Di rapat para pemegang saham, pak Hanung memperkenalkan aku secara resmi sebagai anaknya. Dan kemungkinan besar, aku juga sebagai penerusnya. Begitulah yang dia ucapkan. Akan tetapi, ada yang tidak terima begitu saja, banyak dari mereka yang meragukan kemampuanku.*****Sebelum pulang, pak Hanung memintaku masuk ke ruangannya. Ada om Kustomi dan pengacara mendiang Abba dan Umma juga."Saham perusahaan yang akan diwariskan kepada Dinda, akan sah Dinda terima, ketika dia sudah menikah," jelas pengacara Abba."Dan itu, sudah menjadi ketentuan yang sah," lanjutnya."Sebelum Dinda menikah lagi, sebaiknya kamu melanjutkan pendidikan dulu, Din." Kini pak Hanung menimpali."Saya mungkin bukan ayah yang baik. Harta, tahta juga tidak saya bawa mati. Kamu anak kandung saya satu- satunya. Saya berharap, kamu bisa menggantikan saya kelak. Maafkan semua kesalahan saya, Din." Pak Hanung menatap penuh sesal kepadaku.Raut wajahnya menggambarkan perasaan yang cukup dalam. Dan sorot matanya, ada ketu
Aku terdiam, mendengar pengakuannya. Pintu ruangan ini tiba- tiba terbuka lebar, aku terkejut luar biasa, begitu juga dengan kak Adam."Tidak bisa! Ibu tidak akan merestui kamu, Adam. Apakah di dunia ini tidak ada wanita lain? Kenapa harus wanita janda seperti dia, Nak?" Ucapan tante Ammara sangat melukai hati ini.Seakan, status janda yang aku sandang, begitu hina di matanya."Bu. Tolong jangan begitu," pinta kak Adam."Cukup! Ibu tidak akan toleransi kamu lagi, Nak. Kamu tidak boleh mencintai wanita pembawa sial ini. Liat keadaan kamu, Nak. Gara- gara dia, kamu nyaris mati," lirih tante Amara.Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus membela diri seperti apa. Faktanya, kak Adam berkali- kali dalam bahaya karena aku."Lebih baik kamu pergi dari sini, Dinda! Saya tidak akan sudi, memiliki menantu seperti kamu," tegas tante Amara."Ini hidup Adam, Bu. Biarkan Adam yang tentukan," pinta kak Adam."Diam kamu! Kamu ngelawan ibu, Dam? Demi wanita sialan ini?" bentak tante Amara, sembari me
Memasuki ruangan pak Hanung, nampak Beliau sedang terbaring lemah, dengan om Kustomi yang berada di sampingnya."Lama sekali kamu datangnya, Din," protes om Kustomi."Ah maaf." Perasaan aku sudah berusaha secepat mungkin datang ke rumah sakit."Gimana kondisi Papah?" tanyaku sembari meraih kursi yang ada di dekat brankar."Seperti yang kamu lihat," jawab Papah dengan suara pelan.Aku hanya bisa menghela napas berat, dan menatap nanar ke arahnya."Umur tidak ada yang tau. Papah sudah tua, Din. Kapan, Din?""Kapan apa, Pah?"Pak Hanung menarik napas berat."Kapan kamu mau menikah lagi?" tanya pak Hanung, menatap sendu ke arahku."Ya ampun, Papah. Dinda nggak mau mikirin itu dulu, Pah. Jika bisa hidup sendiri, dan bahagia, untuk apa Dinda menikah?" ujarku yang merasa lelah, setiap kali ditanyakan tentang pernikahan.Bagaimana mau menikah? Hingga detik ini saja, aku mengabaikan siapapun, lelaki yang berusaha mendekatiku, termasuk pak Anwar.Parahnya lagi, mas Aditya yang terus menerorku.
"Din, si ceweknya itu sering tantrum tau," ujar Iren lagi, membuatku nyaris tersedak."Apaan sih, Ren. Kamu ada- ada saja kalau cerita. Emangnya dia anak kecil apa?" kataku sambil terkekeh."Eh beneran tau. Entahlah, nggak paham juga aku. Kasihan kak Adam, bisa- bisanya punya istri modelan kalem tapi kuat kalau tantrum." Iren bercerita sambil mengacak- acak tangannya, memperlihatkan kekesalannya. "Gedek ya, Ren," tanyaku sambil terkekeh."Ih banget tau. Nanti deh kalau kamu ketemu lagi, pasti kamu bakal tahu, rasanya dipaksa sabar tapi pengen banget ninju," jelas Iren, membuatku hanya geleng- geleng kepala.Sejenis manusia seperti Sesil kayaknya.Lama tidak tahu kabar Sesil dan Justin, mereka kemana ya? Aku lupa nanya sama papah tadi.Selesai makan, aku dan Iren pun, memutuskan untuk jalan- jalan sebentar di alun- alun kota."Kamu tadi kesini naik apa, Ren?" tanyaku, ketika kami sudah memasuki mobilku."Naik taksi online aja, Din. Malas bawa mobil," jawabnya sambil membenarkan make
"Keadaan pasien laki- lakinya sudah sadarkan diri, dan hanya mengalami luka ringan. Tetapi pasien perempuannya yang cukup parah. Kondisinya masih tidak sadarkan diri, dan kemungkinan, pasien akan mengalami kelumpuhan," jelas dokter, membuat kami semua syok."Apa?" pekik tante Ammara."Kami juga membutuhkan tanda tangan orang tua pasien, untuk segera melakukan operasi," lanjut dokter yang meminta kedua orang tua kak Adam, untuk ikut ke ruangannya."Operasi apa ya," gumam Iren. Aku hanya terdiam, syok rasanya. Tidak tahu lagi, harus menanggapinya seperti apalagi."Ren," lirihku. Iren berbalik ke arahku dan langsung memeluk."Maafin tante Amara, Din. Pasti sakit ya, dipukul tadi," tanya Iren, sembari melerai pelukannya dan melihat pipiku yang memerah."Sakit pipiku, sakit pula hatiku, Ren. Tapi perasaan aku semakin takut, Ren. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Maura," ungkapku dengan suara bergetar."Kita doain saja, Din. Semoga, Maura baik- baik saja," jawab Iren, membesarkan ha
Pagi, mungkin lebih tepatnya jam 10-an. Papah dan seorang pengacara, datang menjengukku. "Pah, Dinda bebas karena apa?" tanyaku, ketika papah mengatakan, bahwa aku akan ikut dia pulang."Nanti kamu juga akan tahu. Ini pengacara keluarga Raharja. Setelah dari kantor polisi ini, kamu bersiaplah. Karena kita, akan mengadakan pertemuan penting, dengan keluarga Raharja."Sebenarnya aku penasaran, pertemuan penting apa yang sedang ingin papah adakan. Tapi papah terlihat begitu banyak pikiran, membuatku urung melempar banyak pertanyaan.Aku pulang bersama papah ke rumahku. Rumah yang khusus palah belikan untukku, sebelum aku melanjutkan pendidikan keluar negeri saat itu.Saat mobil papah, sampai di halaman rumahku. Nampak seorang wanita, yang sangat aku kenali, menunggu di depan teras rumah."Sesil," gumamku. Papah juga nampak terkejut, ketika melihat wanita itu."Ngapain dia kesini," batinku. Sesil melihat ke arah mobil kami, yang mulai papah parkirkan.Wanita itu berdiri dari duduknya dan
Bab63Tanpa bisa aku tolak lagi, akhirnya pernikahan itu pun terjadi. Meskipun papah akhirnya mau, kalau pernikahan itu tidak dirayakan. Biar bagaimana pun juga, ini bukan pernikahan yang aku mau.Diacara sakral itu pun, tiada senyum tercipta di wajah tante Amara, yang tersirat hanyalah aura kekesalan, yang dia balut dalam diamnya.Oh Tuhan, entah apa salahku di dalam dunia ini, sehingga harus memiliki mertua yang perangai nya tidak jauh berbeda, dari yang pertama.Tapi aku juga tidak mungkin, mengorbankan papah, perusahaan dan nama baik keluarga, gara- gara kelakuanku sendiri.Papah memelukku berkali- kali, dan mengucapkan kata maaf, karena tidak bisa sepenuhnya menolongku dari semua ini. Bahkan, om Kustomi pun diam seribu bahasa, seakan tidak terlihat ada powernya lagi.3 tahun, hanya 3 tahun, sudah begitu banyak yang berubah. Bahkan perangai kak Adam, semakin angkuh.Setelah semua keluarga besar berpamitan pulang. Menyisakan aku, papah dan kak Adam.Sedangkan om Kustomi, dia pulang
Pernikahan ini benar- benar sangat tidak nyaman. Bahkan di dalam mobil pun, kami hanya saling diam. Kak Adam benar- benar berubah, tidak seperti dulu lagi. Entah apa tujuannya, menikah denganku.Disaat keheningan menyelimuti kami berdua, tiba- tiba pesan masuk di ponselku. Aku pun membukanya, yang ternyata berasal dari pak Anwar.[Dinda, meskipun sudah menikah, apakah kamu akan tetap mau, kembali ke perusahaan Darmawangsa?]Aku terdiam, membaca pesan dari pak Anwar. Aku bahkan masih cukup syok, dengan kejutan- kejutan semacam ini dalam hidupku. Semua sungguh diluar dugaan."Kamu tidak boleh bekerja lagi ...." tiba- tiba kak Adam bersuara. Aku menoleh ke arahnya."Kenapa?""Karena kamu, harus mengurus aku. Dan ketika Maura sadar, maka kamu juga harus mengurus dia," ujar kak Adam, dengan wajah yang datar, menatap lurus ke jalanan."Kamu mau jadikan aku pembantu kamu, kak?" Aku bertanya dengan tatapan tidak percaya. Seakan masa lalu bersama mas Aditya, kini terulang lagi di kak Adam."K