Beranda / Rumah Tangga / Biar Aku yang Pergi, Mas / Bab 02, Berhenti Bersikap Layaknya Istri

Share

Bab 02, Berhenti Bersikap Layaknya Istri

Penulis: Indah Idris
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-27 22:52:53

Sejak tadi Dasya mondar-mandir di ruang keluarga dengan raut cemas. Sesekali dia mendesah ketika belum juga ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang dengan segera. Pria itu sudah pergi sekitar tiga jam lamanya, tetapi tak kunjung kembali membuat Dasya khawatir.

Tidak biasanya Aren pergi malam-malam seperti ini, dan sudah larut malam, tetapi pria itu belum juga pulang. Ponselnya juga sangat sulit dihubungi. Berkali-kali Dasya menelefon ponsel Aren. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan Dasya yang tersambung.

“Astaga, Mas Aren ke mana, ya? Kok, jam segini belum juga pulang, ya?”

Dasya kembali mencoba menelfon ponsel Aren berharap kali ini akan tersambung, tetapi baru saja ingin menekan nomor Aren. Tiba-tiba dari luar terdengar suara deru mobil milik Aren. Urung Dasya menelfon pria itu, dan lebih memilih berjalan ke luar untuk memastikan.

Suara helaan napas lega Dasya terdengar kala melihat Aren turun dari mobil dengan penampilan yang cukup kacau. Dasya mengerutkan keningnya. Pertama kalinya, pria yang selalu terlihat rapi dan bersih tiba-tiba saja kacau seperti ini. Ada apa dengannya, tanya Dasya dalam hati.

“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Dasya basa-basi ketika Aren berjalan melewatinya.

“Seperti yang kamu lihat,” sahut pria itu terus berjalan masuk tanpa melirik sedikit pun ke arah Dasya.

Dasya mengekor di belakangnya, mencoba biasa-biasa saja saat Aren terus mengabaikannya. “Dari mana saja, Mas? Tadi aku telfon-telfon, tapi nggak bisa. Nomor Mas nggak—“

“Berisik,” sentak Aren kasar sambil berbalik menatap Dasya tajam.

Dasya terdiam dengan raut ketakutan. Selalu saja seperti itu ketika Aren dalam mode menyeramkan. Tanpa sadar Dasya menahan napasnya kala melihat tatapan Aren yang begitu menakutkan.

“Sudah tahu tidak aktif, kenapa harus ditelfon berulang?” Dasya membuang napas kasar. “Saya sengaja mematikan ponsel.”

Setelah mengatakan itu, Aren berbalik dan berjalan meninggalkan Dasya. Di belakang Dasya kembali ikut mengekor. Dia masih ingin tahu dari mana saja Aren sampai pulang selarut ini.

“Memang kamu dari mana, Mas? Dan kenapa ponselnya sengaja kamu matikan?”

“Karena aku tidak mau kamu terus-terusan menggangguku! Aku tahu kau tidak akan berhenti menelfon. Maka dari itu, aku mematikannya. Paham?” bentak Aren.

Dasya memejamkan matanya kala mendengar suara bentakan Aren memenuhi telinganya. Bukan hanya telinganya saja yang terasa sakit. Akan tetapi, relung hatinya juga ikut merasakan perih.

Aren membuang napas kasar melihat wajah Dasya yang jelas menahan ketakutannya. Setiap kali Aren melihat wajah Dasya yang seperti ini, setiap itu juga dia merasa kasihan. Namun, mengingat Dasya yang menyetujui perjodohan lima tahun lalu membuat Aren kembali muak pada gadis itu.

Dirinya tidak pernah bisa menerima Dasya menjadi istrinya, dan tidak bisa memaafkan Dasya yang terang-terang menerima perjodohan antara dirinya dan Aren kala itu. Padahal, Aren sudah memperlihatkan ketidaksukaannya kepada gadis itu lima tahun lalu saat kakek Aren dan Aren datang ke rumah Dasya dengan bermaksud melamar Dasya.

Namun, entah kenapa, gadis itu malah menerima dan mengabaikan sikap ketus Aren. Setiap mengingat itu, Aren sangat ingin memukul Dasya. Akan tetapi, selalu dia tahan. Bagaimana pun marahnya, dia tidak akan pernah melayangkan pukulannya kepada seorang perempuan. Sekalipun itu Dasya. Yang sudah lima tahun membuat hidupnya menderita.

“Tidak tahu kenapa, tetapi selama mengenalmu dan hidup bersamamu. Aku tidak pernah mendapatkan ketenangan. Hidupku selalu berada dalam kesulitan yang tak berkesudahan. Kau sangat menyebalkan.” Aren mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.

Dasya membuka matanya menatap Aren dengan pandangan mengabur. Matanya sudah berkaca-kaca. Kalimat yang diucapkan Aren tadi bukan yang pertama kalinya dia dengar. Sudah berkali-kali, bahkan mungkin setiap hari dia sudah mendengarnya. Akan tetapi, setiap mendengar Aren mengatakan itu, hati Dasya tetap merasakan sakit. Harusnya, dia sudah terbiasa. Namun, tidak. Malahan akan terasa semakin terluka.

Aren menghela napas kasar, dia berbalik dan menatap Dasya lekat, lalu berkata, “Dasya, ini sudah aku katakan padamu berulang-ulang kali. Namun, kali ini aku akan kembali mengatakannya.” Aren menarik napas dalam. “Berhenti bersikap seolah kau istri yang baik. Berhenti bertingkah seperti itu. Status kau di rumah ini memang seorang istri, tetapi harus kau tahu. Kalau kau istri yang tidak pernah diinginkan. Berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan berharap hubungan kita akan membaik dan berubah selayaknya sepasang suami istri pada umumnya dengan bertingkah selayaknya seorang istri. Karena ....”

Aren sengaja menjeda ucapannya. Dia memperhatikan raut wajah Dasya yang semakin terluka. Matanya sudah mengalirkan butiran bening yang sejak tadi ditahannya.

“Karena sampai kapan pun, aku tidak akan bisa menerimamu sebagai istriku. Kau tak lebih hanya seorang pembantu di mataku. Tidak lebih!”

Setelah mengeluarkan kata-kata yang mampu meluluh lantahkan hati Dasya. Aren pun pergi meninggalkan gadis itu. Dasya memandang punggung Aren dengan berderai air mata. Lima tahun mereka bersama, tetapi tidak sedikit pun pria itu berubah. Malahan semakin menjadi-jadi melukai hati Dasya.

Aren bertingkah seolah dirinyalah sepenuhnya korban tanpa tahu kebenarannya kalau Dasya pun juga korban. Korban perjodohan yang dilakukan oleh paman Dasya juga kakek Aren. Karena perjodohan ini Dasya harus kehilangan seseorang yang mencintainya juga yang dicintainya. Banyak hal yang Dasya korbankan tanpa pria itu tahu.

Dasya terduduk di atas lantai. Lagi-lagi hanya bisa menangisi kehidupannya yang sudah lima tahun seperti ini. Setiap hari, setiap malam Dasya lewati dengan berlinang air mata. Menanggung sendirian rasa sakit akibat pernikahan yang sangat tidak sehat ini. Menerima setiap ejekan hinaan dan bentakan dari Aren.

Setiap kali Dasya ingin mencairkan suasana di antara mereka. Dan merebut hati Aren. Pria itu selalu saja membuat usaha Dasya menjadi sia-sia dan berakhir dengan luka yang baru kembali mendera hatinya juga linangan air mata.

“Kenapa, Mas? Kenapa sulit sekali dirimu menerimaku? Apa yang membuatmu demikian?” Suara Dasya terdengar lirih.

***

Langkah Dasya gontai memasuki kamarnya bersama Aren. Dia membuka pintu dengan perlahan. Aren berbaring tengkurap yang pertama kali Dasya lihat. Gadis itu menghela napas kasar. Walau sudah lima tahun menikah, tetapi mereka masih saja seperti dua orang asing.

Jangankan bersikap selayaknya sepasang suami istri. Sikap Aren saja masih seperti orang asing yang saling tidak mengenal. Lima tahun mereka menikah, tetapi Dasya masih berstatus seorang gadis perawan. Aren masih enggan menyentuhnya, bahkan sama sekali tidak ingin menyentuh gadis itu.

Tidak tahu alasan pastinya, yang Dasya tahu Aren tidak tertarik pada seorang perempuan. Sebab, pengalaman tidak menyenangkan yang Aren alami duku, membuat pria itu tidak memiliki gairah. Hal itu Dasya ketahui dari sahabat Aren.

Benar atau tidaknya berita itu, Dasya tidak tahu. Namun, melihat bagaimana Aren memperlakukannya dan tidak menyentuhnya sama sekali selama lima tahun ini. Akhirnya, Dasya pun sedikit demi sedikit mempercayai hal itu.

Perlahan-lahan Dasya menggerakkan tangannya dengan sangat pelan untuk membuka sepatu Aren. Pria itu tidak melepaskan sepatunya meski sudah tertidur. Tidak ingin Aren tidur dengan masih menggunakan sepatu, Dasya berinisiatif melepaskannya. Namun, baru saja akan melepaskannya. Aren bergerak menghadap Dasya dengan menatapnya tajam. Dasya tidak pernah melihat Aren menatap Dirinya dengan lembut. Selalu saja tatapan mengerikan yang Aren layangkan kepadanya.

“Apa yang kau lakukan, Dasya?” bentak Aren.

“Ma-mas. A-aku hanya—“

“Berapa kali harus aku tegaskan padamu, huh? Kenapa susah sekali otakmu mengerti?” Aren bangkit berdiri di depan Dasya dengan memasang wajah menyeramkan. “BERHENTI BERSIKAP LAYAKNYA SEORANG ISTRI YANG BAIK, DASYA!!” teriaknya tepat di depan wajah Dasya.

Gadis itu bergidik mendengar teriakan Aren yang luar biasa itu. Lihatlah, betapa Aren merasa kesal dan marah terhadapnya, padahal niatnya baik. Aren memang selalu melihat dan menganggap Dasya salah. Apa pun yang dilakukan oleh gadis itu.

“Besok, ke dokterlah. Periksakan otakmu itu, agar tidak bodoh.”

Setelah mengatakan itu, Aren pergi meninggalkan Dasya dengan menutup pintu begitu kasar. Sehingga menimbulkan suara bising yang begitu luar biasa, membuat Dasya terpekik pelan. Helaan napas Dasya terdengar berat. Lagi-lagi air matanya terkumpul di pelupuk matanya. Namun, kali ini, Dasya menahan agar tidak jatuh dengan menghadap ke atas.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 18, Mengarang Cerita

    Doni ke luar dari mobilnya, dia berdiri di samping mobil tersebut seraya menatap ke arah bangunan di depannya. Dia sedikit ragu, tetapi juga merasa harus bertemu Dasya saat ini juga. Ya, bangunan di depan Doni adalah rumah Dasya dan Aren. Tatapan mata Doni begitu lekat. Dengan tarikan napas yang panjang, Doni kemudian meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. “Assalamualaikum,” sapa Doni dengan mengucap salam. Dasya yang sedang berbaring di sofa ruang tamu segera beranjak duduk ketika mendengar suara yang tidak asing. Dengan suara lembut, dia membalas salam Doni. “Eh, Doni. Kamu di sini? Sama siapa?” tanya Dasya pada Doni yang berjalan mendekatinya. Doni tersenyum membalas senyum ramah milik Dasya. Senyum yang selalu mampu membuat Doni bisa jatuh cinta berkali-kali kepada gadis itu. “Iya, tadi aku ke toko kue kamu, tapi kata Mila kamu nggak masuk hari ini,” sahut Doni menjelaskan. “Ohiya, aku sendiri saja.” “Oh gitu ... Jadi tadi kamu dari toko ya?” Doni menjawab dengan anggukan

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 17, Apakah Betul Telah Membuka Hati?

    Dasya dan Aren sudah selesai sarapan. Kini Dasya masih di ruang makan sedang membersihkan peralatan masak, juga piring kotor bekas dia dan Aren makan tadi. Sementara, di luar sana. Aren tengah merapikan dasi dan kancing di pergelangan tangannya. Tatapannya mengarah ke dalam dapur, dia menatap Dasya dari kejauhan. Sejak tadi, dirinya tidak habis memperhatikan istrinya itu. Makan pun, dia sesekali melirik ke arah Dasya yang makan dalam diam. Dasya tidak biasanya seperti itu. Selama ini, Dasya begitu banyak pembahasan kepada Aren. Gadis itu akan bercerita banyak hal, menanyakan banyak hal kepada Aren. Meskipun, respon yang diberikan oleh Aren tidak sesuai dengan harapannya, bahkan melukai dirinya. Dasya tetap bertanya dan membahas hal-hal dengan senyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Namun, kali ini berbeda, Dasya lebih banyak diam dan menunduk. Dia akan mengeluarkan suaranya kalau Aren bertanya atau memulai percakapan. Aren tahu penyebabnya. Helaan napas Aren terdengar kasar.

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 16, Aneh

    Suara gemercik air dari shower terdengar hingga ke luar kamar. Doni berdiri di bawah air tersebut, membiarkan dirinya basah. Padahal dia masih memakai pakaian lengkap. Sesekali dia mengusap wajahnya yang terus dialiri air. Pikirannya kacau, dan dia pikir dengan mandi air dingin. Kekacauan yang ada di kepalanya segera hilang. Nyatanya, semua kejadian-kejadian tadi. Bahkan beberapa tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Persisi sebuah film lama yang sengaja diputar untuk ditonton kembali. Doni mengusap rambutnya ke belakang. Kepalanya didongakkan menghadap shower. Matanya terpejam dengan air yang terus mengalir. Semakin dia mencoba untuk menghilangkan kenangan itu, semakin juga setiap adegan bergantian muncul di ingatannya. Mata Doni terbuka. Kepalanya tak lagi mendongak. Tatapannya lurus ke tembok. Suara helaan napas terdengar kasar. Dirinya sudah pernah mencoba untuk melupakan, bahkan dia memaksa dirinya melakukan itu. Bertahun-tahun dia mencoba. Akan tetapi, hasilnya tida

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 15, Dipaksa Melupakan

    “Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 14, Mundur atau Tetap Bertahan?

    Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   13, Malam Pertama

    Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status