Share

Biarkan Aku Bahagia Meski Sekejap
Biarkan Aku Bahagia Meski Sekejap
Penulis: Nursindahliana

Chapter 1

Weekend kali ini cuaca pagi hari sangat cerah. Jadi, Riri memanfaatkan hal itu untuk berjogging di taman komplek dekat rumahnya. Beginilah ia setiap tidak ada jadwal kuliah.

Sebelumnya, perkenalkan nama lengkapnya adalah Rifqah Dzakiyah Tsurrayya' Zahirah. Gadis itu biasa dipanggil Rifqah atau Riri saja oleh keluarga dan teman-temannya. Ia merupakan seorang mahasiswi semester lima jurusan designer.

Riri adalah anak pertama di keluarganya. Adiknya bernama Akhdan Muhammad. Akhdan adalah seorang mahasiswa semester awal jurusan kedokteran. Ia dan adiknya sangat dekat. Mereka selalu terbuka satu sama lain. Tidak ada satu rahasia pun di antara mereka. Bahkan dapat dikatakan jika Riri lebih terbuka kepada adiknya daripada kepada ibunya. Kecuali hal-hal yang sangat pribadi tentunya.

Berbicara tentang ibunya, ibunya bernama Khairun Nisa'. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Dan ayahnya bernama Malik Luthfi. Beliau adalah seorang Direktur di cabang perusahaan Perdana Corp. Perusahan yang berkecimpung di bidang berlian dan perhiasan. Perusahaan itu bukan milik ayah Riri. Tapi milik sahabat ayah Riri. Ayahnya Riri hanya dipercayakan sahabatnya untuk mengelola perusahaan itu.

"Kamu mau pergi jogging, Ri?" tanya Nisa' saat melihat anak sulungnya sudah bersiap-siap hendak pergi.

"Iya, Bun. Mumpung masih pagi, udaranya masih seger dan belum terlalu ramai," jawab Riri.

"Oh, ya udah. Tapi pulangnya cepet ya, Ri?" pesan Nisa'.

"Emangnya kenapa, Bun? Nggak biasanya Bunda nyuruh cepet pulang?" tanya Riri heran karena tak biasanya Nisa' berpesan begitu.

"Nanti siang sahabat Ayah mau dateng berkunjung ke sini sama keluarganya. Kamu bantu Bunda nyiapin hidangan untuk mereka. Jadi, Bunda mau kamu pulangnya jangan lama-lama, ya?" ucap Nisa' menjelaskan.

"Sahabat Ayah? Sahabat Ayah yang mana, Bun?"

"Sahabat SMA Ayah. Kamu belum pernah ketemu sama mereka. Karena mereka selama ini tinggal di luar negeri. Dan baru beberapa tahun lalu pulang ke Indonesia," terang Nisa'.

"Ooh, gitu. Oke deh, Bun. Nanti Riri bakalan pulang cepet. Kalau gitu Riri pergi dulu ya, Bun? Assalamualaikum, Bunda!" pamit Riri.

"Ya, Wa'alaikumsalam. Hati-hati!" balas Nisa'.

Riri pun langsung pergi jogging ke taman. Sesampainya ia di taman, ternyata sudah cukup ramai orang. Setelah melakukan pemanasan selama beberapa menit, ia pun mulai jogging mengelilingi taman. Setelah ia jogging mengelilingi taman sebanyak sepuluh kali putaran, dilihatnya jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Ia pun bergegas pulang.

Sesampainya di rumah, Riri langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia membantu Nisa' menyiapkan hidangan untuk menyambut sahabat Malik dan keluarganya yang akan berkunjung.

Sekitar pukul 11.30 siang, keluarga sahabat Malik tiba di kediaman mereka. Nisa' meminta Riri untuk mengganti pakaiannya dan berhias. Meski sedikit bingung, namun tetap dilakukannya permintaan dari sang bunda.

Selesai mengganti pakaian, Riri hanya memakai bedak tipis dan menyisir rambutnya. Karena jujur saja, Riri adalah tipikal wanita yang tidak pandai berdandan. Setelah rapi, lalu ia membantu Nisa' di dapur untuk membuatkan teh dan menyajikannya bersama dengan camilan yang ia buat bersama Nisa' tadi ke ruang tamu.

"Naah, ini dia anak pertama kami. Riri, ayo kenalan dulu, Nak. Ini Om Tommy Adhitya Perdana, sahabat Ayah dari SMA sekaligus pemilik perusahaan tempat Ayah bekerja selama ini. Dan ini istri Om Tommy, namanya Tante Mawarni. Lalu itu putra tunggal Om Tommy, namanya Haikal Leonard Perdana. Dia CEO baru di perusahan Om Tommy yang lain," Malik memperkenalkan keluarga sahabatnya, Tommy, pada Riri.

"Siang, Om. Siang, Tante," sapa Riri dengan ramah pada Tommy dan istrinya seraya tersenyum dan mencium punggung tangan mereka.

"Siang juga, Riri/Sayang," Tommy dan istrinya secara bersamaan balas menyapa Riri lalu tersenyum ramah.

Lalu gadis itu beralih pada anak laki-laki Tommy dan Mawarni, yaitu Haikal sambil mengulurkan tangannya un sopan.

Namun laki-laki yang bernama Haikal itu hanya menyambut uluran tangan Riri tanpa menjawab sapaan gadis itu ataupun tersenyum. Walau ada perasaan kesal pada Haikal, namun Riri berusaha mengabaikannya saja. Bagaimana pun juga, Riri berpikir jika laki-laki itu adalah tamu ayahnya.

"Ini udah waktunya makan siang, ayo, kita makan," ajak Nisa' pada tamu suaminya itu.

"Aah, iya. Ayo, Tom, War, Nak Haikal, kita makan siang dulu," ajak Malik juga sambil berdiri dan memandu keluarga sahabatnya itu menuju meja makan.

"Silakan duduk," Nisa' mempersilakan mereka duduk.

Riri langsung saja membantu ibunya menyajikan makanan ke meja makan.

"Silakan dinikmati, Om, Tante, Mas Haikal," ucap Riri, mempersilakan mereka setelah selesai menyajikan makanan di meja makan.

"Terima kasih, Riri sayang," jawab Tommy dan istrinya lagi-lagi kompak.

Kemudian mereka menikmati makan siang sambil mendengarkan kisah persahabatan antara Malik dan Tommy.

"Kamu tau nggak, Ri? Dulu Om Tommy itu orang yang terkenal paling ganteng dan pintar sewaktu SMA dan kuliah. Banyak cewek yang mau jadi pacar Om Tommy dulu. Dan itu ngebuat Om Tommy sedikit jadi pria yang playboy," ucap Malik menceritakan tentang masa muda Tommy.

"Kamu jangan gitu dong, Malik! Jangan ceritakan masa lalu yang itu, dong. Itu 'kan masa-masa aku sewaktu masih khilaf," ucap Tommy.

"Iya, iya, aku tau. Itu masa-masa kamu khilaf. Tapi sewaktu kamu udah ketemu sama Mawarni, kamu langsung jadi playboy insyaf," ejek Malik sambil terkekeh. Yang lain pun ikut tertawa bersama Malik, kecuali Haikal.

"Oh iya, Riri. Om dan ayah kamu dulu punya kesepakatan. Kalau kami akan menjodohkan anak kami setelah anak-anak kami dewasa supaya persahabatan kami akan tetap berlanjut sampai kami tutup usia nanti. Jadi, karena Om cuma punya anak cowok, maka akan Om jodohkan sama kamu, Ri. Kamu mau, 'kan?" kata Tommy memberitahukan tentang kesepakatan yang dibuatnya bersama Malik.

"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...," Riri tiba-tiba terbatuk.

Gadis itu sangat terkejut sampai-sampai tersedak makanan yang sedang ia kunyah. Nisa' langsung menyodorkan segelas air kepada Riri. Riri langsung menenggak air pemberian Nisa' hingga tandas.

Aku nggak salah denger, 'kan?! Ayah sama Om Tommy mau ngejodohin aku sama anaknya Om Tommy itu?? Tapi, anaknya Om Tommy itu kok tenang banget? Apa dia udah tau tentang ini dan dia juga udah setuju sama perjodohan ini? Tapi, kalau diliat dari mukanya, kayaknya dia nggak setuju. Terus, kenapa dia diem aja? Aah, andai aja aku bisa baca pikirannya, batin Riri berkecamuk.

"Pelan-pelan dong, Ri, makannya," Nisa' memperingatkan. Menarik kembali perhatian Riri.

"Apa, Om? Dijodohin? Riri nggak salah denger, Om?" tanya Riri tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya sekaligus memastikan pendengarannya.

"Bener, Sayang. Om mau jodohin kamu sama Haikal," jawab Tommy, meyakinkan pendengaran Riri tadi.

"Tapi, Om ..., Riri masih kuliah dan Riri juga belum siap. Ntar-ntar aja deh, Om, ngomongin perjodohannya. Lagian Riri ini 'kan jelek, Om. Nggak pantes rasanya kalau Riri bersanding sama anaknya Om. Dan Riri yakin kalau anak Om pun nggak setuju sama perjodohan ini. Buktinya dari tadi dia cuma diam aja. Nggak ngomong sedikit pun. Jangankan ngomong, dia juga nggak mau senyum waktu Riri nyapa dia tadi," ucap Riri mencoba memberi alasan agar Malik dan Tommy membatalkan niat mereka menjodohkannya dengan Haikal.

"Kalau masalah Haikal, kamu nggak perlu khawatir, Sayang. Dia udah setuju, kok. Makanya Om sama Tante ngajak dia kemari untuk kenalan sama kamu," kali ini Mawarni yang menjelaskan.

"Tapi, Tante-," ucapan Riri yang ingin kembali memberikan alasan, terpotong oleh ucapan Nisa'.

"Apalagi yang kamu raguin sih, Ri? Kamu yakin aja sama keputusan Ayah, Bunda, dan Om juga Tante ya, Nak? Kami pasti mikirin kebaikan untuk anak-anak kami. Nggak akan ada orang tua yang mau ngasih hal yang buruk untuk anaknya," ucap Nisa', menasehati.

"Haah. Kalau itu yang ngebuat Ayah, Bunda, Om dan Tante bahagia, oke. Riri setuju," kata Riri pasrah setelah menghela nafasnya.

"Makasih ya, Sayang ...," ucap Nisa' sambil tersenyum bahagia dan memeluk anak gadisnya itu.

Riri membalas pelukan ibunya dengan lebih erat untuk menghilangkan keraguan di hatinya. Namun, keraguan itu masih menggelayut di hatinya.

Setelah selesai makan, Tommy, Mawarni, Haikal, serta Malik kembali ke ruang tamu. Sementara Riri dan Nisa' membersihkan piring kotor dan masakan yang tersisa di meja makan.

Kayaknya aku harus ngomong lagi sama Bunda tentang perjodohan ini. Mudah-mudahan Bunda bisa berubah pikiran dan nunda atau mungkin mau ngebatalin perjodohan ini, pikir Riri.

"Bun, apa menurut Bunda ini nggak terlalu cepet? Rasanya Riri belum siap untuk berumah tangga. Riri juga masih ragu sama anaknya Om Tommy ...," kata Riri mengeluarkan pendapatnya.

"Apa yang kamu raguin dari Nak Haikal? Dia anak yang baik dan sopan. Bunda udah beberapa kali ketemu sama Nak Haikal. Dia juga pintar. Dia udah mapan dalam segala hal. Bunda dan Ayah yakin, dia bisa jagain kamu dan ngebimbing kamu," Nisa' mengutarakan penilaiannya terhadap Haikal.

"Tapi, Riri tetep masih ragu, Bun," kata Riri, kekeuh.

"Oke. Sekarang kamu kasih tau Bunda, alasan yang ngebuat kamu ragu," tantang Nisa'.

"Yang ngebuat Riri ragu sama anaknya Om Tommy itu, kayaknya anaknya Om Tommy nggak suka sama Riri. Kayaknya dia terpaksa nerima perjodohan ini," Riri menjelaskan alasan yang membuatnya ragu.

"Kenapa kamu punya pikiran begitu? Dari mana kamu tau kalau Haikal nggak suka sama kamu? Dan dari mana kamu tau kalau dia terpaksa nerima perjodohan ini? Emangnya kamu bisa ngebaca pikiran Nak Haikal?" selidik Nisa' dengan mata menyipit.

"Emang sih, Riri nggak bisa baca pikiran dia. Tapi, keliatan banget di mukanya, Bun. Seolah-olah, di mukanya itu udah terpampang tulisan 'Aku nggak suka sama kamu. Dan aku terpaksa nerima dijodohin sama kamu', gitu, Bun," ucap Riri dengan nada mantap.

"Kebanyakan mengkhayal, kamu!" balas Nisa' dengan terkekeh pelan. "Kamu nggak perlu berpikiran begitu. Kalau emang bener Nak Haikal nggak suka sama kamu dan terpaksa nerima perjodohan ini, kamu harus bisa sabar ngejalaninnya. Lakuin yang terbaik untuk bisa ngerebut hatinya. Lakuin aja tugas kamu sebagai istrinya dengan baik. Bunda yakin, cepat atau lambat, hatinya juga bakalan luluh," sambungnya dengan wejangannya.

"Tapi, kalau Riri udah ngelakuin itu semua dan dia tetep nggak nerima juga, gimana?" tanya Riri masih ragu.

"Kunci satu-satunya, kamu harus tetap harus bersabar. Karena setiap kesabaran seseorang itu suatu saat pasti akan berbuah manis. Kamu harus ingat itu, ya?" pesan Nisa' yang dibalas Riri dengan anggukan kepala.

"Udah, yuk. Kita udah kelamaan di sini. Mereka pasti nungguin kita," ajak Nisa' menggandeng tangan Riri untuk menuju ruang tamu setelah selesai beres-beres di dapur.

"Maaf ya, semuanya. Kita kelamaan, ya?" tanya Nisa' basa-basi.

"Enggak kok, Mbak," jawab Mawarni.

"Karena waktu terus berjalan, sekarang kita tentuin aja hari pertunangan dan pernikahannya. Menurutku, gimana kalau pertunangannya Minggu depan?" usul Tommy semangat.

"A-apa? Minggu depan? Cepet banget, Om? Nggak bisa diundurin lagi, Om?" tanya Riri panik. Karena jujur saja, Riri benar-benar masih belum siap dan juga keraguan masih bergelayut di hatinya.

"Nggak bisa diundurin lagi, Ri, kalau dimajuin bisa banget malah," jawab Tommy sambil terkekeh.

"Jangan gitu dong, Om. Tolong diundurin lagi pertunangannya, ya? Please, Om," rayu Riri pada Tommy.

"Oke ...," ucap Tommy yang membuat Riri berbinar sebelum pria paruh baya itu melanjutkan kata-katanya. "Kalau gitu, kita ganti lusa aja hari pertunangannya dan Minggu depan hari pernikahannya. Setuju?" lanjutnya bertanya, meminta pendapat dari yang lainnya.

"Aku setuju-setuju saja," jawab Malik memupuskan harapan Riri.

"Tunggu, tunggu, tunggu. Kenapa harus secepet itu, Om? Ya ampun, Ayah! Jangan main setuju-setuju aja, dong! Riri belum siap untuk nikah dan berumah tangga, Yah. Please dong, Ayah ngertiin Riri," Riri memprotes dan memohon pada Malik.

"Itu nggak cepet kok, Riri sayang. Itu udah kami rencanakan dari lama," ucap Nisa'.

What?? Oh, ya ampun .... Aku harus apa dan harus gimana? Aku belum siap untuk tunangan apalagi nikah, batin Riri frustrasi.

Riri melirik Haikal dengan ekor matanya, mencoba untuk mendapatkan bantuan. Siapa tahu saja pria itu bisa diajak bekerja sama. Tetapi, Haikal sama sekali terlihat tidak peduli dengan tetap memasang tampang datar dan dinginnya.

Riri menghela nafas berat dan lelah. Sekarang, ia tidak tahu harus apa. Dan karena sudah merasa kalah, Riri akhirnya memilih diam dan menundukkan kepalanya. Sampai akhirnya Tommy dan keluarganya pamit pulang setelah selesai merundingkan tentang acara pertunangan dan pernikahan Riri dan Haikal.

Sepulang keluarga Tommy, Riri langsung masuk ke kamarnya dan mencari handphonenya. Riri langsung mengirim pesan kepada adiknya. Meminta adiknya untuk segera pulang karena kepalanya rasanya sudah mau meledak. Riri benar-benar sudah pusing memikirkan perjodohannya. Ia ingin meminta saran dari adiknya tersayang itu. Setelah adiknya menerima dan membaca pesan darinya, adiknya langsung membalas pesannya dan mengatakan bahwa ia akan segera sampai. Dan Riri berharap, semoga adiknya punya solusi untuk masalahnya.

" Aaarrgghhh!! Kenapa harus kayak gini, sih? Aduduh ... kepalaku sakit dibuatnya," teriak gadis itu, frustrasi sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. "Ini juga kepala, nggak bisa diajak kompromi banget. Di saat-saat begini kok malah nggak bisa ditunda sakitnya," gerutunya pada kepalanya sendiri.

Mungkin kalau ada orang lain yang mendengar, bisa-bisa ia dianggap gila. Karena sakitnya sudah tak tertahankan lagi, cepat-cepat Riri mencari obat pereda sakit kepala dan meminumnya. Setelah itu, ia mencoba untuk tidur. Berharap rasa sakit di kepalanya akan hilang. Tak lama ia pun terlelap ke alam mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status