Share

Bab 02, Berhenti Bersikap Layaknya Istri

Sejak tadi Dasya mondar-mandir di ruang keluarga dengan raut cemas. Sesekali dia mendesah ketika belum juga ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang dengan segera. Pria itu sudah pergi sekitar tiga jam lamanya, tetapi tak kunjung kembali membuat Dasya khawatir.

Tidak biasanya Aren pergi malam-malam seperti ini, dan sudah larut malam, tetapi pria itu belum juga pulang. Ponselnya juga sangat sulit dihubungi. Berkali-kali Dasya menelefon ponsel Aren. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan Dasya yang tersambung.

“Astaga, Mas Aren ke mana, ya? Kok, jam segini belum juga pulang, ya?”

Dasya kembali mencoba menelfon ponsel Aren berharap kali ini akan tersambung, tetapi baru saja ingin menekan nomor Aren. Tiba-tiba dari luar terdengar suara deru mobil milik Aren. Urung Dasya menelfon pria itu, dan lebih memilih berjalan ke luar untuk memastikan.

Suara helaan napas lega Dasya terdengar kala melihat Aren turun dari mobil dengan penampilan yang cukup kacau. Dasya mengerutkan keningnya. Pertama kalinya, pria yang selalu terlihat rapi dan bersih tiba-tiba saja kacau seperti ini. Ada apa dengannya, tanya Dasya dalam hati.

“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Dasya basa-basi ketika Aren berjalan melewatinya.

“Seperti yang kamu lihat,” sahut pria itu terus berjalan masuk tanpa melirik sedikit pun ke arah Dasya.

Dasya mengekor di belakangnya, mencoba biasa-biasa saja saat Aren terus mengabaikannya. “Dari mana saja, Mas? Tadi aku telfon-telfon, tapi nggak bisa. Nomor Mas nggak—“

“Berisik,” sentak Aren kasar sambil berbalik menatap Dasya tajam.

Dasya terdiam dengan raut ketakutan. Selalu saja seperti itu ketika Aren dalam mode menyeramkan. Tanpa sadar Dasya menahan napasnya kala melihat tatapan Aren yang begitu menakutkan.

“Sudah tahu tidak aktif, kenapa harus ditelfon berulang?” Dasya membuang napas kasar. “Saya sengaja mematikan ponsel.”

Setelah mengatakan itu, Aren berbalik dan berjalan meninggalkan Dasya. Di belakang Dasya kembali ikut mengekor. Dia masih ingin tahu dari mana saja Aren sampai pulang selarut ini.

“Memang kamu dari mana, Mas? Dan kenapa ponselnya sengaja kamu matikan?”

“Karena aku tidak mau kamu terus-terusan menggangguku! Aku tahu kau tidak akan berhenti menelfon. Maka dari itu, aku mematikannya. Paham?” bentak Aren.

Dasya memejamkan matanya kala mendengar suara bentakan Aren memenuhi telinganya. Bukan hanya telinganya saja yang terasa sakit. Akan tetapi, relung hatinya juga ikut merasakan perih.

Aren membuang napas kasar melihat wajah Dasya yang jelas menahan ketakutannya. Setiap kali Aren melihat wajah Dasya yang seperti ini, setiap itu juga dia merasa kasihan. Namun, mengingat Dasya yang menyetujui perjodohan lima tahun lalu membuat Aren kembali muak pada gadis itu.

Dirinya tidak pernah bisa menerima Dasya menjadi istrinya, dan tidak bisa memaafkan Dasya yang terang-terang menerima perjodohan antara dirinya dan Aren kala itu. Padahal, Aren sudah memperlihatkan ketidaksukaannya kepada gadis itu lima tahun lalu saat kakek Aren dan Aren datang ke rumah Dasya dengan bermaksud melamar Dasya.

Namun, entah kenapa, gadis itu malah menerima dan mengabaikan sikap ketus Aren. Setiap mengingat itu, Aren sangat ingin memukul Dasya. Akan tetapi, selalu dia tahan. Bagaimana pun marahnya, dia tidak akan pernah melayangkan pukulannya kepada seorang perempuan. Sekalipun itu Dasya. Yang sudah lima tahun membuat hidupnya menderita.

“Tidak tahu kenapa, tetapi selama mengenalmu dan hidup bersamamu. Aku tidak pernah mendapatkan ketenangan. Hidupku selalu berada dalam kesulitan yang tak berkesudahan. Kau sangat menyebalkan.” Aren mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.

Dasya membuka matanya menatap Aren dengan pandangan mengabur. Matanya sudah berkaca-kaca. Kalimat yang diucapkan Aren tadi bukan yang pertama kalinya dia dengar. Sudah berkali-kali, bahkan mungkin setiap hari dia sudah mendengarnya. Akan tetapi, setiap mendengar Aren mengatakan itu, hati Dasya tetap merasakan sakit. Harusnya, dia sudah terbiasa. Namun, tidak. Malahan akan terasa semakin terluka.

Aren menghela napas kasar, dia berbalik dan menatap Dasya lekat, lalu berkata, “Dasya, ini sudah aku katakan padamu berulang-ulang kali. Namun, kali ini aku akan kembali mengatakannya.” Aren menarik napas dalam. “Berhenti bersikap seolah kau istri yang baik. Berhenti bertingkah seperti itu. Status kau di rumah ini memang seorang istri, tetapi harus kau tahu. Kalau kau istri yang tidak pernah diinginkan. Berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan berharap hubungan kita akan membaik dan berubah selayaknya sepasang suami istri pada umumnya dengan bertingkah selayaknya seorang istri. Karena ....”

Aren sengaja menjeda ucapannya. Dia memperhatikan raut wajah Dasya yang semakin terluka. Matanya sudah mengalirkan butiran bening yang sejak tadi ditahannya.

“Karena sampai kapan pun, aku tidak akan bisa menerimamu sebagai istriku. Kau tak lebih hanya seorang pembantu di mataku. Tidak lebih!”

Setelah mengeluarkan kata-kata yang mampu meluluh lantahkan hati Dasya. Aren pun pergi meninggalkan gadis itu. Dasya memandang punggung Aren dengan berderai air mata. Lima tahun mereka bersama, tetapi tidak sedikit pun pria itu berubah. Malahan semakin menjadi-jadi melukai hati Dasya.

Aren bertingkah seolah dirinyalah sepenuhnya korban tanpa tahu kebenarannya kalau Dasya pun juga korban. Korban perjodohan yang dilakukan oleh paman Dasya juga kakek Aren. Karena perjodohan ini Dasya harus kehilangan seseorang yang mencintainya juga yang dicintainya. Banyak hal yang Dasya korbankan tanpa pria itu tahu.

Dasya terduduk di atas lantai. Lagi-lagi hanya bisa menangisi kehidupannya yang sudah lima tahun seperti ini. Setiap hari, setiap malam Dasya lewati dengan berlinang air mata. Menanggung sendirian rasa sakit akibat pernikahan yang sangat tidak sehat ini. Menerima setiap ejekan hinaan dan bentakan dari Aren.

Setiap kali Dasya ingin mencairkan suasana di antara mereka. Dan merebut hati Aren. Pria itu selalu saja membuat usaha Dasya menjadi sia-sia dan berakhir dengan luka yang baru kembali mendera hatinya juga linangan air mata.

“Kenapa, Mas? Kenapa sulit sekali dirimu menerimaku? Apa yang membuatmu demikian?” Suara Dasya terdengar lirih.

***

Langkah Dasya gontai memasuki kamarnya bersama Aren. Dia membuka pintu dengan perlahan. Aren berbaring tengkurap yang pertama kali Dasya lihat. Gadis itu menghela napas kasar. Walau sudah lima tahun menikah, tetapi mereka masih saja seperti dua orang asing.

Jangankan bersikap selayaknya sepasang suami istri. Sikap Aren saja masih seperti orang asing yang saling tidak mengenal. Lima tahun mereka menikah, tetapi Dasya masih berstatus seorang gadis perawan. Aren masih enggan menyentuhnya, bahkan sama sekali tidak ingin menyentuh gadis itu.

Tidak tahu alasan pastinya, yang Dasya tahu Aren tidak tertarik pada seorang perempuan. Sebab, pengalaman tidak menyenangkan yang Aren alami duku, membuat pria itu tidak memiliki gairah. Hal itu Dasya ketahui dari sahabat Aren.

Benar atau tidaknya berita itu, Dasya tidak tahu. Namun, melihat bagaimana Aren memperlakukannya dan tidak menyentuhnya sama sekali selama lima tahun ini. Akhirnya, Dasya pun sedikit demi sedikit mempercayai hal itu.

Perlahan-lahan Dasya menggerakkan tangannya dengan sangat pelan untuk membuka sepatu Aren. Pria itu tidak melepaskan sepatunya meski sudah tertidur. Tidak ingin Aren tidur dengan masih menggunakan sepatu, Dasya berinisiatif melepaskannya. Namun, baru saja akan melepaskannya. Aren bergerak menghadap Dasya dengan menatapnya tajam. Dasya tidak pernah melihat Aren menatap Dirinya dengan lembut. Selalu saja tatapan mengerikan yang Aren layangkan kepadanya.

“Apa yang kau lakukan, Dasya?” bentak Aren.

“Ma-mas. A-aku hanya—“

“Berapa kali harus aku tegaskan padamu, huh? Kenapa susah sekali otakmu mengerti?” Aren bangkit berdiri di depan Dasya dengan memasang wajah menyeramkan. “BERHENTI BERSIKAP LAYAKNYA SEORANG ISTRI YANG BAIK, DASYA!!” teriaknya tepat di depan wajah Dasya.

Gadis itu bergidik mendengar teriakan Aren yang luar biasa itu. Lihatlah, betapa Aren merasa kesal dan marah terhadapnya, padahal niatnya baik. Aren memang selalu melihat dan menganggap Dasya salah. Apa pun yang dilakukan oleh gadis itu.

“Besok, ke dokterlah. Periksakan otakmu itu, agar tidak bodoh.”

Setelah mengatakan itu, Aren pergi meninggalkan Dasya dengan menutup pintu begitu kasar. Sehingga menimbulkan suara bising yang begitu luar biasa, membuat Dasya terpekik pelan. Helaan napas Dasya terdengar berat. Lagi-lagi air matanya terkumpul di pelupuk matanya. Namun, kali ini, Dasya menahan agar tidak jatuh dengan menghadap ke atas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status