“Dinda!”
Belum sempat aku berjalan menuju dapur, Mas Aditya lagi-lagi berteriak.
Ternyata, dia memintaku membuatkannya minuman teh hangat.
Pikiran tidak waras kembali membisik.
Aku tersenyum dan dengan gembira membuatkannya “minuman spesial”.
Setelah selesai, kubawa naik menuju lantai dua dan memasuki kamarnya.
Namun, Mas Aditya tidak ada di dalam kamar.
Hanya saja kudengar suara guyuran air yang berasal dari kamar mandi.
Mendengar itu, secepat kilat kuletakkan minumannya di atas bupet, kemudian aku berlari keluar kamar menuju dapur.
Kuambil bubuk gatal tadi sesuai rencana dan aku berlari lagi menaiki lantai dua.
"Mampus," batinku sambil membuka lemarinya dengan pelan dan menabur bubuk gatal itu dengan pelan ke celana dalamnya Mas Aditya dan juga Astri.
"Maaf, aku nggak akan lakuin ini. Tapi, Iren benar. Kalian semua sudah terlalu jahat sama aku," gumamku dan bergegas kembali menutup semua dengan rapi.
Setelah selesai meletakkan tas baju mereka di dekat pintu utama yang selalu terkunci rapat, aku masuk ke kamarku.
Tidak lama kemudian, terdengar suara Mas Aditya memanggilku lagi.
Ck! Rese sekali.
"Din, Dinda ...."
Aku pun gegas membuka pintu kamar, sambil memasang wajah yang seperti biasa.
Wajah yang selalu takut dan menunduk.
"Din, aduh ...."
Tampak wajahnya gelisah. Tangan satunya memegangi perut, sementara yang lainnya menggaruk malu- malu.
"Kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Aduh! Aku sakit perut segala," gerutunya sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Dan hal itu berulang sampai 3 kali!
Mas Aditya bolak- balik keluar wc.
Aku sampai menahan senyum yang rasanya hampir tak pernah kurasakan sejak kedatangan Astri di hidupku.
"Gila juga si Iren, pemberiannya tidak kaleng-kaleng, sampe membuat Mas Aditya berkeringat dingin dah tu," ujarku sambil tertawa keras dalam hati.
Aku bersandar di depan pintu sambil sesekali mengintip Mas Aditya yang nampak terkulai lemah di depan pintu wc.
"Ini baru permulaan, Mas. Aku nggak akan biarkan kamu begitu saja, menindasku semau kalian," batinku.
"Dinda, tolong!" lirih pria itu tiba-tiba.
Namun, aku pura- pura tuli sajalah.
Biar dia nikmati rasa sakit yang tak seberapa dibanding penderitaanku selama ini.
"Dinda ...."
"Din, tolongin, mas nggak kuat lagi," ujarnya lagi.
Kini, hatiku bimbang mendengar rintihannya.
Jika dia mati sekarang, bisa-bisa aku dipenjara?
Ah, ya sudah….
Kali ini, aku akan pura-pura membantunya!
Kubuka kamar, dan kuliat Mas Aditya mengesot ke arah kamarku.
Deg!
Apa iya efeknya seburuk ini? Jangan- jangan kebanyakan lagi aku ngasihnya?
"Mas, kamu kenapa?" tanyaku berpura-pura panik dan khawatir.
"Ih, kok bau kotoran gini?" ujarku lagi yang langsung reflek menutup hidung sembari menjauh.
"Aku capek bolak- balik wc. Nggak kuat lagi jadi kebablasan. Tolong aku, Din."
"Jijik tau nggak sih, Mas." Spontan saja kata- kata tidak bersahabat itu keluar dari mulutku.
"Din, aku ini suami kamu! Kamu harus bisa mengurus aku," lirihnya diikuti suara khas orang sakit perut keluar.
Bret!
"Benar- benar gila si Iren! Aku bahkan nyaris muntah! Ini namanya aku juga ikutan susah," batinku.
Terpaksa, aku membersihkan kamar mandi dulu baru menyeret Mas Aditya ke dalamnya.
Byur!
Kusiram tubuh yang bau kotoran manusia itu begitu saja.
Di sisi lain, Mas Aditya bersandar di dinding dengan tubuh yang terkulai lemah.
Wajahnya kini begitu pucat.
"Untung masih ada aku. Kalau nggak ada, entah siapa yang mau ngurus kamu, Mas."
Mas Aditya hanya terdiam, dia hanya menunduk ketika seluruh tubuhnya aku sabuni.
Sepertinya, dia memikirkan perkataanku.
Meski katanya dia dan Astri saling mencintai, tapi tukang sayur komplek juga tahu kalau istri kedua suamiku itu memang tipe yang jijikan.
Tak terasa prosesi memandikan Mas Aditya telah selesai.
Kubantu dirinya untuk berjalan dan menuju kamarku.
"Rebahan di sini saja, aku bantu ambilkan baju kamu dulu," ujarku.
Kini, Mas Aditya mengangguk.
Karena kasihan, jadi aku ambilkan dia celana dalam yang tidak terkena bubuk gatal biar dia bisa ke rumah sakit.
Dan aku, bisa bercerita banyak pada Iren, tentang hari ini….
Sekalian aku juga ingin tahu, apa benar Iren yang memukuli Mas Aditya?
Kini, kuberikan dia minuman jahe hangat setelah dia mengenakan semua pakaiannya.
"Din, maaf ya, kalau mas jahat selama ini," ucapnya dengan raut wajah menyesal.
"Iya," jawabku seadanya.
"Makasih, Din. Din, mas berangkat dulu ke rumah sakit, mau nemani Astri dan anak kami. Kamu di rumah aja ya," pintanya lagi dan kujawab dengan anggukan.
Jika biasanya aku meronta ingin keluar rumah dan ingin pulang, tapi hari ini tidak.
Aku akan menjadi wanita penurut untuknya agar dia lengah sebelum rencanaku dan Iren berhasil!
***
"Ren, jadi benar kamu yang bikin Mas Aditya babak belur?"
Setelah memastikan Mas Aditya meninggalkan rumah, aku pun menghubungi Iren.Terdengar tawa dari seberang sana. "Iya, dia nggak macam- macam sama kamu kan?"
"Enggak sih, malah aku yang macam-macam."
"Ha?"
"Aku kasih bubuk gatal di celana dalam dia dan juga obat sakit perut di minumannya. Pokoknya nasibnya hari ini malang sekali."
"Hahaha, gue suka nih. Gitu dong jadi cewek, harus berani balas!!"
"Untung kamu datang di hidup aku lagi, Ren. Kalau tidak, entah bagaimana aku bisa melawan mereka, semua karena kamu, Ren, makasih."
"Kamu sahabat aku, Din. Apapun yang terjadi, aku pasti bela kamu."
Selesai berbincang- bincang sama Iren, aku pun memilih beristirahat dan tidur.
Sungguh bahagia rasanya, diri menjadi tenang. Terlebih karena mas Aditya dan ibunya fokus pada Astri.
Aku pasti akan membalas mereka, dengan segenap kekuatan yang aku punya, dan tentunya aku tidak lagi sendiri, ada Iren.
Namun. Ketenangan itu berakhir setelah dua hari berlalu.
Mobil pria itu kembali memasuki halaman rumah tepat jam 8 pagi.
"Mereka datang," batinku.
Benar saja.
Baru memasuki rumah, suara keras Ibu mertua memanggilku mulai terdengar. “DINDA!”
Aku berpura-pura tuli sejenak di dalam kamar, biar dia makin emosi dan darah tinggi.
Brak!
Hingga gedoran di depan pintu kamar mulai terdengar.
Aku menarik napas berat, kemudian berjalan membukakan pintu.
"Lama sekali, Din," bentaknya saat pintu kamarku terbuka, “Dasar pemalas!”
"Ada apa, Bu?" tanyaku.
"Ada apa-ada apa? Dasar tidak sopan! Bantuin bawa barang-barang masuk ke dalam. Jangan malah ongkang-ongkang kaki" teriak wanita tua itu seperti majikan pada bawahannya.
Aku hanya mengangguk dan berjalan keluar dari kamarku.
"Awas kamu, Bu. Akan kukerjain," batinku diam-diam.
Tak lama, kulihat Mas Aditya.
Melihatku yang berjalan ke arah keluar rumah, dia langsung menutup pintu depan secepat kilat.
"Kenapa, Din?" tanya Mas Aditya, menatapku dengan siaga.
Sepertinya, dia pikir aku akan kabur…?
Menahan senyum, aku mendekat yang membuatnya justru semakin siaga. “Aku….”
"Aku mau ngambil tas Ibu," jawabku kemudian meraih tas- tas yang tergelatak di lantai, tepat di dekatnya. Panik sekali wajahnya tadi! Tenang, Mas! Sekarang, aku justru tidak akan keluar dari pintu rumah ini sebelum memastikan kamu, Astri, dan ibumu mendapat balasan atas penyiksaanku. Kuperhatikan Mas Aditya hanya bisa terdiam. Bahkan, saat aku berjalan menuju tangga ke lantai dua. Di sana tersedia kamar khusus untuk Ibu yang terletak di samping kamar Mas Aditya. Saat berjalan ke arah sana, aku sempat melewati kamar Mas Aditya yang nampak terbuka. Tampak Ibu dan Astri yang sedang menggendong bayinya. Ingin sekali aku ke sana, melihat rupa bayi mereka. Sayangnya, mereka pasti akan mengusirku. Jadi, kuputuskan masuk ke kamar Ibu mertua, kemudian menyusun baju pakaiannya di lemari yang memang selalu aku lakukan ketika Nyonya Besar itu datang untuk menginap. Tapi jika dulu aku penuh kasih dan kesabaran, tidak dengan sekarang. Aku tersenyum ketika mengeluarkan bubuk gatal itu dar
"Cepat bikin sarapan!" titah Ibu mertua tiba-tiba. Aku pun langsung berdiri dan mengusap air mataku. Meskipun rasa sakit masih begitu terasa di seluruh tubuh, aku tetap berusaha waras. Aku tidak boleh panik ketakutan lagi! "Eh mau ke mana?" cegah Astri ketika aku berniat melangkah ke dapur. "Itu anak gue masih nangis parah di kamar! Tuli, ya?" lanjutnya dengan mata melotot. "Terus yang buat sarapan siapa?" tanyaku pelan. "Ya tetap kamu! Bawa tuh bayi," ujarnya. Aku mengernyit. Masa aku bawa bayinya sambil masak? "Sayang, kamu urus dulu bayi kita. Biar Dinda bikin sarapan," bujuk Mas Aditya pada Astri. Sepertinya, dia berpikiran yang sama denganku. "Ih aku nggak mau! Aku capek! Aku melahirkan dia aja mau mati. Kamu aja yang urusin, aku nggak mau," jawab Astri sambil berlalu ke arah luar rumah. Hah?! "Astaga, Aditya! Istri kamu kok gitu? ‘Nggak mau ngurusin anak kalian sama sekali," celetuk Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala. Mas Aditya tampak menghela napas. "Udah, ur
"Ya Allah, Iren mana lagi!" gumamku sambil terus berjalan cepat.Satu tanganku masih sibuk menghubungi Iren. Namun, tidak kunjung ada jawaban juga. Ya Allah, habislah aku kalau sampai tertangkap lagi. "Please, angkat Ren, angkat!" lirihku. "Woy, Dinda ...." Terdengar suara teriakkan Astri, membuatku sangat panik. "Penculik... penculik, tolong!" teriak ibu mertua. Aku mempercepat langkah, berusaha tetap tenang, meskipun terlihat di belakang sana, Astri dan Ibu mertua mulai berlari mengejarku. Aku semakin panik luar biasa, ketika orang yang berada disekitaran komplek mulai mengalihkan perhatiannya padaku, ketika terdengar suara Ibu mertua dan Astri yang meneriaki aku penculik. Aku mulai berlari, ketika ada beberapa orang yang mulai ikut berteriak, memintaku untuk berhenti. Tiba- tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku. Pintu belakang langsung terbuka, nampak sosok lelaki berbaju hitam, dengan rambut gondrong bersuara. "Cepat masuk!" titahnya. Aku sempat meragu, tapi m
Mendengar panggilan Bonang yang nampak terdengar panik. Iren dan aku pun langsung berdiri menuju keluar kamar.Kulirik sejenak Bayi mungil itu, dia nampak tertidur lelap, pasti sangat lelah baginya menempuh perjalanan jauh untuk pertama kalinya."Kenapa sih si Bonang," gerutu Iren sambil berjalan cepat, dan aku pun ikut menyusul."Kenapa, Nang?" tanya Iren. "Bu, kata Alfi, Aditya menyebarkan beberapa orang, untuk mencari keberadaan bu Dinda," jelas Bonang, membuatku menjadi panik ketakutan."Aduh," lirihku."Tenang- tenang," pinta Iren kepadaku. Aku sangat gelisah, mendengar laporan Bonang."Aku sih sudah yakin ini bakal terjadi. Kamu sebar anak buahmu, untuk mengawasi Aditya, juga orang- orang suruhannya, jangan sampai lengah, oke!" titah Iren kepada Bonang, yang dijawab Bonang dengan anggukan. Kemudian Bonang pun pergi, Iren mengajakku masuk ke dalam."Ren, apa aku pergi saja dari sini ya. Aku nggak enak, Ren. Aku nyusahin kamu jadinya," ungkapku.Iren yang semula berjalan, mendad
Bab10"Ih kak Adam, bener- bener deh, muncul seenaknya saja. Kakak nguping ya," tuduh Iren, pada lelaki dingin itu.Sayangnya. Pertanyaan Iren bagaikan angin lalu, dia malah fokus menatap dingin ke arahku yang menciut."Kak, please ...." Iren kembali bersuara, ketika melihat suasana tidak nyaman terjadi antara aku dan kak Adam."Aku juga lapar, Ren." Akhirnya lelaki itu bersuara dan mengalihkan tatapan tidak nyamannya padaku.Huh, entah kenapa, aku merasa dia sangat jauh berbeda. Dia lebih dingin dari yang pernah kukenal dulu, apa iya gara- gara status jomblo akut yang dia sandang saat ini? Sehingga dia tidak memiliki kehangatan pada wanita mana pun? Entahlah."Eh lapar. Ngomong dong! Ayo makan bareng, Iren ambilin piring," ujar Iren lagi, sambil beranjak dari duduknya dan mengambilkan piring untuk lelaki es batu itu.Yaa, nama yang cocok untuknya. "Es batu.""Makan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan," sindirnya, kepadaku yang hanya sedikit makan."Apalagi berani bawa kabur
Bab11"Berat," lirihnya, membuatku lekas membenarkan posisi berdiri."Maaf," ujarku sambil berdiri kaku. Entah kenapa, mendadak rasanya jadi salah tingkah."Lain kali hati- hati, selalu saja ceroboh," gumamnya lagi sambil berjalan meninggalkanku."Dasar es batu," batinku. Ah, kesal sekali. Kenapa sih kak Adam ini, malah kembali ke pengaturan awal kami dulu bertemu. Selalu bersikap dingin dan berkata seenak jidatnya saja.Ah sudahlah, lebih baik aku buat sarapan dulu, keburu si bayi rewel.Aku pun bergegas menuju dapur dan mulai membuka- buka kulkas, mengambil beberapa bahan dan memasaknya.Disaat asik memasak, terdengar suara tangisan bayi kecil itu dari kamar. "Cepet betul tuh bayi bangun," gumamku sambil mematikan api kompor, mencuci tangan dan bergegas menuju kamar. Namun langkahku langsung terhenti, ketika mau masuk ke kamar. Lelaki es batu itu sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis.Entah kenapa, hatiku menghangat melihatnya. Ditengah perasaan yang campur aduk me
Bab12"Dam, apa ini?" Wanita paru baya yang kak Adam panggil Mamah itu menatap bingung sambil melempar tanya.Aku dan kak Adam merasa kikuk, ditambah Bulan yang susah ditenangkan."Dam, jawab!" pintanya dengan wajah yang mulai kesal."Istri Adam, Mah!" Spontan jawaban kak Adam, membuat aku syok berat. Apa- apaan ini?Mataku membulat, menatap kak Adam, begitu juga dengan Mamahnya."Kamu serius, Dam?" Mamah kak Adam nampak tidak percaya, dengan jawaban konyol lelaki itu. Aku berniat menyela pembicaraan mereka, namun kak Adam dengan gerak cepat, menutup mulutku dengan tangan, sambil tersenyum ke arah Mamahnya."Sayang, kamu tenangin si Dedek dulu," ujarnya lembut, membuat aku semakin kesal.Mamah kak Adam semakin tercengang, mendengar ucapan lelaki itu.Kak Adam menyeretku masuk ke arah kasur, dan dia pun bergegas keluar sambil menutup pintu.Terdengar suara mereka sedang berbicara di depan pintu kamar ini. "Astaga, masalah baru ini mah," batinku.Aku segera mengirim pesan pada Iren, m
Bab13Malam itu, mamah kak Adam pun akhirnya berpamitan pulang. "Tentang bayi itu, apa yang Kakak katakan sama Tante tadi?" tanyaku, sebelum kami masuk ke dalam rumah."Aku bilang dia anak teman aku, yang lagi dititipin, karena Ibunya lagi sakit dan dijagain sama Ayahnya.""Kakak bohongin orang tua loh.""Memangnya kamu mau aku jujur, kalau kamu penculik bayi?" ujarnya, membuatku sedikit kesal, meskipun ada benarnya juga.Akhirnya, kami pun masuk ke dalam Villa, dan tidur di kamar masing- masing.Malamku menjadi gelisah, tidurku pun menjadi susah karena terus kepikiran kedua orang tuaku, yang saat ini berada ditangan mas Aditya. Semoga mereka baik- baik saja.Berkali- kali kulirik ponsel, pesan singkatku, tidak kunjung Iren baca. Nomor ponselnya juga tidak aktif- aktif, entah kemana ini orang.Ah, Iren!! Kemana sih. Hingga pagi menjelang, tepat jam 5 subuh, aku baru mulai terlelap. "Dinda, Dinda ...." Aku terkejut, ketika mendengar bunyi ketukan pintu yang cukup keras itu.Bahkan b