Seseorang yang baru saja datang, tiba-tiba saja menghampiri Dasya yang tengah duduk menikmati senja di teras samping rumahnya. Orang itu melemparkan sebuah tas kantor berwarna hitam ke atas pangkuan Dasya. Sontak Dasya terkejut, dan menoleh ke sumber yang telah membuatnya kaget.
“Apa maksud kamu datang ke kantorku, huh?” Suaranya begitu dingin dan ketus.Orang itu menatap Dasya dengan sorot mata yang begitu tajam. Seolah mampu melukai gadis itu hanya dengan tatapan saja. Dasya beranjak berdiri tepat di depan orang tersebut.“Apa tujuanmu datang ke sana? Ingin memberitahu semua orang kalau kau istriku? Istri seorang CEO perusahaan terbesar di kota ini? Begitu?” Orang itu berteriak tepat di depan wajah Dasya yang masih kebingungan.“Kamu mau semua orang di kantorku tahu, kalau aku sudah menikah. Dan memiliki istri sepertimu, iya?” Dasya masih saja diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa. “Untuk apa itu semua, huh? Untuk apa?” teriaknya semakin lantang, sontak membuat Dasya terkejut dan merasa ketakutan.Napas pria itu memburu karena amarah. Tatapannya semakin menajam membuat Dasya menunduk tidak berani membalas tatapannya.“Ma-mas, sa-saya tidak bermaksud seperti itu.” Dasya mencoba menjelaskan kepada pria yang berstatus suami Dasya. “Saya ke sana karena disuruh—““Disuruh siapa? Siapa yang menyuruhmu datang, dan mengacaukan semuanya? Siapa?” bentak pria itu.Dasya terdiam, kepalanya semakin dalam menunduk. Seluruh tubuhnya gemetar karena ketakutan. Pria itu mencengkeram kedua bahu Dasya. Amarahnya begitu membuncah hari ini. Mata Dasya sudah mengalirkan satu dua tetes air mata yang membasahi wajah cantiknya. Cengkeraman yang kuat dan kasar oleh pria itu di bahunya, membuat Dasya meringis pelan.“Mas,” lirihnya. “Sakit.”Walau beribu kali Dasya mengatakan hal itu, atau bahkan berteriak memberitahu suaminya kalau apa yang dilakukan olehnya menyakitkan untuk Dasya. Pria itu tidak akan peduli. Dia sudah seperti kesetanan. Matanya memerah menahan amarahnya yang begitu meledak-ledak.“Sudah kubilang, bukan?! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali, huh? Jangan pernah datang ke kantorku! Atau pun, berusaha mendekatiku saat di luar sana. Aku tidak sudah semua orang tahu kau adalah istriku! Aku tidak pernah sudi!” Dia menyentak kedua bahu Dasya dengan kasar, membuat gadis itu hampir saja terhuyung ke belakang andai saja tidak cepat-cepat berpegangan pada kursi di sampingnya.“Harus kembali kau ingat, Dasya. Kita ini hanya sepasang orang asing yang dipaksa untuk bersatu dalam ikatan yang halal. Hubungan ini, adalah hubungan pembawa sial. Aku tidak sudi menganggapmu istriku. Kau dengar itu?!” Pria itu membuang napas kasar. Mengisi paru-parunya dengan udara yang begitu banyak. Dia menghirup begitu dalam. “Kita hanya sepasang suami istri di atas keras. Camkan itu! Jadi, jangan berharap lebih pada hubungan ini.”Setelah mengatakan itu, pria itu pun pergi meninggalkan Dasya yang terduduk lemas sambil menangis. Seluruh tubuhnya gemetar. Hatinya sakit. Air matanya tidak berhenti mengalir. Begitu deras mengeluarkan air mata yang mewakili segala rasa yang dirasakan oleh gadis itu.Semua ini hanya perkara Dasya yang datang menghadiri sebuah rapat untuk semua pemegang saham di kantor Aren—suami Dasya. Sebenarnya, bukan keinginan Dasya yang ingin menghadiri rapat tersebut, tetapi atas paksaan dari kakek Aren. Aren sudah sering memberitahu Dasya agar tidak pernah muncul di hadapan Aren ketika berada di tempat umum. Apalagi mengaku sebagai istri Aren.Pria tua itu yang begitu menyayangi Dasya, dan dia juga yang menjadi penyebab Aren dan Dasya menjadi suami istri. Hingga membuat Dasya selama lima tahun pernikahan mereka menderita. Selama lima tahun, Dasya tidak pernah mendapat perlakuan baik terhadap Aren.Pria itu selalu saja kasar, ketus dan juga dingin terhadap Dasya. Bahkan pria itu tidak pernah menyentuh Dasya selama lima tahun menikah. Entah apa yang membuat Aren begitu membenci Dasya, padahal Dasya tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepadanya. Namun, Aren begitu jelas memperlihatkan ketidak sukaannya kepada gadis itu.***Dasya dengan wajah sembab sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Aren. Walau mereka tidak terlihat seperti sepasang suami istri yang harmonis juga penuh cinta, tetapi mereka selalu makan bersama. Karena Aren memang yang menyuruh Dasya menyiapkan segala keperluannya.Aren tidak menganggap Dasya sebagai istrinya, tetapi lebih kepada seorang pembantu. Meskipun begitu, Dasya tidak mempermasalahkannya. Lagian, Dasya berpikir itu sudah kewajibannya sebagai seorang istri. Menyiapkan segala keperluan sang suami.Dasya menghentikan kegiatannya tengah menatap masakan yang sudah dia masak di atas meja ketika melihat Aren berjalan menuruni anak tangga. Dasya berjalan menghampiri Aren yang tampak rapi hendak ke luar rumah.“Mas, saya sudah menyiapkan makanan untuk—““Saya tidak sedang berselera makan di rumah.” Aren menyela ucapan Dasya masih dengan melangkah menuju pintu ke luar tanpa menghiraukan Dasya yang mengikutinya dari belakang.“Tapi, Mas. Saya sudah memasak,” ucap Dasya pada Aren.“Tidak ada yang menyuruhmu memasak malam ini.”“Iya, Mas. Tapi, kupikir Mas akan—“ Dasya tidak melanjutkan kalimatnya ketika Aren menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Dasya sambil menatap gadis itu dengan tajam.“Kau sangat cerewet, Dasya,” sentak pria itu. “Saya sudah bilang tadi, bukan?! Saya tidak selera makan di rumah. Jadi, tidak akan tinggal makan bersamamu. Lagian, kau bisa makan sendiri. Kenapa soal itu saja harus dipermasalahkan.”Aren kembali melanjutkan langkahnya. Di belakang Dasya masih mengekor bertanya Aren akan ke mana. Namun, dijawab ketus dan kasar oleh pria itu. Dasya tidak mudah menyerah, dia masih merayu suaminya agar mau makan malam bersamanya. Sayang makanan yang sudah Dasya masak tidak di makan. Apalagi porsinya sangat banyak. Karena dia pikir sebagai permintaan maafnya kepada Aren. Akan tetapi, Aren malah ingin pergi.“Cukup!” bentak Aren pada Dasya yang terperanjat kaget. Aren tiba-tiba berhenti dan menghadap ke arahnya. “Cukup aku bilang! Kau sudah sangat keterlaluan. Berhenti mengaturku atau memerintahku! Kau bukan siapa-siapa bagiku. Tidak hakmu mengatur atau pun memerintahku. Kau paham itu?”“Aku hanya ingin kau ...”Dasya tidak melanjutkannya ketika melihat Aren membuang napas kasar.“Kau punya otak tidak, sih? Sangat susah diberitahu.”Setelahnya, Aren pun pergi begitu saja. Kali ini, Dasya pasrah saja. Dia diam membiarkan suaminya pergi meninggalkannya sendirian. Dia masih memandang punggung Aren yang mulai menjauh dengan pandangan yang mulai mengabur karena air mata terkumpul di sudut matanya.Terdengar dia menghela napas kasar. Untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi dirinya-lah yang harus mengalah dan mengerti. Demi hubungannya bersama Aren yang sama sekali tidak bisa disebut sebuah hubungan.Air mata yang sejak tadi ditahannya kini luruh tak lagi bisa dia cegah. Bahkan kali ini, Dasya membiarkannya saja membasahi wajahnya yang cantik. Kembali Dasya menangis. Meratapi nasibnya yang sungguh tidak beruntung. Menangis seorang diri tanpa ada yang menemani atau pun mencoba menghiburnya. Semua terasa sepi.Sejak tadi Dasya mondar-mandir di ruang keluarga dengan raut cemas. Sesekali dia mendesah ketika belum juga ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang dengan segera. Pria itu sudah pergi sekitar tiga jam lamanya, tetapi tak kunjung kembali membuat Dasya khawatir. Tidak biasanya Aren pergi malam-malam seperti ini, dan sudah larut malam, tetapi pria itu belum juga pulang. Ponselnya juga sangat sulit dihubungi. Berkali-kali Dasya menelefon ponsel Aren. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan Dasya yang tersambung. “Astaga, Mas Aren ke mana, ya? Kok, jam segini belum juga pulang, ya?” Dasya kembali mencoba menelfon ponsel Aren berharap kali ini akan tersambung, tetapi baru saja ingin menekan nomor Aren. Tiba-tiba dari luar terdengar suara deru mobil milik Aren. Urung Dasya menelfon pria itu, dan lebih memilih berjalan ke luar untuk memastikan. Suara helaan napas lega Dasya terdengar kala melihat Aren turun dari mobil dengan penampilan yang cukup kacau. Dasya mengerutkan keningnya. Pert
Pagi-pagi sekali, Dasya sudah berada di toko kue miliknya. Tidak ingin bertemu dengan Aren yang pastinya akan membuat pagi Dasya menjadi kurang menyenangkan. Maka dari itu, Dasya bangun cepat untuk menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan pria itu, lalu pergi meninggalkannya. Biasanya, jam delapan Dasya baru akan berangkat dari rumah ke toko kue. Akan tetapi, khusus hari ini, Dasya datang cepat. Pukul tujuh sudah berada di toko kue. Membuka toko, membersihkan dan menyiapkan segala keperluan untuk membuat kue nanti. Mila—sahabat sekaligus karyawannya itu mengernyitkan kening heran saat dirinya sampai di toko, dan melihat Dasya sudah ada di sana, dengan kesibukan yang biasa Mila lakukan bersama karyawan lain. “Eh, Mil. Lo udah datang?!” Mila hanya mengangguk menatap bingung sahabatnya sekaligus bosnya itu. “Itu peralatan udah gue beresin. Tinggal nanti lo pakai sama yang lain,” ucap Dasya memberitahu. Gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya mengelap etalase, dan menata kue-kue yang d
Dasya terdiam di dalam mobil yang dia parkir tepat di depan pagar rumahnya dan Aren. Gadis itu menatap lekat bangunan kokoh di depannya dari dalam mobil. Rumah di depan sana adalah rumah yang telah menjadi saksi bisu selama lima tahun belakangan ini. Tentang luka dan siksa batin yang dialami Dasya semenjak menginjakkan kaki di sana. Helaan napas terdengar berat dari mulut Dasya, dia seperti enggan memasukkan mobilnya ke dalam sana. Tidak ada minat dan hasratnya kembali ke rumah ini, tetapi entah kenapa cinta selalu menuntunnya untuk kembali. “Apa tidak perlu kembali untuk malam ini saja?” tanyanya pada dirinya sendiri. Terlalu banyak luka nantinya yang akan dia rasakan kalau terus memaksa, tetapi mau bagaimana lagi. Cinta telah bersemayam di dalam hatinya. Enggan untuk pergi. Padahal, cinta itu yakin kalau kehadirannya tidak akan pernah diterima atau pun terbalaskan. Namun, cinta itu tetap hadir dan membuat langkah Dasya menjadi berat untuk melangkah mengambil keputusan yang berani
Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja. Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian. “Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa. Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek. “Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren d
Dasya baru sampai di rumahnya saat setelah pukul lima sore, karena keasyikan bersama Dini tasi, dia sampai lupa ke toko kuenya saking serunya bertemu dengan Doni—teman kuliahnya dulu. Mereka menghabiskan waktu hampir beberapa jam hanya membicarakan hal konyol di masa kuliah mereka, dan juga hal yang menyenangkan tentunya bagi Doni. Setelah menyadari waktu berjalan begitu cepat, dan ada yang harus dilakukan Dasya dengan bahan-bahan dapur dibelinya tadi. Dasya pun berpamitan dengan Doni untuk pulang setelah menghabiskan nasi goreng yang tadi Dasya pesan di tukang abang-abang pinggir jalan. Ya, Doni mengajak Dasya makan siang. Niat Doni ingin berterima kasih kepada Dasya karena telah memberi banyak kenangan manis. Sebab sering menjadi tameng untuk dirinya dari orang-orang sering menjahati Doni. Awalnya, Dasya menolak, tetapi terus dipaksa oleh Doni sehingga mau tidak mau pun, Dasya ikut saja, tidak enak karena Doni begitu antusias dan serius mengajaknya. Jadi, Dasya pun meminta Doni un
“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan. Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu. “Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman. Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?” “Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian. Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren. “Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan. “Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar. “Dia sudah tidak sabar untu
Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya. Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya. “Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—““Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar. Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit.
Aren duduk dengan gelisah di ruangan Hans di sebuah kantor pusat milik pria tua itu. Aren diminta oleh Hans untuk menemui pria itu di tempat tersebut. Pagi-pagi sekali, tanpa sarapan Aren sudah bergegas menuju ke tempat yang sudah disuruhkan Hans kepadanya, dan di sinilah dia berada.Jantung Aren berdebar tak menentu menunggu kedatangan Hans. Pria itu terlalu bersemangat untuk bertemu, sehingga Hans belum tiba di tempat, tetapi dia sudah lebih dulu berada di sana. Tidak apa pikir Aren, setidaknya mengurangi kemarahan dari pria tua itu setelah semalam sudah membuatnya jengkel dan kesal kepadanya. Datang lebih awal semoga saja bisa mengurangi kekesalan Hans kepadanya. Aren menghela napas untuk ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Rasa gelisah membuatnya tak henti-henti dirinya demikian. “Mau sampai kapan kau melakukan itu? Sampai kehabisan napas?” Suara yang khas di telinga Aren sontak membuat pemuda yang tengah duduk di kursi dekat jendela itu menoleh ke sumbe