“Pulanglah, Adam. Semua laporan sudah kau periksa. Sebentar lagi aku istirahat,” Victor melihat jam dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dirinya merasa telah mengeksploitasi pekerja.
“Sebentar lagi, tuan. Anda istirahatlah dulu. Besok Anda mengambil penerbangan pagi.”
“Pulanglah. Besok kau tak perlu mengantarku. Tolong jaga mommy dan daddy selama aku tidak di sini.”
Adam mengangguk dan meregangkat otot tubuhnya. Dia dari tadi memang menahan kantuknya. Setelah berpamitan dengan Victor, Adam melangkahkan kakinya keluar dari apartemen milik Victor.
Sedangkan Victor, kini dirinya sedang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya masih terfokus pada laporan yang diberikan oleh Dave di ponselnya. Victor menghafal setiap informasi yang ada di sana. Khusus untuk Callista, dia akan sedikit bermain-main dengannya. Mengingat kepribadian Callista dulu, sepertinya mempermainkan Callista bukan hal yang buruk.
Akhirnya Victor tertidur dengan ponsel yang masih menunjukkan informasi pribadi tentang Callista.
***
“Callis, dipanggil sama Pak Gunawan di kantornya.”
Callista yang baru saja sampai di balik meja resepsionis menoleh ke Karina yang merupakan asisten dari Pak Gunawan. “Kenapa, Mbak?” Callista merasa dirinya tidak melakukan kesalahan hingga harus dipanggil HRD.
“Udah ke sana dulu. Gue juga nggak tau,” Callista mengangguk dan mengikuti Karina. Sesekali Karina mengajaknya mengobrol. Di antara rekan kerjanya, memang Karina yang paling dekat dengannya. Walaupun jarang mengobrol karena kesibukan masing-masing, tapi Karina sering mengajaknya keluar pada saat hari libur. Apalagi Karina sangat menyukai Ries. Ries pun selalu menanti hari minggu agar dapat bertemu dengan Karina. Bahkan Ries memanggil karena dengan panggilan Mama.
“Aku jadi deg deg-an, Mbak,” ucap Callis yang dijawab dengan tawa oleh Karina.
Callis akhirnya masuk ke ruangan Pak Gunawan setelah mendapat jawaban dari atasannya itu. Callista duduk karena Pak Gunawan sudah mempesilakannya. Callis masih diam menunggu Pak Gunawan yang masih sibuk dengan ponsel dan laporan yang ada di hadapannya.
“Callista, saya memanggilmu ke sini karena ada beberapa hal yang harus didiskusikan,” ucap Pak Gunawan setelah mematikan ponselnya.
“Ada perlu apa ya, Pak?”
“Setelah saya meninjau kinerjamu beberapa bulan ini, ternyata kinerjamu cukup baik. Saya ingin mempromosikanmu untuk menjadi Front Office Manager,” ucapan Pak Gunawan tentu saja membuat Callis terkejut.
“Bukannya saya menolak, Pak. Tapi bukankah masih banyak yang lebih senior daripada saya? Apakah ini tidak terlalu cepat?” menurut Callis, hal ini sedikit aneh. Dirinya bahkan baru bekerja selama satu tahun, tapi sudah dipromosikan.
“Saya tahu kamu akan bertanya tentang ini,” setelah mengucapkan hal itu, Pak Gunawan terkekeh. “Satu tahun cukup bagi saya untuk melihat kemampuan seseorang,” Pak Gunawan mengangsurkan kontrak kepada Callis. “Ini kontraknya. Di sana sudah terisi hak dan kewajibanmu. Kamu bisa mengisinya kalau kamu setuju untuk dipromosikan.”
“Bisa beri saya waktu untuk memikirkannya, Pak?”
Pak Gunawan kembali terkekeh dengan membenarkan kacamata bacanya. “Hotel ini terlalu bagus untuk menunggumu memikirkannya. Masih banyak karyawan yang menginginkan posisi ini. Kalau memang kamu tidak tertarik, kamu bisa keluar dari sini karena saya masih memiliki banyak pekerjaan,” ucap Pak Gunawan dengan tangan yang mengarah ke pintu ruangan. Mengisyaratkan Callis untuk secera keluar jika memang menolak pekerjaannya.
Tentu saja Callis tidak menolaknya. Namun, entah kenapa, Callis sedikit ragu dengan pilihannya. Seperti ada yang mengganjal. Callis lebih memilih untuk mengasingkan perasaan itu. Menurut Callis, keputusan ini tidak akan datang dua kali.
Callis membaca sekilas kontrak tersebut. Setelah itu, dia segera membubuhkan tanda tangannya di sana. Setelah Callis menutup kontrak itu kembali pada Pak Gunawan, Callis pamit undur diri.
“Segera kemasi barangmu. Karina akan menunjukkan ruanganmu,” ujar Pak Gunawan sebelum Callis beranjak dari kursinya. Callis mengangguk dan keluar dari ruangan HRD.
Di depan pintu sudah ada Karina yang memeluknya. “Congrats, dear,” Karina memeluknya dengan erat dan mengantarkannya ke ruangan baru Callis.
“Tapi, Mbak. Aneh nggak sih? Aku kan baru di sini, tapi udah dipromosiin aja,” Callis kembali menanyakan keraguannya pada Karina setelah mereka sampai di ruangan Callis yang baru.
Karin hanya mengendikkan bahunya tak acuh. “Di dunia ini emang nggak ada yang nggak aneh. Apalagi di hidup orang kaya,” ucap Karina.
Setelah itu, Karina dan Callis tertawa bersama dan segera membersihkan ruangan itu. Saat mereka membersihkan ruangan itu. Ada mantan front office manager yang memasuki ruangan. “Kamu FOM yang baru ya?”
Callis mengangguk mengiyakan. “Iya, pak,”
“Seminggu ke depan, kamu aku bimbing dulu. Untung pas saya resign langsung ada penggantinya. Saya udah baca CV sama track record kamu. Sepertinya nggak susah kalo mau ngajarin kamu.”
Callis tersipu mendengar pujian untuknya. Memangnya siapa yang tidak suka dipuji? Walaupun kekanakan, tapi Callis pun sangat suka dipuji. “Terima kasih atas pujiannya, pak. Saya akan bekerja sebaik-baiknya,” ucap Callis dengan membungkukkan sedikit badannya.
Setelah itu, Callis dan Karina keluar dengan mantan FOM itu. Karina sendiri diamanatkan oleh Pak Gunawan untuk mendampingi Callis selama seminggu ke depan.
***
Victor menghubungi Nick sebelum dirinya flight. “Apapun posisinya, dia harus melakukan pembaharuan kontrak. Jangan lupa kau masukkan syarat yang telah ku katakan kemarin. Pastikan sendiri dia sudah menandatanganinya.”
“Sebelum aku bertanya pada Dave, kau harus menjelaskan kepadaku. Aku merasa menjadi orang bodoh saat ini,” Nick berdecak di seberang sana. Dia merasa Dave dan Victor merahasiakan hal ini darinya.
“Kau akan mendapatkan jawabannya nanti. Atau kau bisa bertanya pada Dave. Aku akan flight. Kau jangan ikut campur pada proyek ini. Dan selama aku di Indonesia, biarkan aku yang menangani Roberto Paradise Hotel and Residences,” ucap Victor.
“Hei! Apa yang akan kau lakukan dengan Roberto Paradise Hotel and Residences?”
“Aku akan mengelolanya.”
“Jangan berani-berani kau membuat hotelku rugi atau ku bunuh kau!”
Victor berdecak. Dia membutar bola matanya malas. “Bahkan aku bisa mengelolanya lebih baik darimu. Aku akan meminta bayaranku sepulang dari Indonesia,” ucapan Victor memang tidak berbohong. Victor merupakan salah satu pebisnis handal yang sudah terkenal di penjuru Australia. Bahkan Victorlah yang mengepakkan sayapnya ke beberapa cabang industri karena sebelum Victor memimpin, TBGroup hanya berfokus di bidang perkapalan.
“Ya ya ya. Aku menyerah padamu, Tuan Panutan Generasi Millenial. Kau memang pebisnis yang handal,” ejek Nick. Nick tahu bahwa Victor sangat membenci julukan itu—julukan yang diberikan oleh beberapa media pada Victor. Menurut Victor, panggilan itu sangat terdengar memuakkan.
Dibandingkan menjawab ejekan Nick, Victor lebih memilih untuk mematikan panggilan itu. Jika menanggapi Nick, Victor tahu, sampai besok pun ejekan itu tidak akan selesai. Victor mematikan ponselnya dan memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya saat mendengar bahwa pesawat akan segera lepas landas. Setelah seminggu ini dirinya tidak istirahat dengan benar, Victor merasakan tubuhnya sanagt remuk.
Tujuh jam sudah terlewati. Victor bangun dari tidurnya sejak satu jam yang lalu. Setelah mendarat, Victor segera menghubungi asisten Nick yang menjemputnya. Kepala Victor sedikit pusing karena jam biologisnya yang berubah. Walaupun sudah sering bepergian ke luar negeri, Victor masih belum terbiasa dengan perubahan jam biologisnya.
“Pak, sebelum menuju apartemen, ke Roberto Paradise Hotel and Residences dulu.”
Beruntunglah ibu Victor, Anastasya, merupakan warga negara Indonesia, sehingga dirinya sedikit dapat menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun begitu, orang yang berbicara dengan Victor pasti akan tahu jika Victor bukan orang Indonesia asli. Melihat aksen Victor yang sama sekali tidak menunjukkan aksen Indonesia. Selain itu, walaupun dirinya memiliki darah Indonesia, namun Victor sama sekali tidak menuruni wajah Indonesia ibunya. Selain karena Anastasya juga bukan orang Indonesia asli, namun blasteran Indonesia-Turkey, Victor benar-benar fotocopy dari Abraham.
Mobil yang ditumpangi Victor sampai di lobby hotel. Victor berjalan dengan menggunakan topi dan kacamata hitam. Keberadaan Victor belum saatnya diketahui oleh Callis. Victor melihat Callis di balik meja resepsionis. Callis terlihat sedang membereskan barang-barangnya. Menurut prediksi Victor, Callis sudah melakukan pembaharuan kontrak.
Victor tidak mendengarkan resepsionis di depannya yang menjelaskan tentang fasilitas yang dimiliki oleh hotel ini. Victor lebih tertarik melihat perubahan pada diri Callis. Jika dulu Callis masih terlihat polos dan lugu. Tapi sekarang Callis terlihat sangat dewasa dan… menggoda.
Callis yang merasa dirinya diamati pun melihat ke arah Victor. Callis hanya tersenyum santun dan kembali fokus pada barang-barangnya. Dirinya sedikit terburu-buru karena mantan FOM sudah menunggunya di ruangan barunya.
“Bisa aku bertemu dengan HRD di sini?” tanya Victor memotong ucapan resepsionis di depannya.
“Maaf, apakah Anda sudah membuat janji sebelumnya?”
Victor menatap resepsionis itu di balik kaca mata hitamnya. Resepsionis ini terlalu banyak bicara. “Katakan saja aku utusan Mr. Roberto. Dia akan tahu,” ucap Victor akhirnya.
Resepsionis ini mengangguk dan memaksakan senyum ramah. Bukan tanpa alasan dirinya dongkol kepada lelaki di depannya ini. Pasalnya, dia tahu bahwa sedari tadi, pria ini tidak mendengarkannya berbicara namun malah menatap Callis. Ah dirinya semakin kesal dengan Callis yang selalu mendapatkan perhatian.
Dirinya segera menghubungi Karina, asisten Pak Gunawan. Tak lama, Karina datang dan segera mengantarkan Victor menemui Pak Gunawan. Sebenarnya Karina cukup terkejut karena dirinya melihat lelaki tampan yang mengenakan baju polo dengan jaket dan celana hitam. Untuk ukuran utusan Mr. Nick Roberto, orang ini cukup terlihat santai.
Victor mengikuti Karina dan segera memasuki ruangan Pak Gunawan. Victor segera meminta salinan kontrak tersebut pada Pak Gunawan. Karena jujur saja, kepalanya sudah pusing dan dirinya juga lelah. Setelah mendapatkan salinan kontrak tersebut, Victor menyeringai.
Permainan dimulai.
“Jangan sungkan, Callis. Tidak mungkin kalian selamanya tinggal di unit. Suatu saat kalian pasti membutuhkan rumah. Oleh karena itu, lebih baik kalian memilih rumah secepatnya. Aku akan merasa sangat sedih karena kalian menolak hadiah pernikahan dariku.” Callis semakin merasa bersalah saat mendengar ucapan terakhir Abraham. Bukannya ingin menolak, Callis hanya merasa sangat tidak enak jika menerima hadiah semahal itu. “Aku akan mendiskusikannya dengan Victor terlebih dahulu, Mom, Dad.” “Aku selalu setuju dengan pilihanmu, Callie. Semua keputusanmu adalah keputusanku juga.” Callis ingin mencakar mulut Victor yang tersenyum usil di sebelah sana. Bukannya membantu, Victor malah semakin mendorongnya. Lihat saja nanti, Callis pastikan bahwa Victor akan tidur di luar. *** Victor beserta keluarganya memasuki rumah yang menjadi kado pernikahannya. Rumah ini sangat luas bagi Callis. Namun, jika dibandingkan dengan mansion milik keluarga Abraham tentu tidak ada apa-apanya. Callis memang mem
“Yow! Kedua sahabatku sedang bercengkrama tanpa mengajakku.” Nick menyenggolkan bahunya kepada Victor dan Dave dengan wajah cengengesan.“Sudah lama kita tidak bertemu,” ujar Dave pada sahabatnya itu.“Yah, Si Diktaktor itu memaksaku untuk mengurus cabang di Indonesia setelah dia memaksa untuk mengambil alih cabang itu sebelumnya,” sindir Nick pada Victor. “Aku membutuhkan banyak adaptasi saat di sana,” keluhnya.Victor hanya meliriknya malas. Dia sangat paham bahwa Nick sangat suka mendramatisir semua hal. “Wow! Siapa wanita cantik yang sedang bersama istrimu itu, Bro?” tunjuk Nick pada Meghan.“Alihkan tatapanmu dari kekasihku, atau akan ku keluarkan bola matamu dari tempatnya, Nick.”***Callis dan Victor saat ini sudah berada di kamar pengantin. Tubuh Callis terasa sangat lelah, namun Callis merasa sangat puas. Pesta pernikahan yang dijalani nyatanya sangat jauh lebih menyenangkan dibandingkan yang pernah diimpikannya. Victor sangat bersungguh-sungguh saat dirinya berkata bahwa a
Tanpa bantahan, Callis bergerak ke arah Victor dan menyandarkan kepalanya ke dada Victor. Tangan Victor juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus rambut wanitanya. “Tadi katanya ingin membahas tentang pernikahan kita?” tanya Victor untuk membuka percakapannya. “Sebentar.” Callis segera beranjak dan mengambil tabnya yang dia simpan di meja yang berada di sudut kamar. Setelah mendapatkannya, Callis kembali ke posisi awal. “Tanpa mengingat pilihanku, aku ingin kau memilih dekorasi serta hal lain yang kita butuhkan untuk pernikahan kita.” Cassie menyodorkan tab yang sudah menayangkan beberapa pilihan itu pada Victor. Malam itu dihabiskan oleh sepasang suami istri, yang akan kembali menikah, dengan diskusi. *** Waktu berlalu dengan cukup baik. Baik Callis maupun Victor, mereka akhirnya menyiapkan pernikahan ini dengan bersungguh-sungguh. Hari besar yang dinantikan akhirnya datang juga. Saat ini, Callis sedang mempersiapkan dirinya untuk pemberkatan. Isabella, sang ibu, serta
Dengan pelan, Callis menggerakkan kepalanya hingga tatapan mata mereka saling berbalas. “Tidak perlu meminta maaf, Vic. Yang terpenting, tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Callis mengucapkannya dengan nada bergetar karena harus menahan tangisannya.“Aku ingin memulai semuanya dengan benar, Callis.”Ucapan Victor membuat Callis harus mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud Victor.“Ayo kita melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Mulai dari persiapan pernikahan, pemberkatan, hingga resepsi. Aku ingin melakukan semuanya denganmu. Aku ingin merasakan menjadi kekasih yang menunggu pasangannya untuk fitting baju. Aku ingin melakukan foto pra-nikah, aku ingin mengucapkan janji untuk selalu menjadi saksimu di hadapan Tuhan dan aku ingin memiliki foto pernikahan yang dapat dipajang di ruang tamu. Bahkan jika kau mau, aku juga ingin melakukan rangkaian budaya pernikahan seperti yang biasanya Mom ceritakan padaku saat aku kecil. Aku ingin m
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa ketiganya. Namun, hanya Callis yang membalas sapaan mereka. Baik Victor maupun Reis hanya diam dan berjalan lurus. Callis menggelengkan kepalanya melihat Victor dan Reis yang bergandengan tangan meninggalkannya di belakang. Callis sengaja memperlambat jalannya dan benar dugaannya. Victor dan Reis terlalu fokus pada jalan di depannya tanpa mempedulikan sekitar. Begitu kedua lelaki berbeda generasi itu hendak mencapai lift, Callis mempercepat langkahnya agar keduanya tidak sadar bahwa dirinya sempat terhindar.Dasar dua lelaki sok keren, gumam Callis dengan sedikit kekehan.Adam yang sudah menunggu di samping lift para petinggi segera menekan tombol pada lift agar terbuka. “Selamat siang, Tuan Barnett, Tuan Muda Barnett… dan Nyonya Barnett.”Callis berdecih dan masuk ke lift bersama ketiganya–Victor, Reis, dan Adam. Callis sangat tahu bahwa Adam sedang mengejeknya dan itu membuatnya kesal. Callis ingin sekali memukul lengan Adam. Nam
Callis masih setia mengelus punggung Reis yang masih sesenggukan di dadanya. Bahkan, Reis duduk di pangkuan Callis karena masih tidak ingin lepas dari ibunya. “Nangisnya udahan dong, sayang.” Callis mencoba melepaskan pelukan Reis padanya.Pelukan Reis terlepas. Callis akhirnya dapat melihat wajah Reis yang memerah sebab tangis. Bahkan, mata Reis masih basah karena air mata yang belum kering. Air mata Reis kembali menetes saat menatap wajah ibu yang sangat dirindukannya.“Gantengnya Mommy jadi jelek soalnya nangis mulu,” ledek Callis dengan mengelap wajah Reis yang basah karena air mata dan keringat. “Reis kangen banget sama Mommy,” rengek Reis dengan kembali memeluk Callis, tapi tidak seerat tadi. “Mommy juga kangen banget sama anak Mommy yang paling ganteng ini.”“Mommy, aku laper banger,” rengek Reis yang dijawab dengan kekehan oleh Callis.***Callis dan Reis sampai di Four Season, salah satu restoran yang berkolaborasi dengan TBGroup. Sejak mereka hidup dengan Victor, lelaki it