Share

Bab 2 : Office Girl bagian 2

OFFICE GIRL

Bagian Dua

Menul tersenyum saat mendapati deretan kalimatnya sudah berjajar rapi di notesnya. Senyum itu mengembang menyibak bibir sumbingnya, menyiratkan sebuah kesukuran. Menul memang pantas bersukur karena masih diberi karunia bisa menulis dan membaca. Meski dia hanya mengenyam bangku SD di dua tahun pertama, tetapi dia bersukur bapak simboknya tetap memperhatikan kemampuan baca tulisnya.

Bahkan tidak jarang simboknya yang berjualan di pasar membawakan Menul berbagai buku bacaan, majalah, atau koran yang kesemuanya adalah bekas, untuk mengasah bacaan Menul. Sebuah kebetulan Menul sangat suka membaca sehingga hampir semua yang dibawakan simboknya selalu dilahap oleh Menul. Tidak mengherankan kalau wawasan Menul lebih luas dari anak-anak yang bersekolah.

Seperti biasa, Menul akan membaca ulang apa yang telah ditulisnya. Meski tulisan itu tidak untuk dibaca orang lain, tetapi Menul merasa harus menyajikan tulisan yang enak dibaca. Kepuasan diri pada tulisan yang dibuatnya akan menjadi pengantar istirahat malamnya. Menul akan nyenyak tidur kalau dia puas dengan tulisannya.

Sebaliknya, dia tidak akan tenang kalau dia merasa ada yang kurang sreg pada kalimat yang dipilihnya. Apalagi kalau ada kalimat menggantung tapi dia belum menemukan kata yang pas. Makanya, tidak jarang Menul terbangun di tengah malam hanya untuk menambal sulam tulisannya.

Menul sudah selesai dengan tulisannya. Seperti biasanya, dia akan mengecek kembali seluruh ruang kerja di lantai tujuh itu sebelum dia pulang. Dia tidak ingin kejadian ketika ada yang komplain karena gelas kotor masih tertinggal di meja kerja salah satu atasannya, kembali terulang. Meski hanya seorang office girl tapi Menul merasa harus tetap profesional.

“Ah, beres. Semua gelas sudah di pantri. Kertas-kertas yang tidak terpakai juga sudah di tempatnya. Lampu yang tidak boleh menyala sudah aku matikan. Kran air juga sudah aku matikan. Semua beres,” guman Menul pada dirinya, seolah sedang meyakinkan kalau pekerjaannya sudah benar-benar beres. Kalau sudah begitu pertanda Menul harus siap-siap untuk pulang.

“Bukakan pintunya Nul!” teriak Dodo di luar ruang kerja Andre dengan dua kardus di pundaknya.

Menul lari menghampiri Dodo yang sedang kerepotan dengan barang bawaannya. Dengan sigap dibukanya ruang kerja atasannya itu. Menul menahan pintu dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang notesnya. Menul tidak sempat memasukkan notes ke dalam tas yang di selempangkan di bahunya.

“Kamu harus bergegas pulang Nul. Sebentar lagi Pak Andre akan kemari,” ujar Dodo sambil menaruh barang bawaannya.

“Ya, ampun. Pak Andre mau ke sini?”

Menul tercekat. Rasa tidak nyaman tiba-tiba menyergapnya. Tetapi rasa tidak nyaman itu tidak lalu mencegahnya untuk membantu Dodo menurunkan barang bawannya. Dengan sigap Menul membantu Dodo.

“Iya. Pak Andre akan menata buku-buku ini di rak itu,” sergah Dodo dengan pandangan ke arah rak buku.

“Kalau begitu, saya pamit pulang Mas.”

“Iya Nul. Kayaknya lebih baik untuk malam ini kamu jangan di kantor dulu.”

Tanpa menunggu waktu Menul bergegas keluar ruangan. Dia berharap sudah akan berada di tangga, sebelum atasannya sampai ke ruang kerjanya. Dengan begitu dia tidak akan berpapasan dengan Andre karena Menul yakin atasannya itu akan menggunakan lift. Meski Menul yakin tidak akan menjadi masalah besar kalau dia sampai ketahuan pulang telat oleh atasannya, tetapi dia tidak ingin Dodo mendapat masalah. Apalagi Dodo yang menyuruh agar dia bergegas meninggalkan kantor, tentu ada alasan tersendiri. Makanya, dia merasa harus menjaga kepercayaan yang Dodo berikan.

Aman. Menul sudah sampai di tangga dan tidak berpapasan dengan atasannya. Menul mengelus dada sambil tersenyum kecil karena dengan begitu berarti Andre tidak akan tahu kalau selama ini dia selalu pulang telat dan memanfaatkannya untuk menulis.

“Ya ampun. Notesku?”

Menul terhenyak setelah sadar kalau notesnya tidak berada di tangannya. Meski dia yakin notes itu tidak ada di dalam tasnya, tak urung dia tetap membuka tasnya. Berharap notes itu dia temukan.

“Di ruang kerja Pak Andre,” guman Menul. Dia ingat betul telah meletakkan notesnya di meja kerja atasannya itu saat dia membantu Dodo menurunkan barang bawaannya. Dia lupa mengambilnya kembali karena dia harus bergegas meninggalkan kantor.

Menul menghentikan langkah. Bahkan dia memutar badannya seolah ingin balik menaiki tangga. Namun keraguan menghinggapinya. Tidak mungkin dia balik hanya untuk mengambil notesnya. Apa kata atasannya kalau tahu Menul telah memasuki ruangannya di luar jam kerja. Tetapi kalau Andre mendapati notesnya?.

“Ah, sudahlah. Besok tinggal bilang kalau notes itu tertinggal saat dia mengambil gelas kalau Pak Andre menanyakannya. Aku yakin Pak Andre tidak akan mempermasalahkannya,” begitu guman Menul, mencoba menenangkan hatinya.

Selama ini Menul memang jarang bertemu dengan atasannya itu. Bahkan bisa dibilang tidak pernah, karena selama bekerja di perusahaan itu Menul baru dua kali bertemu dengan Andre. Atau lebih tepatnya melihat Andre. Pertama, saat Andre mengumumkan pertunangannya dengan Arra. Itu pun Menul hanya melihat sekilas saat dia mengantar minuman.

Kedua saat Andre bersama Reno, saudara sepupunya yang dipromosikan untuk menjadi CEO perusahaan. Itu pun Menul hanya melihatnya dari kejauhan. Dari dua kali melihat sekilas sosok Andre itu, Menul seperti merasakan sesuatu. Dia tahu itu cinta. Tetapi dia tidak mau memperturutkannya. Dia merasa tidak berhak untuk mencintai lelaki, apalagi lelaki sekelas Andre.

Begitulah.  Menul telah menutup hatinya untuk sesuatu yang bernama cinta. Sejak pertama kali dia mengenal cinta sampai kemudian harus berkali-kali menyeka air mata karena cinta, Menul tidak mau berharap banyak. Menul sadar diri siapa dirinya. Gadis miskin, tidak berpendidikan, sudah itu bibirnya sumbing. Lengkap sudah kekurangan yang dia miliki. Kalau hanya miskin, mungkin dia masih bisa berharap akan mendapatkan cinta dari lelaki yang dia kagumi.

Kalau hanya tidak berpendidikan, banyak gadis di kampungnya yang juga tidak berpendidikan tinggi namun bisa mendapatkan cinta sejatinya. Tapi bibir sumbing, itulah masalahnya. Bahkan Menul harus memupus cita-citanya sejak dia duduk di bangku kelas dua SD saat dia tidak tahan lagi mendapat ejekan dari teman-teman sekolahnya, hanya karena bibirnya sumbing.

Cinta, hanya sebuah mimpi bagi Menul. Sejak dia didamprat habis-habisan oleh seorang pemuda yang mengetahui Menul mencintainya, Menul telah mengubur harapan untuk sebuah cinta. Bagaimana tidak? Hanya mencintai saja Menul sudah mendapat penghinaan luar biasa. Apalagi sampai mengungkapkannya. Cinta Menul adalah petaka bagi seorang pemuda. Dan Menul tidak mau mengulanginya.

Menul kembali melangkahkan kakinya menyusuri anak tangga. Dia harus bergegas pulang. Jarak dua kilo cukup menyita waktu dengan berjalan kaki. Sengaja Menul berjalan kaki saat berangkat dan pulang kerja. Selain ngirit ongkos, berjalan kaki akan membuatnya sehat. Jarak dua kilo bukanlah jarak yang jauh bagi kaki Menul yang sudah terbiasa menyusuri hutan di tempat asalnya.

Selain itu, dengan berjalan kaki dia banyak mendapatkan ide yang belum tentu akan didapat kalau dia harus naik angkot. Terlebih bagi orang-orang yang pulang pergi dengan kendaraan pribadi, seperti Andre atau karyawan lainnya. Tentu saja orang-orang tersebut akan kehilangan banyak ide brilian yang terserak di sepanjang jalan.

                                                                                     ###

 Andre bergegas mengeluarkan isi kardus yang diletakkan oleh Dodo tepat di sisi sebelah kiri meja kerjanya. Beberapa buku yang sengaja dia beli untuk menemani hari-hari setelah dia dipromosikan untuk menduduki jabatan CEO, satu persatu ditatanya di rak buku bergaya classic-Jogja yang sengaja pula dia pesen dari Jepara. Buku-buku tebal karangan penulis terkenal baik dari dalam maupun luar negeri itu sangat serasi saat berjajar di rak ukir bermotif Jogja. Kebanyakan buku-buku motivasi. Andre berharap banyak pada buku-buku yang baru ditatanya itu untuk bisa memunculkan ide brilian agar dia bisa membanggakan klan keluarganya.

            Andre harus bersaing dengan Reno untuk bisa menduduki jabatan penting di perusahaan yang dirintis kakeknya itu. Meski sebenarnya Andre tidak berambisi untuk menjadi CEO, tetapi karena selalu dicemoooh sebagai pecundang oleh Reno, Andre seperti tertantang. Andre sadar dia bukan saingan Reno karena Reno sepertinya telah ditakdirkan untuk menjadi pemenang dalam segala hal. Reno lebih pintar dan cekatan, sedang Andre terkesan slengekan.

Reno lebih bisa mengambil hati orang dan sangat percaya diri, sedang Andre suka gagu dan minder. Semua. Pokoknya semua-muanya ada di Reno. Ibaratnya, dalam persaingan itu Andre hanyalah sebagai boneka. Sebagian besar orang-orang di perusahaan sudah bisa menebak siapa yang bakal menduduki jabatan itu. Tetapi Andre tidak patah arang. Genderang perang sudah ditabuh. Selama belum diputuskan siapa yang berhak menduduki jabatan penting itu, Andre akan berusaha mati-matian. Kalau pun harus kalah, Andre memilih kalah dengan terhormat.

            Selesai sudah beres-beres. Andre merebahkan tubuhnya di kursi kerja. Dua telunjuknya dia gunakan untuk memijit di ujung dua keningnya sambil memejamkan mata, berharap bisa menghadirkan ketenangan di pikirannya. Setelah penat di pikirannya sedikit berkurang, Andre membuka matanya. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah notes di atas meja.

Refleks tangannya mengambil notes dengan cover warna merah jambu itu. Dibukanya lembar pertama. Terlihat kernyitan di keningnya. Ah, puisi. Picisan. Begitu guman Andre. Dilemparnya notes itu ke kardus bekas tempat dia mengemas buku-bukunya, berharap office boy akan membuangnya bersama kardus tersebut. Andre pun kemudian keluar dari ruang kerjanya untuk kemudian pulang ke rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status