"Tante, apa kata Dokter? Riri sakit apa?" tanya Dewi begitu Nisa' dan Haikal memasuki ruang rawat Riri.
"Iya, Tante. Riri sakit apa? Kenapa dia bisa sampe pingsan gitu?" tanya Rani juga.
"Riri baik-baik aja. Kata dokter, itu karena Riri nggak makan dengan bener. Tapi, kalau Riri terus-terusan nggak makan dengan bener, itu bakalan ngebahayain bayi yang ada di dalam kandungannya," jelas Nisa'.
"Bayi? Riri hamil, Tante?" tanya Rani, dengan tampang yang terkejut.
"Bener, Ran, Riri hamil. Baru sekitar 6 minggu," jawab Nisa'.
"Oh! Pantes aja," Rani berucap dengan keras yang membuat Nisa', Haikal dan Dewi terkejut.
"Apaan sih, Ran? Bikin kaget, tau!" sungut Dewi kesal.
"Iya, tadi 'kan Riri sempet cerita ke kita. Dia bilang kalau dia udah nggak nafsu makan dari beberapa minggu terakhir. Tapi yang paling parah beberapa hari belakangan ini. Pasti itu gara-gara dia hamil. Ya, 'kan?" Rani menyimpulkan.
"Oh, bener juga," Dewi menimpali.
"Ugh ...," Riri mengerang pelan ketika merasa kepalanya berdenyut. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk meyakinkan matanya bahwa dirinya memang sedang tidak berada di kamarnya.
"Riri, Sayang. Kamu udah sadar, Nak? Gimana perasaan kamu? Apa ada yang sakit?" tanya Nisa' bertubi-tubi.
"Riri baik, Bunda. Riri ada di mana sekarang? Kenapa kayak di rumah sakit gini?" tanya Riri setelah menjawab pertanyaan bundanya.
"Kamu emang lagi di rumah sakit sekarang," jawab Nisa'.
"Rumah sakit? Emangnya Riri sakit apa?" tanya Riri lagi.
"Karena kamu nggak makan dengan baik, makanya badan kamu jadi lemah dan kamu pingsan," jawab Nisa' lagi.
"Setelah ini, kamu harus makan yang teratur, Ri. Jangan cuma minum air putih hangat aja. Mana ada nutrisinya kalau kamu cuma minum air putih hangat tiap hari. Liat sekarang, kamu bahkan sampe pingsan. Kalau kamu kayak gini terus, nanti bisa ngebahayain bayi yang ada dalam kandunganmu, loh," Dewi menasehati seperti seorang ibu yang menasehati putrinya.
"Bayi? Bayi siapa? Kamu ngomong apa sih, Dew? Kamu bercanda, ya? Bercandaan kamu nggak lucu, tau nggak?" tanya Riri bingung.
"Ya jelas bayi dalam kandungan kamu-lah, Ri. Kamu itu lagi hamil. Usianya sekitar 6 minggu," jawab Rani.
"Hahaha. Kalian kalau bercanda jangan kelewatan, dong," ucap Riri masih belum percaya.
"Ini beneran, Ri. Kamu hamil. Coba kamu inget-inget, kamu tadi cerita ke kita kalau beberapa minggu terakhir kamu nggak nafsu makan dan mual-mual, 'kan? Tapi yang terparah beberapa hari belakangan ini, 'kan? Kalau dipikir-pikir, itu sebenernya gejala perempuan hamil," tanya Dewi kemudian mencoba meyakinkan Riri.
Riri terdiam dan tampak berpikir sebentar. Memang benar, selama beberapa minggu belakangan ia memang kesulitan dalam hal asupan makanan. Tetapi ..., apa semua itu mungkin?
"Hamil? Aku hamil? Ha-ha-ha," Riri tertawa sumbang. Nisa', Rani, Dewi dan Haikal sampai bingung sekaligus khawatir melihatnya. "Nggak, ini nggak mungkin. Bunda, ini bohong, 'kan?" tanya Riri mulai panik.
"Lah? Kenapa nggak mungkin, Ri? Kamu punya suami. Ya, mungkin aja, dong," balas Rani tidak mengerti.
"T-tapi, k-kami bahkan nggak pernah-," ucapan Riri terhenti ketika ia teringat kejadian kelam malam itu. "Nggak ..., ini nggak mungkin. Ini nggak seharusnya terjadi. Nggak, nggak boleh!" lanjutnya, mulai histeris.
"Ri, tenang. Kamu harus tenang. Kalau kamu stres, itu bisa ngebahayain kandunganmu," Dewi mencoba menenangkan.
"Nggak, kalian bohong! Ini nggak mungkin. Kalian semua bohong! Ini sama sekali nggak lucu!" Riri semakin histeris.
"Haikal, cepat panggil dokter," perintah Nisa' panik. Haikal langsung melesat menekan tombol darurat untuk memanggil dokter.
"Ri ..., tenang, Nak. Jangan begini. Kasihan anak dalam kandunganmu," Nisa' berusaha menenangkan putrinya.
Dokter dan perawat masuk ke ruang rawat Riri, menyiapkan jarum suntik yang telah berisi obat bius, kemudian menyuntikkannya kepada Riri. Lambat laun, Riri mulai tenang dan akhirnya tertidur.
Belum hilang rasa penasaran Haikal tentang anak siapa yang dikandung oleh Riri, sekarang rasa penasarannya bertambah lagi dengan sikap Riri yang seakan-akan tidak menginginkan kehamilannya itu.
Sebenarnya, apa yang terjadi?
Semakin banyak pertanyaan dalam benak Haikal. Tetapi tidak satu pun yang berhasil terjawab. Membuatnya akhirnya merasa pusing sendiri. Setelah Riri siuman dan tenang nanti, mungkin ia akan bertanya pada Riri.
*****
Saat ini orang tua dan mertua Riri berkumpul di depan ruang perawatan Riri. Mertua Riri langsung datang ketika ditelepon oleh Haikal yang mengatakan bahwa Riri sedang dirawat di rumah sakit.
Haikal sedang duduk di samping ranjang rumah sakit yang Riri tempati yang masih tidak sadarkan diri. Beberapa saat kemudian, Riri mulai siuman kembali.
"Akhirnya lo bangun juga. Lama banget lo bangunnya? Gue nungguin lo dari tadi. Karena sekarang lo udah bangun, jawab pertanyaan gue. Anak siapa yang ada dalam kandungan lo itu? Gue nggak pernah nyentuh lo, jadi nggak mungkin itu anak gue. Sebenarnya anak siapa itu?" cerca Haikal sinis.
"Jaga mulut kamu ya, Mas! Aku nggak berhubungan sama siapa pun. Mas pikir Mas siapa? Sampe Mas bebas ngehina aku sesuka hati Mas. Mas pikir siapa yang ngelakuin semua ini? Ini perbuatanmu, Mas! Mas udah memperkosa aku waktu Mas mabuk berat malam itu. Mas yang udah ngehancurin masa depanku. Sekarang aku hamil karena perbuatan Mas, tapi dengan teganya Mas ngefitnah aku? Aku benci sama kamu! Pergi dari sini! Aku nggak mau liat muka kamu lagi. Aku benci! Pergi!" Riri menangis dan berteriak histeris mengusir Haikal dengan melemparkan barang-barang yang dapat digapainya.
"Ada apa, Nak? Kenapa kamu teriak-teriak ke Haikal dan ngusir dia?" tanya Nisa' begitu masuk ke ruang perawatan Riri karena terkejut mendengar suara teriakan anaknya.
"Bunda, tolong usir dia dari sini. Riri nggak mau liat mukanya," pinta Riri sambil menangis memeluk Nisa'.
"Tapi kenapa, Ri? Kenapa kamu ngusir Haikal? Dia 'kan suami kamu?" tanya Nisa' bingung seraya mengelus punggung Riri.
"Suami apa yang nuduh istrinya sendiri? Dia nuduh anak yang ada dalam perut Riri ini anak orang lain. Dia nuduh Riri selingkuh. Dia bahkan nggak ingat kalau ini perbuatannya sendiri. Suami apa itu, Ayah? Bunda?" ucap Riri penuh emosi.
"Bener itu, Haikal? Kamu nuduh Riri seperti itu?" tanya Mawarni tak percaya.
Haikal hanya diam tidak berani menjawab pertanyaan Mawarni.
"Berarti itu benar, Haikal? Papa nggak percaya kamu bisa mengatakan hal serendah itu pada istrimu sendiri. Papa kecewa sama kamu," ucap Tommy. Terlihat jelas raut kekecewaan di wajahnya.
"Udahlah, Ayah, Bunda, Riri ikut pulang ke rumah Ayah Bunda aja. Riri nggak mau tinggal sama orang yang nggak bisa ngehargai Riri sebagai istrinya. Selama ini Riri udah coba bersabar dan ngelakuin yang terbaik sebagai istrinya sesuai yang Bunda pesan. Tapi kalau sikap Mas Haikal kayak gini ke Riri terus menerus, Riri nggak sanggup, Bun. Lebih baik Riri mundur sekarang," ucap Riri sambil terisak.
Perkataan Riri itu sontak membuat Haikal tersentak dan tertegun.
"Tenang dulu, Ri. Jangan ngambil keputusan dengan terburu-buru. Kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin ya, Nak," bujuk Malik.
"Apalagi yang mau dibicarakan, Yah? Dia nggak cinta sama Riri. Yang dia cintai orang lain. Dia bahkan ngelakuin hal itu sambil manggil nama perempuan lain, bukan nama Riri waktu dia mabuk berat malam itu. Dia sendiri aja nggak nyadar kalau dia pernah ngelakuin hal itu ke Riri. Dan sekarang, dia nuduh Riri yang enggak-enggak. Udah cukup Riri dihina hari ini. Udah cukup! Riri nggak mau punya suami kayak dia. Riri-, akhh, akhh, aaakkhhh ...," belum selesai Riri berucap, ia sudah berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya.
"Sayang? Riri?" panggil Nisa' cemas.
Dengan cepat Malik menekan tombol darurat di dekat kepala ranjang Riri. Tak lama setelah itu, dokter datang bersama beberapa perawat.
"Tolong Anda semua tunggu di luar dulu, ya," ucap seorang perawat.
"Lihat akibat perbuatanmu, Haikal! Papa nggak nyangka kalau kamu bisa sekeji itu menuduh istrimu sendiri. Papa menikahkan kamu dengan Riri bukan untuk kamu sakiti. Tapi apa yang udah kamu perbuat sekarang, udah bikin Papa malu. Kamu udah menginjak-injak harga diri Papa di hadapan sahabat Papa," ujar Tommy dengan raut wajah yang sulit diartikan ketika mereka berada di luar ruangan Riri.
"Maafkan Haikal, Pa. Haikal bersalah. Haikal bener-bener nggak tau kalau ternyata Haikal udah ngelakuin hal itu ke Riri. Haikal janji, mulai sekarang Haikal akan memperlakukan Riri dengan baik. Haikal bakalan berubah demi Papa, Mama, dan anak yang dikandung Riri. Tolong maafin Haikal, Pa," ucap Haikal meminta maaf dan berjanji pada Tommy.
"Permintaan maaf dan janjimu itu lebih pantas kamu ucapkan kepada Riri daripada ke Papa," ucap Tommy lagi.
"Iya, Pa. Setelah ini Haikal bakalan minta maaf ke Riri," janji Haikal.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, dokter dan perawat keluar dari ruang perawatan Riri.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Nisa' tak sabar begitu melihat dokter keluar.
"Sekarang dia baik-baik saja. Tidak perlu khawatir," jawab dokter yang bernama Andini itu.
"Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" tanya Mawarni kemudian.
"Kondisi kandungan Ibu Rifqah sangat lemah. Tadi sudah saya suntikkan obat penguat kandungan kepada Ibu Rifqah. Tapi, jangan sampai pasien mengalami stres yang berlebihan seperti tadi. Kalau hal itu terjadi lagi, saya tidak bisa menjamin bayi dalam kandungannya akan selamat," jawab dokter lagi mengingatkan.
"Baik, Dok. Akan kami ingat dengan baik. Terima kasih banyak," ucap Nisa' sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Dokter Andini berlalu dari hadapan mereka setelah membalas menundukkan kepalanya dan tersenyum.
"Mama, Papa, Ayah, sama Bunda pulang aja. Biar Haikal yang jaga Riri di sini," ucap Haikal.
"Kamu yakin, Nak? Gimana kalau Riri histeris kayak tadi lagi?" tanya Nisa' khawatir.
"Bunda tenang aja, ya? Haikal bakalan berusaha nenangin Riri nanti dan ngeyakinkan dia. Haikal yakin, Haikal pasti bisa," ucap Haikal penuh keyakinan.
"Ya, udah. Kami pulang dulu, ya, Nak? Tolong jaga Riri," pinta Malik setelah berpamitan.
"Haikal pasti jagain Riri. Hati-hati di jalan," jawab Haikal dan pesannya kemudian.
"Mama sama Papa juga pulang dulu. Jaga dia baik-baik," pesan Mawarni.
"Iya, Ma. Hati-hati, Ma, Pa!" balas Haikal.
Setelah hampir dua tahun kemudian. Riri membuka mata dan menjadi kebingungan karena mendapati dirinya berada di suatu tempat yang asing baginya. Bagaimana tidak? Saat ini dirinya tengah berada di suatu taman bunga yang luas dan indah. Padahal seingatnya, dirinya tadi sedang duduk di kasur Asahy dan tengah memeluk boneka panda kesukaan almarhumah anaknya itu. Tetapi sekarang? Dirinya bahkan tidak tahu sedang berada di mana ia saat ini. Di saat Riri tengah sibuk memperhatikan sekelilingnya, tiba-tiba seseorang menghampiri dan memanggilnya. "Mi ...." Riri menoleh dan berbalik. Detik berikutnya matanya terbelalak lebar melihat sosok di hadapannya yang tadi memanggilnya. Matanya memburam karena buliran bening yang menumpuk di pelupuk matanya. Sosok di hadapan Riri tersenyum manis. "Apa kabar, Mi?" tanyanya pada Riri. Riri tidak langsung menjawab. Ia langsung berjalan cepat dan memeluk soso
Saat Asahy siuman, gadis itu sempat marah pada 'Adnan karena mengingkari janjinya pada gadis itu. "Dek, jujur sama Mami. Kenapa kamu tutupin tentang penyakit kamu ini? Kenapa kamu nggak kasih tau dari awal? Biar kita bisa obatin? Mami, Papi, Kakak-kakak kamu semua bersedia dan dengan senang hati jadi pendonor untuk kamu." Nada suara Riri yang kecewa terdengar jelas oleh Asahy. "Pi, cepet cari Dokter Arya. Minta dia untuk tes darah kita semua. Pasti salah satu dari kita ada yang cocok untuk jadi pendonor," lanjutnya, beralih pada Haikal. "Mi ...," panggil Asahy sambi balas menggenggam jemari Riri yang sedari tadi tidak lepas menggenggam tangannya. Riri menoleh. Air matanya tidak berhenti mengalir sedari tadi. "Nggak perlu lakuin tes. Karena itu percuma. Waktu itu Dokter Arya udah bilang, penyakit Adek ini udah stadium akhir dan termasuk golongan yang lebih berbahaya dan sulit untuk diobatin walaupun udah ngejalani pencangkokan. Jadi, kalau pun Adek ngejalani pencangko
Hari ini adalah hari ulang tahun Asahy yang tidak lain adalah anak bungsu Riri dan Haikal. Sedari pagi Riri sudah menyeret Asahy ke sana kemari untuk berbelanja dan melakukan perawatan tubuh serta wajah. Meskipun Asahy terlihat kesal dan bosan, namun sepertinya gadis itu tidak dapat berbuat apa pun. Ia hanya terpaksa mengikuti keinginan Riri karena ingin menyenangkan hati ibunya itu. Sebab untuk ke depannya, dirinya tidak tahu apakah dirinya masih diberi kesempatan untuk melakukan hal-hal seperti hari ini lagi.Pada malam harinya, tepat sebelum acara ulang tahunnya dimulai, Asahy meminta Riri dan Haikal berkumpul bersama dengan orang tua dari Arkhai, yang merupakan sahabat Asahy. Mereka sempat merasa bingung mengapa gadis itu meminta mereka berkumpul. Sedangkan para tamu undangan sudah berdatangan dan acara akan segera dimulai.Namun, para orang tua dan juga Arkhai terkejut mendengar penuturan Asahy. Gadis itu menyatakan perasaannya pada A
Setelah kelahiran anak ketiga, semakin hari, Riri dibuat semakin repot dan pusing oleh tingkah anak-anaknya dan juga Haikal. Si kembar dan suaminya itu tidak mau kalah dari si bungsu yang mereka beri nama Asahy Tsurayya' Zahirah Perdana, yang usianya baru beberapa bulan. Mereka merasa cemburu karena Riri lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus si bungsu daripada mengurus mereka. Padahal menurut Riri, ia sudah berusaha membagi waktu untuk mereka semua dengan adil. Tetapi tetap saja, si kembar dan Haikal tetap melakukan protes dan mengatakan jika Riri tidak adil membagi waktu untuk mereka. Mereka selalu saja melakukan hal-hal yang membuat Riri marah agar dapat menarik dan mendapatkan perhatian dari Riri. "Haikal! Ayo, bangun!" Riri mengguncang tubuh Haikal dengan sedikit kuat. Kesal melihat Haikal yang masih memejamkan matanya erat dan terlihat nyaman, walaupun Riri sedari tadi sudah membangunkanny
Setelah beberapa bulan kembali dari Amerika, kehidupan Riri-Haikal dan kedua anak kembarnya berjalan penuh dengan kebahagian setiap harinya. Ada saja hal-hal yang membuat hari-hari mereka seakan-akan penuh warna."Devran, Devni! Jangan lari-lari, nanti jatuh!" peringat Riri kepada kedua anaknya yang sedang berkejar-kejaran.Sore ini, Riri sedang duduk santai di halaman belakang rumah. Menikmati suasana sore hari sambil mengawasi Devran dan Devni yang sedang bermain."Mami ...," Devni memanggil Riri dengan sedikit merengek."Kenapa, Sayang?" tanya Riri sembari mengelus pipi putrinya."Liat, Kak Devlan jahat! Dia bikin boneka Devni jadi jolok pake cat!" adu Devni sambil menunjukkan bonekanya yang belepotan cat."Bo'ong, Mi! Bukan Devlan yang bikin!" Devran menyanggah tuduhan adiknya."Devni nggak bo'ong! Kak Devlan yang tadi colet-colet boneka Devni!" Devni
Setelah diwajibkan untuk berpuasa selama sehari, Riri akhirnya dibawa ke ruang operasi untuk menjalani operasi pengangkatan sel kanker di otaknya. Selama beberapa jam Haikal menunggu dengan cemas.Kenapa hanya Haikal yang menunggu Riri ketika proses operasi? Sudah jelas, itu karena Mawarni dan Nisa' harus tinggal di apartemen untuk menjaga Devran dan Devni selama Riri dan Haikal berada di rumah sakit. Ya. Selama Riri berobat di sana, Haikal memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen.Saat proses operasi, keadaan Riri sempat menurun. Namun, jantungnya tidak sampai berhenti berdetak seperti ketika proses operasi caesar waktu itu. Selesai operasi dan dipindahkan ke ruang ICU, Riri dinyatakan koma oleh Dokter Gilbert. Haikal hanya dapat menghembuskan napas pasrah dan menahan rasa sesak di dadanya. Karena lagi-lagi dirinya harus menghadapi kenyataan bahwa Riri mengalami keadaan koma dan menunggunya terbangun entah sampai berapa