Share

Ngobrol Dengan Yaya

Andi tidak habis pikir. Ada apa dengan hari ini? Mengapa dunia seolah enggan berpihak padanya? Mengapa ketidakberuntungan belum berpihak padanya?

Sejak tadi pria itu hanya bisa diam memandang apa apa yang ada di hadapannya. Walaupun hanya pemandangan jalanan yang tersuguhkan, itu terasa lebih menarik ketimbang seseorang yang duduk di sebelahnya.

Tepat hari ini, takdir sedang tidak bersahabat dengannya. Mungkin Tuhan sedang ingin menguji kadar move on Andi hari ini. Setelah pertemuan mereka di kantin perusahaan tadi siang, sekarang Andi harus pulang satu mobil bersama Fiona.

Fiona terpaksa menerima tawaran Andi untuk pulang bersama dikarenakan hari sudah malam dan tidak ada taksi yang lewat. Sebenarnya Andi tidak keberatan kalau harus satu mobil bersama sang mantan. Hanya saja, mereka jadi canggung satu sama lain.

"Apakah kamu sudah lebih bahagia setelah tidak denganku?" pertanyaan itu sontak membuat Andi menoleh cepat. wajahnya berubah masam seolah mengatakan, 'are you crazy?'

"Kenapa membahas hal itu?" Andi mengatupkan bibirnya kemudian meralat ucapannya. "Bersama atau tidak, kurasa sama saja. Itu tidak membuat pekerjaan di kantor berkurang."

Andi menjawab seadanya, tapi dalam hati rasanya benar-benar tidak keruan. Mana mungkin pria itu jujur bahwa dirinya sangat tidak baik-baik saja setelah putus dengan Fiona. Andi hanya berusaha tampak baik-baik saja.

Andi tidak pernah menyangka, hanya karena masalah gagal dalam percintaan ia bisa sedepresi ini. Merasa begitu sakit hingga ke ulu hati dan semua kegiatan gila kerjanya selama ini ia lakukam untuk mengalihkan rasa sakitnya.

Fiona hanya bisa menahan tawa, sedari tadi kedua matanya merasa tertantang untuk melirik pria yang sibuk mengemudi di sebelahnya itu. Mengapa ia bisa jatuh cinta pada pria seceroboh Andi?  

"Kadang aku suka merasa kesepian setelah kita putus," kata Fiona, Andi melirik sebentar, dan mendapati gadis itu tengah mengerucutkan bibirnya.

"Apa maksud kamu? Kamu masih bisa menemukan yang terbaik. Aku belum bisa jadi apa yang kamu mau, makanya kamu lebih banyak kecewanya saat bersamaku."

"Jadi ini alasan kamu menghindar dariku saat di kantor? Kamu gak mau kenal sama aku lagi?"

Andi membelokkan setirnya disertai wajah tanpa dosa. Ia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Ucapan Fiona tidak salah, selama ini dia memang berusaha untuk menghindari gadis itu.

Andi akui, meski banyak perubahan dalam diri Fiona, tapi ada hal lain yang melekat abadi di sana. yakni kemampuan bicara dan berpikirnya patut diberi penghargaan, dan jangan lupakan tentang ingin menang sendiri, itu salah satu ciri khasnya yang menyebalkan.

"Hei, bukan begitu," kata Andi gengsi.

"Tidak apa. Aku mengerti. Setidaknya aku mulai tahu bahwa kamu sedang berusaha untuk melupakan, tidak ada yang mudah dari yang namanya melepaskan," sahut Fiona, tersirat sebuah harapan kecil di sana. 

Mobil itu berhenti tepat di depan pagar berwarna coklat mahoni. Andi mengamati sejenak rumah tersebut. Ia juga baru menyadari bahwa semenjak mereka berpisah, Fiona sudah tidak lagi tinggal dengan keluarganya. dia lebih memilih tinggal sendiri di sebuah perumahan yang tak jauh dari kantor. Fiona ingin hidup mandiri.

"Kamu tidak menawariku untuk mampir?" tanya Andi di sela aktifitas Fiona membuka pintu mobil setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.

"Haruskah itu?"

"Hanya sekadar kalimat basa-basi saja. Hanya untuk menambah kosa katamu dalam membalas budi bantuan seseorang." Andi mengangkat bahu sambil merapatkan bibirnya. Fiona berdecak kecil. Pria ini masih sama seperti dulu, sifat perhitungannya sungguh mendarah daging.

"Pulang sana, sudah malam." Fiona justru mengusir, gadis itu memilih untuk segera masuk ke rumah. Dia tersenyum seraya berlalu dari hadapan Andi.

Andi berdecak. "Kenapa cewek selalu sok jual mahal setelah putus?"

***

Andi pulang ke rumahnya dengan lesu. Tak ada semangat hidup. Pekerjaan di kantor begitu banyak dan membuatnya frustrasi, apalagi harus mengantar sang mantan pulang.

Sejujurnya bukan itu yang membuatnya frustrasi. Namun, memikirkan anak yang tak lain adalah hasil perbuatannya. Andi sempat berpikir untuk kabur saja dari rumah, harinya diawali dengan penuh kejutan. Lama-lama ia bisa terkena serangan jantung di usia muda.

Jam menunjukan pukul 22.25 waktu setempat. Ia membuka pintu perlahan. Namun, ia merasa aneh, tak ada suara ramai nan berisik seperti kemarin. Hanya ada suara televisi di rumah ini. Andi bahkan baru ingat wanita cantik bernama Nailah itu berada di rumahnya untuk menjaga anaknya selama Andi pergi bekerja.

Anak? Apakah ini artinya Andi sudah menerima kehadiran Yaya di sana sebagai anaknya? Jika iya, maka Andi harus bekerja lebih keras agar bisa menafkahi dirinya dan satu bocah gembul itu.

"Aku pulang."

"Papa!" Yaya menolehkan kepalanya ke arah pintu dan mendapati sang ayah tengah berusaha mengunci pintu utama. Yaya berlari, lalu merentangkan tangan agar sang ayah mau menggendongnya.

Pria itu mengerutkan dahi karena saat jam telah menunjukkan pukul 10 malam, Yaya belum juga tidur.

"Kenapa belum bobo?" tanya pria itu, dia memilih untuk menuntun Yaya ke ruang tengah, Andi sendiri tak kuat jika harus menggendong Yaya lama-lama. 

"Yaya tunggu Papa."

Kejujuran dari bocah tiga tahun itu sukses membuat bulu kuduk Andi meremang. Selama hidup di dunia, baru kali ini dia ditunggui seorang bayi. 

Andi langsung menoleh ke arah sofa, di sana ada Nailah yang tertidur. Tampaknya gadis itu kelelahan karena seharian mengasuh Yaya sendirian di rumahnya.

Akan tetapi, ada nilai plusnya juga. Rumah Andi menjadi bersih dan kinclong. Tidak seperti biasanya yang selalu berantakan, terutama kamar dan dapur. Keberadaan perempuan itu di cukup menguntungkan juga. Ia tidak perlu menunggu akhir bulan agar rumahnya bersih atau mengisi perut kosongnya dengan telur yang hancur bahkan gosong.

Andi memilih untuk beristirahat sejenak. Dia duduk di sofa satunya lagi seraya melepas dasi yang seharian melilit lehernya.

"Papa capek?" Yaya bersama botol berisi penuh susu formula itu mendekati sang ayah di atas sofa. Sedikit ruang yang tersisa di sofa, ia duduk di sana.

"Iya, coba pijitin." Andi meminta tanpa mengubah posisinya seperti sebelumnya.

Mendengar permintaan sang ayah, Yaya menghentikan kegiatannya meminum susu. "Pijit mana? Sini?"

Yaya ternyata anak yang sangat pengertian, tangan-tangan kecil itu berusaha memijit bagian betis sang ayah. "Iya. Bagian itu."

"Papa capek napa?"

"Capek nyari uang," jawab Andi. Ia paham jika tak seharusnya ia berkata demikian kepada Yaya. Tapi, kata-kata itu terluah begitu saja dari bibirnya.

"Papa dangan keja lagi aja. Papa di lumah temankan Yaya."

Andi jadi ingin tertawa. Tanggapan putri kecilnya itu mampu membuatnya tergelitik. Seandainya hidup bisa semudah itu. Uang datang tanpa perlu bekerja, mungkin ia tak akan stres seperti ini. 

Apalagi setelah di rumah ini ada Yaya, sudah dapat dipastikan pengeluarannya bertambah. Meski Andi bersikeras bahwa dia bukan anaknya, tapi Andi mau saja mengurus Yaya sementara, dia akan mencari tahu siapa orang tua asli anak itu.

"Kita nggak bisa makan kalo nggak kerja."

"Ditu ya, Pa?" Andi menganggukinya. "Papa ajain Yaya gimana caranya buat keja."

Andi terkejut mendengar ucapan Yaya, meskipun sedikit amburadul, tapi Andi mengerti maksudnya. Anak itu ingin bekerja seperti dirinya.

"Ngapain Yaya kerja?"

"Yaya nanti mau keja bantu Papa. Yaya nanti keja telus kasih uang buat Papa sama Onti, biar Papa ndak capek-capek lagi. Ya, Pa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status