Aku bertemu dengannya dalam sebuah pesta yang diselenggarakan teman sosialitaku. Saat itu aku menggunakan gaun berbelahan dada rendah warna campagne dengan perhiasan berlian dan rambut yang disanggul sederhana. Anggun tapi simpel, begitulah aku.
Tanpa sengaja aku berpapasan dengan jalang itu, dia sedang minum bersama temanku, Nyonya Friska."Hai, Indira, kemarilah, aku mau kenalkan kamu ke anggota baru perkumpulan kita."Wanita rendahan itu, dia mencoba menaikkan levelnya dengan membaur dengan orang orang kelas atas. Mungkin, dia lakukan itu untuk memperluas koneksi dan membuat Mas Alvin percaya diri untuk menjadikannya istri, juga meyakinkan kedua orang tua suamiku bahwa dia adalah figur jalan menantu yang ideal dan teladan.Perkumpulan kami adalah, klub wanita kaya yang suka membuat kegiatan sosial, lalu arisan emas dan berlian, latihan tembak dan golf. Tapi semua itu hanya sebagai pembuktian gengsi dan ajang pamer seberapa jauh maka kekayaan orang-orang itu. Aku sebenarnya tidak terlalu suka berada di lingkungan seperti ini tapi karena tuntutan hidup maka aku pun harus membaur."Kenalkan ini Mona, dia adalah anak Pak Rafi Adrianto, pengusaha emas. Dia sekarang adalah anggota baru yang akan melatih kita senam dan pilates.""Oh, senang bertemu denganmu, Meksi ini bukan pertemuan pertama," ucapku sambil mengulurkan tangan."Iya, senang berkenalan," jawabnya sambil berkedip manja dan mengacungkan gelas anggurnya tanda memberi hormat."Kalau begitu kalian bicara saja aku akan membaur dengan tamu-tamu yang lain," ucap Nyonya Priska mengundurkan diri."Ya, dengan senang hati."Kali ini hanya kami berdua berdiri di depan meja bundar tinggi di mana cemilan dan minuman terhidangkan."Bagaimana kalau kita duduk saja?""Untuk apa?""Ngobrol sedikit.""Kurasa itu tidak perlu." Wanita bergaun merah dengan belahan kaki yang tinggi itu nampak sangat seksi dan mempesona, dadanya membusung, rambutnya digelombang dan digerai indah. Wajar suamiku menahan napas ketika membayangkan wanita ini.Di sinilah sekarang, kami menepi dan duduk di sofa berwarna putih yang sudah disiapkan tuan rumah. Aku dan wanita itu duduk berhadapan dengan tatapan mata yang saling lekat. Aku ingin menyimak tindakan sementara ia terlihat menantang dengan mata memicing. Pandangan seperti itu hanya dimiliki orang licik dan berhati jahat."Apa yang ingin kau katakan?""Tidak perlu peduli sudah sejauh apa hubunganmu, Aku ingin kau berhenti mengganggu suamiku."Wanita itu tertawa mendengar ucapanku."Aku tidak pernah mengejarnya tapi dialah yang selalu ada di dekatku.""Kalau kau menolaknya dia tidak akan berani. Hubungan tidak akan terjalin jika hanya bertepuk sebelah tangan.""Aku tidak mampu membendung perasaan dan hasrat yang ada. Lagi pula suamimu sangat tergila-gila padaku, sangat gila..." Dia mengatakan itu dengan kalimat penuh penekanan dan kepercayaan diri. Aku hanya bisa menarik napas dalam sambil tersenyum. Aku tidak akan membuang waktu dan tenaga untuk merusak reputasiku dengan bangun dan menjambak wanita itu. "Kalau begitu baiklah, hanya saja, kau harus bertahan selamanya jadi simpanan, dinomor duakan dan tidak pernah jadi prioritas. Kapanpun dia denganmu, saat aku menghubungi, maka dia akan meninggalkanmu. Kalian juga tidak mungkin menikah, karena alam pun menentangnya. Jadi, duduk dan bertahanlah sebagai pelampiasan syahwat suami orang."Mendengar kalimatku yang sangat ofensif wanita itu menggeram dan menggigit bibirnya dengan tatapan yang sangat marah. Cukup seperti itu saja, sudah membuatnya sangat tersinggung, aku tidak perlu menamparnya."Dan ya, sejauh apapun kau mencintainya kau tidak akan pernah menjadi yang istimewa.""Maksudmu apa?""Contohnya melahirkan anak untuk Mas Alvin.""Aku tidak berencana untuk memiliki anak," jawabnya."Itulah resiko hubungan gelap, alih alih bahagia dengan garis 2, malah kau akan merasakan itu seperti bencana. Hahahah. Penyakit bisa diobati, kemiskinan bisa diubah dengan usaha, tapi kebodohan tidak ada obatnya," jawabku sambil bangun dan menertawai wanita itu selalu melangkah pergi dengan langkah anggun sambil menyapa tamu yang lain dengan lambaian tangan dan senyuman. Aku yakin aku sudah memukul mental si jalang itu.Aku kembali ke rumah setelah menjemput anakku, kurebahkan diri di sofa sambil memejamkan mata dan mencoba menarik napas dalam. Jika semua yang tejadi dalam rumah tangga ini kuanggap sebagai beban yang menghimpit, tentu saja aku akan depresi dan sakit. Kucoba menenangkan diri dan hatiku, kucoba untuk banyak berdoa dan mohon petunjuk akan langkah terbaik yang akan kupilih. Entah kenapa meski sudah mencoba bertahan tetap saja air mata ini menetes begitu saja. Aku tidak mengerti semenjak Mas Alvin ketahuan punya kekasih lain dalam hidupnya, aku seakan mulai kehilangan kepercayaan diri dan rasa hormatku kepada dirinya.Aku benci tapi di sisi lain hatiku juga masih mencintainya. Kadang terlintas keinginan untuk mengakhiri rumah tangga ini tapi itu tentu saja bukan yang terbaik, bagaimana nasib Rina dan gema jika orang tua mereka berpisah. Sungguh, perceraian bukanlah hal yang pernah kubayangkan. Aku sangat menghindari dan tak pernah berangan-angan tentang itu. Pun perselingkuhan, aku han
Lututku lemas, tanganku bergemetar dengan keringat dingin yang membasahi telapaknya. Mataku tak ingin menyaksikan kejadian yang ada, tapi, tubuhku seakan terpancang mati di lantai, sulit digerakkan. Bahkan tenggorokanku tercekat sewaktu ingin memanggil nama suamimu.Kupikir dia sedang bekerja, di hari ulang tahunku, ia memberiku hadiah kejutan yang luar biasa. Dia sedang bercinta di atas meja kerja.Wanita itu duduk di meja sementara suamiku mendekapnya dengan posisi berdiri, mereka saling memeluk dan meluapkan kerinduan asmara. Mereka bermain penuh gairah, bersemangat, bahkan lebih dahsyat dari percintaan yang dia lakukan denganku, kekasih halalnya. Desahan dan hasrat seakan bercampur, menghentak dan menghilangkan akal sehat, mereka tidak sadar bahwa aku sedang menyaksikan perbuatan bejat itu...Air mataku tumpah, aku bersender di dinding dengan isakan tangis yang seharusnya tidak perlu menetes di pipiku. Terlalu mahal air mata hingga harus membayar semua perbuatan Mas Alvin padaku
"Apa?""Iya ... aku tidak akan mengulang perkataan dua kali. Aku sudah kirim rekaman video perselingkuhan itu ke ayah mertua."Resikonya jelas, ayah mertua akan kumat sakit jantung, masuk rumah sakit dan kritis, selain itu belajar akan murka, dan boleh jadi membatalkan warisannya untuk Mas Alvin.Ya, mertuaku cukup kaya dan punya banyak aset, dia telah berencana membagikan setengah harta untuk kedua anaknya, yakni Mas Alvin dan adiknya Disha. Tapi, jika suamiku membuat skandal, aku tak yakin semua harapannya tak akan berjalan mulus."Tunggu Indira ..!" Baru saja hendak melangkahkan kaki meninggalkan pria yang kemejanya sudah berantakan akibat bercinta itu, ponsel suamiku berdering. Ketika meraih gawainya ayah anak anakku terlihat gemetar dan syok. Dia melihatku dan pacarnya itu bergantian, tentu dengan ekspresi pucat sekali."Apakah itu dari ayah mertua.""I-iya.""Bagus," ujarku sambil membalikkan badan."Tunggu, kau harus katakan pada ayah bahwa ini salah paham, kita bisa celaka!
Tentu saja aku paham apa yang terjadi, ayah mertua pasti sedang sekarat. Dia kritis karena syok melihat perbuatan anaknya yang memalukan. "Baru melihat secara pribadi saja, sudah masuk rumah sakit, apalagi jika aib tersebut tersebar dan terungkap ke mana mana." Aku berpikir sambil menggeleng Tentu saja aku paham apa yang terjadi, ayah mertua pasti sedang sekarat. Dia kritis karena syok melihat perbuatan anaknya yang mPAku tahu, bahwa sekalinya perbuatan kotor itu tersebar, maka aku juga akan malu karena Mas Alvin adalah suamiku. Tapi, jika tidak memberi pelajaran, mungkin dia tidak akan jera."Selamat siang," ucapk"Ngapain kamu ke sini! Semua ini akibat salahmu!" ujar ibu mertua membentakku ketika aku sedang diambang pintu perawatan. Mas Alvin dan Disha yang sedang berlinangan air mata hanya terdiam, ibu mertua makin meradang dan mengusir hingga suamiku mendekat dan mengajak diri ini keluar dari tempat it"Ayo keluar," ajakny"Sebentar, aku datang ke sini dengan niat baik kok, Mas
Hari itu juga kami membawa ayah mertua pulang ke rumahnya. Aku memang tidak semobil dengan mobil yang membawa jenazah, demi menghindari konflik dan tidak membuat malu keluarga di depan banyak orang.Kukemudikan mobil lalu menjemput anak-anak kemudian mengajak mereka pulang ke rumah untuk berganti baju, lalu pergi melayat. Jangan tanya Bagaimana reaksi anakku ketika tahu bahwa kakek mereka meninggal dunia, mereka sangat sedih dan terpukul, tidak mampu menahan perasaan dan tangisannya.Saat aku tiba di rumah duka jenazah sedang dimandikan, para kerabat dan handai taulan berkumpul untuk berbela sungkawa dan duduk menghibur tuan rumah. Ibu mertua masih menangis sementara Mas Alvin dan Disha sibuk menyambut para tamu, raut mereka sedih, tapi mereka tetap berusaha tegar. Sesekali Mas alvin tersenyum tipis pada orang yang berusaha menguatkan perasaannya. Sikapnya seakan tidak punya dosa dan seolah kematian ayahnya bukan karena perbuatannya.Aku sendiri, memilih duduk sedikit jauh dari keru
Mungkin dia ingin membuatku kesal dan menguni ketahanan hatiku, dia mengatakan itu dengan wajah sinis sementara aku hanya tersenyum lebar. Dia tertegun melihat reaksiku yang santai."Boleh saja Bu, tapi sayang, saya tidak punya nomor telponnya. Mungkin ibu bisa dapatkan itu dari Mas Alvin.""Baiklah, aku akan memintanya, kau boleh pergi," jawabnya dingin."Baiklah," jawabku sambil membalikkan badan, mengubah ekspresi wajah dari senyum ke ekspresi marah, kesalnya seakan menumpuk di hatiku.*Kurebahkan diri di tempat tidur, kusentuh perlahan seprai yang halusnya sama seperti gaun tidur sutraku, bantal yang ada di sampingku masih kosong, karena suamiku belum pulang sampai saat ini. Perlahan kerinduan dan hasrat ingin dipeluk olehnya membuncah di hatiku, sayangnya, harapan itu tak akan terwujud secepatnya karena ya ... seperti itulah, hubungan kami sudah kaku.*Pukul 01.00 malam aku terbangun dan menyadari diriku berada dalam pelukan hangat seseorang. Teryata itu adalah Mas Alvin. Kuco
"Aku bersumpah!" ucapnya mencoba meyakinkan aku."Kalau begitu, segera pulang dan mari berdoa untuk ayah mertua. Aku yang bukan anaknya saja, sangat peduli dengan acara ini, lalu ada apa denganmu?" tanyaku dengan tawa sinis."Ba-baiklah, aku akan sampai dalam tiga puluh menit.""Tidak, itu terlalu lama.""Aku harus pulang dan ganti baju.""Aku bawa baju untukmu, jadi langsung aja kemari!" tegasku."Baiklah," jawabnya, yang pada akhirnya tidak punya pilihan.Kumatikan ponsel, kusimpan dalam tas lalu kutemui anak anak yang terlihat sedang bermain dengan sepupunya di lantai dua. Kuminta pada mereka untuk duduk tenang agar tidak menjadi perhatian para hadirin dan membuat malu itu mertua."Duduklah yang rapi, kalian boleh bermain iPad di kamar atau nonton tv, jangan berlarian ya," ucapku dengan bujukan lembut."Iya, Bunda.""Terima kasih anak pintar," jawabku denga senyum lebar. Aku turun ke lantai bawah untuk membantu keluarga menata hidangan di meja, menerima tamu yang mulai berdatangan
"Aku tak sangka kau akan seberani ini," ucapku pada wanita itu ketika dia sedang mengantri makanan di meja prasmanan, dia memang mengantri di saat saat terakhir hingga aku bisa menghampirinya. Wanita berbaju mint itu tersenyum, bibirnya yang diber gincu pink merekah dengan lengkungan lebar."Apakah kau merasa takut bahwa aku akan berkenalan dan semakin akrab dengan ibu mertuamu?""Tidak sama sekali, aku justru ingin mempertontonkan kebusukan kamu berdua di hadapan semua orang. Sayangnya, ini momen yang kurang tepat," jawabku sambil meneguk minuman di tangan. Aku ingin sekali memukulnya, tapi sikap itu akan mengacaukan acara kematian yang penuh belas sungkawa. Aku tidak suka jadi pusat perhatian di momen yang salah."Jika kau tidak punya kepentingan, tolong tinggalkan aku dan biarkan aku menikmati hidangan ini," ucapnya dengan sombong."Tentu saja, bukannya kau begitu rakus hingga tanpa rasa malu pun kau telah menjadi tamu yang tak diundang.""Siapa bilang tak diundang, aku diajak ke