Pagi-pagi sekali, Dasya sudah berada di toko kue miliknya. Tidak ingin bertemu dengan Aren yang pastinya akan membuat pagi Dasya menjadi kurang menyenangkan. Maka dari itu, Dasya bangun cepat untuk menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan pria itu, lalu pergi meninggalkannya.
Biasanya, jam delapan Dasya baru akan berangkat dari rumah ke toko kue. Akan tetapi, khusus hari ini, Dasya datang cepat. Pukul tujuh sudah berada di toko kue. Membuka toko, membersihkan dan menyiapkan segala keperluan untuk membuat kue nanti.Mila—sahabat sekaligus karyawannya itu mengernyitkan kening heran saat dirinya sampai di toko, dan melihat Dasya sudah ada di sana, dengan kesibukan yang biasa Mila lakukan bersama karyawan lain.“Eh, Mil. Lo udah datang?!” Mila hanya mengangguk menatap bingung sahabatnya sekaligus bosnya itu. “Itu peralatan udah gue beresin. Tinggal nanti lo pakai sama yang lain,” ucap Dasya memberitahu.Gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya mengelap etalase, dan menata kue-kue yang dia keluarkan dari lemari pendingin. Mila berjalan masuk meletakkan tasnya ke loker miliknya, lalu kembali ke arah Dasya.“Sya, tumben lo udah datang. Biasanya jam segini lo masih di rumah nyiapin kebutuhan lakik lo.” Dasya hanya melirik Mila sebentar sambil tersenyum tipis. “Ada apa? Apa ada masalah?”Dasya menghela napas kasar. Kegiatannya terhenti sejenak, dia menggeleng kemudian melanjutkan.“Tidak ada,” sahutnya pelan. “Hanya ingin cepat datang saja. Sekalian bantu kalian buka toko,” ucapnya berbohong.Mila terdiam memperhatikan Dasya yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Mila juga dapat melihat mata Dasya yang sedikit membengkak dan memerah.“Sya, lo ribut sama Aren lagi?” tanya Mila.Dasya tidak menjawab, melirik Mila dan tersenyum membalas sapaan satu persatu karyawannya yang mulai berdatangan. Kemudian menggeleng setelah merasa hanya tinggal mereka berdua saja.“Tidak,” jawabnya singkat, lalu berjalan meninggalkan Mila.Namun, gadis itu mengikutinya. Menarik tangan Dasya untuk menghadapnya. Alhasil, Dasya sekarang sudah berhadapan dengan Mila. Kening Dasya mengerut bingung.“Aren pasti nyakitin lo lagi, ‘kan? Dia pasti berbuat kasar, ‘kan?! Iya, ‘kan?” cecar Mila.Dasya menatap Mila sejenak, dia tidak tahu harus mengatakan apa. Sementara, Mila sudah bisa menebak tanpa harus Dasya jelaskan. Ingin rasanya Dasya menangis saat ini, lalu menjelaskan kepada Mila apa yang kemarin terjadi. Meskipun, apa yang akan Dasya katakan hampir sama dengan cerita sebelum-sebelumnya.Tidak ingin karyawan yang lainnya melihat mereka membicarakan tentang hubungan rumah tangga Dasya yang berantakan. Dasya berjalan menuju ruangannya yang diikuti Mila di belakangnya.“Sepertinya, gue nggak usah menjelaskannya dari awal, Mil.” Dasya menarik kursi kerjanya. Kemudian duduk. Mila ikut duduk di depan Dasya. Hanya ada meja yang menghalangi mereka.“Lo pasti sudah hafal dan mengerti dengan cerita gue kali ini.” Suara Dasya terdengar bergetar seperti menahan tangis.Mila menarik napas panjang, dia menatap Dasya yang sedang memandang ke luar jendela. Memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di sana. Meskipun tidak sepenuhnya fokus ke sana.“Sudah gue bilang, Sya. Suami lo itu nggak akan bisa berubah! Kenapa nggak lo tinggalin saja, sih?!”“Nggak semudah itu, Mil,” desah Dasya pelan. Dia menunduk sambil menatap kedua tangannya yang saling bertautan. “Berpisah dengannya juga nggak bakalan bikin hidup gue nyaman.”Kelapa Mila menggeleng seolah tidak setuju dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu.“Siapa bilang, Sya? Malah dengan berpisah dengannya, lo nggak lagi-lagi mendapat perlakuan kasar, dan hinaan setiap harinya. Setidaknya hati lo nggak akan setiap hari terluka.”Dasya hanya diam saja mendengar apa yang dikatakan Mila tadi. Dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Dia akan terbebas dari semua yang melukainya selama lima tahun ini. Dasya sangat ingin itu terjadi. Akan tetapi, perkaranya tidak semudah itu.Mungkin mudah saja menggugat cerai Aren, meninggalkan pria dingin dan menyebalkan itu, lalu memulai hidup baru lagi. Itu akan menjadi perkara muda andai saja hati Dasya tidak jatuh pada pesona pria yang sudah mengabaikannya selama lima tahun ini.Tidak tahu kapan dan bagaimana, Dasya jatuh cinta pada Aren—suaminya sendiri. Mungkin tidak ada salahnya jatuh cinta pada suami sendiri, apabila terbalas dan diperlakukan selayaknya istri. Akan tetapi, Aren malah tidak pernah menganggap Dasya seperti itu. Dasya merutuki dirinya yang harus jatuh hati pada pria yang sama sekali tidak meliriknya.“Jangan bilang ... lo jatuh cinta sama dia, Sya?!” tebak Mila menatap Dasya dengan mata memicing.Lagi-lagi Dasya hanya mendesah membuat perkiraan Mila semakin kuat. Mila menyayangkan Dasya yang harus jatuh cinta pada penjahat seperti Aren. Punya hati, tapi tidak memiliki rasa. Pria yang bisanya memaki, membentak dan menyakiti Dasya saja.Ya, Mila adalah satu-satunya orang yang tahu tentang perkara rumah tangga Dasya bersama Aren. Itupun baru satu tahun ini mengetahui hal tersebut. Sebab, Dasya selalu saja menyembunyikan segala kedukaannya kepada siapapun itu. Baik teman dekat maupun keluarganya sendiri.“Benar, Sya, lo jatuh cinta sama dia?! Sama orang yang nggak menginginkan lo?!”“Gue tahu itu salah, Mil.” Dasya mendesah pelan sambil mengusap wajahnya. “Tapi, gue juga nggak bisa mencegahnya. Rasa itu mengalir begitu saja tanpa bisa aku tahan.”Mila terdiam tidak tahu harus mengatakan apa. Dasya tidak sepenuhnya salah. Memang apa salahnya jatuh cinta, tetapi yang menjadi masalah adalah, Dasya jatuh cinta dengan orang yang salah. Walaupun status mereka suami istri. Akan tetapi, tidak seharusnya gadis itu jatuh cinta pada pria yang sama sekali tidak bisa membalas perasaannya. Sebab, semua akan sia-sia dan mengakibatkan banyaknya luka yang akan dirasakan Dasya.“Kupikir, rasa ini hanya sementara. Namun, lama kelamaan rasa cintaku kepadanya semakin dalam seiring berjalannya waktu. Meskipun ... meskipun dia selalu menyakitiku dengan kata-katanya, dan sikapnya yang dingin juga ketus. Akan tetapi, rasaku tidak menghilang. Malah bertambah setiap harinya, Mil.”Dasya sudah tidak bisa menahan lagi. Air matanya mengalir begitu saja mengingat bagaimana dia mencoba menghapus rasa kepada Aren. Namun, bukannya menghilang rasa itu semakin dalam dia rasakan. Juga rasa sakit yang dia dapatkan, pun berkali-kali lipatnya.Dasya meletakkan kepalanya di atas meja kerjanya dengan beralaskan tangannya. Dia menangis sesegukan. Mila yang mendengarnya merasa sangat muris dengan apa yang saat ini dialami sang sahabat. Suara tangis Dasya terdengar begitu pilu mampu membuat hati siapa yang mendengarnya tersayat.“Sya, jangan nangis,” pinta Mila mengelus lembut lengan Dasya. “Gue ... gue minta maaf. Gue nggak maksud buat lo sedih.”Dasya menggeleng, tapi masih dalam keadaan menangis. Wajahnya di dongakkan sambil menghapus air matanya yang terus mengalir membasahi wajahnya.“Nggak, kok. Lo nggak salah.”Mila hanya diam melihat betapa menderitanya Dasya selama ini. Ingin membantu pun dia tidak tahu bagaimana caranya. Dia hanya memberikan solusi dan mendukungnya. Selain itu, Mila tidak bisa apa-apa.Dasya terdiam di dalam mobil yang dia parkir tepat di depan pagar rumahnya dan Aren. Gadis itu menatap lekat bangunan kokoh di depannya dari dalam mobil. Rumah di depan sana adalah rumah yang telah menjadi saksi bisu selama lima tahun belakangan ini. Tentang luka dan siksa batin yang dialami Dasya semenjak menginjakkan kaki di sana. Helaan napas terdengar berat dari mulut Dasya, dia seperti enggan memasukkan mobilnya ke dalam sana. Tidak ada minat dan hasratnya kembali ke rumah ini, tetapi entah kenapa cinta selalu menuntunnya untuk kembali. “Apa tidak perlu kembali untuk malam ini saja?” tanyanya pada dirinya sendiri. Terlalu banyak luka nantinya yang akan dia rasakan kalau terus memaksa, tetapi mau bagaimana lagi. Cinta telah bersemayam di dalam hatinya. Enggan untuk pergi. Padahal, cinta itu yakin kalau kehadirannya tidak akan pernah diterima atau pun terbalaskan. Namun, cinta itu tetap hadir dan membuat langkah Dasya menjadi berat untuk melangkah mengambil keputusan yang berani
Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja. Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian. “Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa. Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek. “Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren d
Dasya baru sampai di rumahnya saat setelah pukul lima sore, karena keasyikan bersama Dini tasi, dia sampai lupa ke toko kuenya saking serunya bertemu dengan Doni—teman kuliahnya dulu. Mereka menghabiskan waktu hampir beberapa jam hanya membicarakan hal konyol di masa kuliah mereka, dan juga hal yang menyenangkan tentunya bagi Doni. Setelah menyadari waktu berjalan begitu cepat, dan ada yang harus dilakukan Dasya dengan bahan-bahan dapur dibelinya tadi. Dasya pun berpamitan dengan Doni untuk pulang setelah menghabiskan nasi goreng yang tadi Dasya pesan di tukang abang-abang pinggir jalan. Ya, Doni mengajak Dasya makan siang. Niat Doni ingin berterima kasih kepada Dasya karena telah memberi banyak kenangan manis. Sebab sering menjadi tameng untuk dirinya dari orang-orang sering menjahati Doni. Awalnya, Dasya menolak, tetapi terus dipaksa oleh Doni sehingga mau tidak mau pun, Dasya ikut saja, tidak enak karena Doni begitu antusias dan serius mengajaknya. Jadi, Dasya pun meminta Doni un
“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan. Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu. “Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman. Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?” “Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian. Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren. “Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan. “Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar. “Dia sudah tidak sabar untu
Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya. Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya. “Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—““Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar. Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit.
Aren duduk dengan gelisah di ruangan Hans di sebuah kantor pusat milik pria tua itu. Aren diminta oleh Hans untuk menemui pria itu di tempat tersebut. Pagi-pagi sekali, tanpa sarapan Aren sudah bergegas menuju ke tempat yang sudah disuruhkan Hans kepadanya, dan di sinilah dia berada.Jantung Aren berdebar tak menentu menunggu kedatangan Hans. Pria itu terlalu bersemangat untuk bertemu, sehingga Hans belum tiba di tempat, tetapi dia sudah lebih dulu berada di sana. Tidak apa pikir Aren, setidaknya mengurangi kemarahan dari pria tua itu setelah semalam sudah membuatnya jengkel dan kesal kepadanya. Datang lebih awal semoga saja bisa mengurangi kekesalan Hans kepadanya. Aren menghela napas untuk ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Rasa gelisah membuatnya tak henti-henti dirinya demikian. “Mau sampai kapan kau melakukan itu? Sampai kehabisan napas?” Suara yang khas di telinga Aren sontak membuat pemuda yang tengah duduk di kursi dekat jendela itu menoleh ke sumbe
Aren memijit pelipisnya merasakan kepalanya berdenyut sakit. Persyaratan yang diberikan oleh Hans untuknya begitu sangat mengganggu pikiran Aren. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak bersama Dasya. Sementara, dia tidak pernah menyentuh gadis itu. Kalaupun dia menyentuh Dasya, dia tidak pernah sudi memiliki anak bersama gadis itu. Tidak memiliki anak saja dia sudah kesulitan lepas dari Dasya. Apalagi kalau sudah memiliki keturunan bersamanya. Aren akan lebih tidak memiliki alasan untuk beranjak pergi. Namun, dia juga membutuhkan perusahaan itu. Ini salah Aren yang tidak mau jujur kepada sang kakek perihal hubungannya dengan Dasya. Agar dia bisa mengakhiri dengan segera drama yang dua ciptakan selama ini. “Akh, sial,” umpatnya seraya memukul setir mobilnya sedikit kuat. Selama perjalanan kembali ke perusahaannya, Aren tidak begitu fokus menyetir. Pikirannya terus tertuju kepada syarat yang Hans ajukan. Aren bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan perusahaan itu, menjadik
Kini Doni, Dasya, dan Mila sudah berada di sebuah resto yang tidak jauh dari toko kue milik Dasya. Mereka seperti sedang reuni bertiga. Mila tidak henti-hentinya menatap Doni, memastikan pria itu memang benar Doni—teman kuliahnya dulu. Perubahan Doni yang sekarang membuat Mila sedikit tidak percaya, tetapi mendengar semua cerita Doni semasa kuliah dulu. Membuat Mila sedikit yakin kalau dia memang Doni si Gendut, yang paling sering kena bully-an oleh teman-teman kampus lainnya. “Gue sampai nggak bisa ngenalin lo, Don,” kata Mila sembari menyeruput cappucino dingin miliknya. “Iyalah, secara sekarang aku sudah lebih tampan dari yang dulu, ‘kan?!” puji Doni dengan bangga. Mila memutar bola matanya jengah. “Iya, sih. Cuman culun-culunnya masih ada, sih, Don. Nggak hilang semuanya,” balas Mila. “Masa, sih?!” tanya Doni penasaran. Mila hanya mengangguk membuat Doni terdiam. Hidup beberapa tahun di luar negeri, dan mencoba terbiasa menghilangkan kebiasaan dulu yang sering membuatnya dibu