Home / Rumah Tangga / Biar Aku yang Pergi, Mas / Bab 03, Terlanjur Jatuh

Share

Bab 03, Terlanjur Jatuh

Author: Indah Idris
last update Last Updated: 2023-08-01 18:46:48

Pagi-pagi sekali, Dasya sudah berada di toko kue miliknya. Tidak ingin bertemu dengan Aren yang pastinya akan membuat pagi Dasya menjadi kurang menyenangkan. Maka dari itu, Dasya bangun cepat untuk menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan pria itu, lalu pergi meninggalkannya.

Biasanya, jam delapan Dasya baru akan berangkat dari rumah ke toko kue. Akan tetapi, khusus hari ini, Dasya datang cepat. Pukul tujuh sudah berada di toko kue. Membuka toko, membersihkan dan menyiapkan segala keperluan untuk membuat kue nanti.

Mila—sahabat sekaligus karyawannya itu mengernyitkan kening heran saat dirinya sampai di toko, dan melihat Dasya sudah ada di sana, dengan kesibukan yang biasa Mila lakukan bersama karyawan lain.

“Eh, Mil. Lo udah datang?!” Mila hanya mengangguk menatap bingung sahabatnya sekaligus bosnya itu. “Itu peralatan udah gue beresin. Tinggal nanti lo pakai sama yang lain,” ucap Dasya memberitahu.

Gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya mengelap etalase, dan menata kue-kue yang dia keluarkan dari lemari pendingin. Mila berjalan masuk meletakkan tasnya ke loker miliknya, lalu kembali ke arah Dasya.

“Sya, tumben lo udah datang. Biasanya jam segini lo masih di rumah nyiapin kebutuhan lakik lo.” Dasya hanya melirik Mila sebentar sambil tersenyum tipis. “Ada apa? Apa ada masalah?”

Dasya menghela napas kasar. Kegiatannya terhenti sejenak, dia menggeleng kemudian melanjutkan.

“Tidak ada,” sahutnya pelan. “Hanya ingin cepat datang saja. Sekalian bantu kalian buka toko,” ucapnya berbohong.

Mila terdiam memperhatikan Dasya yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Mila juga dapat melihat mata Dasya yang sedikit membengkak dan memerah.

“Sya, lo ribut sama Aren lagi?” tanya Mila.

Dasya tidak menjawab, melirik Mila dan tersenyum membalas sapaan satu persatu karyawannya yang mulai berdatangan. Kemudian menggeleng setelah merasa hanya tinggal mereka berdua saja.

“Tidak,” jawabnya singkat, lalu berjalan meninggalkan Mila.

Namun, gadis itu mengikutinya. Menarik tangan Dasya untuk menghadapnya. Alhasil, Dasya sekarang sudah berhadapan dengan Mila. Kening Dasya mengerut bingung.

“Aren pasti nyakitin lo lagi, ‘kan? Dia pasti berbuat kasar, ‘kan?! Iya, ‘kan?” cecar Mila.

Dasya menatap Mila sejenak, dia tidak tahu harus mengatakan apa. Sementara, Mila sudah bisa menebak tanpa harus Dasya jelaskan. Ingin rasanya Dasya menangis saat ini, lalu menjelaskan kepada Mila apa yang kemarin terjadi. Meskipun, apa yang akan Dasya katakan hampir sama dengan cerita sebelum-sebelumnya.

Tidak ingin karyawan yang lainnya melihat mereka membicarakan tentang hubungan rumah tangga Dasya yang berantakan. Dasya berjalan menuju ruangannya yang diikuti Mila di belakangnya.

“Sepertinya, gue nggak usah menjelaskannya dari awal, Mil.” Dasya menarik kursi kerjanya. Kemudian duduk. Mila ikut duduk di depan Dasya. Hanya ada meja yang menghalangi mereka.

“Lo pasti sudah hafal dan mengerti dengan cerita gue kali ini.” Suara Dasya terdengar bergetar seperti menahan tangis.

Mila menarik napas panjang, dia menatap Dasya yang sedang memandang ke luar jendela. Memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di sana. Meskipun tidak sepenuhnya fokus ke sana.

“Sudah gue bilang, Sya. Suami lo itu nggak akan bisa berubah! Kenapa nggak lo tinggalin saja, sih?!”

“Nggak semudah itu, Mil,” desah Dasya pelan. Dia menunduk sambil menatap kedua tangannya yang saling bertautan. “Berpisah dengannya juga nggak bakalan bikin hidup gue nyaman.”

Kelapa Mila menggeleng seolah tidak setuju dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu.

“Siapa bilang, Sya? Malah dengan berpisah dengannya, lo nggak lagi-lagi mendapat perlakuan kasar, dan hinaan setiap harinya. Setidaknya hati lo nggak akan setiap hari terluka.”

Dasya hanya diam saja mendengar apa yang dikatakan Mila tadi. Dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Dia akan terbebas dari semua yang melukainya selama lima tahun ini. Dasya sangat ingin itu terjadi. Akan tetapi, perkaranya tidak semudah itu.

Mungkin mudah saja menggugat cerai Aren, meninggalkan pria dingin dan menyebalkan itu, lalu memulai hidup baru lagi. Itu akan menjadi perkara muda andai saja hati Dasya tidak jatuh pada pesona pria yang sudah mengabaikannya selama lima tahun ini.

Tidak tahu kapan dan bagaimana, Dasya jatuh cinta pada Aren—suaminya sendiri. Mungkin tidak ada salahnya jatuh cinta pada suami sendiri, apabila terbalas dan diperlakukan selayaknya istri. Akan tetapi, Aren malah tidak pernah menganggap Dasya seperti itu. Dasya merutuki dirinya yang harus jatuh hati pada pria yang sama sekali tidak meliriknya.

“Jangan bilang ... lo jatuh cinta sama dia, Sya?!” tebak Mila menatap Dasya dengan mata memicing.

Lagi-lagi Dasya hanya mendesah membuat perkiraan Mila semakin kuat. Mila menyayangkan Dasya yang harus jatuh cinta pada penjahat seperti Aren. Punya hati, tapi tidak memiliki rasa. Pria yang bisanya memaki, membentak dan menyakiti Dasya saja.

Ya, Mila adalah satu-satunya orang yang tahu tentang perkara rumah tangga Dasya bersama Aren. Itupun baru satu tahun ini mengetahui hal tersebut. Sebab, Dasya selalu saja menyembunyikan segala kedukaannya kepada siapapun itu. Baik teman dekat maupun keluarganya sendiri.

“Benar, Sya, lo jatuh cinta sama dia?! Sama orang yang nggak menginginkan lo?!”

“Gue tahu itu salah, Mil.” Dasya mendesah pelan sambil mengusap wajahnya. “Tapi, gue juga nggak bisa mencegahnya. Rasa itu mengalir begitu saja tanpa bisa aku tahan.”

Mila terdiam tidak tahu harus mengatakan apa. Dasya tidak sepenuhnya salah. Memang apa salahnya jatuh cinta, tetapi yang menjadi masalah adalah, Dasya jatuh cinta dengan orang yang salah. Walaupun status mereka suami istri. Akan tetapi, tidak seharusnya gadis itu jatuh cinta pada pria yang sama sekali tidak bisa membalas perasaannya. Sebab, semua akan sia-sia dan mengakibatkan banyaknya luka yang akan dirasakan Dasya.

“Kupikir, rasa ini hanya sementara. Namun, lama kelamaan rasa cintaku kepadanya semakin dalam seiring berjalannya waktu. Meskipun ... meskipun dia selalu menyakitiku dengan kata-katanya, dan sikapnya yang dingin juga ketus. Akan tetapi, rasaku tidak menghilang. Malah bertambah setiap harinya, Mil.”

Dasya sudah tidak bisa menahan lagi. Air matanya mengalir begitu saja mengingat bagaimana dia mencoba menghapus rasa kepada Aren. Namun, bukannya menghilang rasa itu semakin dalam dia rasakan. Juga rasa sakit yang dia dapatkan, pun berkali-kali lipatnya.

Dasya meletakkan kepalanya di atas meja kerjanya dengan beralaskan tangannya. Dia menangis sesegukan. Mila yang mendengarnya merasa sangat muris dengan apa yang saat ini dialami sang sahabat. Suara tangis Dasya terdengar begitu pilu mampu membuat hati siapa yang mendengarnya tersayat.

“Sya, jangan nangis,” pinta Mila mengelus lembut lengan Dasya. “Gue ... gue minta maaf. Gue nggak maksud buat lo sedih.”

Dasya menggeleng, tapi masih dalam keadaan menangis. Wajahnya di dongakkan sambil menghapus air matanya yang terus mengalir membasahi wajahnya.

“Nggak, kok. Lo nggak salah.”

Mila hanya diam melihat betapa menderitanya Dasya selama ini. Ingin membantu pun dia tidak tahu bagaimana caranya. Dia hanya memberikan solusi dan mendukungnya. Selain itu, Mila tidak bisa apa-apa.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 18, Mengarang Cerita

    Doni ke luar dari mobilnya, dia berdiri di samping mobil tersebut seraya menatap ke arah bangunan di depannya. Dia sedikit ragu, tetapi juga merasa harus bertemu Dasya saat ini juga. Ya, bangunan di depan Doni adalah rumah Dasya dan Aren. Tatapan mata Doni begitu lekat. Dengan tarikan napas yang panjang, Doni kemudian meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. “Assalamualaikum,” sapa Doni dengan mengucap salam. Dasya yang sedang berbaring di sofa ruang tamu segera beranjak duduk ketika mendengar suara yang tidak asing. Dengan suara lembut, dia membalas salam Doni. “Eh, Doni. Kamu di sini? Sama siapa?” tanya Dasya pada Doni yang berjalan mendekatinya. Doni tersenyum membalas senyum ramah milik Dasya. Senyum yang selalu mampu membuat Doni bisa jatuh cinta berkali-kali kepada gadis itu. “Iya, tadi aku ke toko kue kamu, tapi kata Mila kamu nggak masuk hari ini,” sahut Doni menjelaskan. “Ohiya, aku sendiri saja.” “Oh gitu ... Jadi tadi kamu dari toko ya?” Doni menjawab dengan anggukan

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 17, Apakah Betul Telah Membuka Hati?

    Dasya dan Aren sudah selesai sarapan. Kini Dasya masih di ruang makan sedang membersihkan peralatan masak, juga piring kotor bekas dia dan Aren makan tadi. Sementara, di luar sana. Aren tengah merapikan dasi dan kancing di pergelangan tangannya. Tatapannya mengarah ke dalam dapur, dia menatap Dasya dari kejauhan. Sejak tadi, dirinya tidak habis memperhatikan istrinya itu. Makan pun, dia sesekali melirik ke arah Dasya yang makan dalam diam. Dasya tidak biasanya seperti itu. Selama ini, Dasya begitu banyak pembahasan kepada Aren. Gadis itu akan bercerita banyak hal, menanyakan banyak hal kepada Aren. Meskipun, respon yang diberikan oleh Aren tidak sesuai dengan harapannya, bahkan melukai dirinya. Dasya tetap bertanya dan membahas hal-hal dengan senyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Namun, kali ini berbeda, Dasya lebih banyak diam dan menunduk. Dia akan mengeluarkan suaranya kalau Aren bertanya atau memulai percakapan. Aren tahu penyebabnya. Helaan napas Aren terdengar kasar.

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 16, Aneh

    Suara gemercik air dari shower terdengar hingga ke luar kamar. Doni berdiri di bawah air tersebut, membiarkan dirinya basah. Padahal dia masih memakai pakaian lengkap. Sesekali dia mengusap wajahnya yang terus dialiri air. Pikirannya kacau, dan dia pikir dengan mandi air dingin. Kekacauan yang ada di kepalanya segera hilang. Nyatanya, semua kejadian-kejadian tadi. Bahkan beberapa tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Persisi sebuah film lama yang sengaja diputar untuk ditonton kembali. Doni mengusap rambutnya ke belakang. Kepalanya didongakkan menghadap shower. Matanya terpejam dengan air yang terus mengalir. Semakin dia mencoba untuk menghilangkan kenangan itu, semakin juga setiap adegan bergantian muncul di ingatannya. Mata Doni terbuka. Kepalanya tak lagi mendongak. Tatapannya lurus ke tembok. Suara helaan napas terdengar kasar. Dirinya sudah pernah mencoba untuk melupakan, bahkan dia memaksa dirinya melakukan itu. Bertahun-tahun dia mencoba. Akan tetapi, hasilnya tida

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 15, Dipaksa Melupakan

    “Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 14, Mundur atau Tetap Bertahan?

    Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   13, Malam Pertama

    Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status