Matanya membulat seketika…. karena Astri mendadak menghalanginya!
"Pulang sana!!" teriaknya di depan Iren seketika.
"Ini kenapa sih? Aku cuma mau lihat Dinda dari dekat," ujar sahabatku nampak kesal pada Astri yang menghalangi langkahnya.
"Dasar nggak sopan! Kamu nggak diterima lagi di rumah ini. Sana keluar," bentak Astri dengan keras.
"Din, ini kenapa sih? Kamu kenapa diam aja?" teriak Iren ke arahku.
Hanya saja, aku tidak berani bersuara karena merasakan Mas Aditya yang kini melayangkan tatapan penuh ancaman padaku.
"Keluar atau aku akan teriaki kamu maling!" ancam Astri, membuat Iren mendengkus kesal.
Aku hanya bisa memandangi Iren dengan sedih.
Namun diam-diam, aku berharap dia bisa membaca situasiku saat ini.
Aku yakin Iren wanita cerdas. Dia tidak mungkin tidak curiga dengan keadaanku.
"Oke, aku akan pergi. Tapi ingat, aku nggak akan tinggal diam, kalau Dinda kenapa- kenapa! Aku akan bikin perhitungan sama kalian, terutama kamu, Aditya," tunjuk Iren, dengan tatapan marah pada Mas Aditya.
"Mencurigakan sekali," gumam Iren sambil balik arah.
"Sana pergi, dasar gak tau malu, masuk rumah orang tanpa permisi," teriak Astri, mengikuti langkah Iren yang pergi meninggalkan rumah.
Astri menyusul keluar, sedangkan Mas Aditya kini berjongkok ke arahku yang masih duduk di dekat kolam.
"Hebat kamu, ya! Kok bisa-bisanya kamu membuat aku malu di depan warga? Kamu juga nyaris permalukan aku di depan Iren," ujar Mas Aditya, menatap marah ke arahku.
"Seumur hidup, kamu akan terkurung di rumah ini. Jangan berharap bahwa aku akan berbaik hati lagi. Selamanya, kamu tidak akan pernah bisa melihat kedua orang tuamu lagi, Dinda," lanjutnya sambil mendorong kepalaku dengan jarinya.
Aku tidak bersuara sama sekali.
Hanya bisa terdiam dan mencoba menenangkan hati yang lagi-lagi kecewa dengan keadaan dan takdir diri.
Mas Aditya menyeret langkah ke dalam rumah, setelah puas mengancam dan memarahiku.
"Aditya, Aditya ...."
Di tengah keheningan, terdengar suara Ibu mertuaku.
Beliau datang ke rumah ini, aku bahkan belum sempat bangkit dari dudukku, bahkan seluruh pakaian yang aku kenakan masih basah.
"Bu, sudahlah, sudah ...." terdengar suara Mas Aditya, serta beberapa langkah kaki menuju belakang rumah, aku langsung berdiri dan berlari tidak jelas.
"Tolong, tolong ...." aku panik dan terus mengucap kata tolong.
"Wanita gila, sini kamu!!" teriak Ibu mertua yang kini membawa sapu di tangannya.
"Gara- gara kamu, saya menjadi malu! Group arisan mendadak heboh, membicarakan ulah kamu. Bahkan ada yang sampai telepon saya, mengatakan saya punya menantu gila! Benar- benar memalukan," hardiknya padaku.
Wajahnya begitu merah, dia sangat emosi padaku.
Aku yakin, dia berniat memukuliku saat ini. Ya Allah, aku nggak mau dipukuli lagi, sakit.
"Ibu sudah, jangan begini," pinta Mas Aditya, berusaha menenangkan ibunya.
Sayangnya, wanita tua itu tidak peduli apapun ucapan Mas Aditya.
Dia malah sibuk mengejarku.
Hal ini jelas membuatku terus berlari dengan panik hingga menabrak Astri yang tiba-tiba muncul di depan pintu belakang rumah.
Bugh!
Tanpa sengaja, aku mendorong tubuh Astri, hingga wanita yang tengah hamil tua itu pun tersungkur jatuh bersamaku.
"Akkkhhhh, sakit ...."
Astri berteriak histeris kesakitan.
Melihat itu, Ibu mertua memekik, begitu juga Mas Aditya.
"Ya ampun, Astri ...."
Seketika cairah bening keluar dari dress yang Astri kenakan.
"Aditya, ketuban Astri pecah itu!" pekik Ibu mertua lagi, semakin panik.
"Astagfirullah," ucap Mas Aditya langsung menggendong Astri yang terus merintih kesakitan.
Melihat mereka semua panik, aku semakin ketakutan.
"Semua gara- gara kamu! Awas saja sampai Astri dan calon cucuku kenapa- kenapa, aku nggak segan- segan menyiksa kamu," ancam Ibu mertua, sambil berdiri mengikuti langkah Mas Aditya yang menggendong Astri.
"Bu, kunci pintu rumah," titah Mas Aditya ketika membawa Astri masuk ke dalam mobil.
Klik!
Terdengar pintu rumah dikunci, aku berjalan pelan, memandangi mobil Mas Aditya, yang meninggalkan halaman rumah.
Aku menatap gerbang rumah yang tidak dikunci itu. Tapi sayangnya, aku tidak bisa keluar dari rumah ini.
"Ya Allah, begitu banyak kejadian hari ini. Entah bagaimana nasibku setelah ini, kuharap Astri dan calon anak mereka baik- baik saja," lirihku berdoa, berharap Allah menolong mereka.
Setengah jam berlalu, aku merenungi diri di depan jendela samping pintu.
Tiba- tiba, kudengar gerbang rumahku terbuka.
Tampak sosok wanita bergerak masuk dengan langkah cepat.
"Iren?" gumamku.
Aku mempertajam pandangan ke arahnya, untuk memastikan bahwa aku tidak salah lihat.
Langkahnya semakin cepat, menaiki teras depan rumahku.
"Ren!" panggilku.
Wanita itu langsung menoleh ke arahku berdiri di balik kaca jendela.
"Dinda, buka pintunya! Kita harus bicara!!" pintanya sembari memindai sekeliling rumah.
"Dikunci dari luar, Ren. Aku nggak bisa keluar."
"Loh, apa yang terjadi sih, Din? Cerita sama aku, aku pasti bakal bantuin kamu. Aku sampe nyuruh anak buah aku, memantau rumah kamu 24 jam. Makanya pas dapat laporan dari mereka bahwa Aditya keluar, aku langsung menyusup ke sini," jelas Iren panjang lebar.
"Panjang ceritanya, Ren. Wanita hamil tadi adalah istri kedua Mas Aditya, Ren. Aku sering dia fitnah, sampai- sampai Mas Aditya main fisik sama aku, Ren."
"Apa? Main fisik? Kamu dipukuli, Din?"
"Iya, Ren."
"Kok kamu mau sih, Din? Bodoh kamu! Sudah dimadu gitu, dipukuli tetap mau," ujar Iren dengan wajah kesal.
Meski demikian, aku tahu itu karena dia khawatir padaku.
"Aku nggak berdaya melawannya, Ren. Aku nggak bisa pergi dari rumah terkutuk ini. Ponsel aku dirusak. Tidak ada siapapun yang bisa ketemu aku di rumah ini. Bahkan, aku tidak bisa keluar rumah walau sekedar menghirup udara di luar sana.”
“Mas Aditya mengurungku, dan selalu mengancam aku, Ren," aduku pada akhirnya.
Kulihat tangan wanita itu mengepal. "Kurang ajar betul laki- laki itu. Nggak bisa dibiarin, kita harus balas mereka, Din."
"Nggak usah, Ren. Aku takut, aku cuma ingin bebas dari sini, aku nggak mau ada masalah."
"Apalagi yang kamu takutkan? Takut dipukuli? Kalau diam saja, kamu akan terus dipukuli! Tidak ada salahnya kamu melawan, Din,” nasehatnya, “jangan lemah! Kamu itu sahabat Iren Darmawangsa. Jadi, haram hukumnya untuk ditindas sesama manusia.”
“Balas. Titik."
Mendengar ucapan keras Iren, aku terdiam.
Aku tahu tabiat sahabatku itu seperti apa.
Dia bukan orang yang main-main dengan ucapannya.
Jika Mas Aditya bertindak gila, Iren bisa lebih gila lagi. Apalagi, keluarga Iren bukan orang sembarangan.
Tentu saja, Iren tidak pernah takut pada apapun. Makanya, Mas Aditya tadi panik.
Aku menghela napas panjang. "Tapi, aku tidak ingin kita berurusan dengan hukum, Ren. Kamu tau kan, Mas Aditya pandai bersilat lidah? Bisa-bisa, aku yang akan semakin dalam masalah."
"Kamu kebanyakan takutnya, Din! Sekarang, semakin kamu ngalah, maka kamu akan diinjak! Mau begitu terus?"
Aku terdiam.
Benar apa kata Iren. Aku terlalu takut untuk melawan.
Hanya saja, aku teringat kejadian tadi. "Lalu, aku harus melakukan apa, Ren? Wanita tadi ketubannya pecah gara-gara aku,” ucapku jujur, “aku takut dia dan anaknya tidak selamat. Bisa-bisa, Ibu mertua dan Mas Aditya menyiksa aku."
Iren hanya mengangguk. "Tenang! Serahkan sama aku! Kamu cukup ikuti arahan saja supaya lelaki sialan itu membusuk di penjara.”
“Tapi sebelum itu terjadi, kita harus menghukumnya," ujar Iren sambil mengepalkan tangannya penuh kemarahan.
"Tapi, aku takut, Ren." Iren tampak mendengus. "Apa sih, Din? Takut apalagi? Kamu mau dijadikan samsak dan babu gratisan seumur hidup?” “Lihat badan kamu, Din. Kamu kurus sekali, nggak karuan lagi penampilan kamu itu. Padahal dulu kamu tidak seperti ini.” Tunjuknya kesal. “maaf aja, Din. Aku emang blak-blakan begini." "Inget, orangtuamu, besarin kamu capek-capek, sampai memeras keringat dan air mata. Terus, dia ngambil kamu dari mereka untuk disiksa? Bodoh banget kalau kamu diam aja," lanjutnya terus mengomel. "Setidaknya, kalau mereka mengurungmu, kamu harus kasih mereka semua racun. Biar selesai semuanya." Mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu, aku memegangi teralis jendela sambil menangis. "Ren, maaf." "Aku nggak butuh maaf kamu, Din. Tolong beranikan diri kamu untuk melawan! Kita harus balas mereka. Tapi, kita kumpulkan semua bukti dulu sebelum menyeret mereka ke penjara," ujar Iren, berusaha meyakinkan aku. Wanita itu kini tampak memainkan ponselnya, sementara aku
“Dinda!”Belum sempat aku berjalan menuju dapur, Mas Aditya lagi-lagi berteriak. Ternyata, dia memintaku membuatkannya minuman teh hangat.Pikiran tidak waras kembali membisik. Aku tersenyum dan dengan gembira membuatkannya “minuman spesial”.Setelah selesai, kubawa naik menuju lantai dua dan memasuki kamarnya. Namun, Mas Aditya tidak ada di dalam kamar.Hanya saja kudengar suara guyuran air yang berasal dari kamar mandi. Mendengar itu, secepat kilat kuletakkan minumannya di atas bupet, kemudian aku berlari keluar kamar menuju dapur.Kuambil bubuk gatal tadi sesuai rencana dan aku berlari lagi menaiki lantai dua."Mampus," batinku sambil membuka lemarinya dengan pelan dan menabur bubuk gatal itu dengan pelan ke celana dalamnya Mas Aditya dan juga Astri."Maaf, aku nggak akan lakuin ini. Tapi, Iren benar. Kalian semua sudah terlalu jahat sama aku," gumamku dan bergegas kembali menutup semua dengan rapi. Setelah selesai meletakkan tas baju mereka di dekat pintu utama yang selalu te
"Aku mau ngambil tas Ibu," jawabku kemudian meraih tas- tas yang tergelatak di lantai, tepat di dekatnya. Panik sekali wajahnya tadi! Tenang, Mas! Sekarang, aku justru tidak akan keluar dari pintu rumah ini sebelum memastikan kamu, Astri, dan ibumu mendapat balasan atas penyiksaanku. Kuperhatikan Mas Aditya hanya bisa terdiam. Bahkan, saat aku berjalan menuju tangga ke lantai dua. Di sana tersedia kamar khusus untuk Ibu yang terletak di samping kamar Mas Aditya. Saat berjalan ke arah sana, aku sempat melewati kamar Mas Aditya yang nampak terbuka. Tampak Ibu dan Astri yang sedang menggendong bayinya. Ingin sekali aku ke sana, melihat rupa bayi mereka. Sayangnya, mereka pasti akan mengusirku. Jadi, kuputuskan masuk ke kamar Ibu mertua, kemudian menyusun baju pakaiannya di lemari yang memang selalu aku lakukan ketika Nyonya Besar itu datang untuk menginap. Tapi jika dulu aku penuh kasih dan kesabaran, tidak dengan sekarang. Aku tersenyum ketika mengeluarkan bubuk gatal itu dar
"Cepat bikin sarapan!" titah Ibu mertua tiba-tiba. Aku pun langsung berdiri dan mengusap air mataku. Meskipun rasa sakit masih begitu terasa di seluruh tubuh, aku tetap berusaha waras. Aku tidak boleh panik ketakutan lagi! "Eh mau ke mana?" cegah Astri ketika aku berniat melangkah ke dapur. "Itu anak gue masih nangis parah di kamar! Tuli, ya?" lanjutnya dengan mata melotot. "Terus yang buat sarapan siapa?" tanyaku pelan. "Ya tetap kamu! Bawa tuh bayi," ujarnya. Aku mengernyit. Masa aku bawa bayinya sambil masak? "Sayang, kamu urus dulu bayi kita. Biar Dinda bikin sarapan," bujuk Mas Aditya pada Astri. Sepertinya, dia berpikiran yang sama denganku. "Ih aku nggak mau! Aku capek! Aku melahirkan dia aja mau mati. Kamu aja yang urusin, aku nggak mau," jawab Astri sambil berlalu ke arah luar rumah. Hah?! "Astaga, Aditya! Istri kamu kok gitu? ‘Nggak mau ngurusin anak kalian sama sekali," celetuk Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala. Mas Aditya tampak menghela napas. "Udah, ur
"Ya Allah, Iren mana lagi!" gumamku sambil terus berjalan cepat.Satu tanganku masih sibuk menghubungi Iren. Namun, tidak kunjung ada jawaban juga. Ya Allah, habislah aku kalau sampai tertangkap lagi. "Please, angkat Ren, angkat!" lirihku. "Woy, Dinda ...." Terdengar suara teriakkan Astri, membuatku sangat panik. "Penculik... penculik, tolong!" teriak ibu mertua. Aku mempercepat langkah, berusaha tetap tenang, meskipun terlihat di belakang sana, Astri dan Ibu mertua mulai berlari mengejarku. Aku semakin panik luar biasa, ketika orang yang berada disekitaran komplek mulai mengalihkan perhatiannya padaku, ketika terdengar suara Ibu mertua dan Astri yang meneriaki aku penculik. Aku mulai berlari, ketika ada beberapa orang yang mulai ikut berteriak, memintaku untuk berhenti. Tiba- tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku. Pintu belakang langsung terbuka, nampak sosok lelaki berbaju hitam, dengan rambut gondrong bersuara. "Cepat masuk!" titahnya. Aku sempat meragu, tapi m
Mendengar panggilan Bonang yang nampak terdengar panik. Iren dan aku pun langsung berdiri menuju keluar kamar.Kulirik sejenak Bayi mungil itu, dia nampak tertidur lelap, pasti sangat lelah baginya menempuh perjalanan jauh untuk pertama kalinya."Kenapa sih si Bonang," gerutu Iren sambil berjalan cepat, dan aku pun ikut menyusul."Kenapa, Nang?" tanya Iren. "Bu, kata Alfi, Aditya menyebarkan beberapa orang, untuk mencari keberadaan bu Dinda," jelas Bonang, membuatku menjadi panik ketakutan."Aduh," lirihku."Tenang- tenang," pinta Iren kepadaku. Aku sangat gelisah, mendengar laporan Bonang."Aku sih sudah yakin ini bakal terjadi. Kamu sebar anak buahmu, untuk mengawasi Aditya, juga orang- orang suruhannya, jangan sampai lengah, oke!" titah Iren kepada Bonang, yang dijawab Bonang dengan anggukan. Kemudian Bonang pun pergi, Iren mengajakku masuk ke dalam."Ren, apa aku pergi saja dari sini ya. Aku nggak enak, Ren. Aku nyusahin kamu jadinya," ungkapku.Iren yang semula berjalan, mendad
Bab10"Ih kak Adam, bener- bener deh, muncul seenaknya saja. Kakak nguping ya," tuduh Iren, pada lelaki dingin itu.Sayangnya. Pertanyaan Iren bagaikan angin lalu, dia malah fokus menatap dingin ke arahku yang menciut."Kak, please ...." Iren kembali bersuara, ketika melihat suasana tidak nyaman terjadi antara aku dan kak Adam."Aku juga lapar, Ren." Akhirnya lelaki itu bersuara dan mengalihkan tatapan tidak nyamannya padaku.Huh, entah kenapa, aku merasa dia sangat jauh berbeda. Dia lebih dingin dari yang pernah kukenal dulu, apa iya gara- gara status jomblo akut yang dia sandang saat ini? Sehingga dia tidak memiliki kehangatan pada wanita mana pun? Entahlah."Eh lapar. Ngomong dong! Ayo makan bareng, Iren ambilin piring," ujar Iren lagi, sambil beranjak dari duduknya dan mengambilkan piring untuk lelaki es batu itu.Yaa, nama yang cocok untuknya. "Es batu.""Makan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan," sindirnya, kepadaku yang hanya sedikit makan."Apalagi berani bawa kabur
Bab11"Berat," lirihnya, membuatku lekas membenarkan posisi berdiri."Maaf," ujarku sambil berdiri kaku. Entah kenapa, mendadak rasanya jadi salah tingkah."Lain kali hati- hati, selalu saja ceroboh," gumamnya lagi sambil berjalan meninggalkanku."Dasar es batu," batinku. Ah, kesal sekali. Kenapa sih kak Adam ini, malah kembali ke pengaturan awal kami dulu bertemu. Selalu bersikap dingin dan berkata seenak jidatnya saja.Ah sudahlah, lebih baik aku buat sarapan dulu, keburu si bayi rewel.Aku pun bergegas menuju dapur dan mulai membuka- buka kulkas, mengambil beberapa bahan dan memasaknya.Disaat asik memasak, terdengar suara tangisan bayi kecil itu dari kamar. "Cepet betul tuh bayi bangun," gumamku sambil mematikan api kompor, mencuci tangan dan bergegas menuju kamar. Namun langkahku langsung terhenti, ketika mau masuk ke kamar. Lelaki es batu itu sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis.Entah kenapa, hatiku menghangat melihatnya. Ditengah perasaan yang campur aduk me