Sepulang orang tua dan mertuanya, Haikal kembali ke dalam ruang perawatan Riri. Ia duduk di samping ranjang Riri yang saat ini sedang tertidur. Dengan setia ia menjaga Riri hingga ia ikut tertidur dalam posisi duduk. Sedangkan kepalanya direbahkan di sisi tangan Riri.
Pagi harinya, Haikal terbangun dengan tidak mendapati Riri di ranjang. Ia celingukan mencari keberadaan Riri. Suara orang yang sedang muntah-muntah membuatnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Begitu ia membuka pintu kamar mandi, tampaklah olehnya Riri yang sedang muntah-muntah di wastafel. Haikal masuk dan memijat tengkuk Riri.
Ketika rasa mual Riri mulai berkurang, Riri membasuh mukanya agar terlihat lebih segar. Tetapi, saat Riri menegakkan tubuhnya, kakinya tiba-tiba menjadi lemas dan penglihatannya berkunang-kunang. Hampir saja ia terjatuh andai Haikal tidak sigap menangkapnya.
Haikal segera menggendong Riri keluar dari kamar mandi dan membaringkannya di ranjang."Kenapa Mas masih di sini? Aku 'kan udah nyuruh Mas pergi? Mas bisa pergi sekarang. Aku nggak butuh Mas di sini. Aku bisa ngurus diriku sendiri. Sekarang pergilah," usir Riri setelah Haikal membaringkannya di ranjang.
"Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku bakalan tetap di sini nemenin kamu," jawab Haikal.
"Untuk apalagi Mas di sini? Apa masih kurang hinaan Mas ke aku semalam?" tanya Riri sinis.
"Bukan, Ri. Aku minta maaf atas apa yang udah aku lakuin ke kamu. Aku tau itu sangat kasar. Dan seharusnya aku nggak pernah ngomong kayak gitu ke kamu. Aku bener-bener nyesel. Tolong maafin aku," ucap Haikal tulus.
"Oke, aku maafin. Sekarang pergilah. Mas bebas sekarang. Aku udah ngelepasin Mas dari tanggung jawab atas diriku dan anak yang kukandung ini. Mas bisa nyari dan bersatu sama pacar Mas lagi," ucap Riri.
"Nggak, Ri. Aku udah bilang kalau aku nggak akan pergi dari sini. Aku nggak akan ngelepasin tanggung jawabku. Aku ini suamimu dan juga Ayah dari bayi yang kamu kandung. Jadi aku diwajibkan untuk ngejaga kamu dan calon anakku," balas Haikal.
"Dengar ya, Mas. Aku nggak butuh bantuan dan rasa belas kasihan dari Mas. Lagipula, bukannya semalam Mas bilang ini anak orang lain? Kenapa sekarang jadi anak Mas? Udahlah, aku nggak butuh pengakuan terpaksa dari Mas," ucap Riri lagi dengan sinis.
"Aku nggak terpaksa, Ri. Ku mohon percayalah sama aku. Aku bersungguh-sungguh. Aku bener-bener nyesel. Aku janji bakalan ngerubah sikapku ke kamu," janji Haikal mencoba meyakinkan Riri.
"Mas yakin dengan keputusan Mas itu? Pikirin baik-baik. Nanti Mas nyesel. Jangan asal janji," Riri berkata sinis sambil menaikkan satu alisnya.
"Aku yakin, Ri. Aku udah pikirin ini semalaman. Dan aku nggak bakalan menyesali keputusanku. Jadi, tolong percayalah sama aku. Kasih aku kesempatan," Haikal terus meyakinkan Riri.
"Oke. Aku bakalan percaya sama Mas dan bakalan ngasih kesempatan untuk Mas. Tapi, kalau Mas ngehancurin kepercayaan dan kesempatan yang udah aku kasih ini, maka anggap aja kita selesai," ancam Riri setelah memutuskan memberikan kepercayaan dan kesempatan pada Haikal.
"Oke. Tapi, bisa nggak, kamu jangan panggil aku 'Mas'? Panggil namaku aja. Aku ngerasa aneh dan ngerasa tua kamu panggil kayak gitu," pinta Haikal setelah menyetujui persyaratan Riri.
"Loh, kenapa? Itu 'kan tandanya aku ngehormatin Mas sebagai suamiku. Aku ngerasa nggak sopan kalau manggil suami dengan nama aja," Riri berpendapat.
"Tapi aku terganggu dengan sebutan itu. Please, jangan panggil aku kayak gitu lagi. Panggil namaku aja," Haikal bersikeras.
"Apa nggak masalah kalau aku manggil nama aja? Ntar aku disangka nggak sopan sama suami," tanya Riri, ragu.
"Nggak apa-apa. Nggak ada yang marah dan nggak akan ada yang ngelarang kamu manggil namaku langsung," jawab Haikal, meyakinkan.
"Baiklah, Ha-Haikal," balas Riri, masih merasa canggung. Sedangkan Haikal tersenyum senang mendengarnya.
"Oh, iya. Aku juga mau minta maaf atas kejadian malam itu. Jujur, malam itu aku bener-bener nggak ingat apa pun. Aku sendiri nggak nyangka kalau aku udah ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Meskipun pagi harinya aku ngerasa bingung dengan keadaan tubuhku, tapi aku nggak kepikiran sampai ke situ. Dan sebenarnya aku mau bertanya ke kamu pagi hari itu, tapi kamu selalu ngurung diri di kamar. Jadi, aku pun akhirnya ngelupain itu. Aku cuma ngerasa kamu berusaha untuk ngehindarin aku tanpa aku tau alasannya. Ya, meskipun kita memang jarang berinteraksi, tapi sikap kamu waktu itu bener-bener aneh menurutku. Biasanya 'kan kamu pasti berusaha untuk ngobrol sama aku meskipun basa-basi. Tapi waktu itu kamu jadi aneh. Dan ternyata, perbuatanku itulah alasannya. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Haikal lagi.
"Oh, i-itu .... Aku udah ngelupain kejadian malam itu. J-jujur, aku takut banget malam itu. Dan setelah kejadian itu, aku masih takut untuk berhadapan sama kamu. Jadinya, aku selalu berusaha ngehindarin kamu. Tapi, sewaktu aku pingsan malam itu dan kamu ngomel-ngomel pagi harinya, mendadak perasaan takutku hilang. Aku malah ngerasa lucu dan seneng. Makanya aku berusaha untuk ngelupain kejadian kelam malam itu. Aku berharap hubungan kita jadi lebih baik dari sebelumnya setelah obrolan kita pagi itu. Tapi, ternyata kamu tetap sama kayak sebelum-sebelumnya. Makanya aku jadi pesimis untuk ngelanjutin hubungan kita," Riri menundukkan kepalanya. Suaranya terdengar sendu di kalimat terakhirnya.
"Aku bener-bener minta maaf. Aku janji, mulai dari saat ini, aku bakalan jadi suami dan ayah yang terbaik untuk kamu dan anak kita!" Haikal meyakinkan Riri sambil menggenggam erat kedua tangan istrinya. Riri tersenyum dan mengangguk.
"Sekarang kamu makan dulu. Biar aku yang suapin kamu. Ayo, buka mulutmu. Aaa ...," kata Haikal sambil menyendokkan dan menyuapkan bubur pada Riri.
Riri melahap setiap bubur yang disuapkan Haikal padanya. Tetapi, ketika baru habis setengahnya, perutnya sudah kembali bergejolak. Bergegas ia turun dari ranjang dan cepat-cepat berlari ke kamar mandi lalu memuntahkan yang baru saja ia makan ke wastafel.
Haikal menghampiri Riri dan membantu memijat tengkuknya. Ketika isi perutnya sudah habis ia muntahkan tak bersisa, perempuan itu membasuh kembali wajahnya.
Tanpa diminta, Haikal menggendong Riri keluar dari kamar mandi lalu merebahkannya di ranjang.
"Makasih," ucap Riri setelah Haikal merebahkannya.
"Nggak perlu. Itu kewajibanku," balas Haikal.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter wanita masuk berserta perawat untuk mengecek kondisi Riri pagi ini. Dokter yang baru Riri ketahui bernama Andini dari nametag-nya.
"Selamat pagi, Ibu Rifqah! Bagaimana perasaannya pagi ini?" tanya Dokter Andini berbasa-basi setelah menyapa.
"Selamat pagi juga, Dokter Andini. Pagi ini perasaanku mungkin lebih baik daripada kemarin, Dok," jawab Riri sambil tersenyum lemah.
"Sudah mau makan?" tanya Dokter Andini lagi.
"Kalau makannya mau sih, Dok. Tapi baru juga habis setengahnya, udah dimuntahkan lagi, Dok," kali ini Haikal yang menjawab pertanyaan Dokter Andini.
"Kalau begitu, sebaiknya Ibu Rifqah diinfus. Supaya tubuhnya tidak terlalu lemah. Nanti saya akan kasih resep vitamin untuk Ibu Rifqah. Tolong suaminya, ditebus obatnya, ya!" pesan Dokter Andini seraya menulis resep vitamin lalu menyerahkannya kepada Haikal. Sedangkan perawat yang bersamanya tadi memasang infus di tangan Riri.
"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Haikal yang dibalas anggukan kepala oleh Dokter Andini kemudian keluar dari kamar perawatan Riri.
"Aku tinggal sebentar, ya? Aku mau nebus obat kamu dulu," pamit Haikal.
"Ya," jawab Riri singkat.
"Pagi, Sayang. Gimana keadaan kamu pagi ini?" tanya Nisa' yang datang tidak lama setelah Haikal pergi menebus obat.
"Ya, beginilah, Bun. Kemarin belum diinfus, tapi sekarang udah diinfus," jawab Riri seadanya setelah mengendikkan bahu.
"Kok jadi makin lemah gini kamu, Nak?" Nisa' terlihat khawatir. Riri hanya bisa tersenyum lemah.
"Oh iya, Haikal ke mana? Kok kamu sendirian?" tanya Mawarni. "Jangan bilang dia pergi entah ke mana dan nggak jagain kamu?" lanjutnya curiga
"Oh, Mama datang juga, ya?" Riri meraih tangan Mawarni dan mencium punggung tangannya. "Enggak kok, Ma. Dia jagain Riri, kok. Cuma, sekarang Haikal lagi pergi nebus obat untuk Riri sebentar. Baru juga pergi," jawab Riri lagi.
"Oh, gitu. Baguslah kalau dia nepati janjinya," balas Mawarni menanggapi.
"Kamu udah makan, Sayang? Bunda bawakan makanan kesukaan kamu. Kamu makan, ya? Mau Bunda suapin?" tawar Nisa' sambil mengeluarkan kotak bekal yang dibawanya dari dalam papperbag.
"Beneran, Bunda? Riri mau, Bun. Tadi udah makan, sih .... Cuma baru habis setengah, udah Riri muntahin lagi yang Riri makan," ucap Riri mendadak bersemangat.
Nisa' tersenyum dan segera menyiapkan makanan yang dibawanya dan menyuapi anaknya itu. Riri makan dengan sangat lahap. Hingga makanan yang dibawa oleh Nisa' habis tidak bersisa. Sepertinya ia tidak lagi merasa mual seperti yang sebelumnya.
"Kamu lahap bener makannya, Ri? Udah nggak mual lagi?" tanya Haikal bingung saat baru kembali dan melihat istrinya makan dengan lahap ketika disuapi oleh Nisa'.
Riri menoleh ke arah Haikal yang sekarang berada di sampingnya. "Nggak tau. Tiba-tiba aja aku selera waktu Bunda nyuapin tadi. Rasa mualku pun juga hilang," jawab Riri.
"Malah bagus kayak gitu, dong. Kalau dengan Bunda nyuapin kamu makan bisa ngilangin rasa mual kamu, Bunda bersedia nyuapin kamu setiap hari, kok. Asalkan kamu mau makan yang banyak biar janinmu sehat," ucap Nisa' senang.
"Tapi ..., kalau ini cuma kebetulan untuk hari ini aja gimana, Bunda?" Riri tampak pesimis.
"Kalau emang ini cuma kebetulan, ya kita cari cara lain biar kamu mau makan, Sayang. Emang kamu mau jadi penghuni kamar ini terus?" tanya Mawarni, berniat menggoda Riri.
"Nggak maulah, Ma. Riri 'kan pingin pulang. Masa iya, Riri harus makan tidur terus di sini? Udah kayak pasien yang kena penyakit kronis aja," jawab Riri sambil mengerucutkan bibirnya.
"Nah, maka dari itu kamu harus makan yang banyak. Biar tubuh kamu nggak lemah lagi," balas Nisa' mengingatkan.
"Dan sekarang, kamu minum obat dulu," kata Haikal sambil menyerahkan obat dan air minum pada Riri.
Riri menerima obat dan air minum yang diberikan oleh Haikal. Dimasukkannya obat ke dalam mulutnya lalu ia sorong dengan air minum agar dapat menelannya.
Sudah 3 hari Riri dirawat di rumah sakit. Hari ini wanita itu sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, ia tidak pulang ke apartemen Haikal. Nisa' meminta Riri dan Haikal untuk sementara waktu tinggal di rumahnya.Meskipun sempat terjadi perdebatan kecil antara Nisa' dan Mawarni, namun akhirnya terjadi satu kesepakatan. Yaitu, Riri dan Haikal akan tinggal bersama Nisa' selama seminggu. Kemudian seminggu berikutnya di rumah Mawarni.Haikal dan Riri tidak bisa menolak kesepakatan itu. Keduanya pasrah menuruti kemauan Nisa' dan Mawarni. Bahkan Haikal-lah yang mengusulkan kesepakatan itu agar Mawarni dan Nisa' tidak berdebat terlalu lama.Sore ini Riri sedang duduk di teras rumahnya. Dielusnya perutnya yang masih datar itu sambil tersenyum."Selamat sore, Sayang. Sedang apa kamu? Kamu baik-baik ya, di situ? Jangan bikin Mami mual terus, ya? Kamu nggak mau 'kan kalau Mami masuk rumah sakit lagi?" Riri berbicara pada
"Kamu harus nyuapin aku makan tiap hari. Bacain dongeng untukku tiap malam sebelum tidur. Dan nemenin aku cek up kandungan tiap bulan. Gimana? Sanggup, nggak?" Riri mengatakan persyaratan yang harus Haikal lakukan agar mau mempercayai ucapan suaminya itu."Kalau untuk bacain dongeng tiap malam sebelum kamu tidur dan nemenin kamu cek up kandungan tiap bulan sih, nggak masalah. Masih bisa aku usahain. Tapi kalau nyuapin kamu tiap hari ...? Nggak bisa diganti sama syarat yang lain ya, Ri? Kalau sarapan sama makan malam sih, aku masih bisa nyuapin kamu. Tapi kalau makan siang? Kamu 'kan tau aku itu kalau siang sibuk banget di kantor. Gimana aku bisa nyuapin kamu kalau makan siang?" Haikal mencoba untuk sedikit bernegosiasi dengan Riri."Kalau makan siang, aku yang bakalan dateng ke kantor kamu. Gimana?" jawab Riri lalu meminta pendapat."Apa nggak bakal bikin kamu kecapekan kalau tiap makan s
RIRI POVSinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar membangunkan aku dari lelapku. Perlahan kubuka mataku dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar lalu menggeliatkan badanku.Aku merasakan ada sesuatu yang menimpa perutku. Langsung saja kuarahkan pandangan mataku ke perut. Ternyata tangan Haikal berada di atas perutku.Apa dia semalam tidur sambil meluk aku? aku bertanya-tanya di dalam hati.Segera kuelakkan tangan Haikal dari perutku. Namun ia justru mengeratkan pelukannya. "Haikal, awasin tangan kamu. Aku nggak bisa bangun," ucapku sambil terus menyingkirkan tangannya."Sebentar lagi ya, Sayang. Aku masih ngantuk," racaunya. Sepertinya dia sedang mengigau."Kamu ngomong 'sayang'nya untuk siapa? Untuk aku, anak kamu, atau Clara?" tanyaku ketus dan menaikkan nada bicaraku. Itu berhasil membu
Bugh! Bugh! Bugh!Riri yang geram dengan Haikal karena Haikal sudah mengerjainya, langsung memukul Haikal menggunakan bantal berulang-ulang."Dasar nyebelin, ngeselin! Enak banget kamu bilang kalau kamu ngerjain aku. Kamu nggak tau apa, kalau jantungku tadi hampir meledak gara-gara kelakuanmu itu?" gerutu Riri sambil terus memukul Haikal."Aduh, aduh! Ampun, Ri, ampun. Udah, udah! Aku ngaku salah. Sorry, sorry!" ucap Haikal namun masih tertawa."Kamu bilang 'sorry' tapi masih ngetawain aku. Seneng banget ya, bisa ngetawain orang?" Riri kembali memukuli Haikal karena Haikal tak kunjung menghentikan tawanya."Oke, oke. Aku berenti ketawa." sekuat tenaga Haikal berusaha menghentikan tawanya. "Maaf," ucapnya ambigu setelah benar-benar berhasil menghentikan tawanya. Sedangkan Riri hanya menanggapi dengan menaikkan satu alisnya pertanda dirinya bingung Haikal
RIRI POV"Jadi intinya, Anda mengidap suatu penyakit. Anda mengidap penyakit kanker otak stadium lanjut. Dan ini sudah dalam tahap yang berbahaya. Saya sarankan agar Anda dikemoterapi untuk membunuh sel kanker serta meminimalisir terjadinya penyebaran sel kankernya," jelas sang Dokter yang aku ketahui bernama Arya.Jedderrr!!!Aku mematung mendengar pernyataan Dokter Arya. Tubuhku terasa lemas dan bergetar menahan tangis yang hendak pecah. Rasanya seperti ada petir di siang hari yang cerah yang sedang menyambarku saat itu. Tapi, dengan cepat aku menetralkan kembali rasa keterkejutanku."Tapi, saya sedang hamil, Dok. Apa tidak berbahaya bagi kandungan saya? Dan kalau saya dikemoterapi, otomatis keluarga saya akan tau tentang keadaan saya. Saya tidak mau membuat mereka bersedih. Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyaku kemudian setelah memberikan alasan.Kulihat wajah
Sebulan setelah Riri dan Haikal menginap di rumah orang tua Haikal, kehidupan Riri berjalan seperti biasa. Wanita itu sudah kembali masuk kuliah. Haikal masih melakukan permintaan Riri waktu itu.Seperti menyuapinya makan, membacakan dongeng sebelum tidur, membawakan bunga sepulang dari kantor, bahkan apartemennya sudah seperti toko bunga karena saking banyaknya bunga yang dibawa Haikal setiap hari. Dan tidak lupa juga menemani Riri cek-up ke dokter.Kini kehamilan Riri memasuki bulan ke empat. Selama ini penyakitnya sempat beberapa kali kambuh. Baik di apartemen saat sendiri atau saat ada Haikal, mau pun saat berada di kampus. Tetapi, karena Riri selalu membawa obatnya ke mana pun ia pergi, maka ia tidak pernah sampai pingsan.Seperti saat ini, kepalanya kembali berdenyut hebat. Cepat-cepat ia mengambil botol obatnya, mengeluarkan isinya dan meminumnya. Perlahan-lahan rasa sakitnya berkurang."Sa
HAIKAL POV Pagi ini aku sudah dibuat kesal dengan ucapan Riri. Bagaimana mungkin dia menyuruhku untuk memilih antara dia dan anak yang ada dalam perutnya? Jujur saja, itu adalah pilihan yang sulit bagiku. Aku tidak ingin kehilangan anak yang dikandungnya. Tetapi aku juga tidak ingin kehilangannya. Aku tidak tahu seberapa penting dirinya bagiku. Yang aku tahu, kehadirannya sangat penting untuk anak yang berada dalam perutnya ketika lahir kelak. Aku tidak mungkin bisa memberikan kasih sayang yang lengkap tanpa ibunya. Membayangkan aku merawatnya sendirian tanpa sosok ibunya, itu sudah membuatku frustrasi. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Mungkin aku akan gila! Lagipula, kenapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu? Bahkan dia berpesan padaku bahwa kalau pilihan itu harus dilakukan, maka dia menyuruhku untuk memilih anak yang dikandungnya. Dan masih banyak lagi pesannya yang menurutku sudah seperti surat
RIRI POV Gerubuk! Gerubuk! Gerubuk! "Assalamualaikum!" seru orang yang membuat kegaduhan itu. Aku dan Bunda serentak melihat ke arah asal suara kegaduhan tersebut lalu menjawabnya. "Wa'alaikumsalam," sahutku dan Bunda kompak. "Loh? Dewi, Rani? Ada apa? Kenapa kalian kayak orang yang dikejar-kejar setan begitu?" tanya Bunda heran. Sedangkan aku hanya cekikikan melihat mereka. "Itu tuh setannya, Tante! Kita dipaksa ke sini dalam waktu 15 menit. Kalau kita telat, kita bakalan kena hukuman dari dia," tunjuk Dewi padaku dengan wajah kesal. Aku segera mengubah raut wajahku menjadi serius dan berlagak marah. "Kalian telat 3 menit! Siap-siap kalian dapet hukuman dari aku," ucapku setelah melihat jam dan tersenyum miring melihat mereka. "Kamu gila ya, Ri? Kita udah secepet yang kita bisa buat bisa