"Aku mau ngambil tas Ibu," jawabku kemudian meraih tas- tas yang tergelatak di lantai, tepat di dekatnya.
Panik sekali wajahnya tadi!Tenang, Mas! Sekarang, aku justru tidak akan keluar dari pintu rumah ini sebelum memastikan kamu, Astri, dan ibumu mendapat balasan atas penyiksaanku.Kuperhatikan Mas Aditya hanya bisa terdiam.Bahkan, saat aku berjalan menuju tangga ke lantai dua.Di sana tersedia kamar khusus untuk Ibu yang terletak di samping kamar Mas Aditya.Saat berjalan ke arah sana, aku sempat melewati kamar Mas Aditya yang nampak terbuka.Tampak Ibu dan Astri yang sedang menggendong bayinya.Ingin sekali aku ke sana, melihat rupa bayi mereka.Sayangnya, mereka pasti akan mengusirku.Jadi, kuputuskan masuk ke kamar Ibu mertua, kemudian menyusun baju pakaiannya di lemari yang memang selalu aku lakukan ketika Nyonya Besar itu datang untuk menginap.Tapi jika dulu aku penuh kasih dan kesabaran, tidak dengan sekarang. Aku tersenyum ketika mengeluarkan bubuk gatal itu dari kantong celanaku. Untung saja sebelum keluar tadi sudah aku masukkan ke dalam kantong celana.Aku tersenyum, ketika memberikan taburan bubuk gatal ke baju-baju daster wanita tua itu…."Maaf ya, Bu." Aku berkata dalam hati dan bergegas menyimpan bubuk gatal itu–takut ada yang masuk tiba- tiba.Setelahnya, aku pun bergegas keluar kamarnya dan menuju lantai satu untuk beristirahat….****"Siapkan makanan," titah Mas Aditya saat bertemu denganku di depan tangga.Aku menarik napas panjang.Namun, aku mengangguk patuh.Hanya saja baru setengah jam aku di dapur, terdengar suara gaduh Ibu dari lantai dua.Demi menjaga keamanan, aku menyimpan bubuk gatal tersebut di tempat yang sulit mereka temukan."Aduh, gatal sekali, Dit. Apa nggak dibereskan benar-benar nih kamar sama si Dinda?" ujarnya begitu kencang, hingga disusul suara tangisan anak Astri yang juga keras."Bu, bisa diam nggak sih? Anakku mau tidur jadi nggak bisa, kaget terus dia," teriak Astri dari kamarnya.Dimulai!Aku berpura-pura tuli saja dari pintu tengah, mendengarkan keributan mereka.Kuperhatikan Mas Aditya yang berlari ke lantai 2."Ibu ini gatal- gatal, Tri.""Gatal apaan? Berisik tau nggak, Bu!! Ini rumah bukan hutan. Lagian anak aku jadi susah tidur, aku capek mau istirahat," ujar Astri dengan suara tinggi."Dinda, Dinda ...." Mas Aditya berteriak memanggilku.Hadeuh, apalagi ini?Namun, aku pun berpura- pura berlari panik.Meski dalam hati masih menahan senyum mendengar orkestra dari tangisan anak Astri dan keluhan ibu dari Mas Aditya."Ada apa, Mas?" tanyaku pura-pura ketakutan.Wajah Mas Aditya terlihat begitu marah. "Bantu urus anak Astri! Dia nangis terus. Astri mau istirahat," titahnya."Jangan, biar Ibu saja," cegah Ibu mertua mendadak. Hanya saja, dia masih terus menggaruk tubuhnya."Aku nggak mau! Ibu itu gatalan, bisa- bisa nular ke bayi aku," ucap Astri, membuat Ibu mertua nampak kecewa."Kamu kok gitu sama Ibu, Tri?""Aduh, udah deh! Aku capek, aku butuh istirahat. Dinda cepat ambil nih bayi, bikin sekalian dodotnya lagi," bentak Astri padaku, membuat si bayi semakin histeris.Ya, ampun!Kasihan sekali, mereka ribut di depan bayi mungil ini.Meski aku kesal dengan mereka, aku tak tega padanya.Jadi, aku bergegas mengambil bayi kecil itu dari tangan Astri dan membawanya turun ke bawah.***"Biar dia tidur di kamar kamu, ya. Soalnya Astri butuh istirahat full, kasihan dia bergadang terus mengurusnya."Mas Aditya tampak menyusul langkahku sambil membawakan peralatan susu, dodot serta popoknya dan perlengkapan bayi lainnya.Aku hanya mengangguk.Untungnya, bayi di pelukanku pun mulai berangsur diam, sambil menutup matanya.Nampak sekali dia mengantuk berat, tapi mungkin tadi terganggu dengan teriakkan Ibu mertua.Tiba- tiba Mas Aditya memelukku dari belakang.Aku jelas cukup terkejut, mendapati perlakuannya."Terima kasih ya, Dinda. ‘Nggak salah mas pilih kamu sebagai istri. Kamu baik dan mau mengurus anak Mas dan Astri. Mas istirahat dulu ya, kalau dia sudah nggak rewel, siapin makanan ya," ucap Mas Aditya lagi.Lagi-lagi, aku hanya bisa mengangguk dan dia pun berjalan meninggalkanku dan bayinya.Kutatap sayang bayi mungil di pelukanku ini.Aku bahagia sekali.Rasanya seakan aku yang punya bayi. Berkali-kali, aku mencium aromanya penuh cinta.Ya Allah, luar biasa sekali anugerahmu…..“Maaf, ya Nak. Ibu memang kesal dengan keluargamu, tapi Ibu berjanji tidak akan menyakitimu,” ucapku dalam hati.Tanpa terasa, seminggu sudah bayi ini berada di dalam asuhanku.Rasanya lelah luar biasa!Apalagi, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membantuku mengurusnya.Astri bahkan hanya sibuk mengurus tubuhnya dan wajahnya saja!Kini bayi Astri dan Mas Aditya, badannya mulai berisi.Dia begitu imut dan lucu.Hanya saja, dia suka mengajakku melek tengah malam sampai dini hari.Jadi, aku terkadang mengantuk di pagi hari, bahkan siang bolong."Mana sarapannya ini? Kok jam segini belum masak?" bentak Astri padaku ketika aku baru keluar dari kamar."Aku kesiangan, diajak dedek main tengah malam terus," sahutku."Alah bohong! ‘Nggak usah Dedek yang dijadikan alasan. Dasar bodoh, aku lapar ini!" bentaknya.Ck! Benar- benar tidak dihargai sama sekali."Kalau begitu, urus saja anak kamu sendiri," ujarku dengan kesal."Berani kamu ya ...." Astri mendekatiku dengan cepat dan menampar keras wajah ini.Plak!Tubuhku menjadi gemetar hebat, seketika perasaan takut dan panik mulai menghampiriku.Sekuat tenaga aku menahan gemetar di tubuh."Kamu harus berani, kamu harus berani, jangan takut, jangan takut ...." Aku mencoba mensugesti diriku sendiri. Aku tidak boleh ketakutan lagi!"Kalau kamu tidak berguna, mending jadi gembel kamu di jalanan, atau mau aku kurung kamu di gudang?" ancamnya sambil menarik rambutku."Aaakkkkhhhhhh," pekikku mulai panik dan ketakutan."Aakkkkhhh, jahat ...."Aku berteriak histeris, membuat Astri melepaskan tangannya dari rambutku."Dinda, Dinda …!"Terdengar suara Mas Aditya.Namun, hal itu malah membuatku semakin ketakutan dan aku berteriak histeris."Dinda diam!!"Bersamaan dengan itu, tamparan keras tangan Mas Aditya membuatku jatuh tersungkur.Aku menangis.Sungguh, aku sakit hati.Kenapa mereka jahat sekali?"Jika kamu terus begini, aku bersumpah akan memasukkan kamu ke rumah sakit jiwa! Dan tidak akan ada yang tahu siapapun, termasuk Iren. Mau kamu?" ancam Mas Aditya."Berani sekali kamu membuat istriku ketakutan begini," lanjutnya sambil memeluk Astri, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."Kenapa sih pagi-pagi sudah ribut? Ibu ngantuk tahu," celetuk Ibu yang nampaknya sudah bangun juga."Wanita mandul ini belum buat sarapan, Bu! Astri lapar," jelas Astri."Sudah jam 8 pagi dan kamu belum buat sarapan untuk kita?” murka wanita tua itu, “Ngapain saja sih kamu? Udah ‘nggak bisa melahirkan anak, gak becus lagi jadi istri!”“Sungguh, deh. Ada ya yang sudah dikutuk mandul, masih gak berguna begini?" hina Ibu mertua padaku.Deg!Sakit sekali hinaan dan pukulan ini.Sebuah rencana yang sudah disusun olehku dan Iren beberapa hari ini seketika terlintas.“Aku nggak bisa terus begini. Mulai malam nanti, akan kupastikan kalian menangis darah," batinku, penuh tekad.Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar