Share

Betty da Jogja
Betty da Jogja
Penulis: sikutubuku

Bab I : Office Girl bagian 1

OFFICE GIRL

Bagian Satu

           Malam mulai merayap. Rona senja sudah beberapa menit lalu menghilang, berganti dengan gemerlap lampu yang memendar dari gedung-gedung menjulang yang menantang langit. Gedung-gedung itu begitu dingin. Keangkuhannya sangat terasa dari arsitektur bergaya postmodern-nya dan kebisingan suara yang menggema menyeruak malam. Namun kepongahan yang ditebarnya tidak lagi mampu mengusik perhatian Menul, office girl di sebuah perusahaan media ternama di ibukota.

Tidak seperti dua tahun silam, ketika untuk pertama kali Menul menginjakkan kakinya di Jakarta. Menul mengalami jetleg. Padahal tidak baru saja turun dari pesawat. Meski tidak semegah gedung-gedung di kota Manhattan tempat Spiderman bergelantungan menjaga kota dari aksi kriminal, namun kala itu setiap sudut kota mampu mengulik perhatian Menul.  Bahkan hari pertamanya  dan beberapa hari berikutnya Menul habiskan untuk mengagumi pesona yang ditawarkan Jakarta.

Tapi kini tidak lagi. Gedung-gedung dan suasana Jakarta tidak lagi membuat Menul terkesima. Dia sudah mulai terbiasa. Terlebih kini pekerjaannya makin banyak. Ditambah beberapa aktifitas lainnya. Seperti kali ini. Di antara geliat kehidupan malam, Menul masih bersemangat menghabiskan sisa harinya dengan aktifitas sampingannya. Seperti biasanya, Menul selalu pulang belakangan.

Bahkan tidak jarang dia pulang jam delapan malam. Padahal jam kerjanya hanya sampai jam lima sore. Tetapi itulah Menul. Gadis berbibir sumbing itu seperti tidak pernah lelah. Ada saja yang dia kerjakan setelah jam kerjanya selesai. 

Beberapa minggu belakangan ini, setelah beres-beres kantor, Menul selalu menyempatkan diri untuk menulis. Menulis apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Sejak menginjakkan kaki di tempat kerja barunya, Menul seperti menemukan sesuatu. Namun Menul tidak mengerti apa sesuatu itu. Yang jelas bukan karena bonafiditas tempat kerjanya. Atau aura selebritas yang terpancarkan dari produk perusahaan tempatnya bekerja. Karena Menul tidak pernah silau dengan kemashuran. Yang Menul tahu hanyalah merasa nyaman bekerja di tempat barunya.

Menul seperti menemukan detak kehidupan baru dalam dirinya. Entah kenapa, Menul selalu ingin menuangkan apa saja yang ada di pikirannya dalam bentuk tulisan. Tidak jarang Menul menulis sampai beberapa halaman dalam lembaran notes buram tidak bergaris yang sengaja dia beli untuk kebutuhan itu. Terlebih kalau sebelumnya dia sempat membaca tabloid atau majalah yang kebetulan tertinggal atau sengaja ditinggal oleh pemiliknya, maka Menul akan semakin banyak menuangkan idenya.

Menul mendapatkan keasyikan tersendiri saat menulis. Kelelahannya setelah seharian berkutat dengan seabrek pekerjaan kasar akan langsung sirna begitu dia mulai menulis. Seperti seorang ibu yang baru pulang dari bekerja dan mendapati kelucuan anak semata wayangnya. Menul tidak tahu kenapa dia jadi senang menulis. Mungkin karena setiap hari selalu bersinggungan dengan orang-orang yang bekerja dalam dunia kepenulisan, sehingga dia tergerak untuk melakukan hal yang sama.

Atau mungkin karena tempat kerjanya yang sekarang adalah sebuah perusahaan media sehingga Menul seperti terkena tuah-nya. Ibarat peribahasa, berteman dengan penjual minyak wangi, maka sedikit banyak akan merasakan semerbak wanginya.

“Tek… tek … tek.”

Menul dikejutkan oleh suara pintu kaca yang diketuk dengan menggunakan kunci sepeda motor. Perempuan yang tidak pernah melepas kepang dua di rambutnya itu mengangkat wajahnya, lalu bergegas mendatangi arah suara.

“Ada apa Mas?” tanya Menul dengan suara khas, bindeng.

Menul membuka pintu. Meski tidak dikunci, tetapi Menul merasa dia yang harus menyambangi Dodo, satpam kantor yang telah berjasa membawa Menul bekerja di perusahaan bonafid itu. Dodo adalah pahlawan bagi Menul. Berkat Dodo Menul bisa merasakan pekerjaan yang baginya sangat mentereng. Kebetulan keduanya bertetangga di kampung, sehingga Menul sangat dekat dengan satpam itu. Kepada Dodo-lah Menul dititipkan oleh orang tuanya. Keberadaan Dodo sebagai satpam membuat Menul merasa agak leluasa menjalani kebiasaan menulis setelah jam kerja selesai, karena mendapat jaminan dari Dodo.

“Kamu itu menulis apa to Nul, kok sepertinya serius banget.”

Bukannya menjawab pertanyaan Menul, Dodo malah mengomentari kesibukan Menul yang menurutnya aneh. Bagaimana tidak aneh kalau setiap habis menyelesaikan pekerjaannya, Menul selalu mojok di pantri untuk menulis. Padahal Menul bukanlah seorang penulis. Menul juga tidak pernah mempunyai cita-cita untuk jadi penulis. Menul hanyalah seorang office girl yang pekerjaannya tidak jauh dari sapu dan baki.

Pekerjaan yang bisa jadi dianggap sampah oleh sebagian besar orang. Namun begitu, bisa menjadi office girl adalah sebuah mukjizat bagi Menul. Sudah lama dia memimpikan bisa bekerja di kota dan meninggalkan kegiatan hariannya mencari rumput dan kayu bakar. Menul tidak mau menghabiskan semua umurnya di hutan. Tetapi kondisi dirinya yang tidak mempunyai ijazah dan keadaan dirinya yang berbibir sumbing menjadikan impian itu seperti menggantang asap saja. Sia-sia. Dan tetap saja berjelaga.

Pernah dua kali Menul sampai ke kota untuk melamar pekerjaan. Tetapi setelah menunggu hampir satu bulan, tidak ada satu pun orang yang mau mempekerjakannya. Padahal untuk bisa menerima diri dengan keadaannya dan mau berbaur dengan dunia luar itu saja sudah merupakan perjuangan yang tidak ringan bagi Menul.

Lebih dari sepuluh tahun lingkungan Menul hanya berkutat dari rumah, sawah, ladang, dan hutan. Semua karena keadaan bibirnya yang sumbing. Padahal lagi, Menul tidak pernah memilih jenis pekerjaan yang bakal dilakoninya. Menul hanya ingin bekerja. Apa saja yang sekiranya bisa dia lakukan. Bahkan meski harus memungut sampah di sepanjang jalan. Tapi Menul harus tahu diri karena tidak banyak orang, apalagi di kota besar, yang bisa melihat kebaikan dalam diri Menul.

“Hanya iseng saja Mas” jawab Menul singkat.

“Kamu masih lama di kantor atau sudah mau pulang?”

“Memangnya kenapa Mas?”

“Aku ada keperluan sebentar. Kalau kamu masih lama, aku akan ajak Mas Hardi keluar sekalian.”

“Mungkin satu jam lagi Mas.”

“Kalau begitu, kami tinggal dulu ya. Kalau nanti ada yang nyari, bilang kalau kami sedang cari makan,” ujar Dodo.

“Iya Mas. Nanti kalau saya mau pulang dan Mas belum balik, biar saya sms.”

Dodo menggeleng kecil sambil berlalu. Sampai saat ini dia masih tidak habis pikir, kenapa Menul mau-maunya pulang telat. Padahal karyawan yang lain saja selalu buru-buru ingin pulang. Bahkan kalau memungkinkan, tentu mereka akan mencuri waktu untuk bisa segera pulang. Dodo tidak yakin kalau Menul mendapat uang tambahan dari apa yang dia kerjakan itu. Tetapi Dodo tidak ambil pusing. Toh dengan begitu justru dia diuntungkan karena ada orang yang bisa dia suruh untuk membuatkan kopi atau membelikan cemilan.

Menul segera kembali pada aktifitasnya. Dia tidak harus memusingkan apa yang dipikirkan Dodo tentangnya. Menul hanya ingin menulis. Dan di tempat kerjanya-lah dia mendapatkan kesempatan itu. Kalau di tempat kos, dia tidak bakalan bisa menulis. Maklum, di kosnya akan selalu ramai kalau sudah pada kumpul. Yang pada nonton tivi-lah. Atau ngobrol ngalor ngidul tentang hal yang dilalui siang harinya. Atau berdendang ria dalam iringan gitar, sekedar meluruhkan penat di pikiran.

Meski hanya gadis kampung, tetapi Menul bukan tipikal gadis yang suka menghabiskan waktu dengan sesuatu yang tidak banyak manfaatnya. Bahkan bisa dibilang Menul tipikal perempuan moderat yang mempunyai arah yang jelas dalam menjalani kehidupannya. Waktu-waktu yang dia jalani selalu dalam jadwal yang ketat. Ada waktu di mana dia bisa santai. Ada waktu dia harus menambah wawasan dengan membaca buku atau curi-curi ilmu dari orang lain. Ada waktu di mana dia harus bekerja. Dan banyak lagi. Begitulah. Semua begitu teratur. Meskipun semua tersaji dalam ritme yang sangat sederhana, sebagaimana sederhananya hidup Menul.

“Hidup itu ibarat berpacu dengan waktu nDuk. Kalau kita tidak bisa mengalahkan waktu yang kita lalui, maka sejatinya kita tidak benar-benar hidup.”

Menul selalu terngiang ucapan mendiang bapaknya. Dia ingat betul kenapa bapaknya sampai mengucapkan kalimat itu. Iya, Menul ingat betul. Kala itu, Menul sempat dongkol kenapa bapaknya tidak mau berdiam diri. Selalu saja ada yang dia kerjakan. Padahal Menul ingin bapaknya mengurangi aktifitasnya. Dia tidak tega melihat bapaknya yang sudah mulai tua, tertatih dalam aktifitas duniawi. Menul tidak ingin bapaknya pergi ke hutan lagi seperti saat masih muda. Cukup beraktifitas di ladang dekat rumahnya, karena Menul mampu meng-handle semuanya.

“Kenapa Bapak masih saja ke hutan to?”

“Lha, memang kita kan tinggal di hutan nDuk?”

“Maksud Menul, kenapa Bapak masih saja mengurusi hutan. Bukankah sudah ada anak-anak muda yang bakal menggantikan Bapak?”

“Bapak hanya bisa melakukan itu untuk kehidupan ini nDuk. Bapak tidak bisa melakukan yang lain.”

“Tapi Bapak sudah mulai tua.”

“Tua itu hanya di fisik nDuk. Sedang semangat Bapak untuk berbuat baik tidak akan pernah tua.”

“Apa Bapak tidak khawatir kalau tiba-tiba jatuh sakit?”

“Sakit itu tidak harus menunggu melakukan apa-apa. Lho wong tidak melakukan apa-apa saja bisa sakit kok nDuk. Jadi Bapak lebih memilih untuk melakukan apa-apa kemudian sakit, daripada tidak melakukan apa-apa dan pada akhirnya juga sakit.”

“Apa Bapak tidak merasa eman dengan diri Bapak?”

“Hidup itu ibarat berpacu dengan waktu, nDuk. Kalau kita tidak bisa mengalahkan waktu yang kita lalui, maka sejatinya kita tidak benar-benar hidup.”

“Maksud Bapak?”

“Bapak merasa sedang berlomba dengan waktu nDuk. Bapak tidak mau kalah. Makanya, sebisa mungkin Bapak mengisi detik yang Bapak lalui dengan kegiatan yang baik dan bermanfaat. Baik bermanfaat untuk diri Bapak maupun bermanfaat untuk orang lain. Bapak tidak ingin tidak melakukan apa-apa, padahal sebenarnya Bapak bisa. Itu namanya Bapak telah membunuh jatah hidup Bapak. Bapak telah menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga dalam hidup Bapak.”

Menul seperti tertampar oleh omongan bapaknya. Meski bukan sekali itu saja Menul mendapati kata-kata bijak dari bapaknya, tetapi kala itu Menul seperti mendapatkan pelajaran sangat berharga. Selama ini dia tidak pernah mengagendakan hidupnya. Semua hanya mengalir saja, seolah hidup yang sudah dan bakal dijalaninya hanya diserahkan pada sang waktu.

Sejak itu, Menul menjalani hidupnya dengan agenda yang jelas. Meski hanya pergi ke sawah, tetapi Menul harus menjadwalnya. Menul ingin hidupnya berjalan rapi sesuai dengan ritme yang inginkannya. Menul tidak ingin hidupnya hanya mengalir tanpa dia tahu seperti apa bentuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status