Share

Bab 3. Meyakinkan

Matanya membulat seketika…. karena Astri mendadak menghalanginya! 

"Pulang sana!!" teriaknya di depan Iren seketika.

"Ini kenapa sih? Aku cuma mau lihat Dinda dari dekat," ujar sahabatku nampak kesal pada Astri yang menghalangi langkahnya.

"Dasar nggak sopan! Kamu nggak diterima lagi di rumah ini. Sana keluar," bentak Astri dengan keras.

"Din, ini kenapa sih? Kamu kenapa diam aja?" teriak Iren ke arahku. 

Hanya saja, aku tidak berani bersuara karena merasakan Mas Aditya yang kini melayangkan tatapan penuh ancaman padaku.

"Keluar atau aku akan teriaki kamu maling!" ancam Astri, membuat Iren mendengkus kesal.

Aku hanya bisa memandangi Iren dengan sedih.

Namun diam-diam, aku berharap dia bisa membaca situasiku saat ini. 

Aku yakin Iren wanita cerdas. Dia tidak mungkin tidak curiga dengan keadaanku.

"Oke, aku akan pergi. Tapi ingat, aku nggak akan tinggal diam, kalau Dinda kenapa- kenapa! Aku akan bikin perhitungan sama kalian, terutama kamu, Aditya," tunjuk Iren, dengan tatapan marah pada Mas Aditya.

"Mencurigakan sekali," gumam Iren sambil balik arah.

"Sana pergi, dasar gak tau malu, masuk rumah orang tanpa permisi," teriak Astri, mengikuti langkah Iren yang pergi meninggalkan rumah.

Astri menyusul keluar, sedangkan Mas Aditya kini berjongkok ke arahku yang masih duduk di dekat kolam.

"Hebat kamu, ya! Kok bisa-bisanya kamu membuat aku malu di depan warga? Kamu juga nyaris permalukan aku di depan Iren," ujar Mas Aditya, menatap marah ke arahku.

"Seumur hidup, kamu akan terkurung di rumah ini. Jangan berharap bahwa aku akan berbaik hati lagi. Selamanya, kamu tidak akan pernah bisa melihat kedua orang tuamu lagi, Dinda," lanjutnya sambil mendorong kepalaku dengan jarinya.

Aku tidak bersuara sama sekali. 

Hanya bisa terdiam dan mencoba menenangkan hati yang lagi-lagi kecewa dengan keadaan dan takdir diri.

Mas Aditya menyeret langkah ke dalam rumah, setelah puas mengancam dan memarahiku.

"Aditya, Aditya ...." 

Di tengah keheningan, terdengar suara Ibu mertuaku.

Beliau datang ke rumah ini, aku bahkan belum sempat bangkit dari dudukku, bahkan seluruh pakaian yang aku kenakan masih basah. 

"Bu, sudahlah, sudah ...." terdengar suara Mas Aditya, serta beberapa langkah kaki menuju belakang rumah, aku langsung berdiri dan berlari tidak jelas.

"Tolong, tolong ...." aku panik dan terus mengucap kata tolong.

"Wanita gila, sini kamu!!" teriak Ibu mertua yang kini membawa sapu di tangannya.

"Gara- gara kamu, saya menjadi malu! Group arisan mendadak heboh, membicarakan ulah kamu. Bahkan ada yang sampai telepon saya, mengatakan saya punya menantu gila! Benar- benar memalukan," hardiknya padaku.

Wajahnya begitu merah, dia sangat emosi padaku.

Aku yakin, dia berniat memukuliku saat ini. Ya Allah, aku nggak mau dipukuli lagi, sakit.

"Ibu sudah, jangan begini," pinta Mas Aditya, berusaha menenangkan ibunya.

Sayangnya, wanita tua itu tidak peduli apapun ucapan Mas Aditya.

Dia  malah sibuk mengejarku. 

Hal ini jelas membuatku terus berlari dengan panik hingga menabrak Astri yang tiba-tiba muncul di depan pintu belakang rumah.

Bugh!

Tanpa sengaja, aku mendorong tubuh Astri, hingga wanita yang tengah hamil tua itu pun tersungkur jatuh bersamaku.

"Akkkhhhh, sakit ...." 

Astri berteriak histeris kesakitan.

Melihat itu, Ibu mertua memekik, begitu juga Mas Aditya.

"Ya ampun, Astri ...." 

Seketika cairah bening keluar dari dress yang Astri kenakan.

"Aditya, ketuban Astri pecah itu!" pekik Ibu mertua lagi, semakin panik.

"Astagfirullah," ucap Mas Aditya langsung menggendong Astri yang terus merintih kesakitan.

Melihat mereka semua panik, aku semakin ketakutan.

"Semua gara- gara kamu! Awas saja sampai Astri dan calon cucuku kenapa- kenapa, aku nggak segan- segan menyiksa kamu," ancam Ibu mertua, sambil berdiri mengikuti langkah Mas Aditya yang menggendong Astri.

"Bu, kunci pintu rumah," titah Mas Aditya ketika membawa Astri masuk ke dalam mobil.

Klik!

Terdengar pintu rumah dikunci, aku berjalan pelan, memandangi mobil Mas Aditya, yang meninggalkan halaman rumah.

Aku menatap gerbang rumah yang tidak dikunci itu. Tapi sayangnya, aku tidak bisa keluar dari rumah ini.

"Ya Allah, begitu banyak kejadian hari ini. Entah bagaimana nasibku setelah ini, kuharap Astri dan calon anak mereka baik- baik saja," lirihku berdoa, berharap Allah menolong mereka.

Setengah jam berlalu, aku merenungi diri di depan jendela samping pintu.

Tiba- tiba, kudengar gerbang rumahku terbuka. 

Tampak sosok wanita bergerak masuk dengan langkah cepat.

"Iren?" gumamku. 

Aku mempertajam pandangan ke arahnya, untuk memastikan bahwa aku tidak salah lihat.

Langkahnya semakin cepat, menaiki teras depan rumahku.

"Ren!" panggilku. 

Wanita itu langsung menoleh ke arahku berdiri di balik kaca jendela.

"Dinda, buka pintunya! Kita harus bicara!!" pintanya sembari memindai sekeliling rumah.

"Dikunci dari luar, Ren. Aku nggak bisa keluar."

"Loh, apa yang terjadi sih, Din? Cerita sama aku, aku pasti bakal bantuin kamu. Aku sampe nyuruh anak buah aku, memantau rumah kamu 24 jam. Makanya pas dapat laporan dari mereka bahwa Aditya keluar, aku langsung menyusup ke sini," jelas Iren panjang lebar.

"Panjang ceritanya, Ren. Wanita hamil tadi adalah istri kedua Mas Aditya, Ren. Aku sering dia fitnah, sampai- sampai Mas Aditya main fisik sama aku, Ren."

"Apa? Main fisik? Kamu dipukuli, Din?"

"Iya, Ren."

"Kok kamu mau sih, Din? Bodoh kamu! Sudah dimadu gitu, dipukuli tetap mau," ujar Iren dengan wajah kesal.

Meski demikian, aku tahu itu karena dia khawatir padaku.

"Aku nggak berdaya melawannya, Ren. Aku nggak bisa pergi dari rumah terkutuk ini. Ponsel aku dirusak. Tidak ada siapapun yang bisa ketemu aku di rumah ini. Bahkan, aku tidak bisa keluar rumah walau sekedar menghirup udara di luar sana.” 

“Mas Aditya mengurungku, dan selalu mengancam aku, Ren," aduku pada akhirnya.

Kulihat tangan wanita itu mengepal. "Kurang ajar betul laki- laki itu. Nggak bisa dibiarin, kita harus balas mereka, Din."

"Nggak usah, Ren. Aku takut, aku cuma ingin bebas dari sini, aku nggak mau ada masalah."

"Apalagi yang kamu takutkan? Takut dipukuli? Kalau diam saja, kamu akan terus dipukuli! Tidak ada salahnya kamu melawan, Din,” nasehatnya, “jangan lemah! Kamu itu sahabat Iren Darmawangsa. Jadi,  haram hukumnya untuk ditindas sesama manusia.” 

“Balas. Titik."

Mendengar ucapan keras Iren, aku terdiam.

Aku tahu tabiat sahabatku itu seperti apa. 

Dia bukan orang yang main-main dengan ucapannya. 

Jika Mas Aditya bertindak gila, Iren bisa lebih gila lagi. Apalagi, keluarga Iren bukan orang sembarangan.

Tentu saja, Iren tidak pernah takut pada apapun. Makanya, Mas Aditya tadi panik.

Aku menghela napas panjang. "Tapi, aku tidak ingin kita berurusan dengan hukum, Ren. Kamu tau kan, Mas Aditya pandai bersilat lidah? Bisa-bisa, aku yang akan semakin dalam masalah."

"Kamu kebanyakan takutnya, Din! Sekarang, semakin kamu ngalah, maka kamu akan diinjak! Mau begitu terus?"

Aku terdiam. 

Benar apa kata Iren. Aku terlalu takut untuk melawan.

Hanya saja, aku teringat kejadian tadi. "Lalu, aku harus melakukan apa, Ren? Wanita tadi ketubannya pecah gara-gara aku,” ucapku jujur, “aku takut dia dan anaknya tidak selamat. Bisa-bisa, Ibu mertua dan Mas Aditya menyiksa aku."

Iren hanya mengangguk. "Tenang! Serahkan sama aku! Kamu cukup ikuti arahan saja supaya lelaki sialan itu  membusuk di penjara.” 

“Tapi sebelum itu terjadi, kita harus menghukumnya," ujar Iren sambil mengepalkan tangannya penuh kemarahan. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
for you
ada orang sebodoh itu ya di hajar tiap hari mau saja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status