Share

144~BC

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-15 22:34:28

“Cia!”

Sudah berkali-kali Altaf menekan bel dan mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawaban. Ia melirik jam di pergelangan tangan, lalu menghela napas pendek.

Altaf mengetuk sekali lagi, lebih pelan. Berharap pintu di depannya akan terbuka dengan sendirinya. Namun, yang menyambutnya tetap keheningan.

“Mas! Gimana?” tanya Ranu ngos-ngosan setelah berlari kecil dari lift. “Aku sudah telpon resepsionis, bentar lagi ada yang datang.”

Altaf menggeleng. “Belum dibuka.”

“Aku takut–” Ranu menutup cepat mulutnya dengan kedua tangan, ketika menyadari ada Farhan di antara mereka. Tatapannya lantas tertuju pada Altaf dengan menggeleng samar.

Altaf menghela panjang dan menatap Farhan. Rasa khawatir terhadap adiknya yang paling kecil itu semakin menjadi-jadi. Bagaimana jika Farhan melihat apa yang seharusnya tidak dilihatnya di dalam sana?

“Aku juga telpon Cinta,” ucap Ranu sedikit menggeser topik obrolan. “Dia bil– itu masnya!” Ranu menunjuk seorang pria yang berjalan tergesa ke arah mereka.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (28)
goodnovel comment avatar
Iwan Susy 13
blm up beb
goodnovel comment avatar
Nafeera
Yg dibutuhkan altaf istri sprti dinda dan bu ira sbg mertua
goodnovel comment avatar
Liz Kusnandar
Ibu suri nanti bakal misuh" gak ya.. gegara Ranu batal bulan madu...?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bias Cinta   145~BC

    “Belum juga genap sehari nikah, tapi langsung dikasih cobaan.” Naifa hanya geleng-geleng sambil membereskan barang-barangnya di kamar hotel “Kalau sudah begini, Mama bisa apa? Padahal, Mama itu cuma mau menikmati masa tua dengan tenang. Nggak pake drama-drama begini.”Ranu menatap Raksa yang duduk bersandar di sofa. Kakaknya itu seolah sudah enggan membalas Naifa yang menggerutu sejak tadi. Raksa memilih diam, karena tidak ingin omelan ibu mereka semakin panjang.“Kemarin sudah Mama kasih waktu untuk berpikir ulang,” lanjut Naifa, “tapi kamunya masih ngotot mau nikah sama Altaf. Sekarang Mama cuma bisa doa, supaya nggak ada drama lagi habis ini dan kamu bisa hidup bahagia. Keinginannya Mama itu sebenarnya simpel, loh, Ran. Tapi kamunya aja yang nggak bisa ngerti.”“Sudah, Ma?” tanya Raksa setelah melihat Naifa menutup kopernya. “Ck! Sudah.”Raksa beranjak menghampiri. Berjongkok, lalu menarik resleting koper tersebut. “Pulang sekarang?” tanya Raksa memastikan lebih dulu. Naifa memb

  • Bias Cinta   144~BC

    “Cia!” Sudah berkali-kali Altaf menekan bel dan mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawaban. Ia melirik jam di pergelangan tangan, lalu menghela napas pendek.Altaf mengetuk sekali lagi, lebih pelan. Berharap pintu di depannya akan terbuka dengan sendirinya. Namun, yang menyambutnya tetap keheningan.“Mas! Gimana?” tanya Ranu ngos-ngosan setelah berlari kecil dari lift. “Aku sudah telpon resepsionis, bentar lagi ada yang datang.”Altaf menggeleng. “Belum dibuka.”“Aku takut–” Ranu menutup cepat mulutnya dengan kedua tangan, ketika menyadari ada Farhan di antara mereka. Tatapannya lantas tertuju pada Altaf dengan menggeleng samar. Altaf menghela panjang dan menatap Farhan. Rasa khawatir terhadap adiknya yang paling kecil itu semakin menjadi-jadi. Bagaimana jika Farhan melihat apa yang seharusnya tidak dilihatnya di dalam sana?“Aku juga telpon Cinta,” ucap Ranu sedikit menggeser topik obrolan. “Dia bil– itu masnya!” Ranu menunjuk seorang pria yang berjalan tergesa ke arah mereka.

  • Bias Cinta   143~BC

    “Ibu!” Dinda tersentak. Menyentuh dada dengan kedua tangan saat melihat Ira berdiri di samping jendela ketika ia baru saja masuk. “Ibu ngapain berdiri di sini? Ngintip, ya?”“Mau nyapu,” jawab Ira mengangkat pelan sapu yang masih dipegangnya, lalu menunjuk debu di lantai yang ia pinggirkan ke sisi dinding. “Ngapain tadi si pak Duda?”“Tuh, kan, ngintip.” “Ibu nggak ngintip, Ibu lihat langsung.”“Kalau nggak ngintip, ngapain berdiri di sini? Nggak keluar?”“Pertanyaan Ibu belum dijawab.” Ira buru-buru kembali ke topik pembicaraan. Matanya memicing, untuk menginterogasi putrinya. “Ibu itu sudah curiga dari semalam. Mau tanya, tapi lupa karena keburu bahas masalah cicilan sama Cinta.”Dinda mengerut dahi. “Ngapain pake curiga?”“Pak Duda lagi nyari istri.”“Terus, apa hubungannya sama aku?”“Nggak usah pura-pura nggak tau.” Ira kembali menyapu lantai. Menggeser posisi Dinda yang masih berada di bibir pintu. “Dia itu lagi mancing, kalau umpannya kamu makan, siap-siap aja dijadiin istri s

  • Bias Cinta   142~BC

    Pagi itu, baik Altaf maupun Ranu masih terjebak dalam kecanggungan. Meski Altaf sudah meminta maaf dan mereka berdua berusaha menutup hari tanpa suara tinggi, tetapi tetap saja ada jarak yang tidak bisa hilang begitu saja. Mereka memang tidur di ranjang yang sama, tetapi saling membelakangi sambil menahan pikiran masing-masing agar tidak pecah.Ranu bangun lebih dulu. Ia duduk bersandar di kepala ranjang untuk beberapa saat, mencoba mengatur napas sebelum akhirnya turun dari tempat tidur. Di sisi lain, Altaf hanya memejamkan mata. Pura-pura masih terlelap, padahal ia sangat sadar dengan semua gerakan Ranu yang pergi menuju kamar mandi.Setelah resepsi yang harusnya menandai permulaan yang indah, pagi pertama mereka sebagai pasangan yang sah justru dipenuhi sunyi yang sulit ditembus. Keduanya sama-sama ingin memperbaiki keadaan, tetapi tidak ada yang tahu harus mulai dari mana. ~~~~~~~~~~~ “Ih, Ibu, kayak sama siapa aja,” ujar Cinta saat bicara di telepon dengan Ira. Wanita itu memi

  • Bias Cinta   141~BC

    “Di sebelah kanan itu, rumah saya.” Felix menunjuk rumah dua tingkat yang berseberangan dengan lajur jalan mereka. Lampu terasnya menyala hangat, membuat rumah itu tampak ramah disinggahi. “Silakan kalau mau mampir, rumah saya terbuka untuk siapa aja.”Dinda mengangguk sopan, sementara Ira tersenyum kecil dari kursi belakang sambil menatap rumah tersebut. Sejak meninggalkan hotel, suasana di dalam mobil tidak pernah benar-benar hening. Baik Felix maupun Dinda, selalu punya cara memecah kecanggungan. Entah lewat gurauan receh atau cerita spontan tentang kegiatan mereka.“Macam penampungan gitu, Pak?” ucap Dinda meringis lebar, “terbuka buat siapa aja.”Felix terkekeh. “Kalau kamu mau ditampung, boleh.”“Ahhh …” Dinda kembali tertawa untuk ke sekian kalinya. Jika hanya melihat sekilas, Felix mungkin tampak apatis, dingin, serius, dan sulit ditebak. Namun setelah mengenal dan bicara dengannya, pria itu ternyata cukup ramah dan hangat. Cara bicaranya santai, gurauannya tidak berlebihan,

  • Bias Cinta   140~BC

    “Kalian satu kantor, kan?” tanya Alma menunjuk Raksa dan Dinda bergantian. Setelah bersalaman dengan Ira dan Dinda yang menghampiri, Alma pun mengingat akan hal tersebut. “Iya, Tante,” jawab Dinda sambil tersenyum dan mengangguk kecil pada Raksa. Ia dan ibunya baru saja menyalami pria itu, sekaligus berkenalan dengan Naifa yang duduk bersama Alma dan Danuar di meja yang sama. “Bang Raksa ini atasan saya.”“Kami rekan kerja,” ujar Raksa memperhalus ucapan Dinda. Malam ini, gadis itu semakin membuatnya terpesona karena tampil feminin. Sangat berbeda dengan hari-harinya ketika berada di kantor. “Bisa, nih,” canda Alma lalu terkekeh menatap Ira, “sama-sama single kan?”“Kalau bisa, sudah dari dulu saya nikahin, Bu,” seloroh Raksa, mengangkat satu tangan dan membuat tanda V dengan kedua jari. Ia tidak akan meralat ucapannya, karena seperti itulah kenyataannya. “Jadi, nggak bisa ceritanya, Din?” Alma kembali menggoda gadis itu. “Saya fokus karir dulu, Tan,” jawab Dinda meringis lebar,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status