup semua dengan rapi. Setelah selesai meletakkan tas baju mereka di dekat pintu utama yang selalu te
"Aku mau ngambil tas Ibu," jawabku kemudian meraih tas- tas yang tergelatak di lantai, tepat di dekatnya. Panik sekali wajahnya tadi! Tenang, Mas! Sekarang, aku justru tidak akan keluar dari pintu rumah ini sebelum memastikan kamu, Astri, dan ibumu mendapat balasan atas penyiksaanku. Kuperhatikan Mas Aditya hanya bisa terdiam. Bahkan, saat aku berjalan menuju tangga ke lantai dua. Di sana tersedia kamar khusus untuk Ibu yang terletak di samping kamar Mas Aditya. Saat berjalan ke arah sana, aku sempat melewati kamar Mas Aditya yang nampak terbuka. Tampak Ibu dan Astri yang sedang menggendong bayinya. Ingin sekali aku ke sana, melihat rupa bayi mereka. Sayangnya, mereka pasti akan mengusirku. Jadi, kuputuskan masuk ke kamar Ibu mertua, kemudian menyusun baju pakaiannya di lemari yang memang selalu aku lakukan ketika Nyonya Besar itu datang untuk menginap. Tapi jika dulu aku penuh kasih dan kesabaran, tidak dengan sekarang. Aku tersenyum ketika mengeluarkan bubuk gatal itu dar
"Cepat bikin sarapan!" titah Ibu mertua tiba-tiba. Aku pun langsung berdiri dan mengusap air mataku. Meskipun rasa sakit masih begitu terasa di seluruh tubuh, aku tetap berusaha waras. Aku tidak boleh panik ketakutan lagi! "Eh mau ke mana?" cegah Astri ketika aku berniat melangkah ke dapur. "Itu anak gue masih nangis parah di kamar! Tuli, ya?" lanjutnya dengan mata melotot. "Terus yang buat sarapan siapa?" tanyaku pelan. "Ya tetap kamu! Bawa tuh bayi," ujarnya. Aku mengernyit. Masa aku bawa bayinya sambil masak? "Sayang, kamu urus dulu bayi kita. Biar Dinda bikin sarapan," bujuk Mas Aditya pada Astri. Sepertinya, dia berpikiran yang sama denganku. "Ih aku nggak mau! Aku capek! Aku melahirkan dia aja mau mati. Kamu aja yang urusin, aku nggak mau," jawab Astri sambil berlalu ke arah luar rumah. Hah?! "Astaga, Aditya! Istri kamu kok gitu? ‘Nggak mau ngurusin anak kalian sama sekali," celetuk Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala. Mas Aditya tampak menghela napas. "Udah, ur
"Ya Allah, Iren mana lagi!" gumamku sambil terus berjalan cepat.Satu tanganku masih sibuk menghubungi Iren. Namun, tidak kunjung ada jawaban juga. Ya Allah, habislah aku kalau sampai tertangkap lagi. "Please, angkat Ren, angkat!" lirihku. "Woy, Dinda ...." Terdengar suara teriakkan Astri, membuatku sangat panik. "Penculik... penculik, tolong!" teriak ibu mertua. Aku mempercepat langkah, berusaha tetap tenang, meskipun terlihat di belakang sana, Astri dan Ibu mertua mulai berlari mengejarku. Aku semakin panik luar biasa, ketika orang yang berada disekitaran komplek mulai mengalihkan perhatiannya padaku, ketika terdengar suara Ibu mertua dan Astri yang meneriaki aku penculik. Aku mulai berlari, ketika ada beberapa orang yang mulai ikut berteriak, memintaku untuk berhenti. Tiba- tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku. Pintu belakang langsung terbuka, nampak sosok lelaki berbaju hitam, dengan rambut gondrong bersuara. "Cepat masuk!" titahnya. Aku sempat meragu, tapi m
Mendengar panggilan Bonang yang nampak terdengar panik. Iren dan aku pun langsung berdiri menuju keluar kamar.Kulirik sejenak Bayi mungil itu, dia nampak tertidur lelap, pasti sangat lelah baginya menempuh perjalanan jauh untuk pertama kalinya."Kenapa sih si Bonang," gerutu Iren sambil berjalan cepat, dan aku pun ikut menyusul."Kenapa, Nang?" tanya Iren. "Bu, kata Alfi, Aditya menyebarkan beberapa orang, untuk mencari keberadaan bu Dinda," jelas Bonang, membuatku menjadi panik ketakutan."Aduh," lirihku."Tenang- tenang," pinta Iren kepadaku. Aku sangat gelisah, mendengar laporan Bonang."Aku sih sudah yakin ini bakal terjadi. Kamu sebar anak buahmu, untuk mengawasi Aditya, juga orang- orang suruhannya, jangan sampai lengah, oke!" titah Iren kepada Bonang, yang dijawab Bonang dengan anggukan. Kemudian Bonang pun pergi, Iren mengajakku masuk ke dalam."Ren, apa aku pergi saja dari sini ya. Aku nggak enak, Ren. Aku nyusahin kamu jadinya," ungkapku.Iren yang semula berjalan, mendad