Share

Biar Aku yang Pergi, Mas
Biar Aku yang Pergi, Mas
Author: Indah Idris

Bab 01, Istri di Atas Kertas

Seseorang yang baru saja datang, tiba-tiba saja menghampiri Dasya yang tengah duduk menikmati senja di teras samping rumahnya. Orang itu melemparkan sebuah tas kantor berwarna hitam ke atas pangkuan Dasya. Sontak Dasya terkejut, dan menoleh ke sumber yang telah membuatnya kaget.

“Apa maksud kamu datang ke kantorku, huh?” Suaranya begitu dingin dan ketus.

Orang itu menatap Dasya dengan sorot mata yang begitu tajam. Seolah mampu melukai gadis itu hanya dengan tatapan saja. Dasya beranjak berdiri tepat di depan orang tersebut.

“Apa tujuanmu datang ke sana? Ingin memberitahu semua orang kalau kau istriku? Istri seorang CEO perusahaan terbesar di kota ini? Begitu?” Orang itu berteriak tepat di depan wajah Dasya yang masih kebingungan.

“Kamu mau semua orang di kantorku tahu, kalau aku sudah menikah. Dan memiliki istri sepertimu, iya?” Dasya masih saja diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa. “Untuk apa itu semua, huh? Untuk apa?” teriaknya semakin lantang, sontak membuat Dasya terkejut dan merasa ketakutan.

Napas pria itu memburu karena amarah. Tatapannya semakin menajam membuat Dasya menunduk tidak berani membalas tatapannya.

“Ma-mas, sa-saya tidak bermaksud seperti itu.” Dasya mencoba menjelaskan kepada pria yang berstatus suami Dasya. “Saya ke sana karena disuruh—“

“Disuruh siapa? Siapa yang menyuruhmu datang, dan mengacaukan semuanya? Siapa?” bentak pria itu.

Dasya terdiam, kepalanya semakin dalam menunduk. Seluruh tubuhnya gemetar karena ketakutan. Pria itu mencengkeram kedua bahu Dasya. Amarahnya begitu membuncah hari ini. Mata Dasya sudah mengalirkan satu dua tetes air mata yang membasahi wajah cantiknya. Cengkeraman yang kuat dan kasar oleh pria itu di bahunya, membuat Dasya meringis pelan.

“Mas,” lirihnya. “Sakit.”

Walau beribu kali Dasya mengatakan hal itu, atau bahkan berteriak memberitahu suaminya kalau apa yang dilakukan olehnya menyakitkan untuk Dasya. Pria itu tidak akan peduli. Dia sudah seperti kesetanan. Matanya memerah menahan amarahnya yang begitu meledak-ledak.

“Sudah kubilang, bukan?! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali, huh? Jangan pernah datang ke kantorku! Atau pun, berusaha mendekatiku saat di luar sana. Aku tidak sudah semua orang tahu kau adalah istriku! Aku tidak pernah sudi!” Dia menyentak kedua bahu Dasya dengan kasar, membuat gadis itu hampir saja terhuyung ke belakang andai saja tidak cepat-cepat berpegangan pada kursi di sampingnya.

“Harus kembali kau ingat, Dasya. Kita ini hanya sepasang orang asing yang dipaksa untuk bersatu dalam ikatan yang halal. Hubungan ini, adalah hubungan pembawa sial. Aku tidak sudi menganggapmu istriku. Kau dengar itu?!” Pria itu membuang napas kasar. Mengisi paru-parunya dengan udara yang begitu banyak. Dia menghirup begitu dalam. “Kita hanya sepasang suami istri di atas keras. Camkan itu! Jadi, jangan berharap lebih pada hubungan ini.”

Setelah mengatakan itu, pria itu pun pergi meninggalkan Dasya yang terduduk lemas sambil menangis. Seluruh tubuhnya gemetar. Hatinya sakit. Air matanya tidak berhenti mengalir. Begitu deras mengeluarkan air mata yang mewakili segala rasa yang dirasakan oleh gadis itu.

Semua ini hanya perkara Dasya yang datang menghadiri sebuah rapat untuk semua pemegang saham di kantor Aren—suami Dasya. Sebenarnya, bukan keinginan Dasya yang ingin menghadiri rapat tersebut, tetapi atas paksaan dari kakek Aren. Aren sudah sering memberitahu Dasya agar tidak pernah muncul di hadapan Aren ketika berada di tempat umum. Apalagi mengaku sebagai istri Aren.

Pria tua itu yang begitu menyayangi Dasya, dan dia juga yang menjadi penyebab Aren dan Dasya menjadi suami istri. Hingga membuat Dasya selama lima tahun pernikahan mereka menderita. Selama lima tahun, Dasya tidak pernah mendapat perlakuan baik terhadap Aren.

Pria itu selalu saja kasar, ketus dan juga dingin terhadap Dasya. Bahkan pria itu tidak pernah menyentuh Dasya selama lima tahun menikah. Entah apa yang membuat Aren begitu membenci Dasya, padahal Dasya tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepadanya. Namun, Aren begitu jelas memperlihatkan ketidak sukaannya kepada gadis itu.

***

Dasya dengan wajah sembab sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Aren. Walau mereka tidak terlihat seperti sepasang suami istri yang harmonis juga penuh cinta, tetapi mereka selalu makan bersama. Karena Aren memang yang menyuruh Dasya menyiapkan segala keperluannya.

Aren tidak menganggap Dasya sebagai istrinya, tetapi lebih kepada seorang pembantu. Meskipun begitu, Dasya tidak mempermasalahkannya. Lagian, Dasya berpikir itu sudah kewajibannya sebagai seorang istri. Menyiapkan segala keperluan sang suami.

Dasya menghentikan kegiatannya tengah menatap masakan yang sudah dia masak di atas meja ketika melihat Aren berjalan menuruni anak tangga. Dasya berjalan menghampiri Aren yang tampak rapi hendak ke luar rumah.

“Mas, saya sudah menyiapkan makanan untuk—“

“Saya tidak sedang berselera makan di rumah.” Aren menyela ucapan Dasya masih dengan melangkah menuju pintu ke luar tanpa menghiraukan Dasya yang mengikutinya dari belakang.

“Tapi, Mas. Saya sudah memasak,” ucap Dasya pada Aren.

“Tidak ada yang menyuruhmu memasak malam ini.”

“Iya, Mas. Tapi, kupikir Mas akan—“ Dasya tidak melanjutkan kalimatnya ketika Aren menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Dasya sambil menatap gadis itu dengan tajam.

“Kau sangat cerewet, Dasya,” sentak pria itu. “Saya sudah bilang tadi, bukan?! Saya tidak selera makan di rumah. Jadi, tidak akan tinggal makan bersamamu. Lagian, kau bisa makan sendiri. Kenapa soal itu saja harus dipermasalahkan.”

Aren kembali melanjutkan langkahnya. Di belakang Dasya masih mengekor bertanya Aren akan ke mana. Namun, dijawab ketus dan kasar oleh pria itu. Dasya tidak mudah menyerah, dia masih merayu suaminya agar mau makan malam bersamanya. Sayang makanan yang sudah Dasya masak tidak di makan. Apalagi porsinya sangat banyak. Karena dia pikir sebagai permintaan maafnya kepada Aren. Akan tetapi, Aren malah ingin pergi.

“Cukup!” bentak Aren pada Dasya yang terperanjat kaget. Aren tiba-tiba berhenti dan menghadap ke arahnya. “Cukup aku bilang! Kau sudah sangat keterlaluan. Berhenti mengaturku atau memerintahku! Kau bukan siapa-siapa bagiku. Tidak hakmu mengatur atau pun memerintahku. Kau paham itu?”

“Aku hanya ingin kau ...”

Dasya tidak melanjutkannya ketika melihat Aren membuang napas kasar.

“Kau punya otak tidak, sih? Sangat susah diberitahu.”

Setelahnya, Aren pun pergi begitu saja. Kali ini, Dasya pasrah saja. Dia diam membiarkan suaminya pergi meninggalkannya sendirian. Dia masih memandang punggung Aren yang mulai menjauh dengan pandangan yang mulai mengabur karena air mata terkumpul di sudut matanya.

Terdengar dia menghela napas kasar. Untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi dirinya-lah yang harus mengalah dan mengerti. Demi hubungannya bersama Aren yang sama sekali tidak bisa disebut sebuah hubungan.

Air mata yang sejak tadi ditahannya kini luruh tak lagi bisa dia cegah. Bahkan kali ini, Dasya membiarkannya saja membasahi wajahnya yang cantik. Kembali Dasya menangis. Meratapi nasibnya yang sungguh tidak beruntung. Menangis seorang diri tanpa ada yang menemani atau pun mencoba menghiburnya. Semua terasa sepi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status