"Aku bersumpah!" ucapnya mencoba meyakinkan aku."Kalau begitu, segera pulang dan mari berdoa untuk ayah mertua. Aku yang bukan anaknya saja, sangat peduli dengan acara ini, lalu ada apa denganmu?" tanyaku dengan tawa sinis."Ba-baiklah, aku akan sampai dalam tiga puluh menit.""Tidak, itu terlalu lama.""Aku harus pulang dan ganti baju.""Aku bawa baju untukmu, jadi langsung aja kemari!" tegasku."Baiklah," jawabnya, yang pada akhirnya tidak punya pilihan.Kumatikan ponsel, kusimpan dalam tas lalu kutemui anak anak yang terlihat sedang bermain dengan sepupunya di lantai dua. Kuminta pada mereka untuk duduk tenang agar tidak menjadi perhatian para hadirin dan membuat malu itu mertua."Duduklah yang rapi, kalian boleh bermain iPad di kamar atau nonton tv, jangan berlarian ya," ucapku dengan bujukan lembut."Iya, Bunda.""Terima kasih anak pintar," jawabku denga senyum lebar. Aku turun ke lantai bawah untuk membantu keluarga menata hidangan di meja, menerima tamu yang mulai berdatangan
"Aku tak sangka kau akan seberani ini," ucapku pada wanita itu ketika dia sedang mengantri makanan di meja prasmanan, dia memang mengantri di saat saat terakhir hingga aku bisa menghampirinya. Wanita berbaju mint itu tersenyum, bibirnya yang diber gincu pink merekah dengan lengkungan lebar."Apakah kau merasa takut bahwa aku akan berkenalan dan semakin akrab dengan ibu mertuamu?""Tidak sama sekali, aku justru ingin mempertontonkan kebusukan kamu berdua di hadapan semua orang. Sayangnya, ini momen yang kurang tepat," jawabku sambil meneguk minuman di tangan. Aku ingin sekali memukulnya, tapi sikap itu akan mengacaukan acara kematian yang penuh belas sungkawa. Aku tidak suka jadi pusat perhatian di momen yang salah."Jika kau tidak punya kepentingan, tolong tinggalkan aku dan biarkan aku menikmati hidangan ini," ucapnya dengan sombong."Tentu saja, bukannya kau begitu rakus hingga tanpa rasa malu pun kau telah menjadi tamu yang tak diundang.""Siapa bilang tak diundang, aku diajak ke
"jangan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kuinginkan, aku tidak mau menceraikanmu!""Kalau begitu jangan paksa aku untuk menggenggam bara api dan bertahan dalam luka yang kau timbulkan setiap harinya, aku selalu makan hati dan lama-lama bisa gila karena perselingkuhanmu, jadi tolong jangan paksa aku untuk bertahan dalam rumah tangga ini!"Mas Indra terbelalak, ponsel di pangkuannya terjatuh ke lantai dan anehnya dia tak memperdulikannya. Dia hanya menatap padaku sambil menahan air mata yang kini menganak sungai di pelupuk netranya."Jangan coba-coba untuk menjual air mata dan memasang wajah sedih, aku tidak termakan oleh kesedihan yang kau jual-jual itu. Dengar Mas, ceraikan saja Aku dan semuanya selesai.""Kenapa kau begitu bersih keras tidakkah kau memikirkan masa depan anak-anak kita ketika kita berpisah?""Akan lebih baik bagi mereka hidup denganku dan lepas dari situasi tegang seperti ini. Biarpun kita tidak bersama, tapi jika situasinya kondusif maka aku lebih menyukai ha
"Alvin, Rifki! Apa yang kalian lakukan, hentikan, kalian membuat kami malu," ucap Ibu yang tergopoh-gopoh mendekat dan melerai mereka." ... kenapa ini bisa terjadi?" ibu masih bertanya, sementara kedua anak dan keponakannya masih saling memandang dengan sengit."Ini salah saya Tante, maafkan saya, saya akan pergi sekarang," ucap Mona sambil menangkupkan tangan dan membalikkan badan."Kamu ya, kenapa harus memukul sodara kamu? Memangnya dia salah apa?" tanya Tante Hani pada ponakannya, suamiku."Saya lagi ngobrol Tante, dan dia tiba tiba dia menunjukkan kecemburuan dan tidak suka. Kalau memang tidak setuju orang lain dekat dengan temannya, kenapa dia harus mengajaknya kemari?""Apa hubunganmu dengan wanita cantik itu, Alvin?" tanya Ibunya Rifki dengan tatapan selidik pada ponakannya. "Kenapa kamu sampai harus memukul Rifki? Apakah wanita itu adalah milikmu?""Tidak juga!""Iya," selaku, wanita itu adalah pacarnya Mas Alvin. Aku menjawab seperti itu dan melipat tanganku di dada samb
Setelah Om Rasyid membalikkan badan kini dia mengedarkan pandangannya pada kami semua. Pria garang berwajah angker itu langsung kembali melotot dan menuding kami semua."Apalagi yang kalian tunggu berdiri di situ? Kenapa tidak masuk dan bantu para asisten untuk membereskan kekacauan yang ada di dalam rumah. Kenapa kalian tidak turut serta menjamu tamu dan malah membuat keributan? dasar tidak berguna!"Aku yang tidak menjawab apa-apa lantas kembalikan badan dan masuk ke dalam sementara ibu mertua hanya diam saja sambil memberi isyarat kepada putranya untuk ikut masuk."Alvin, tunggu kamu, aku ingin bicara!" Ucap om Rasyid."Iya Om, ada apa?""Temui aku di ruang belakang, aku akan bicara padamu!""Iya, om."Seusai memastikan para tamu sudah pulang, sembari minta maaf pada mereka jika telah merasa tidak nyaman, aku segera mengantarkan mereka ke gerbang lalu masuk lagi dan mencari suamiku yang ternyata sedang bertemu di teras belakang dengan omnya."Hah, ini Indira, kebetulan aku sedan
Melihat betapa tegasnya Om Rasyid, aku seakan diberi angin segar dengan hadirnya salah seorang anggota keluarga yang mendukung diri ini. Om Rasyid tampaknya bersikap tegas demi martabat dan kehormatan keluarga."Ba-baik, Om, saya akan telpon.""Sekarang juga!" ujar Paman suamiku dengan mata sangar. Bagaimana dia tidak ditakuti kalau dia adalah seorang pensiunan polisi, tubuhnya tinggi tegap dengan warna kulit sawo matang, ada kumis di atas bibirnya yang sedikit tebal serta tatapan matanya yang nanar."Kenapa lama sekali diangkat?!""Saya tidak tahu Om?""Haruskah aku menelponnya dari nomorku?""Tidak usah oM."Karena tidak kunjung menjawab juga akhirnya suamiku mulai menyerah menghubungi kekasihnya."Di mana wanita itu bekerja?""Dia menjadi bartender di sebuah club' yang cukup terkenal," jawab Mas Alvin."Pantas saja kelakuannya jalang, jika jam kerja dan dunianya adalah dunia malam.""Tapi Tidak semua seperti itu om ....""Kebanyakan begitu!" bentak Om Rasyid dengan tegas, suamiku k
"Baiklah aku akan diam, aku akan diam sampai kau merasa puas dan bertaubat dengan sendirinya." Aku membuang muka sambil melipat tangan di dada. Sesampainya di rumah, mobil kami masuk laku dengan kasarnya Mas Alvin menghentikan mobilnya di garasi. Aku dan anak anak hampir terbentur namun untung saja bisa menahan diri. "Mas, apa yang kau lakukan?!""Tidak sengaja," jawabnya datar. Tanpa banyak bicara lagi, lelaki itu turun dari Pajero lalu menutup pintu mobilnya dengan keras. Aku dan anak anak sampai menutup mata, karena merasa ngeri dengan begitu kencangnya suara pintu.Kuikuti langkah suami yang masuk ke dalam rumah, ia lepaskan sepatu lalu langsung masuk ke kamar utama.Ketika aku masuk kamar juga, dia nampak sedang mengambil selimut dari atas tempat tidur dan sebuah bantal."Kau mau kemana?""Aku akan tidur di ruang TV."Ya ampun, apakah itu bentuk protesnya pada diriku? kenapa? mengapa sikapnya seperti anak kecil kehilangan mainan."Terserah kau saja," jawabku pelan."Kita akan t
Tak punya pilihan, meski malu dan canggung, pria itu tetap mengangkat panggilan Gundiknya. "Halo," ucapnya lirih, dia tau, dia khawatir bahwa aku akan marah sehingga ia pelankan suaranya dengan sangat pelan."Ya ... aku sudah bilang, jangan telpon ketika aku sedang di rumah," lanjutnya sambil menjauh dan tetap waspada dari pandanganku."... Kita harus bicara, kita ketemu nanti," ujarnya sambil mengakhiri panggilan. Aku yang hanya berdiri sambil melipat tangan di dada hanya bisa menggelengkan kepala sambil berdecak kecil dan menggeleng. Kulanjutkan merapikan dapur lalu mencuci piring sementara suamiku berangkat kerja. Perdebatan kami tadi sudah cukup menguras emosi jadi aku tak mau menambah beban hatiku.*Daripada sibuk memikirkan hati yang merana kuputuskan untuk pergi ke gym dan bertemu teman temanku di sana. Mungkin olahraga bisa menyegarkan badan dan membuat pikiranku lebih tenang, jadi, kuganti pakaian lalu mengeluarkan mobil dari garasi dan meluncur pergi.Sesampainya di gym, a