Share

Berubahnya Istri yang Nyaris Kau Buat Gila
Berubahnya Istri yang Nyaris Kau Buat Gila
Author: Rias Ardani

Bab 1. Istri Pertama Rasa Pembantu

Plak!

"Sudah syukur kamu tidak aku ceraikan, Dinda! Lagipula, apa susahnya melayani adik madumu yang sedang hamil tua? Hitung-hitung itu bakti kamu kepada suami!" 

Aku meringis, menahan rasa sakit dan panas di pipi akibat tamparan suamiku itu.

Sepertinya, nyaris setiap hari aku mendapatkannya sejak dia menikah kedua kalinya dengan mantan kekasihnya itu. 

Aku hendak membalas ucapannya. 

Sayangnya, istri kedua suamiku tiba-tiba menimpali."Tahu tuh Mas. Kenapa Dinda malas sekali, ya? Padahal, aku cuma minta pijitin kaki.” 

“Mas lihat sendiri kan, kaki aku mulai bengkak?" 

Setelahnya, wanita itu menunjukkan kakinya yang memang agak besar karena sudah mendekati HPL. 

Tatapan Mas Aditya sontak nyalang kepadaku. "Din, kenapa kamu membantah permintaan Astri?" 

Aku pun menggeleng. Meski tahu benar bahwa setiap kali Astri melayangkan fitnahan kejam padaku, Mas Aditya pasti tak percaya. 

Benar saja, kudapati tatapan Mas Aditya penuh ketidaksukaan dan ketidakpuasan. 

"Dinda, kamu kenapa sih jadi begini. Sudah nggak bisa hamil, setidaknya kamu hargain Astri yang sedang hamil anak aku yang artinya anak kamu juga," tekan Mas Aditya kepadaku.

"Hadeuh… aku yakin kamu  pasti iri sama aku karena aku bisa hamil anak Mas Aditya, kan?. Sedangkan kamu? Sudah lama jadi istri Mas Aditya, tidak juga kunjung hamil. Dasar produk gagal!" sahut Astri sembari menghina kekuranganku.

Deg!

"Kalian nyakitin aku terus," lirihku, menahan tangis, "Mas, aku ingin pulang. Aku ingin pulang." Hanya itu yang selalu ada di pikiranku. 

Aku ingin keluar dari rumah ini. Aku ingin pergi dan menghamburkan diri ke pelukan Abba dan Ummaku di kampung halaman.

Ya Allah, sampai kapan aku terkurung di rumah yang seperti neraka ini?

Kepalaku menggeleng, tak mau.

Bugh!

Tiba-tiba kurasakan, kakiku ditendang.

Astri menatapku tajam. "Dasar wanita tidak berguna! Berhentilah jadi gila!" bentaknya.

 Kurasakan tubuhku gemetar, terlebih kala mendengar Mas Aditya menggebrak meja.

Bayang-bayang pukulannya dua bulan lalu tiba-tiba muncul.

“Ampun. Jangan pukul aku! Aku hanya ingin pulang…..” lirihku, pedih, “Aku kangen Umma dan Abbba.”

Otakku terasa kosong dan terus memutar kata-kata itu saja.

"Mas, kurasa Dinda sudah gila! Besok, kita antar saja dia ke rumah sakit jiwa!" 

Astri tiba-tiba berkata pada Aditya yang tiba-tiba terdiam.  

"Mas, kok kamu diam saja?" Wanita itu tampak menuntut tanggapan suamiku atas sarannya.

"Sayang, sudah! Lebih baik, kita ke kamar saja, kamu istirahat. Tidak baik wanita hamil marah- marah terus, nanti bisa darah tinggi, bahaya buat kamu dan calon anak kita."

"Iya juga sih, Mas. Semua gara- gara wanita ini. Kenapa kamu nggak ceraikan dia saja sih, Mas?"

"Astri, dari awalkan aku sudah bilang. Aku tidak akan pernah menceraikan Dinda," jawab Mas Aditya.

"Nggak berguna juga dia di sini, Mas."

"Setidaknya, kamu nggak sendirian di rumah ketika aku pergi kerja. Lagipula, Dinda ‘kan bisa bantu aku ngurusin kamu dan anak kita nantinya," ujar Mas Aditya membujuk Astri.

"Ya juga sih, tapi aku nggak suka aja liat Dinda di rumah ini," jawabnya.

Keduanya terus berbicara bagaikan aku tak ada di sana.

Rasa sakitku semakin menjadi-jadi.

"Mas, aku mohon, biarkan aku pergi dari sini. Aku nggak akan nuntut semua perbuatan kamu, aku ikhlas. Aku juga nggak akan minta bagian harta. Aku cuma mau pulang ke kampung, Mas …,"ucapku kembali.

Mendengar itu, rahang Mas Aditya tampak mengeras. "Dinda, kamu dengar nggak sih apa yang sering aku katakan? Kamu nggak akan ke mana- mana. Kamu tetap di rumah ini, ngurus rumah, aku dan juga Astri, paham!!" tekan Mas Aditya.

Matanya menatap nyalang ke arahku. 

Tiada belas kasihan ataupun cinta sama sekali. Yang ada, kini hanya kemarahan yang memancar dari sana.

"Sayang, kamu masuk kamar duluan, aku mau bicara dulu sama Dinda."

"Bicara apa? Lagian Dinda ini sudah mulai kurang waras, Mas. Liat sendiri kan tadi, dia kayak orang kesurupan begitu."

Mas Aditya menarik napas berat dan menatap dingin ke arah Astri.

"Tolong," ujarnya sambil menatap dalam ke arah Astri. Wanita itu nampaknya paham dan pergi begitu saja dari dapur tanpa suara lagi.

Kini tinggalah aku dan Mas Aditya di ruang tamu ini, dia berjongkok ke arahku yang duduk meringkuk ketakutan.

"Dinda, kamu sudah makan, Sayang?" tanya Mas Aditya padaku. Suaranya lembut.

Aku menunduk, sembari terisak. Aku rindu perhatiannya yang sudah 1 tahun ini menghilang, semenjak Astri memasuki hatinya lagi.

"Mas lihat kamu begitu pucat. Dinda, terimakasih, kamu begitu baik sama mas selama ini. Ayo makan sayang, mas temani," bisiknya sambil meraih tanganku.

Aku spontan menjauh, entah kenapa rasa nya aku takut sekali dengan sentuhan tangannya. Tangan yang selama ini mulai terbiasa menyakiti fisikku.

"Jangan takut," lirihnya.

"Mas nggak akan nyakitin kamu, Din. Kamu nurut ya, kita makan ...."

Aku menggeleng.

"Jangan bantah, oke."

Aku yang semula menunduk, kini menatap ke arahnya.

"Mas, tolong biarkan aku pulang ke kampung," pintaku lagi, memelas menatap ke arahnya, berharap dia iba dan mau mengabulkan keinginanku.

Hanya saja, Mas Aditya justru mengamuk! "Jangan coba- coba, meminta sesuatu yang tidak mungkin aku kabulkan. Kalau kamu terus berniat ingin pulang, akan kukirim beberapa orang, untuk menghabisi kedua orang tuamu di kampung! Apa kamu mau itu?" ancamnya.

Aku kembali menangis. 

Tidak kusangka, pernikahan yang sudah berjalan 3 tahun, menjadi hancur kebahagiaannya, ketika Astri si masa lalu, memasuki kehidupan kami.

Dan semua ini, tidak luput dari campur tangan Ibu mertua yang ingin sekali Astri dan Mas Aditya bersatu lagi….

Lelaki yang dulunya baik, perhatian dan penyayang itu, kini berubah jauh, kasar dan tidak segan- segan main fisik padaku.

“Mulai hari ini, jangan harap kamu bisa keluar dari rumah, Dinda!” tekannya lagi.

Tidak berani membantah, malam itu, aku masuk ke dalam kamar yang dulu ditempati pembantu sebelum Astri datang ke hidup aku dan Mas Aditya… 

Berdiri di depan cermin kaca, kupandangi tubuh ini. 

Tubuh yang dulunya berisi, kini sangat kurus dan mengerikan. Rambutku rusak tidak beraturan lagi.

Aku sungguh bagaikan tengkorak hidup. 

***

"Kapan aku bisa keluar dari sini?" 

Sejak kejadian itu, Mas Aditya benar- benar mengurungku. Aku bahkan tidak memiliki ponsel lagi karena rusak dihempasnya kala ketahuan ingin menghubungi orang tuaku. 

"Dinda, kami pergi dulu, mau periksa kandungan Astri!" ucap Mas Aditya tiba-tiba. 

Aku yang duduk di teras rumah hanya mengangguk lemah.

"Ngapain pake ngasih tau dia segala? Dia juga nggak bakal respon apa- apa, bisanya cuma manggut- manggut doang," ujar Astri.

Mas Aditya tidak menanggapi apapun. 

Ia hanya membukakan pintu mobil untuk Astri, kemudian membuka pintu gerbang rumah. 

Hanya saja, ketika mobil meluncur keluar, aku pun berdiri.

Aku berlari ke arah luar pagar dengan cepat. 

‘Aku harus kabur dari rumah ini! Jika terus di sini, aku takut aku benar- benar akan gila ....’

Comments (2)
goodnovel comment avatar
for you
emang ini hidup di hutan atau di pulau terpecil gitu sampai sampai ga bisa kabur dan memilih jadi gila
goodnovel comment avatar
cahayaituaku20
deg degan sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status