Share

Yaya Hilang

Menjadi orang tua ternyata tidak semudah yang Andi bayangkan, apalagi mengasuh anak super aktif, lengah sedikit saja tuh anak sudah nyungsep tak tahu tempat sampai jidatnya benjol.

Kira-kira begitulah yang Andi rasakan. Rasanya semua beban berat ditimpakan ke pundaknya sekaligus. Mungkin ini adalah karma akibat keburukan yang sudah dia lakukan di masa lalu sampai-sampai Tuhan mengirimkannya seorang bocah gendut yang diakui oleh seorang wanita bahwa itu adalah anaknya sendiri.

"Jangan nangis, nanti suaranya abis, Yaya." Andi berusaha menenangkan Yaya, tapi bocah itu makin keras saja nangisnya membuat Andi kebingungan sendiri.

"Eh? Gimana kalo kita maen petak umpet aja? Papa yang ngitung, Yaya sembunyi." Andi membuat kesepakatan, apa pun dia lakukan demi membuat tangis bocah itu berhenti.

Upaya Andi rupanya berhasil, tangis Yaya perlahan berhenti. Anak itu menatap Andi dengan mata bulatnya yang basah. Baju yang Andi kenakan ditarik sebagian, lalu Yaya membuang ingusnya di sana begitu saja, Yaya menganggap pakaian papa adalah serbet tak terpakai.

"Iya, deh. Papa yang itung, ya? Yaya sembunyi," kata Yaya, kali ini semangatnya muncul kembali.

"Okeee."

Ketika Andi baru saja bersiap hendak menghitung, Yaya sendiri memasang ancang-ancang untuk mencari tempat persembunyiannya. Ia yakin sang papa tak akan bisa menemukan keberadaannya.

"Satuuu ... dua ... tiga... empat ... lima ...." Andi mulai menghitung. "Udah belooom?"

Tak ada jawaban. Andi tak ambil pusing. Selama anak itu berada dalam ruang lingkup kamar, Andi bisa memastikan anak itu aman.

"Papa cari, yaa ...." Andi berpura-pura. Nyatanya pria itu malah duduk di sofa seraya meraih ponselnya, dia hendak menghubungi seseorang yang sekiranya bisa dimintai tolong.

Nailah sudah berjanji akan datang nanti. Namun, sudah dua jam lamanya Andi menunggu, wanita itu belum juga tiba di rumah. Alhasil, selama itu pula dia tetap sabar. Namun, baru saja Andi hendak menghubungi salah satu rekannya, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk.

"Gimana keadaan di sana?" 

Wajah Andi langsung berubah muram kala mendengar suara wanita di seberang sana, si penelepon itu tak lain adalah Nailah.

"Meneketehe! Gue gak kuat ngurusnya. Gue juga belom pengalaman punya bayi!" Andi mendengkus kesal.

"Perkara bikin aja baru jago!"

"Tuh mulut dijaga, Nai. Ada anak kecil di sini tuh! Telinganya masih suci!"

"Emang dia denger?"

"Ya masa kagak denger!"

Dua-duanya kompak berdebat. Andi yang kekeuh tak ingin mengurus Yaya dan Nailah yang berusaha meyakinkan bahwa anak itu adalah putrinya. Sampai saat ini Andi masih tidak bisa membedakan mana mimpi dan kenyataan.

Andi juga tidak mungkin memberitahu keluarganya mengenai keberadaan Yaya, bisa-bisa dia digorok lehernya oleh sang ayah karena sudah menghamili wanita lain di luar nikah. Andi belum siap untuk pergi ke akhirat. Dia masih betah berfoya-foya di dunia.

"Mending lo ke sini deh, Nai. Bantuin gue. Seenggaknya kalau ada lo, gue nggak akan bingung-bingung amat."

"Tapi, urusan saya di sini belum selesai, Tuan," timpal Nailah lagi.

Andi tetap ngotot. "Otak lo lebih beres dari gue, Nai. Jadi, gue gak mau denger alasan lo. Cepet ke sini atau gue blokir. Bye!"

Andi menutup sambungan telepon tanpa berminat mendengar penjelasan Nailah lebih lanjut.

***

"Tuan." Nailah mengguncang tubuh Andi pelan. Pria itu melenguh sebelum membuka mata, usai menelepon Nailah tadi, dia ketiduran di sofa.

"Kapan nyampe?"

"Baru aja. Tadi gak ada yang bukain pintu, jadi saya inisiatif bukain sendiri," kata Nailah seraya meletakkan sebuah tas besar berwarna pink, bisa Andi tebak bahwa isi tas tersebut adalah barang-barang milik Yaya. "Eh, tunggu. Yaya mana?"

Andi mengerjap. Pria itu mencoba mengumpulkan ingatannya sendiri. Ketika tersadar, dia refleks terduduk. "Astaga. Tadi kami main petak umpet. Gue lupa buat nyari dia karena ketiduran."

Mendengar penjelasan Andi, wajah Nailah berubah cemas. Andi langsung ditatap tak suka. "Kenapa malah diajak main petak umpet? Dia itu kalo udah sembunyi susah ditemuin. Kamu ini kenapa, sih?"

"Gue cuma mau ngajak dia main karena dia gak mau berhenti nangis."

Mendengar alasan Andi, Nailah mendengkus. Tanpa banyak omong, gadis itu bergegas mencari Yaya sembari menyeru namanya. Kamar mandi, dalam lemari, sebelah nakas, keranjang pakaian kotor, bahkan kolong ranjang juga telah diperiksa. Tapi, kelibat anak itu masih tak bisa dijumpai.

"Dia sembunyi di mana? Udah berapa lama? Dia nggak ada di rumah ini, berarti dia sembunyi di luar. Kamu nggak sadar dia keluar, ya?" Nailah mulai menginterogasi, dia berusaha untuk tidak memaki pria itu karena keteledorannya.

"Dia masih ada di rumah ini, Nai. Gak mungkin dia jauh-jauh ke luar, pintu juga udah ditutup rapat."

Andi berusaha menjelaskan. Ia tak bisa membuat pembelaan karena memang dirinya bersalah dalam kasus menghilangnya Yaya.

Kesal, Nailah meninggalkan Andi di luar tengah dan kembali mencari Yaya. Andi pun demikian, pria itu tidak bisa diam saja. Dia ikut mencari di mana anak itu bersembunyi.

"Yaya?" teriak Andi. Namun, tidak ada sahutan. Ke mana anak perempuan kecil itu bersembunyi? "Yaya. Yaya di mana? Ayo keluar, Nak. Nanti diumpetin Mak Inang."

Andi asal sebut saja nama makhluk itu. Entah ada atau tidak, Andi hanya berusaha menakuti Yaya agar segera keluar dari tempat persembunyiannya.

"Yaya!" Masih tak ada sahutan. "Selain jago nangis, nih anak jago ngumpet juga. Bisa stres gue lama-lama."

Andi sudah beredar ke tiap rumah dari lantai satu sampai lantai dua, gudang, kolong meja, lalu naik ke lantai paling atas untuk memeriksa di sana. Namun, hasilnya nihil. Lantai dua juga demikian.

Andi nyaris putus asa. Dia tidak tahu kalau Yaya akan sangat sulit ditemukan seperti ini. Bagaimana kalau ternyata anak itu pergi ke luar lewat celah pintu yang terbuka? Oh, tidak! Jangan sampai. 

"Yaya ... udahan sembunyinya. Jangan lama-lama. Nanti onty tinggalin di rumah sendirian," bujuk Nailah dari tempat lain. Ia berharap dengan mengajak anak itu ke luar, Yaya akan terbujuk.

Nyatanya, anak itu masih setia bersembunyi,d tidak akan keluar sampai dua orang tersebut menemukan keberadaannya.

Andi kembali memijat pelipisnya. Pria itu terduduk di sofa ruang tengah. Pakaian yang dikenakan sejak semalam kini tampak basah oleh keringat. Dia belum sempat mandi karena repot mengasuh Yaya yang tingkat kenakalannya sungguh di luar batas.

Tubuh Andi mendadak lemas, ia tak bisa membayangkan bagaimana marahnya ibu anak itu jika tau Yaya menghilang dari rumah karena keteledorannya. 

Kali ini Andi melangkah menuju kamar tengah, anak itu juga tak ada di sana. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju dapur, di sana juga tidak ada. Sudah lelah Andi mencari. Debaran di dadanya semakin menjadi. Ke mana Yaya pergi? Apalagi sekarang sedang maraknya kasus penculikan anak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status