Untuk menghindari hujan lebat, aku diajak oleh kekasihku menginap di hotel. Siapa sangka, kekasihku mengaku kalau kami adalah suami istri karena hanya tersisa satu kamar di sana? Sebuah insiden terjadi dan membuatku hamil, tetapi ia tak mau bertanggungjawab. Apa yang harus kulakukan? Haruskah kutanggung dosa malam itu seorang diri?
View More‘’Mama ingin memberi kamu jamu supaya haid kamu lancar.’’
Aku yang tengah termenung di kamar, sontak terkesiap.
Jamu untuk mempelancar haid?
Sejak mantan kekasihku tak mau bertanggungjawab, usia kandunganku sudah dua bulan.
Tetapi, sebencinya aku akan kejadian yang meninpa ini, aku teringat dengan nasihat sahabatku, Ayu yang mengatakan janin ini tak bersalah.
Bagaimana ini? Apa jangan-jangan, mama mencurigaiku selama ini?
‘’Monik!!’’ panggil Mama yang masih berdiri sembari memegang segelas jamu.
Aku terperanjat dengan suara Mama yang menggelegar. ‘’A—anu. Ma’af, Ma..’’ Susah payah aku berucap.
‘’Kamu takut minum jamu ini?’’ tanyanya lagi, "apa kamu hamil?"
PLAAKKK!! Satu tamparan mendarat di pipi kananku. Aku kaget dan meringis kesakitan.Dari mana Mama tahu kalau aku sedang hamil?
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.
‘’Ma—Mama…’’ lirihku dengan buliran air mata membasahi pipi, sembari memegang pipi yang terasa perih. ‘’Apa maksud dari pesan kamu itu? Hah? Jawaab!’’ Mata Mama tampak memerah, buliran bening mulai membasahi pipinya dan mengguncang tubuhku. ‘’Pe—pesan apa maksud Mama?’’ tanyaku pura-pura tak mengerti. ‘’Pesan di hp kamu!’’ teriak Mama. Sembari meraih ponselku dengan kasar. Wanita itu langsung memperlihatkan semua pesan itu dengan kasar, hingga aku tak mampu berucap.Hanya buliran air mata yang terus menganak.
‘’Monik, jawab! Apa kamu benaran hamil!’’ Kali ini Mama benar-benar tak dapat mengendalikan emosinya. Hingga tangannya hampir melayang kembali ke pipiku. ’’ Ya Allah! Ada apa ini? Istighfar, Ma!’’ lirih Papa yang tiba-tiba datang lalu menepis tangan Mama. ‘’Istighfar kata kamu, Pa? Anak kamu ini seharusnya yang disuruh istigfar dan bertobat,’’ ketus Mama. ‘’Apa maksud, Mama?’’ ‘’Di—dia hamil…’’ ketus Mama dengan buliran air mata membanjiri pipinya, sedangkan Papa tampak kaget dan mengacak rambut. ‘’Apa? Kamu jangan bercanda, Ma?’’ Papa beralih menatapku dengan tatapan tajam. ‘’Papa tanya aja sama dia!’’ Mama memijit keningnya. ‘’Apa benar itu, Monik? Jawab!’’ Baru kali ini aku melihat kemarahan Papa. Tangan beliau kembali terangkat. Aku hanya mengangguk pelan dengan buliran air mata yang tak henti-hentinya. PLAAKKK!!Kali ini aku mendapat satu tamparan kembali dari cinta pertamaku, lelaki yang selama ini begitu sangat menyayangiku.
‘’Pergi kamu dari sini! Aku malu punya anak kayak kamu! Dasar anak ngga tau diri. Apa kamu ngga tau dosa? Hah?’’ Emosi Papa benar memuncak. Kata-kata yang tak pernah keluar dari mulutnya sekarang keluar untukku. Aku menangis histeris. ‘’Kamu ngga boleh tinggal di rumahku! Silakan angkat kaki dari sini"Deg!
Tak dibiarkannya aku membawa apapun, kecuali yang melekat di tubuhku saat ini.
Sedangkan Mama berteriak dan menangis histeris di dalam rumah.
‘’Pa!’ ’panggilku dengan deraian air mata. Aku berlutut di kakinya.
‘’Jangan kamu panggil aku Papa! Aku bukan Papa kamu!’’
Papa mengunci gerbang dan mendorong tubuhku hingga tersungkur. Aku mengerang kesakitan dan memegang perutku.
‘’Pa! Ma!’’ teriakku sembari berderaian air mata.
Ya, Allah!
Kenapa semua ini terjadi? Apakah ini hukuman untukku?
Aku terdiam.
Ya, ini pantas untukku. Dengan mudahnya aku menyerahkan kehormatanku pada lelaki yang belum halal untukku.
Dengan mudahnya aku mencicipi kemanisan yang bersifat sesaat karena bujuk rayu mantanku.
Pikiranku begitu kalud, kepala terasa pusing, perut juga terasa sakit, dan pemandanganku seketika kabur.
Aku tak tahu apa yang terjadi.
Aku juga tak tahu berapa lama aku dalam kegelapan itu.
Hanya saja, bau minyak kayu putih terasa menyengat olehku.
Aku lantas membuka mata dengan pelan. Samar kulihat wajah yang tak asing lagi bagiku.
‘’Alhamdulillah! Kamu udah sadar, Monik,’’ lirih Ayu yang duduk di tepi ranjang.
‘’A—aku di mana?’’ tanyaku sembari memegangi kepala yang masih terasa pusing.
‘’Kamu di rumah aku.’’ Seketika aku kaget dan bergegas mencoba untuk duduk, walaupun dengan kepala yang masih terasa pusing.
‘’Jangan duduk dulu, Monik. Kamu harus istirahat!’’ Ayu kembali membantu untuk merebahkan tubuhku.
‘’Ta—tapi, aku nggak mau nanti gara-gara aku kamu kena marah..’’ lirihku dengan buliran air mata.
‘’Ssstt! Jangan ngomong seperti itu. Semuanya biar aku yang ngatur ya. Kamu istirahat dulu!’’ Dia menempelkan jari telunjuknya di bibir.
‘’Makasih banyak, Yu. Kamu masih mau membantu aku, padahal dosa aku begitu banyak.’’ Buliran air mata membasahi pipiku.
‘’Kamu itu sahabat aku. Jangan ngomong kayak gitu. Semua orang juga punya dosa kok.’’ Ayu memegang jemariku. Membuat aku menghela napas.
‘’Bantu aku ya, Yu? Bimbing aku ke jalan yang benar. A—aku ingin sekali bertobat. Apa Allah mau mengampuni aku yang bergelimang banyak dosa ini?’’
‘’Kita sama-sama belajar ya. Ngga baik ngomong kayak gitu. Allah itu Maha Pengampun, Monik. Asalkan kita benar-benar tobat dan nggak akan mengulanginya lagi.’’
‘’Kamu istirahatlah! Aku mau membantu Bunda menyiapkan makanan siang.’’ Dia bergegas beranjak.
‘’Yu, tunggu!’ ’Seketika aku menarik tangannya, dia pun menoleh.
‘’Kenapa kamu bisa menemukan aku?’’ tanyaku memandanginya. Membuat dia tersenyum lebar menatapku.
’’Tadinya aku berniat ke rumah kamu. Setelah sampai di depan gerbang, aku melihat kamu dalam keadaan pingsan dan aku yakin ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Makanya aku membawa kamu ke sini.’’ Wanita berkerudung cokelat susu itu tak hentinya tersenyum lebar.
‘’Ta—tapi gimana dengan Bunda dan Ayah, beliau pasti…’’
‘’Ssstt! Kamu nggak usah khawatir. Yang penting sekarang fokus sama kesehatan kamu sama janin yang ada di perut kamu,’’ lirih Ayu yang hampir tak terdengar olehku. Mungkin dia takut kedua orang tuanya akan mendengar pembicaraan kami.
‘’Aku tinggal dulu ya. Kalo kamu mau air atau apapun itu, aku akan ke sini lagi.’’ Dia bergegas melangkah keluar dari kamarnya.
Aku memegangi kepalaku yang masih terasa pusing, terbayang olehku semua kejadian tadi. Seketika tumbuh penyesalan, andaikan saja aku tak menerima cinta lelaki itu pasti tidak akan seperti ini. Aku tak kan hamil di luar nikah begini. Kenapa aku bisa sebuta ini?
Ingin segera aku mengakhiri hidupku. Perlahan aku berdiri dengan menumpu berat badanku ke dinding. Lalu mencari sesuatu.
Ya, itu dia. Dengan dada sesak aku meraih benda tajam itu, buliran air mataku terus berjatuhan. "Maafkan aku dan selamat tinggal!"
Cairan merah mulai merembes dari tanganku, tetapi sebuah teriakan membuatku segera menoleh.
'’Astaghfirullah ‘al adziim! Istighfar, Monik! Apa yang kamu lakukan? Ini nggak akan menyudahi masalah kamu!’’
Ayu menatapku tajam dan tampak berlari ke arahku!
Kupandangi bayiku masih terlelap di pangkuan mama. Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan rumah. Papa bergegas mematikan mesin mobil, lalu membukakan pintu untuk kami.Aku melangkah keluar, seketika tetangga menatapku dengan tatapan aneh dan tajam. Terlebih mama yang tengah menggendong bayiku, tatapan mereka begitu tajam menatap mama.‘’Eh, Bu Elsa bawa bayi. Cucunya ya?’’ tanya salah seorang tetangga dengan senyum mengejek. Kupandangi mama hanya menunduk.‘’Anakku aja udah daftar kuliah loh. Eh, Monik malah udah punya bayi.’’‘’Ayahnya siapa tuh? Jangan-jangan nggak tahu siapa Ayahnya lagi,’’ ketusnya dengan senyuman sinis.‘’Nah bener, nggak pulang-pulang selama beberapa bulan. Eh, tahu-tahunya udah punya baby aja. Makanya Bu Elsa sama Pak Indra anak tuh dididik dengan baik, jangan biarkan keluar malem-malem. Ini kerja aja terus, sampai lupa dengan anak satu-satunya.’’ ‘’Iya, kaya banget tapi anaknya hamil di luar nikah. Ihh, ngeri!’’ ucapnya bergedik ngeri.‘’Jangan
‘’Ja—jangan, Nak. Dia paham kok kenapa Mama dan Papa mengusirnya. Dan kemaren kami juga udah saling minta ma’af.’’ Mama mencoba mencegahku. Ucapan mama membuat aku lega.‘’Tapi kok sekarang Bu Karni nggak menemui aku lagi, Ma?’’‘’Kamu tenang aja, dia akan menemuimu kok. Mama ada janjian kemaren dengannya, jika kamu udah bisa pulang ke rumah dan udah beneran pulih, Mama akan telpon dia. Mama juga akan bicara soal pernikahan kamu dengan Andre’’ jelas mama panjang lebar. ‘’Bu—bukannya Papa—‘’‘’Iya, sekarang Papamu udah bisa menerima dan mema’afkan Andre. Ini semua demi kebaikanmu dan cucu Mama,’’ kata mama sembari menunjukkan seulas senyuman.‘’Iya, Ma. Syukurlah, makasih ya Ma.’’‘’Ta—tapi, apakah Andre mau menikahi aku dengan kondisi kayak gini. Ahh, bukannya ini karena perbuatannya juga,’’ batinku. Mama mengangguk sembari tersenyum,’’Yaudah, yuk!’’ Mama meraih koper dan membantuku untuk berjalan. Aku merasa berada di awang-awang rasanya. Tubuhku terasa sangat ringan. Mungkin kare
Tubuhku mulai terasa pulih kembali setelah seminggu lebih terbaring di brankar. Alhamdulillah aku sudah diberi izin pulang kembali oleh pihak rumah sakit.‘’Kamu memang beneran udah sehat kan, Monik?’’ tanya mama sekilas menatapku, beliau sedang membereskan semua baju-bajuku ke dalam koper. Aku mengangguk lalu tersenyum, ‘’Alhamdulillah udah kok, Ma. Tapi, aku boleh nggak ngekost aja sama bayiku,’’ sahutku pelan. Karena aku tak mau nanti kedua orang tuaku jadi bahan gunjingan lagi karena ulahku. Apalagi jika aku membawa bayiku kembali ke rumah.Mama seketika kaget dan ada rasa yang tak bisa kutafsirkan dari wajah mama, tetapi masih berusaha untuk tersenyum.’’Mama kenapa ya?’’ batinku yang terus menelusuri wajah mama.‘’Ka—kamu udah kembali sehat, Nak,’’ ucap beliau dengan lirih dan terus saja menatapku.‘’Ma—maksud, Mama?’’ tanyaku heran. Apa maksud mama ya? Mama seketika mendekat ke arahku.‘’Beberapa hari setelah kamu melahirkan, sikap kamu aneh dan kamu bilang kalo bayi itu bu
‘’Ma, Mama kenapa? Apa yang terjadi sama anak kita?’’ lelaki yang tiga puluh delapan tahun menemaniku itu menghampiri aku yang masih menangis dengan sesegukan sembari bersandar di dinding. Dia spontan memelukku.‘’Mo—Monik, Pa,’’ lirihku, nyaris tak terdengar olehnya. ‘’Kenapa dengan Monik, Ma?’’‘’Dia depresi kata Dokter. Sejak tadi dia menangis nggak jelas dan mengamuk, apalagi setelah mendengar nama lelaki brengsek itu.’’Membuat suamiku melepaskan pelukannya pelan, tampak dari wajahnya yang begitu berubah. Dia mengusap mukanya dengan kasar.‘’Astaghfirullah!’’‘’Lelaki itu berani ke sini menampakkan mukanya? Kenapa Mama nggak katakan sama Papa?’’ tangannya tampak mengepal dan rahangnya mengeras. Aku menyeka air mataku dengan kasar.‘’Bukan dia, Pa. Tapi Mamanya yang ke sini,’’ kataku pelan. Ya, dia tak tahu siapa sebenarnya mama Andre. Jika dia tahu bahwa mama Andre itu adalah Karni, pasti akan membuat suamiku makin menyimpan kebencian dan dendam pada wanita itu. Apalagi setelah
‘’Saya akan memberikan obat penenang sementara untuknya.’’ dia tampak bergegas bangkit dan melangkah ke lemari obat-obat itu. Tangannya meraih beberapa pil obat. Raut mukanya menggambarkan kepanikan dan melangkah ke luar dari ruangannya mungkin menuju ruang rawat anakku, aku pun mengikuti dari belakang.‘’Tenanglah, Mba. Istighfar.’’ ‘’Aku nggak melahirkan! Nggak!’’ dia terus saja berteriak sambil menangis. Air mataku terus saja berjatuhan dan hatiku begitu perih.‘’Bayinya nggak mau diem sejak tadi, Dok. Apa dia mau minta susu?’ Jadi cucuku tak bisa diam? Kenapa aku tak tahu dan tak mendengar tangisannya dari tadi, saking tak terarahnya pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Apalagi dengan keadaan mamanya yang seperti ini. Jangankan untuk menyusui, menggendong saja dia tak mau.‘’Dia haus mungkin, Sus. Buatkan saja susu SGM dulu ya, kita nggak bisa memaksakannya untuk mengasih ASI ke bayinya,’’ kata dokter itu yang tengah memasuki ruangan rawat Monik.Perih rasanya. Dan tubuhku ter
‘’Memangnya aku kenapa, Ma? Habis kecelakaan?’’ ‘’A—apa maksud, Monik? Apa dia berpura-pura?’’ batinku. Yang merasa ada keanehan pada anak semata wayangku itu.‘’Kamu habis melahirkan, Nak,’’ sahutku pelan. Aku berusaha menahan buliran air mata yang hendak berjatuhan.‘’A—apa? Ini nggak mungkin, Ma. Aku belum menikah, kenapa bisa melahirkan begini. Nggaakk!’’ ‘’Ya Allah, bukannya ini semua akibatmu sendiri, hah?’’ aku menunjuknya dengan telunjuk kiri dengan tangan gemetaran. Emosiku sungguh tak bisa ditahan lagi. Enak saja dia berkata seperti itu. Padahal ini adalah hasil perbuatannya. Kini dia seolah berpura-pura tak ingat semuanya. Karena ulahnya membuat aku malu dengan tetangga, yang bahkan setiap hari menggunjing aku dan suami. Sudah sembilan bulan lebih lamanya aku dan suamiku membiarkannya seorang diri di luar sana. Papanya mengusirnya ketika sudah tahu kalau dia tengah mengandung bayi yang bukan pada waktunya. Aku pun tak bisa melarang papanya agar tak mengusir dia dari dari
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments