Share

Bab 5. Mengerjai Mas Aditya

“Dinda!”

Belum sempat aku berjalan menuju dapur, Mas Aditya lagi-lagi berteriak. 

Ternyata, dia memintaku membuatkannya minuman teh hangat.

Pikiran tidak waras kembali membisik. 

Aku tersenyum dan dengan gembira membuatkannya “minuman spesial”.

Setelah selesai, kubawa naik menuju lantai dua dan memasuki kamarnya. 

Namun, Mas Aditya tidak ada di dalam kamar.

Hanya saja kudengar suara guyuran air yang berasal dari kamar mandi. 

Mendengar itu, secepat kilat kuletakkan minumannya di atas bupet, kemudian aku berlari keluar kamar menuju dapur.

Kuambil bubuk gatal tadi sesuai rencana dan aku berlari lagi menaiki lantai dua.

"Mampus," batinku sambil membuka lemarinya dengan pelan dan menabur bubuk gatal itu dengan pelan ke celana dalamnya Mas Aditya dan juga Astri.

"Maaf, aku nggak akan lakuin ini. Tapi, Iren benar. Kalian semua sudah terlalu jahat sama aku," gumamku dan bergegas kembali menutup semua dengan rapi. 

Setelah selesai meletakkan tas baju mereka di dekat pintu utama yang selalu terkunci rapat, aku masuk ke kamarku. 

Tidak lama kemudian, terdengar suara Mas Aditya memanggilku lagi.

Ck! Rese sekali.

"Din, Dinda ...."

Aku pun gegas membuka pintu kamar, sambil memasang wajah yang seperti biasa. 

Wajah yang selalu takut dan menunduk.

"Din, aduh ...." 

Tampak wajahnya gelisah. Tangan satunya memegangi perut, sementara yang lainnya menggaruk malu- malu.

"Kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Aduh! Aku sakit perut segala," gerutunya sambil berjalan ke arah kamar mandi.

Dan hal itu berulang sampai 3 kali! 

Mas Aditya bolak- balik keluar wc.

Aku sampai menahan senyum yang rasanya hampir tak pernah kurasakan sejak kedatangan Astri di hidupku.

"Gila juga si Iren, pemberiannya tidak kaleng-kaleng, sampe membuat Mas Aditya berkeringat dingin dah tu," ujarku sambil tertawa keras dalam hati.

Aku bersandar di depan pintu sambil sesekali mengintip Mas Aditya yang nampak terkulai lemah di depan pintu wc.

"Ini baru permulaan, Mas. Aku nggak akan biarkan kamu begitu saja, menindasku semau kalian," batinku.

"Dinda, tolong!" lirih pria itu tiba-tiba. 

Namun, aku pura- pura tuli sajalah. 

Biar dia nikmati rasa sakit yang tak seberapa dibanding penderitaanku selama ini.

"Dinda ...."

"Din, tolongin, mas nggak kuat lagi," ujarnya lagi.

Kini, hatiku bimbang mendengar rintihannya. 

Jika dia mati sekarang, bisa-bisa aku dipenjara? 

Ah, ya sudah…. 

Kali ini, aku  akan pura-pura membantunya!

Kubuka kamar, dan kuliat Mas Aditya mengesot ke arah kamarku. 

Deg!

Apa iya efeknya seburuk ini? Jangan- jangan kebanyakan lagi aku ngasihnya?

"Mas, kamu kenapa?" tanyaku berpura-pura panik dan khawatir.

"Ih, kok bau kotoran gini?" ujarku lagi yang langsung reflek menutup hidung sembari menjauh.

"Aku capek bolak- balik wc. Nggak kuat lagi jadi kebablasan. Tolong aku, Din."

"Jijik tau nggak sih, Mas." Spontan saja kata- kata tidak bersahabat itu keluar dari mulutku.

"Din, aku ini suami kamu! Kamu harus bisa mengurus aku," lirihnya diikuti suara khas orang sakit perut keluar.

Bret!

"Benar- benar gila si Iren! Aku bahkan nyaris muntah! Ini namanya aku juga ikutan susah," batinku.

Terpaksa, aku membersihkan kamar mandi dulu baru menyeret Mas Aditya ke dalamnya.

Byur!

Kusiram tubuh yang bau kotoran manusia itu begitu saja.

Di sisi lain, Mas Aditya bersandar di dinding dengan tubuh yang terkulai lemah. 

Wajahnya kini begitu pucat.

"Untung masih ada aku. Kalau nggak ada, entah siapa yang mau ngurus kamu, Mas."

Mas Aditya hanya terdiam, dia hanya menunduk ketika seluruh tubuhnya aku sabuni.

Sepertinya, dia memikirkan perkataanku.

Meski katanya dia dan Astri saling mencintai, tapi tukang sayur komplek juga tahu kalau istri kedua suamiku itu memang tipe yang jijikan.

Tak terasa prosesi memandikan Mas Aditya telah selesai. 

Kubantu dirinya untuk berjalan dan menuju kamarku.

"Rebahan di sini saja, aku bantu ambilkan baju kamu dulu," ujarku. 

Kini, Mas Aditya mengangguk.

Karena kasihan, jadi aku ambilkan dia celana dalam yang tidak terkena bubuk gatal biar dia bisa ke rumah sakit. 

Dan aku, bisa bercerita banyak pada Iren, tentang hari ini….

Sekalian aku juga ingin tahu, apa benar Iren yang memukuli Mas Aditya?

Kini, kuberikan dia minuman jahe hangat setelah dia mengenakan semua pakaiannya.

"Din, maaf ya, kalau mas jahat selama ini," ucapnya dengan raut wajah menyesal.

"Iya," jawabku seadanya.

"Makasih, Din. Din, mas berangkat dulu ke rumah sakit, mau nemani Astri dan anak kami. Kamu di rumah aja ya," pintanya lagi dan kujawab dengan anggukan.

Jika biasanya aku meronta ingin keluar rumah dan ingin pulang, tapi hari ini tidak. 

Aku akan menjadi wanita penurut untuknya agar dia lengah sebelum rencanaku dan Iren berhasil!

***

"Ren, jadi benar kamu yang bikin Mas Aditya babak belur?"

Setelah memastikan Mas Aditya meninggalkan rumah, aku pun menghubungi Iren.

Terdengar tawa dari seberang sana. "Iya, dia nggak macam- macam sama kamu kan?"

"Enggak sih, malah aku yang macam-macam."

"Ha?"

"Aku kasih bubuk gatal di celana dalam dia dan juga obat sakit perut di minumannya. Pokoknya nasibnya hari ini malang sekali."

"Hahaha, gue suka nih. Gitu dong jadi cewek, harus berani balas!!"

"Untung kamu datang di hidup aku lagi, Ren. Kalau tidak, entah bagaimana aku bisa melawan mereka, semua karena kamu, Ren, makasih."

"Kamu sahabat aku, Din. Apapun yang terjadi, aku pasti bela kamu."

Selesai berbincang- bincang sama Iren, aku pun memilih beristirahat dan tidur.

Sungguh bahagia rasanya, diri menjadi tenang.  Terlebih karena mas Aditya dan ibunya fokus pada Astri.

Aku pasti akan membalas mereka, dengan segenap kekuatan yang aku punya, dan tentunya aku tidak lagi sendiri, ada Iren.

Namun. Ketenangan itu berakhir setelah dua hari berlalu. 

Mobil pria itu kembali memasuki halaman rumah tepat jam 8 pagi. 

"Mereka datang," batinku. 

Benar saja. 

Baru memasuki rumah, suara keras Ibu mertua memanggilku mulai terdengar. “DINDA!”

Aku berpura-pura tuli sejenak di dalam kamar, biar dia makin emosi dan darah tinggi.

Brak!

Hingga gedoran di depan pintu kamar mulai terdengar. 

Aku menarik napas berat, kemudian berjalan membukakan pintu.

"Lama sekali, Din," bentaknya saat pintu kamarku terbuka, “Dasar pemalas!”

"Ada apa, Bu?" tanyaku.

"Ada apa-ada apa? Dasar tidak sopan! Bantuin bawa barang-barang masuk ke dalam. Jangan malah ongkang-ongkang kaki" teriak wanita tua itu seperti majikan pada bawahannya.

Aku hanya mengangguk dan berjalan keluar dari kamarku.

"Awas kamu, Bu. Akan kukerjain," batinku diam-diam.

Tak lama, kulihat Mas Aditya.

Melihatku yang berjalan ke arah keluar rumah, dia langsung menutup pintu depan secepat kilat.

"Kenapa, Din?" tanya Mas Aditya, menatapku dengan siaga.

Sepertinya, dia pikir aku akan kabur…?

Menahan senyum, aku mendekat yang membuatnya justru semakin siaga. “Aku….”  

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status