LOGIN“Bu, daftar undangan orang sini udah lengkap, ya?” tanya Dinda memastikan sekali lagi, sebelum pergi ke kantor. “Sudah,” jawab Ira sambil menjahit kancing seragam kantor pesanan orang, “Ibu juga sudah minta tolong pak RT buat wakilin keluarga kita. Sudah ajuin cuti?”“Hari ini.” Dinda keluar kamar, menghampiri Ira yang duduk melantai di samping pintu. “Jangan terima jahitan lagi habis ini. Soalnya aku sama mas Felix mau titip Noah waktu pergi bulan madu nanti.”Dinda meringis lebar, karena membahas perihal bulan madu di depan ibunya. “Jadi pergi ke mana?” tanya Ira terkekeh melihat wajah Dinda. Ia juga tidak keberatan, jika harus mengawasi Noah untuk sementara waktu. Lagi pula, calon cucunya itu juga tampak sopan dan ramai seperti Dinda.“Ke Thailand, tapi berangkat senin biar hari minggu bisa istirahat dulu. Ngumpul keluarga.”“Terus ini, beneran acaranya berubah?” tanya Ira kembali mempertanyakan perubahan acara yang pernikahan putrinya yang tiba-tiba.“Iya, biar capeknya sekalian
“Nggak dihabiskan?” tanya Altaf melihat makanan di piring Ranu yang kembali tersisa.Sebenarnya, bukan hanya Ranu yang kehilangan selera. Altaf pun merasakan hal yang sama. Mau di Bali ataupun Jakarta, rupanya tidak memberi perubahan berarti pada hubungan mereka. Jarak itu masih ada. Diam, dingin, dan tak kasatmata, tetapi jelas terasa.Sepertinya, malam ini pun mereka akan kembali tidur dengan keadaan seperti sebelumnya. Tanpa kehangatan, meski berada di ranjang yang sama.“Sudah kenyang,” jawab Ranu pelan sambil menatap hamparan pantai dari balkon kamar hotel.Altaf mengangguk singkat. Tidak memaksa, tidak juga menimpali. Ia hanya ikut memandang keluar, pada laut yang terlihat tenang. Berbanding terbalik dengan perasaannya sendiri.“Capek?” tanya Altaf akhirnya, berusaha memecah sunyi.Ranu menghela napas. “Sedikit.”“Mau keluar sebentar?”“Nggak dulu,” jawab Ranu tanpa menoleh, “aku mau di sini aja.”Altaf segera meraih ponsel di atas meja yang baru saja berdenting. Ia menarik napa
“Tante Alma ke mana?” tanya Dinda sebelum membicarakan hal lain pada Cinta.“Ada undangan,” jawab Cinta sambil menyuapi putrinya di tepi kolam renang, “harusnya kamu nelpon dulu kalau mau ketemu mama.”Dinda meringis. “Nggak ketemu juga nggak papa sebenarnya. Aku cuma mau ngabari kamu duluan.” Dinda yang duduk di kursi santai bersama Cinta itu, segera mencondongkan tubuh. Berbisik di telinga Cinta, padahal ia bisa saja bicara seperti biasa. “Aku mau nikah, akhir bulan ini.”Mulut Cinta langsung terbuka lebar. Menoleh perlahan pada Dinda. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam dan mengerjap. Mencerna perlahan ucapan sahabatnya itu sambil menatap wajah semringahnya.“Nikah … akhir … bulan?” tanya Cinta dengan perlahan dan belum bisa percaya sepenuhnya. Dinda mengangguk-angguk. Senyumnya lebar tidak terkira. “Sama mas Duda!”“Sama … mas … duda?” Cinta memiringkan kepala. Begitu sadar, ia pun berteriak. Meletakkan mangkuk bubur Cibi di sampingnya, lalu memeluk Dinda dengan erat. “Astaga!
“Kalau ada apa-apa, langsung hubungi kami,” pesan Ranu pada suster yang bertugas menjaga Ciara. “Baik, Bu,” jawab evin sembari mengangguk.Ranu tersenyum kecil lalu melihat Altaf yang baru keluar dari kamarnya. Jika bukan untuk berpura-pura bahagia di depan Naifa, ia pasti tidak mau menjadwal ulang bulan madu mereka. “Cia di kamar,” ucap Ranu, “pamitan dulu, habis itu kita pergi.”Altaf mengangguk. Kembali berbalik menuju kamar Ciara. Ia mengetuk pintunya sebentar, lalu sang adik membukanya tidak lama kemudian. “Aku pergi dulu,” pamit Altaf menatap tegas, “jangan lupa pesanku kemarin dan jangan aneh-aneh!”“Kami pergi dulu, ya.” Ranu menyusul di belakang Altaf. “Baik-baik sama Evin dan mbak suster lainnya. Keluarlah buat nge-gym, joging, atau ke supermarket sama Evin. Jangan terus-terusan ada di sini.”“Hm!” jawab Ciara hanya menggumam dan menatap datar pada Ranu. “Baik-baik sama suster,” pesan Altaf kemudian berpamitan dan pergi dari unitnya bersama Ranu.Sebenarnya, hubungan mer
“Sudah selesai, ngerumpinya?” Bias memutar bola matanya, ketika Cinta baru kembali dari balkon. Sejak tadi, Bias hanya mendengar suara tawa istrinya yang tengah mengobrol dengan Dinda di telepon. Sementara dirinya, berada di kamar bersama Cibi. “Sudah.” Cinta meringis lalu ikut bergabung bersama Bias di tempat tidur Cibi, setelah meletakkan ponselnya di nakas. “Kalian lagi gibahin pak Felix, kan!” ujar Bias sambil mengetuk-ngetuk boneka jari di hidung putrinya yang berdiri di pangkuan, “ckckck!”Cinta terkikik. “Kita tunggu undangan aja bentar lagi.”“Seriusan pak Felix sama Dinda?” tanya Bias belum bisa percaya sepenuhnya. “Kenapa memangnya?” Cinta mengambil putrinya ke pangkuan. Namun, Cibi kembali merangkak pergi mendekati Bias. “Nggak masalah, kan?”“Ya, yaaa, nggak papa juga,” balas Bias tidak menemukan sesuatu yang salah dengan hubungan tersebut. Perihal usia, itu juga bukan kendala yang berarti. Felix juga masih terlihat muda di usianya dan terlihat cocok-cocok saja bersand
Altaf menutup pintu ruang rawat Ciara dari luar, membiarkan adiknya sarapan dengan tenang di kamarnya. Kemudian, ia beranjak duduk di sebelah Ranu yang sudah menunggunya di kursi panjang. Belum ada kemajuan berarti dalam hubungan mereka, tetapi keduanya sepakat untuk tetap menjaga kesan baik-baik saja di mata orang lain.“Di mana Ciara tinggal setelah keluar dari rumah sakit?” tanya Ranu lebih dulu bersuara. Namun, tatapannya lurus ke depan tanpa melihat Altaf.“Untuk sementara, aku berencana sewa perawat untuk ngawasin dia di apartemen,” jawab Altaf menatap Ranu dengan sesak yang semakin menghimpit dada, “karena dia juga harus ke psikiater, jadi, aku rasa harus ada tenaga profesional yang ada di sampingnya.”Ranu menghela pelan dan panjang. Ada sedikit rasa lega karena masalah Ciara sudah ada jalan keluarnya.“Bagaimana dengan Farhan?” tanya Ranu lagi.“Dia tetap tinggal sama Cia.”Lagi, Ranu membuang napas dengan ritme yang sama. Namun, kali ini ia tidak memberi komentar apa pun.







