POV Mama Karni‘’Nak, kamu kapan akan bangun?’’ Aku memeluk tubuhnya yang terbaring lemah.Aku tak tahu harus bagaimana lagi, sudah dua kali anakku melakukan operasi di bagian kepalanya. Namun, hasilnya nihil. Sampai saat ini dia masih dalam keadaan koma. Entah kenapa ujian datang bertubi-tubi di hidupku. Mulai dari suami yang selingkuh, lalu masuk penjara dan aku meminta cerai padanya atas semua kesalahan besar yang dilakukan oleh lelaki itu padaku. Aku tak bisa lagi memaafkan kesalahannya, dia sudah melukai hatiku dan apalagi dia selingkuh berkali-kali. Dulu aku pernah memberikan kesempatan kedua padanya, tapi dia malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia kembali lagi berselingkuh diam-diam di belakangku. Setelah itu Andre yang menghamili Monik di luar nikah. Kini dia yang mengalami kecelakaan membuat di kepalanya cedera yang cukup parah. Juga orangtua Nina yang menuduh anakku dan dia mengancamku, sepertinya ancaman itu tak main-main. Hidupku sungguh berantakan. Untung saja Monik
Air mata terus saja berjatuhan, berulangkali kuseka dengan ujung kerudung. Hatiku begitu perih melihat lelaki yang pernah singgah di hidupku. Kini hanya terbaring dengan alat medis yang selalu menemaninya. Kapan dia akan sadar? Aku mendekatinya. Tanganku terangkat hendak meraih tangan Andre yang dipasang infus, namun aku mengundurkan niat. Karena kini statusnya bukan suamiku, dia hanya bapak dari anakku. Aku tidak ada hak untuk memegang tangan lelaki ini. Apalagi saat ini aku sudah mulai melangkah untuk hijrah.‘’Nak, kita keluar ya. Dion pasti udah menunggu di luar.’’ Tepukan pelan dari tangan Mama Karni mampu membuat aku menoleh. Kembali kuseka air mata yang terus membasahi pipi. Kusahut dengan anggukan. Kami melangkah keluar dari ruangan rawat Andre. Benar saja, Dion sibuk mengotak-ngatik ponselnya sambil duduk di ruang tunggu pasien.‘’Dion, tolong bantu Tante mencari tahu di mana Nina akan dimakamkan.’’ Mama Karni langsung duduk di sebelah lelaki hitam manis itu.‘’Oke, Tante.
‘’Aku nggak akan terima dengan semua ini! Anakku meninggal gara-gara anak kamu! Nyawa harus dibalas dengan nyawa!’’ Membuat aku terkesiap mendengar ancaman wanita separuh baya itu. Aku dan mamaku membantu Mama Karni untuk bangkit, hatiku terenyuh mendengar tuduhan yang dilemparkannya. Aku menatap iba pada mantan mertuaku itu, tak henti-hentinya air mata beliau menetes. ‘’Mi, anak kita meninggal itu karena sudah ajalnya,’’ sanggah lelaki separuh baya yang berpakaian jas hitam pekat. Dalam hati aku membenarkan ucapannnya. ‘’Diam kamu, Pi! Ajal kata kamu? Tahu apa kamu tentang ajal? Kalo Nina nggak pergi dengan anaknya, Nina nggak akan kecelakaan. Dan dia nggak akan meninggal!’’‘’Mba, aku minta maaf atas nama Andre... ‘’ Mama Karni bergegas mengambil tangan wanita itu, namun bergegas dia menepis dengan kasar.‘’Permintaan maaf kamu nggak akan membuat anakku hidup!’’‘’Ibu-Ibu ada apa ini? Kalian bertengkar di ruangan jenazah. Nggak baik, lebih baik kalian keluar.’’ Seorang wanita be
‘’Ma, kita doakan aja Andre. Aku yakin dia kuat dan aku yakin kalo dia akan sembuh,’’ kataku yang beralih menatap Mama Karni yang terduduk lemas. Seketika air matanya makin berjatuhan. Aku semakin tak tega melihat mantan mertuaku itu.‘’Monik,’’ katanya lirih di sela isakan tangisnya, lalu bergegas bangkit. Aku langsung membantu mantan mertuaku itu untuk bangkit. Namun, seketika beliau menghambur ke pelukanku dan menumpahkan segalanya dengan deraian air mata. Membuat aku terenyuh dan merasakan hati Mama begitu rapuh saat ini. Satu kata yang dilontarkannya padaku, tapi itu berhasil membuat aku menyimpulkan bahwa keadaan Andre semakin memburuk. Ah, Monik! Kamu jangan berpikiran seperti ini. Aku berusaha menepis semua prasangka buruk yang hadir di pikiranku.Kuusap punggung Mama Karni dengan pelan,’’Ma, yang sabar ya. Sekarang yang dibutuhkan Andre adalah doa dari kita, doa dari Mama.’’ Hanya tangisan Mama kini yang kudengarkan.‘’Ya Allah! Tolong dengarkan doa dari seorang pendosa ini.
’’Pa, aku paham kenapa Papa nggak mengizinkan aku dan Mama ke sana.’’‘’Pa, walaupun lukaku belum sembuh. Tapi, aku merasa harus belajar untuk menerima semua ini. Aku harus belajar untuk memaafkan dia yang pernah memberiku luka yang dalam. Untuk itu aku ingin membezuk dia ke rumah sakit demi Rafi, cucu Papa.’’‘’Tolong izinkan aku, Pa. Aku mohon.’’ Aku tidak ada pilihan lain, selain berlutut di kaki Papa. Seketika beliau membantuku untuk bangkit.‘’Baiklah, Papa izinkan kamu dan Mamamu ke rumah sakit.’’ Papa terdengar menghela napas berat. Aku tahu beliau pasti terasa berat untuk mengizinkanku.‘’Makasih banyak ya, Pa,’’ lirihku dengan deraian air mata, langsung memeluk erat sang papa.***Aku dan Mama bergegas berangkat ke rumah sakit, kami ke sana menumpangi taxi online yang sebelumnya sudah kupesan lewat aplikasi. Walaupun mobil Papa ada, kami lebih memilih naik taxi. Karena aku lagi malas menyetir, Mama pun tak pandai menyetir mobil.Di perjalanan, aku dan Mama larut dalam pikiran
Aku termenung di teras. Pikiranku melayang ke mana-mana. ‘’Eh, Monik? Udah rapi aja. Mau ke mana?’’ Ucapan tetangga mampu membuat aku tersadar dari lamunan.‘’Ini mau ke luar sebentar, Tan. Sekarang nungguin Mama siap-siap dulu,’’ sahutku yang menoleh ke sumber suara. Wanita yang beranak empat itu masih kelihatan seperti anak gadis. Baik dari wajahnya maupun gaya penampilannya. Aku tahu dari Mama, beliau cerita kalau Tante Ida punya empat orang anak, tapi semuanya laki-laki.‘’Mau ke mana sih? JJS ya?’’ tanyanya kembali yang membuat aku tersenyum simpul saja.‘’Oh ya, Monik. Tadi anak Tante nanyain kamu loh. Kapan-kapan mainlah ke rumah. Sedekat ini pastilah kamu bisa nyempetin waktu,’’ lanjutnya yang membuat aku terkesiap.Pasti lelaki berwajah tampan itu yang dimaksud oleh Tante Ida. Aku pernah melihatnya ketika aku menjemur pakaian di luar. Tapi, sebentar. Kenapa aku pula yang ditawarkannya untuk bermain ke rumahnya? Ada-ada saja tante ini, pantang bagiku bermain ke rumah laki-la