Isla membuka kedua matanya dan ia mendapati dirinya di sebuah ruangan. Gadis itu menatap ke sekitarnya dan mencoba bangkit dari posisinya namun seluruh tubuhnya terasa sakit, entah kenapa. Ia menatap beberapa luka yang terlihat sudah mengering di kedua tangan dan juga kakinya.
"Kau sudah sadar?" ujar seseorang.
Isla mencari sumber suara itu dan ia terdiam selama beberapa saat ketika menyadari kalau Tao-lah yang barusan berbicara.
"Kau ... yang membawaku ke sini?" tanya Isla.
"Kau tidak sadarkan diri setelah diserang oleh badai salju milik Aric," jawab Tao. Ia masih berdiri membelakangi Isla. Pria itu menatap lurus ke depan, tepat ke sebuah ladang rumput di luar sana.
"Lalu Rhys? Di mana Rhys?" Isla mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan pria itu di sana namun ia tak menemukannya.
"Aku tidak bertemu dengannya," ujar Tao.
"Lalu kenapa kau membawaku ke sini dan tidak membunuhku saja tadi? Teman-temanmu yang lain beru
Kedua mata Isla hampir saja menutup sebelum ia benar-benar jatuh ke permukaan tanah namun yang terjadi adalah ia merasa kalau seseorang berhasil menahan tubuhnya yang limbung.Isla kemudian menolehkan kepalanya dan menatap Tao yang entah kapan bergerak menyusulnya."Kenapa kau mengikutiku?" ujar Isla seraya melepaskan tangan milik Tao yang masih berada di pinggangnya.Tak ada satu pun kalimat yang merupakan jawaban dari Tao. Pria itu hanya terdiam menatap Isla yang juga menatapnya, sebelum akhirnya gadis itu memilih memutuskan kontak mata mereka berdua."Jika kau memang tak ada niat untuk menghabisiku seperti semua teman-temannmu, maka tinggalkan aku di sini dan berpura-puralah kalau kau tak bertemu denganku sebelum teman-temanmu yang lain melihatnya dan mereka salah paham. Kau akan mendapatkan masalah. Pergilah," titah Isla. Gadis itu lalu kembali melangkahkan kedua kakinya pergi dari sana, meninggalkan Tao yang tak kunjung juga mengeluarkan
Bel pintu dibunyikan selama beberapa kali, berharap si pemilik rumah akan merespon dan keluar. Namun hingga beberapa menit setelahnya, pintu itu tak menunjukkan adanya pergerakan sama sekali dan dari dalam tak terdengar suara langkah kaki mendekat menuju pintu.Teresa membuang napasnya pelan lalu menatap Alex yang berada di sebelahnya, "Kurasa tak ada orang di sini," ujarnya."Apa mungkin Isla dan ibunya mendadak ada keperluan? Tapi Isla bisa saja menghubungimu, kan. Ini semakin aneh," ujar Alex."Isla selalu menghubungiku jika ada sesuatu dan dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jadi aku merasa kalau ada yang tidak beres di sini." Teresa menatap pintu di depannya. Kemudian gadis itu tak sengaja melihat sebuah retakan di permukaan tanah yang terletak tidak jauh dari posisinya dan Alex."Ada apa?" Alex segera berjalan mengikuti langkah Teresa saat gadis itu berjalan ke suatu tempat."Lihatlah, tanah ini terbelah seperti sehabis dilanda
"Aku sudah tidak kuat lagi." Isla menjatuhkan kedua lututnya di atas permukaan salju. Bibirnya sudah terlihat semakin pucat seiring dengan semakin turun suhu tubuhnya.Angin yang bertiup cukup kencang dan seolah mengiris setiap permukaan kulitnya.Kedua tangan Isla mengepal kuat salju-salju di sekitarnya. Ia tak berhasil menemukan Rhys dan pria itu pun tak berhasil menyusulnya, entah apa yang telah terjadi.Namun di tengah perasaan putus asanya, Isla melihat sesuatu yang berada di kejauhan. Kedua matanya lalu menyipit, mencoba mengenali objek itu sebelum akhirnya ia bangkit dan dengan sekuat tenaga gadis itu bangkit dari posisinya dan berlari ke sana."RHYS!" Isla langsung mengangkat tubuh Rhys yang sudah dingin. Gadis itu menjatuhkan air matanya saat pria yang ada di pangkuannya itu benar-benar tak meresponnya sama sekali. Ia menyentuh salah satu pergelangan tangan daj juga leher milik Rhys, memeriksa apakah masih terdapat denyutan nadi
Isla perlahan berjalan keluar dari kamarnya dan ia berjalan mendekati sebuah pintu yang lain yang terletak tidak jauh dari posisi kamarnya. Gadis itu terdiam selama beberapa saat di depan ruangan itu sebelum akhirnya ia mengetuk pelan permukaan pintu itu setelahnya, namun tak terdengar adanya respon sedikit pun."Apa dia belum sadar?" Isla membatin. Ia lalu perlahan memegang handle pintu dan menggerakkannya ke bawah, membuat pintu itu perlahan terbuka hingga gadis itu bisa melihat keadaan di dalam sana secara langsung."Rhys?" panggilnya pelan. Ia melihat Rhys yang masih terbaring di atas tempat tidur dengan luka-luka yang membalut tubuhnya."Lukanya parah sekali," batin Isla. Gadis itu menelan ludahnya sebelum akhirnya ia duduk di pinggiran tempat tidur milik Rhys agar bisa melihat keadaan pria itu secara lebih dekat.Dengan jarak yang dekat, ia bisa melihat wajah Rhys yang begitu terlihat lelah."Maaf karena tak bisa membantumu,
Isla menghidupkan ponselnya dan gadis itu mendapat banyak sekali notifikasi yang masuk, terutama dari Teresa. Persis seperti dugaannya sebelumnya, Teresa berusaha meneleponnya selama berkali-kali dan gadis itu juga mengiriminya banyak pesan.Karena tak tega membiarkan sahabatnya diselimuti rasa cemas yang cukup besar terhadapnya, akhirnya Isla pun memutuskan untuk membalas pesan yang dikirimkan oleh Teresa. Hingga kurang dari lima menit, ponsel milik Isla berbunyi pertanda adanya sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu lalu mengeceknya dan ternyata benar, kalau itu adalah telepon masuk dari Teresa."Halo?" Isla menempelkan ponselnya di sebelah telinga."Isla? Apa ini benar-benar kau, Isla?" tanya Teresa yang berada di seberang sana, berusaha meyakinkan karena Isla yang pergi menghilang entah ke mana selama beberapa hari dan secara mengejutkan gadis itu membalas pesan yang pernah dikirimkannya beberapa hari lalu.Isla terkikih pelan
"Dilaporkan bahwa akan terjadi badai dari arah barat menuju ke arah Swedia dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. Diperkirakan badai ini akan melintas dalam kurun waktu satu hari. Pemerintah menghimbau agar masyarakat pergi ke tampat yang aman demi keselamatan masing-masing dan berlindung di ruangan bawah tanah.""Ini tidak bagus." Isla mencebikkan bibirnya. Maria yang duduk tepat di sebelahnya hanya memandangi layar TV sebelum akhirnya wanita itu membuang napasnya pelan."Ingat, Isla. Jangan pergi ke mana pun mulai nanti malam dan tetaplah berada di rumah. Kita akan berlindung di ruang bawah tanah," ujar Maria.Isla mendengkus pelan, "Aku benci musim panas kali ini. Kita bahkan seperti tak diizinkan liburan di pertengahan tahun ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya tak pernah seperti ini," ujarnya."Mungkin jika besok pagi badai itu benar-benar akan mengamuk saat sampai di negeri ini, semua sekolah kemungkinan akan diliburkan." Maria membawa gelas-gelas
Isla memasuki ruangan kelasnya dengan langkah yang tergesa dan di dalam ruangan itu ternyata Teresa sudah bersiap menyambutnya. Sahabatnya itu sudah bersiap berlari menghampiri Isla dan memeluknya dengan erat namun tubuh Teresa justru membeku di detik berikutnya."Isla, kau—""Hm? Ada apa?" Gerakan kedua kaki milik Isla pun memelan secara perlahan dan menatap Teresa dengan pandangan yang sulit diartikan."Siapa ... " Teresa yang masih terbengong-bengong itu pun berjalan mendekati Isla secara perlahan dan kedua tangannya terangkat, memegang kedua sisi wajah Isla dan menatap gadis itu dalam jarak yang dekat. "Siapa yang melakukan ini, Isla?" ujar Teresa.Ucapan Teresa itu lalu membuat orang-orang yang ada di kelas menoleh dan mereka terkejut melihat keadaan Isla. Memang terlihat tak begitu parah, namun wajah gadis itu terlihat tergores oleh sesuatu di beberapa bagian dan kedua kakinya juga terlihat terdapat beberapa lecet."Ah
Kedua mata Isla terbuka dan gadis itu langsung mendudukkan tubuhnya dengan napas yang tersengal. Namun hal pertama yang dilihat Isla begitu ia membuka kedua matanya adalah gelap. Hanya ada setitik cahaya kecil yang berasal dari lilin yang mungkin sebelumnya telah dinyalakan oleh ibunya yang diletakkan di atas nakas tepat di sebelah tempat tidur milik gadis itu.Isla lalu bangun dari posisinya dan ia membuka tirai jendela kamarnya yang sudah ditutup. Kedua matanya membulat saat mendapati kalau keadaan di seluruh kota juga semuanya padam, tak ada satu pun rumah yang listriknya menyala.Apa yang terjadi?Dengan segera Isla keluar dari kamarnya dan menuruni satu per satu anak tangga."Ibu, kenapa semuanya gelap sekali?" tanya Isla. Gadis itu berjalan menghampiri ibunya yang tengah duduk di sebuah sofa yang terletak di depan perapian yang terasa begitu hangat dan menenangkan."Entahlah, ibu juga tak tahu ada apa. Beberapa waktu