Share

118~BC

Author: Kanietha
last update Huling Na-update: 2025-11-18 22:43:15

“Selamat ulang tahun,” ucap Cinta begitu memasuki ruang private yang sudah dipesan oleh Bias. Sambil menenteng sebuah paper bag, ia berjalan perlahan menghampiri Dinda yang segera berdiri menyambutnya.

“Makasih, Cintaku,” balas Dinda lalu terkekeh dan geli sendiri, ketika meniru panggilan mesra Bias pada Cinta.

“Sama-sama Dindaku.” Cinta pun ikut tertawa lepas. Ia menyalami Ira lebih dulu, kemudian duduk dengan perlahan.

“Ehm!” Bias berdehem untuk menyela keakraban yang ada di depan mata. “Titip Cinta, ya, Din. Aku nunggu di luar.”

“Pamit sama bu Ira dulu,” desis Cinta saat berbalik menatap Bias. Matanya sudah melotot dan giginya pun terkatup rapat. Di saat begini, suaminya itu benar-benar tidak tahu sopan santun.

“Tau aku,” balas Bias sambil tersenyum dan menghampiri Ira. “Pergi dulu, Bu. Titip Cinta, ya.”

“Kenapa pergi?” ucap Ira menyambut uluran tangan Bias. “Di sini aja, kita bareng-bareng.”

“Nggap papa, Bu,” ujar Cinta sambil menggandeng lengan Bias yang telah menyalami Ira, “M
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter
Mga Comments (29)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
heheheeheheh....Dinda pake semua pemberian nya Althaf
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Wahh oleh nya nya jam sama parfum toh banyak amad sih mas Al beliin Dinda nya cie cie ...
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Klo baby Cibi lahir siap2 yah papà Bi puasa 40 hari, horeeee reog hahaha
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

  • Bias Cinta   128~BC

    Altaf tersenyum kecil setelah menutup pintu mobilnya. Dengan segera ia menghampiri Raksa, yang baru menghentikan motor sport-nya di depan pagar. “Kirain sudah datang, Mas,” sapa Altaf setelah Raksa membuka helm full face-nya. Raksa menghela sejenak, sambil mengacak-acak rambutnya. “Ada sedikit trouble di kantor, makanya aku baru sampe.” Telunjuknya kemudian mengarah ke pagar. “Ranu sudah tau kamu datang?”“Belum,” jawab Altaf, “barusan mau telpon, tapi aku lihat kamu duluan.”“Aku buka pagar bentar kalau gitu.” Raksa meletakkan helmnya di tangki motor, lalu pergi membuka pagar. “Mobilmu bawa masuk nggak?”“Di depan aja, Mas.”“Oke.” Raksa membawa motornya ke carport, sekaligus mempersilakan Altaf masuk. “Aku harap semuanya selesai setelah ini. Kalian bisa nikah dan bahagia.”“Bu Naifa nggak ada cerita apa-apa?” tanya Altaf, berharap ada informasi lain yang diberikan Raksa. Sesuatu yang bisa membuat perasaannya sedikit lega. Raksa menggeleng. Menunggu Altaf menutup pagar, sementara

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status