Share

4

Aku kembali ke rumah setelah menjemput anakku, kurebahkan diri di sofa sambil memejamkan mata dan mencoba menarik napas dalam. Jika semua yang tejadi dalam rumah tangga ini kuanggap sebagai beban yang menghimpit, tentu saja aku akan depresi dan sakit.

Kucoba menenangkan diri dan hatiku, kucoba untuk banyak berdoa dan mohon petunjuk akan langkah terbaik yang akan kupilih. Entah kenapa meski sudah mencoba bertahan tetap saja air mata ini menetes begitu saja. Aku tidak mengerti semenjak Mas Alvin ketahuan punya kekasih lain dalam hidupnya, aku seakan mulai kehilangan kepercayaan diri dan rasa hormatku kepada dirinya.

Aku benci tapi di sisi lain hatiku juga masih mencintainya. Kadang terlintas keinginan untuk mengakhiri rumah tangga ini tapi itu tentu saja bukan yang terbaik, bagaimana nasib Rina dan gema jika orang tua mereka berpisah. Sungguh, perceraian bukanlah hal yang pernah kubayangkan. Aku sangat menghindari dan tak pernah berangan-angan tentang itu. Pun perselingkuhan, aku hanya melihatnya di TV, tak pernah membayangkan bahwa itu akan terjadi secara nyata dalam hidupku. Parahnya, wanita itu memang sangat cantik, Mas Alvin tergila gila padanya, memanjakannya dan menuruti keinginannnya.

Aku merasa berkecil hati dengan itu, meski kutahu, aku istri sah dan posisiku jauh di atas wanita itu.

*

Tanggal sepuluh Agustus.

Waktu bergulir hingga membawaku pada usia sekarang, 35 tahun. Tak terasa anak sulungku, kini duduk di bangku kelas enam SD. Rasanya baru kemarin aku menimang dia dalam pelukan, pun putriku Rina, mereka dua malaikat penyemangat hidup ini, tanpa mereka mungkin aku tak akan bisa berdiri baik baik saja.

"Selamat ulang tahun Bunda," ucap anakku ketika kami sedang duduk di meja makan bertiga sambil menikmati sarapan pagi.

"Terima kasih, bunda senang sekali karena ternyata kalian ingat ulang tahunku," jawabku memeluk mereka berdua.

"Kami siapkan kartu ucapan yang dibuat sendiri," ucap Gema sambil menunjukkan sebuah kartu yang digambar sederhana dengan gambar seorang wanita, kue ulang tahun dan kata kata selamat. Sungguh terharu hati ini mendapatkan ucapan selamat dari anakku yang manis ini.

"Bunda bahagia kalian punya perhatian dan kasih sayang, terima kasih ya."

"Sama sama." Kedua anakku tersenyum lebar lalu kembali duduk ke kursi mereka dan melanjutkan makan. Tak lama kemudian Mas Alvin datang dan bergabung, dia tidak mengatakan apapun sampai putrinya Rina melirik dan bertanya,

"Hmm, Papa, apa Papa tidak ingat sesuatu?"

"Apa? Papa tidak paham," jawabnya sambil mengesap kopi.

"Bunda ulang tahun hari ini."

"Oh ya, benarkah, wah, maaf, Papa lupa," jawabnya sambil tertawa, ia mendekat padaku dan coba merangkul untuk memberi selamat, tapi tiba tiba ketika kami saling bertatapan ia kehilangan senyum dan tak jadi melakukan itu.

Mungkin dia ingat kesalahannya.

"Selamat ya ...."

"Makasih," jawabku datar.

"Apa rencanamu untuk hari ini?"

"Kita mau piknik ke laut Pa, ke tempat liburan kemarin sekalian nginap, tempatnya bagus Pa, ayo kita pergi lagi," ajak Rina sambil memohon pada sang ayah agar berkenan mengajak kami ke tempat liburan tempo hari.

"Bagaimana ya?" Mas Alvin kelihatan bingung.

"Papa kalian tidak akan bisa pergi dengan kita karena dia sibuk, dia harus mengurusi pekerjaannya dan juga mengurusi seseorang yang penting ...." Aku menyindirnya di depan anaknya.

"Seseorang? Siapa?" tanya gema.

"Seseorang yang istimewa."

"Sudah cukup, kita akan pergi," sela Mas Alvin sesegera mungkin mencoba mencairkan suasana.

"Sungguhkah, terima kasih Pa." Kedua anakku melompat dan bersorak gembira. Mereka sangat bahagia dan berbinar binar.

"Terima kasih," bisikku lirih.

"Sama sama," jawabnya.

*

Rencananya Mas Alvin akan pergi ke kantornya, lalu dari kantor nanti, kami akan pergi ke hotel dan menghabiskan waktu berkualitas bersama anak anak.

Waktu merangkak hingga hari menjelang sore, anak anak yang sejak tadi sudah siap dengan pakaian dan sepatu mereka, mulai bosan menunggu dan berguling di sofa ruang tamu dengan lesu.

"Bunda, kapan papa kembali?"

"Mungkin sebentar lagi," ucapku.

"Lama banget sih...."

"Sabar ya...." Kucoba untuk menelpon Mas Alvin namun panggilanku tidak terjawab.

"Kemana dia," gumamku.

(Berangkat saja duluan karena aku ada rapat penting dengan bos besar yang tiba-tiba datang dan melakukan sidak di kantor kami.) Tiba-tiba ada pesan seperti itu yang masuk.

(Oh ya?)

(Ya, aku sibuk sekali.)

Ini hari ulang tahunku, bertetapan dengan akhir pekan yang seharusnya menyenangkan, ada apa dengannya yang tiba tiba rapat sore-sore begini? Ah, aku benar benar tidak habis pikir.

Akhirnya, kuputuskan untuk berangkat lebih dulu, hotel sudah dibooking dan dibayar jadi tidak bisa dibatalkan.

"Ayo anak anak, kita berangkat."

"Mana papa?"

"Dia akan menyusul," jawabku sambil memaksakan senyum.

Sesampainya di hotel, kami langsung menuju ke kamar. Hotel mewah dengan desain rumah kayu dengan interior rustic elegan itu benar benar memanjakan mata, belum lagi pemandangan pantai dengan deburan ombak yang berkejaran, tempatnya layak menjadi tempat itu mengobati mental dan hati.

Kubiarkan anak anak berenang di kolam, sementara aku berantai di kursi menikmati senja yang terlihat jelas dari ketinggian hotel ini. Sekali lagi, Mas Alvin belum kunjung datang juga.

"Kamu di mana Mas?" Begitu tanyaku saat menelponnya.

"Masih di kantor, ada berkas berkas yang harus kuselesaikan sekarang. Ini mendadak dan penting sekali," jawabnya.

"Jadi, kita tidak akan berakhir pekan bersama."

Pria yang kutanyai hanya menghela napasnya.

"Aku sungguh ingin pergi dengan kalian tapi keadaan memaksaku untuk tetap berada di sini, aku mohon pengertianmu ..."

"Jadi kapan kau datang kemari?"

"Mungkin nanti malam."

**

Malam sudah berangkat larut, kami yang sudah tidak bisa menunggu terpaksa memutuskan untuk makan malam lebih dulu lalu beranjak ke kamar untuk istirahat. Ku antarkan anakku ke tempat tidur lalu menyelimuti mereka dan membiarkan mereka melelapkan diri.

Setelah itu aku kembali membaringkan diri di sofa sambil merenungi kenyataan yang ada. Kupikir akan ada makan malam romantis di antara cahaya lilin dan kesyahduan tempat yang tenang ini. Tapi, khayalanku terlalu tinggi, semuanya pupus begitu saja.

"Kalian tidurlah, mama akan keluar sebentar," ucapku pada anak anakku.

Kukemudikan mobil ke arah barat, sepuluh kilometer jaraknya dari hotel tempat kami bermalam, ke arah kantor Mas Alvin untuk memastikan bahwa dia memang di sana.

*

Baru sampai di basement kantornya, hatiku mulai tidak enak, berdebar, degup jantungku tidak karuan. Napasku mulai berkejaran dengan aliran darah yang membuatku tegang. Kupencet tombol lift di tempat yang sudah lengang itu, lalu bergulir naik ke lantai lima, ke ruangan Mas Alvin.

Lift berdenting dan pintunya terbuka, hanya ada lorong sepi dengan beberapa lampu dengan cahaya temaram, wajar ini sudah jam sembilan malam. Semakin dekat langkah kaki ini, semakin kusadari bahwa suamiku tidak sendiri. Di dalam sana, ada suara wanita yang sedang tertawa, mendesah manja dan ... Aku terkejut dengan pemandangan yang terpampang di pintu setengah terbuka itu.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya jgn kebanyakan drama menye2 dan bergaya sok2an elegan
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status