Share

143~BC

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-12-15 19:02:12

“Ibu!” Dinda tersentak. Menyentuh dada dengan kedua tangan saat melihat Ira berdiri di samping jendela ketika ia baru saja masuk. “Ibu ngapain berdiri di sini? Ngintip, ya?”

“Mau nyapu,” jawab Ira mengangkat pelan sapu yang masih dipegangnya, lalu menunjuk debu di lantai yang ia pinggirkan ke sisi dinding. “Ngapain tadi si pak Duda?”

“Tuh, kan, ngintip.”

“Ibu nggak ngintip, Ibu lihat langsung.”

“Kalau nggak ngintip, ngapain berdiri di sini? Nggak keluar?”

“Pertanyaan Ibu belum dijawab.” Ira buru-buru kembali ke topik pembicaraan. Matanya memicing, untuk menginterogasi putrinya. “Ibu itu sudah curiga dari semalam. Mau tanya, tapi lupa karena keburu bahas masalah cicilan sama Cinta.”

Dinda mengerut dahi. “Ngapain pake curiga?”

“Pak Duda lagi nyari istri.”

“Terus, apa hubungannya sama aku?”

“Nggak usah pura-pura nggak tau.” Ira kembali menyapu lantai. Menggeser posisi Dinda yang masih berada di bibir pintu. “Dia itu lagi mancing, kalau umpannya kamu makan, siap-siap aja dijadiin istri s
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (27)
goodnovel comment avatar
Reni
Belum selesai masalah satu datang lg masalah lainnya, yg kuat ya Al, beban di pundakmu gk main main. dijalanin apa yg udah jd pilihan terus berusaha selanjutnya terserah takdir yg membawa kemana.
goodnovel comment avatar
Ani Maryani
bulan madu Altaf terancam gagal nih,gegara Cia hilang Dinda bikin Pak Felix bapeeer tuh,,,
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
sama pak Felix aja Din.. udah dkode sama emakmu klo direstui . hehehe.. Cia knp? gk bikin drama kan?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bias Cinta   144~BC

    “Cia!” Sudah berkali-kali Altaf menekan bel dan mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawaban. Ia melirik jam di pergelangan tangan, lalu menghela napas pendek.Altaf mengetuk sekali lagi, lebih pelan. Berharap pintu di depannya akan terbuka dengan sendirinya. Namun, yang menyambutnya tetap keheningan.“Mas! Gimana?” tanya Ranu ngos-ngosan setelah berlari kecil dari lift. “Aku sudah telpon resepsionis, bentar lagi ada yang datang.”Altaf menggeleng. “Belum dibuka.”“Aku takut–” Ranu menutup cepat mulutnya dengan kedua tangan, ketika menyadari ada Farhan di antara mereka. Tatapannya lantas tertuju pada Altaf dengan menggeleng samar. Altaf menghela panjang dan menatap Farhan. Rasa khawatir terhadap adiknya yang paling kecil itu semakin menjadi-jadi. Bagaimana jika Farhan melihat apa yang seharusnya tidak dilihatnya di dalam sana?“Aku juga telpon Cinta,” ucap Ranu sedikit menggeser topik obrolan. “Dia bil– itu masnya!” Ranu menunjuk seorang pria yang berjalan tergesa ke arah mereka.

  • Bias Cinta   143~BC

    “Ibu!” Dinda tersentak. Menyentuh dada dengan kedua tangan saat melihat Ira berdiri di samping jendela ketika ia baru saja masuk. “Ibu ngapain berdiri di sini? Ngintip, ya?”“Mau nyapu,” jawab Ira mengangkat pelan sapu yang masih dipegangnya, lalu menunjuk debu di lantai yang ia pinggirkan ke sisi dinding. “Ngapain tadi si pak Duda?”“Tuh, kan, ngintip.” “Ibu nggak ngintip, Ibu lihat langsung.”“Kalau nggak ngintip, ngapain berdiri di sini? Nggak keluar?”“Pertanyaan Ibu belum dijawab.” Ira buru-buru kembali ke topik pembicaraan. Matanya memicing, untuk menginterogasi putrinya. “Ibu itu sudah curiga dari semalam. Mau tanya, tapi lupa karena keburu bahas masalah cicilan sama Cinta.”Dinda mengerut dahi. “Ngapain pake curiga?”“Pak Duda lagi nyari istri.”“Terus, apa hubungannya sama aku?”“Nggak usah pura-pura nggak tau.” Ira kembali menyapu lantai. Menggeser posisi Dinda yang masih berada di bibir pintu. “Dia itu lagi mancing, kalau umpannya kamu makan, siap-siap aja dijadiin istri s

  • Bias Cinta   142~BC

    Pagi itu, baik Altaf maupun Ranu masih terjebak dalam kecanggungan. Meski Altaf sudah meminta maaf dan mereka berdua berusaha menutup hari tanpa suara tinggi, tetapi tetap saja ada jarak yang tidak bisa hilang begitu saja. Mereka memang tidur di ranjang yang sama, tetapi saling membelakangi sambil menahan pikiran masing-masing agar tidak pecah.Ranu bangun lebih dulu. Ia duduk bersandar di kepala ranjang untuk beberapa saat, mencoba mengatur napas sebelum akhirnya turun dari tempat tidur. Di sisi lain, Altaf hanya memejamkan mata. Pura-pura masih terlelap, padahal ia sangat sadar dengan semua gerakan Ranu yang pergi menuju kamar mandi.Setelah resepsi yang harusnya menandai permulaan yang indah, pagi pertama mereka sebagai pasangan yang sah justru dipenuhi sunyi yang sulit ditembus. Keduanya sama-sama ingin memperbaiki keadaan, tetapi tidak ada yang tahu harus mulai dari mana. ~~~~~~~~~~~ “Ih, Ibu, kayak sama siapa aja,” ujar Cinta saat bicara di telepon dengan Ira. Wanita itu memi

  • Bias Cinta   141~BC

    “Di sebelah kanan itu, rumah saya.” Felix menunjuk rumah dua tingkat yang berseberangan dengan lajur jalan mereka. Lampu terasnya menyala hangat, membuat rumah itu tampak ramah disinggahi. “Silakan kalau mau mampir, rumah saya terbuka untuk siapa aja.”Dinda mengangguk sopan, sementara Ira tersenyum kecil dari kursi belakang sambil menatap rumah tersebut. Sejak meninggalkan hotel, suasana di dalam mobil tidak pernah benar-benar hening. Baik Felix maupun Dinda, selalu punya cara memecah kecanggungan. Entah lewat gurauan receh atau cerita spontan tentang kegiatan mereka.“Macam penampungan gitu, Pak?” ucap Dinda meringis lebar, “terbuka buat siapa aja.”Felix terkekeh. “Kalau kamu mau ditampung, boleh.”“Ahhh …” Dinda kembali tertawa untuk ke sekian kalinya. Jika hanya melihat sekilas, Felix mungkin tampak apatis, dingin, serius, dan sulit ditebak. Namun setelah mengenal dan bicara dengannya, pria itu ternyata cukup ramah dan hangat. Cara bicaranya santai, gurauannya tidak berlebihan,

  • Bias Cinta   140~BC

    “Kalian satu kantor, kan?” tanya Alma menunjuk Raksa dan Dinda bergantian. Setelah bersalaman dengan Ira dan Dinda yang menghampiri, Alma pun mengingat akan hal tersebut. “Iya, Tante,” jawab Dinda sambil tersenyum dan mengangguk kecil pada Raksa. Ia dan ibunya baru saja menyalami pria itu, sekaligus berkenalan dengan Naifa yang duduk bersama Alma dan Danuar di meja yang sama. “Bang Raksa ini atasan saya.”“Kami rekan kerja,” ujar Raksa memperhalus ucapan Dinda. Malam ini, gadis itu semakin membuatnya terpesona karena tampil feminin. Sangat berbeda dengan hari-harinya ketika berada di kantor. “Bisa, nih,” canda Alma lalu terkekeh menatap Ira, “sama-sama single kan?”“Kalau bisa, sudah dari dulu saya nikahin, Bu,” seloroh Raksa, mengangkat satu tangan dan membuat tanda V dengan kedua jari. Ia tidak akan meralat ucapannya, karena seperti itulah kenyataannya. “Jadi, nggak bisa ceritanya, Din?” Alma kembali menggoda gadis itu. “Saya fokus karir dulu, Tan,” jawab Dinda meringis lebar,

  • Bias Cinta   139~BC

    Napas Ranu tertahan ketika mendengar kalimat Altaf berhenti tepat sebelum menyebut namanya. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangan. “Tarik napas dulu,” ucap Danuar sambil mengusap punggung Altaf, “gugup itu wajar, jadi relaks. Biarkan mengalir. Kita tinggal selangkah lagi.”Altaf mengangguk kecil, tetapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Ada banyak hal yang berputar di kepalanya dan satu nama lain hampir saja lolos begitu saja dari bibirnya jika ia tidak menghentikan kalimatnya.“Fokus,” timpal Raksa sedikit keras, penuh penekanan. “Minum dulu,” ucap Cinta menyerahkan botol air mineral pada Altaf, sambil meremas erat bahu pria itu. Begitu mendengar kalimat Altaf terhenti saat hendak menyebut nama, di situlah Cinta bangkit dan bergegas mengambil air mineral. Kakaknya itu perlu disadarkan dengan “sentilan” kecil, agar kembali ke jalan yang semestinya. “Aku tau, kamu pasti bisa,” tambah Cinta menunggu Altaf meminum air mineralnya. Set

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status