Share

Bab 3

Author: Zora
Namun, yang membuatku sedikit terkejut adalah ... Sebelum pergi, Yudhi menarikku ke samping.

Dia menjelaskan, “Tasya, jangan salah paham. Aku tidak tahu bagaimana hubungan Kakak dan Kakak Ipar dulu. Aku hanya mengikuti kata-katanya saja. Kalau tidak, dia bakal curiga.”

Melihat ekspresi menenangkannya, aku hanya tersenyum tipis. “Aku mengerti, tunggu saja sampai ingatannya pulih kembali.”

Melihat aku begitu pengertian, wajah Yudhi justru tampak sedikit canggung.

Dia mengeluarkan sejumlah uang dari saku dan menyerahkannya ke tanganku.

Ibu dan anak ini benar-benar sama, kata orang, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Itu memang benar.

Keduanya sama-sama ingin menyingkirkanku dengan uang.

Namun, uang yang sudah sampai di tangan, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak.

Aku pun menerimanya sambil berkata, “Kalau begitu, nanti saat pulang aku akan membelikan hadiah untuk putri kita, supaya dia tidak sedih.”

“Kamu juga tahu, putri kita jauh lebih pengertian.”

Mungkin tersentuh karena aku menyebut soal anak, Yudhi kembali mengeluarkan sedikit uang untukku. “Untuk sementara waktu, kamu jaga anak kita baik-baik. Tenang saja, aku akan segera pulang.”

Aku hanya mengangguk, tidak bicara lagi.

Keheningan melayang di udara dua detik. Dia menggaruk belakang kepalanya, lalu berkata, “Kalau begitu, kita pulang dulu. Jangan sampai nanti dia curiga.”

“Baiklah.”

Pulang ke rumah hanya akan membuat lebih banyak orang tahu skandal suami dan Kakak Iparnya.

Dibandingkan kehidupan sebelumnya yang penuh amarah, di kehidupan ini aku jauh lebih tenang.

Seperti yang sudah kuduga, sama seperti kehidupan lalu, begitu sampai rumah, mertuaku langsung mengusulkan untuk pindah rumah. Dari desa pindah ke kota, seharusnya itu adalah kabar baik.

Oleh karena itu, di kehidupan lalu aku menerima dengan senang hati. Hanya saja aku bertanya, “Kenapa tiba-tiba mau pindah rumah?”

Aku ingat saat itu Feni berkata, "Kebetulan uang santunan untuk almarhum Yudha sudah turun. Dia memang telah berkorban, tetapi tetap meninggalkan sesuatu untuk kami. Kalau kami hidup lebih baik, di alam sana dia pun bisa tenang."

Namun kemudian, aku baru sadar. Alasan mereka terburu-buru pindah ke tempat baru yang tidak mengenal siapa pun, hanyalah supaya Yudhi dan Cinthya bisa hidup bersama secara terang-terangan.

Dengan begitu, lebih cepat pula menetapkan status mereka sebagai pasangan suami-istri. Sedangkan aku, hanya akan terlihat sebagai perempuan jahat yang merusak hubungan orang lain.

Aku punya rencanaku sendiri. Maka aku sengaja berkata, “Ma, bagaimana kalau aku yang pergi lihat rumah? Tadi di jalan aku bertemu teman lama, kebetulan keluarganya sedang menjual rumah.”

Feni sempat ragu, tetapi Yudhi yang merasa aku mengganggu kalau di rumah, justru membujuk mertuaku. Aku pun sengaja menunda-nunda dengan alasan mencari rumah, sambil diam-diam menyebarkan gosip di desa mengenai alasan sebenarnya mereka pindah.

Yudhi setiap hari sibuk dengan Cinthya dan anaknya, sama sekali tidak menyadari ada yang janggal. Sebaliknya, Feni yang lebih peka, memperhatikan tatapan aneh dari orang-orang desa.

Begitu pulang, dia langsung menudingku dan bertanya, “Tasya, apa kamu yang bicara sembarangan di luar?”

Aku menatapnya dengan tatapan polos. “Nggak ada. Pasti ada orang yang melihat Kakak Ipar dan suamiku bersama. Ma, kamu juga tahu, ‘kan ... orang-orang di desa ini suka sekali bergosip.”

Feni mulai kehilangan kesabaran dan mendesakku, “Rumahnya sudah dapat belum? Kalau tidak, biar aku sendiri yang cari!”

“Baiklah. Hari ini aku akan bicara lagi dengan temanku soal harga.” Dalam hati, aku mulai sedikit cemas. Kesabaran mertuaku terbatas, sementara kabar yang kutunggu belum juga datang.

Untung saja, Tuhan masih berpihak padaku.

Aku pergi ke warung telepon umum, lalu kembali menekan nomor yang sudah sangat familiar itu.

Awalnya kupikir bakal seperti sebelumnya, tetap tidak ada yang mengangkat. Tapi tidak kusangka kali ini, sebelum aku sempat bicara, suara asing namun sangat familiar terdengar dari seberang, “Halo, ini Yudha, ada perlu apa?”

Benar. Yudha ternyata … belum mati.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Biarlah Kau Jadi Kakak Ipar Selamanya   Bab 8

    Pria itu menepis tangan Yudhi dengan kuat, lalu menatapnya sekilas. “Oh. jadi, kamu ini Yudhi adik kembar Yudha?” Yudhi tidak menjawab.Pria itu kemudian menoleh ke arahku, dan berkata, “Kamu yang tadi menelpon Yudha, ‘kan?”Saat itu, Feni dan Cinthya yang keluar dari dalam rumah, kebetulan mendengar kalimat ini. Selain aku, semua orang tampak terkejut dan tidak mengerti. Di antara kerumunan, ada yang tidak tahan lalu bertanya, “Pak, apa maksud perkataanmu barusan?”“Oh,” jawab pria itu santai. “Ada yang menyampaikan kabar ke Yudha, katanya istrinya bersama adik kembarnya berbuat hal yang tidak pantas. Karena dia sekarang sedang terluka dan belum bisa pulang, dia meminta aku untuk melihat apakah kabar itu benar atau tidak. Tidak kusangka, ternyata memang benar!” Sambil berkata demikian, dia menatap Yudhi dengan ekspresi sulit dijelaskan. Baru saat itu aku paham. Rupanya, begitu aku keluar dari kantor pos, telepon dari pihak Yudha langsung tersambung pada pria ini. Itu artinya, tidak

  • Biarlah Kau Jadi Kakak Ipar Selamanya   Bab 7

    Melihat aku seperti itu, semua orang pun kembali membelaku dengan suara lantang.Yudhi tidak bisa lagi mencari alasan, wajahnya semakin lama semakin muram. Aku diam-diam meliriknya sesekali, lalu menangis semakin keras.Di zaman ini, berbeda dengan masa depan nanti, pernikahan tidak harus diurus dengan surat nikah resmi. Banyak pasangan suami istri yang tidak memilikinya, seperti aku dan Yudhi juga begitu. Tetapi, Cinthya dan Yudha memang pernah mengurus surat nikah, karena Yudha adalah seorang tentara, pernikahannya dilindungi oleh hukum militer. Jika Yudha ternyata masih hidup, Yudhi otomatis menjadi orang yang merusak pernikahan militer. Keduanya bisa ditangkap dan dipenjara. Aku tidak ingat apakah di kehidupan lalu ini pernah terjadi, tetapi tidak kusangka di kehidupan ini, mereka berdua begitu terburu-buru. Sepertinya mereka memanfaatkan kesempatan mengurus surat nikah saat aku keluar rumah. Tidak disangka malah ketahuan oleh Yani, sehingga semua ini terungkap.Setelah semua ora

  • Biarlah Kau Jadi Kakak Ipar Selamanya   Bab 6

    Setelah dia selesai berbicara, suasana langsung berubah menjadi hening. Feni terpaku di tempat, seolah-olah tombol jedanya ditekan. Mata melotot, menatap penuh dengan ketakutan. Jelas sekali, dia benar-benar terkejut oleh ucapan itu.Meskipun begitu, dia tetap berkata, “Kamu ngomong apa sih, jangan ngomong sembarangan!”“Sembarangan? Kalau begitu tanya saja pada semuanya, emangnya aku asal ngomong?”“Waktu ada orang datang mengantarkan uang santunan, mereka bahkan berpesan kepada kami untuk lebih sering menjaga keluargamu.”“Kami tidak ingin mengungkit kesedihan kalian, tapi tidak disangka, di balik ini kalian malah seperti ini.”Merasa putriku yang berada di pelukan gelisah, aku mengusap lembut kepalanya, dalam hati tersenyum mengejek. Kalau dipikir-pikir, hal ini memang baru kuketahui di kehidupan keduaku ini. Saat pihak militer mengirim santunan, mereka memang secara khusus menitip pesan kepada para tetangga di desa. Bahwa Yudha gugur dengan terhormat, dan mereka berharap warga sek

  • Biarlah Kau Jadi Kakak Ipar Selamanya   Bab 5

    Namun sayang sekali aku tidak bisa membuat Yudha melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Tetapi tidak apa-apa, yang terpenting adalah dia bisa pulang.Meskipun tidak menyaksikannya secara langsung, dia tetap bisa mendengarnya dari mulut orang lain. Memikirkan hal ini, aku segera pulang, berniat mengadukan keluarga ini di depan para warga desa. Tidak kusangka, Cinthya justru lebih dulu menyerang.“Tasya, kamu sudah gila ya? Ini suamiku, Yudha! Yudhi sedang pergi berbisnis, nggak ada di rumah. Walaupun kamu merindukannya, jangan sampai salah mengenali orang dong.” “Lagipula, anakmu itu tidak tahu sopan santun. Nggak ada papa sih, jadi mau nggak mau biarkan pamannya yang memberinya pelajaran,” katanya terdengar penuh keyakinan, seakan-akan akulah yang membuat keributan tidak berdasar. Aku hanya tertawa dingin, siap untuk membuka kedoknya tanpa ampun.Namun yang tidak kusangka, para bibi di desa ini ternyata sangat membantu. “Eh, kamu kira kami semua bodoh?” “Jelas-jelas dia itu Y

  • Biarlah Kau Jadi Kakak Ipar Selamanya   Bab 4

    Aku sangat bersyukur, di kehidupan sebelumnya setelah aku mati, jiwaku bisa melihat segalanya, termasuk telepon dari Yudha. Semua yang kuketahui setelah terlahir kembali ini, berubah menjadi pengalamanku sendiri. Memang benar, dalam misi itu dia jatuh dari tebing. Pasukan juga sudah melakukan pencarian. Tetapi mereka terlambat satu langkah, dia sudah lebih dulu diselamatkan orang lain. Cinthya hanya pura-pura amnesia, sedangkan Yudha benar-benar kehilangan ingatannya.Namun, dia sangat beruntung. Bukan hanya bertemu orang baik yang menyembuhkan lukanya, bahkan diajak ikut berbisnis bersama.Ketika akhirnya ingatannya pulih dan dia pulang ke rumah ...Yudhi dan Cinthya sudah menikah resmi. Tetapi mereka berdua sangat pandai berakting. Saat itu juga mereka langsung berakting di depan Yudha. Mereka bilang, Cinthya sebagai janda hidupnya tidak mudah. Orang-orang menghinanya karena status janda, bahkan ada yang ingin merusaknya. Kalau bukan kebetulan Yudhi lewat dan menolongnya, mungkin

  • Biarlah Kau Jadi Kakak Ipar Selamanya   Bab 3

    Namun, yang membuatku sedikit terkejut adalah ... Sebelum pergi, Yudhi menarikku ke samping.Dia menjelaskan, “Tasya, jangan salah paham. Aku tidak tahu bagaimana hubungan Kakak dan Kakak Ipar dulu. Aku hanya mengikuti kata-katanya saja. Kalau tidak, dia bakal curiga.”Melihat ekspresi menenangkannya, aku hanya tersenyum tipis. “Aku mengerti, tunggu saja sampai ingatannya pulih kembali.”Melihat aku begitu pengertian, wajah Yudhi justru tampak sedikit canggung.Dia mengeluarkan sejumlah uang dari saku dan menyerahkannya ke tanganku.Ibu dan anak ini benar-benar sama, kata orang, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Itu memang benar.Keduanya sama-sama ingin menyingkirkanku dengan uang.Namun, uang yang sudah sampai di tangan, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak.Aku pun menerimanya sambil berkata, “Kalau begitu, nanti saat pulang aku akan membelikan hadiah untuk putri kita, supaya dia tidak sedih.”“Kamu juga tahu, putri kita jauh lebih pengertian.”Mungkin tersentuh karena aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status