Sejak tadi Dasya mondar-mandir di ruang keluarga dengan raut cemas. Sesekali dia mendesah ketika belum juga ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang dengan segera. Pria itu sudah pergi sekitar tiga jam lamanya, tetapi tak kunjung kembali membuat Dasya khawatir.
Tidak biasanya Aren pergi malam-malam seperti ini, dan sudah larut malam, tetapi pria itu belum juga pulang. Ponselnya juga sangat sulit dihubungi. Berkali-kali Dasya menelefon ponsel Aren. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan Dasya yang tersambung.“Astaga, Mas Aren ke mana, ya? Kok, jam segini belum juga pulang, ya?”Dasya kembali mencoba menelfon ponsel Aren berharap kali ini akan tersambung, tetapi baru saja ingin menekan nomor Aren. Tiba-tiba dari luar terdengar suara deru mobil milik Aren. Urung Dasya menelfon pria itu, dan lebih memilih berjalan ke luar untuk memastikan.Suara helaan napas lega Dasya terdengar kala melihat Aren turun dari mobil dengan penampilan yang cukup kacau. Dasya mengerutkan keningnya. Pertama kalinya, pria yang selalu terlihat rapi dan bersih tiba-tiba saja kacau seperti ini. Ada apa dengannya, tanya Dasya dalam hati.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Dasya basa-basi ketika Aren berjalan melewatinya.“Seperti yang kamu lihat,” sahut pria itu terus berjalan masuk tanpa melirik sedikit pun ke arah Dasya.Dasya mengekor di belakangnya, mencoba biasa-biasa saja saat Aren terus mengabaikannya. “Dari mana saja, Mas? Tadi aku telfon-telfon, tapi nggak bisa. Nomor Mas nggak—““Berisik,” sentak Aren kasar sambil berbalik menatap Dasya tajam.Dasya terdiam dengan raut ketakutan. Selalu saja seperti itu ketika Aren dalam mode menyeramkan. Tanpa sadar Dasya menahan napasnya kala melihat tatapan Aren yang begitu menakutkan.“Sudah tahu tidak aktif, kenapa harus ditelfon berulang?” Dasya membuang napas kasar. “Saya sengaja mematikan ponsel.”Setelah mengatakan itu, Aren berbalik dan berjalan meninggalkan Dasya. Di belakang Dasya kembali ikut mengekor. Dia masih ingin tahu dari mana saja Aren sampai pulang selarut ini.“Memang kamu dari mana, Mas? Dan kenapa ponselnya sengaja kamu matikan?”“Karena aku tidak mau kamu terus-terusan menggangguku! Aku tahu kau tidak akan berhenti menelfon. Maka dari itu, aku mematikannya. Paham?” bentak Aren.Dasya memejamkan matanya kala mendengar suara bentakan Aren memenuhi telinganya. Bukan hanya telinganya saja yang terasa sakit. Akan tetapi, relung hatinya juga ikut merasakan perih.Aren membuang napas kasar melihat wajah Dasya yang jelas menahan ketakutannya. Setiap kali Aren melihat wajah Dasya yang seperti ini, setiap itu juga dia merasa kasihan. Namun, mengingat Dasya yang menyetujui perjodohan lima tahun lalu membuat Aren kembali muak pada gadis itu.Dirinya tidak pernah bisa menerima Dasya menjadi istrinya, dan tidak bisa memaafkan Dasya yang terang-terang menerima perjodohan antara dirinya dan Aren kala itu. Padahal, Aren sudah memperlihatkan ketidaksukaannya kepada gadis itu lima tahun lalu saat kakek Aren dan Aren datang ke rumah Dasya dengan bermaksud melamar Dasya.Namun, entah kenapa, gadis itu malah menerima dan mengabaikan sikap ketus Aren. Setiap mengingat itu, Aren sangat ingin memukul Dasya. Akan tetapi, selalu dia tahan. Bagaimana pun marahnya, dia tidak akan pernah melayangkan pukulannya kepada seorang perempuan. Sekalipun itu Dasya. Yang sudah lima tahun membuat hidupnya menderita.“Tidak tahu kenapa, tetapi selama mengenalmu dan hidup bersamamu. Aku tidak pernah mendapatkan ketenangan. Hidupku selalu berada dalam kesulitan yang tak berkesudahan. Kau sangat menyebalkan.” Aren mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.Dasya membuka matanya menatap Aren dengan pandangan mengabur. Matanya sudah berkaca-kaca. Kalimat yang diucapkan Aren tadi bukan yang pertama kalinya dia dengar. Sudah berkali-kali, bahkan mungkin setiap hari dia sudah mendengarnya. Akan tetapi, setiap mendengar Aren mengatakan itu, hati Dasya tetap merasakan sakit. Harusnya, dia sudah terbiasa. Namun, tidak. Malahan akan terasa semakin terluka.Aren menghela napas kasar, dia berbalik dan menatap Dasya lekat, lalu berkata, “Dasya, ini sudah aku katakan padamu berulang-ulang kali. Namun, kali ini aku akan kembali mengatakannya.” Aren menarik napas dalam. “Berhenti bersikap seolah kau istri yang baik. Berhenti bertingkah seperti itu. Status kau di rumah ini memang seorang istri, tetapi harus kau tahu. Kalau kau istri yang tidak pernah diinginkan. Berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan berharap hubungan kita akan membaik dan berubah selayaknya sepasang suami istri pada umumnya dengan bertingkah selayaknya seorang istri. Karena ....”Aren sengaja menjeda ucapannya. Dia memperhatikan raut wajah Dasya yang semakin terluka. Matanya sudah mengalirkan butiran bening yang sejak tadi ditahannya.“Karena sampai kapan pun, aku tidak akan bisa menerimamu sebagai istriku. Kau tak lebih hanya seorang pembantu di mataku. Tidak lebih!”Setelah mengeluarkan kata-kata yang mampu meluluh lantahkan hati Dasya. Aren pun pergi meninggalkan gadis itu. Dasya memandang punggung Aren dengan berderai air mata. Lima tahun mereka bersama, tetapi tidak sedikit pun pria itu berubah. Malahan semakin menjadi-jadi melukai hati Dasya.Aren bertingkah seolah dirinyalah sepenuhnya korban tanpa tahu kebenarannya kalau Dasya pun juga korban. Korban perjodohan yang dilakukan oleh paman Dasya juga kakek Aren. Karena perjodohan ini Dasya harus kehilangan seseorang yang mencintainya juga yang dicintainya. Banyak hal yang Dasya korbankan tanpa pria itu tahu.Dasya terduduk di atas lantai. Lagi-lagi hanya bisa menangisi kehidupannya yang sudah lima tahun seperti ini. Setiap hari, setiap malam Dasya lewati dengan berlinang air mata. Menanggung sendirian rasa sakit akibat pernikahan yang sangat tidak sehat ini. Menerima setiap ejekan hinaan dan bentakan dari Aren.Setiap kali Dasya ingin mencairkan suasana di antara mereka. Dan merebut hati Aren. Pria itu selalu saja membuat usaha Dasya menjadi sia-sia dan berakhir dengan luka yang baru kembali mendera hatinya juga linangan air mata.“Kenapa, Mas? Kenapa sulit sekali dirimu menerimaku? Apa yang membuatmu demikian?” Suara Dasya terdengar lirih.***Langkah Dasya gontai memasuki kamarnya bersama Aren. Dia membuka pintu dengan perlahan. Aren berbaring tengkurap yang pertama kali Dasya lihat. Gadis itu menghela napas kasar. Walau sudah lima tahun menikah, tetapi mereka masih saja seperti dua orang asing.Jangankan bersikap selayaknya sepasang suami istri. Sikap Aren saja masih seperti orang asing yang saling tidak mengenal. Lima tahun mereka menikah, tetapi Dasya masih berstatus seorang gadis perawan. Aren masih enggan menyentuhnya, bahkan sama sekali tidak ingin menyentuh gadis itu.Tidak tahu alasan pastinya, yang Dasya tahu Aren tidak tertarik pada seorang perempuan. Sebab, pengalaman tidak menyenangkan yang Aren alami duku, membuat pria itu tidak memiliki gairah. Hal itu Dasya ketahui dari sahabat Aren.Benar atau tidaknya berita itu, Dasya tidak tahu. Namun, melihat bagaimana Aren memperlakukannya dan tidak menyentuhnya sama sekali selama lima tahun ini. Akhirnya, Dasya pun sedikit demi sedikit mempercayai hal itu.Perlahan-lahan Dasya menggerakkan tangannya dengan sangat pelan untuk membuka sepatu Aren. Pria itu tidak melepaskan sepatunya meski sudah tertidur. Tidak ingin Aren tidur dengan masih menggunakan sepatu, Dasya berinisiatif melepaskannya. Namun, baru saja akan melepaskannya. Aren bergerak menghadap Dasya dengan menatapnya tajam. Dasya tidak pernah melihat Aren menatap Dirinya dengan lembut. Selalu saja tatapan mengerikan yang Aren layangkan kepadanya.“Apa yang kau lakukan, Dasya?” bentak Aren.“Ma-mas. A-aku hanya—““Berapa kali harus aku tegaskan padamu, huh? Kenapa susah sekali otakmu mengerti?” Aren bangkit berdiri di depan Dasya dengan memasang wajah menyeramkan. “BERHENTI BERSIKAP LAYAKNYA SEORANG ISTRI YANG BAIK, DASYA!!” teriaknya tepat di depan wajah Dasya.Gadis itu bergidik mendengar teriakan Aren yang luar biasa itu. Lihatlah, betapa Aren merasa kesal dan marah terhadapnya, padahal niatnya baik. Aren memang selalu melihat dan menganggap Dasya salah. Apa pun yang dilakukan oleh gadis itu.“Besok, ke dokterlah. Periksakan otakmu itu, agar tidak bodoh.”Setelah mengatakan itu, Aren pergi meninggalkan Dasya dengan menutup pintu begitu kasar. Sehingga menimbulkan suara bising yang begitu luar biasa, membuat Dasya terpekik pelan. Helaan napas Dasya terdengar berat. Lagi-lagi air matanya terkumpul di pelupuk matanya. Namun, kali ini, Dasya menahan agar tidak jatuh dengan menghadap ke atas.***Pagi-pagi sekali, Dasya sudah berada di toko kue miliknya. Tidak ingin bertemu dengan Aren yang pastinya akan membuat pagi Dasya menjadi kurang menyenangkan. Maka dari itu, Dasya bangun cepat untuk menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan pria itu, lalu pergi meninggalkannya. Biasanya, jam delapan Dasya baru akan berangkat dari rumah ke toko kue. Akan tetapi, khusus hari ini, Dasya datang cepat. Pukul tujuh sudah berada di toko kue. Membuka toko, membersihkan dan menyiapkan segala keperluan untuk membuat kue nanti. Mila—sahabat sekaligus karyawannya itu mengernyitkan kening heran saat dirinya sampai di toko, dan melihat Dasya sudah ada di sana, dengan kesibukan yang biasa Mila lakukan bersama karyawan lain. “Eh, Mil. Lo udah datang?!” Mila hanya mengangguk menatap bingung sahabatnya sekaligus bosnya itu. “Itu peralatan udah gue beresin. Tinggal nanti lo pakai sama yang lain,” ucap Dasya memberitahu. Gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya mengelap etalase, dan menata kue-kue yang d
Dasya terdiam di dalam mobil yang dia parkir tepat di depan pagar rumahnya dan Aren. Gadis itu menatap lekat bangunan kokoh di depannya dari dalam mobil. Rumah di depan sana adalah rumah yang telah menjadi saksi bisu selama lima tahun belakangan ini. Tentang luka dan siksa batin yang dialami Dasya semenjak menginjakkan kaki di sana. Helaan napas terdengar berat dari mulut Dasya, dia seperti enggan memasukkan mobilnya ke dalam sana. Tidak ada minat dan hasratnya kembali ke rumah ini, tetapi entah kenapa cinta selalu menuntunnya untuk kembali. “Apa tidak perlu kembali untuk malam ini saja?” tanyanya pada dirinya sendiri. Terlalu banyak luka nantinya yang akan dia rasakan kalau terus memaksa, tetapi mau bagaimana lagi. Cinta telah bersemayam di dalam hatinya. Enggan untuk pergi. Padahal, cinta itu yakin kalau kehadirannya tidak akan pernah diterima atau pun terbalaskan. Namun, cinta itu tetap hadir dan membuat langkah Dasya menjadi berat untuk melangkah mengambil keputusan yang berani
Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja. Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian. “Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa. Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek. “Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren d
Dasya baru sampai di rumahnya saat setelah pukul lima sore, karena keasyikan bersama Dini tasi, dia sampai lupa ke toko kuenya saking serunya bertemu dengan Doni—teman kuliahnya dulu. Mereka menghabiskan waktu hampir beberapa jam hanya membicarakan hal konyol di masa kuliah mereka, dan juga hal yang menyenangkan tentunya bagi Doni. Setelah menyadari waktu berjalan begitu cepat, dan ada yang harus dilakukan Dasya dengan bahan-bahan dapur dibelinya tadi. Dasya pun berpamitan dengan Doni untuk pulang setelah menghabiskan nasi goreng yang tadi Dasya pesan di tukang abang-abang pinggir jalan. Ya, Doni mengajak Dasya makan siang. Niat Doni ingin berterima kasih kepada Dasya karena telah memberi banyak kenangan manis. Sebab sering menjadi tameng untuk dirinya dari orang-orang sering menjahati Doni. Awalnya, Dasya menolak, tetapi terus dipaksa oleh Doni sehingga mau tidak mau pun, Dasya ikut saja, tidak enak karena Doni begitu antusias dan serius mengajaknya. Jadi, Dasya pun meminta Doni un
“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan. Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu. “Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman. Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?” “Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian. Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren. “Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan. “Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar. “Dia sudah tidak sabar untu
Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya. Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya. “Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—““Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar. Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit.
Aren duduk dengan gelisah di ruangan Hans di sebuah kantor pusat milik pria tua itu. Aren diminta oleh Hans untuk menemui pria itu di tempat tersebut. Pagi-pagi sekali, tanpa sarapan Aren sudah bergegas menuju ke tempat yang sudah disuruhkan Hans kepadanya, dan di sinilah dia berada.Jantung Aren berdebar tak menentu menunggu kedatangan Hans. Pria itu terlalu bersemangat untuk bertemu, sehingga Hans belum tiba di tempat, tetapi dia sudah lebih dulu berada di sana. Tidak apa pikir Aren, setidaknya mengurangi kemarahan dari pria tua itu setelah semalam sudah membuatnya jengkel dan kesal kepadanya. Datang lebih awal semoga saja bisa mengurangi kekesalan Hans kepadanya. Aren menghela napas untuk ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Rasa gelisah membuatnya tak henti-henti dirinya demikian. “Mau sampai kapan kau melakukan itu? Sampai kehabisan napas?” Suara yang khas di telinga Aren sontak membuat pemuda yang tengah duduk di kursi dekat jendela itu menoleh ke sumbe
Aren memijit pelipisnya merasakan kepalanya berdenyut sakit. Persyaratan yang diberikan oleh Hans untuknya begitu sangat mengganggu pikiran Aren. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak bersama Dasya. Sementara, dia tidak pernah menyentuh gadis itu. Kalaupun dia menyentuh Dasya, dia tidak pernah sudi memiliki anak bersama gadis itu. Tidak memiliki anak saja dia sudah kesulitan lepas dari Dasya. Apalagi kalau sudah memiliki keturunan bersamanya. Aren akan lebih tidak memiliki alasan untuk beranjak pergi. Namun, dia juga membutuhkan perusahaan itu. Ini salah Aren yang tidak mau jujur kepada sang kakek perihal hubungannya dengan Dasya. Agar dia bisa mengakhiri dengan segera drama yang dua ciptakan selama ini. “Akh, sial,” umpatnya seraya memukul setir mobilnya sedikit kuat. Selama perjalanan kembali ke perusahaannya, Aren tidak begitu fokus menyetir. Pikirannya terus tertuju kepada syarat yang Hans ajukan. Aren bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan perusahaan itu, menjadik