“Sebenarnya, pernikahan bapak sama ibunya Mbak Cinta itu nggak pernah disetujui sama Pak Jati,” tutur Esi menjelaskan beberapa hal yang masih diingatnya. “Bu Ranti itu sudah dijodohin sama … pokoknya ada. Anak temannya Pak Jati. Tapi, bu Ranti tetap milih pak Kiano.”“Kenapa opa nggak setuju mama nikah sama papa?” tanya Altaf.“Karena pak Kiano cuma karyawan biasa di Graha Jati, Mas,” jawa Esi. “Nggak level. Itu kata Bapak kalau sudah marah-marah sama bu Ranti. Tapi namanya sudah jodoh, pak Jati sudah nggak bisa apa-apa. Sudah pasrah.”Cinta mengangguk-angguk. Ia tidak pernah menduga, jika masa lalu orang tuanya ternyata penuh liku. Selama ini, yang ia tahu, kedua orang tuanya hanya berbeda latar belakang keluarga, tetapi tidak sampai mendapat penolakan seperti itu.“Bagaimana dengan Briana, Bu?” tanya Cinta tidak sabar mendengar bagian tersebut. “Apa mama saya sama Briana itu temen dekat?”“Mereka memang deket,” jawab Esi mengangguk. “Briana sering main ke rumah. Pokoknya mereka itu
“Siang, Bu Briana,” sapa Dinda formal dan ramah, tetapi tetap santai. “Saya Dinda Kanaya, dari–”“Saya nggak terima wawancara apa pun,” tolak Briana memotong ucapan gadis yang memakai kemeja putih dan celana hitam. Mirip penampilan seorang karyawan magang. Dari name tag yang tergantung di lehernya, Briana dapat membaca dari perusahaan mana gadis itu berasal, “jadi pergi dari sini.”“Saya nggak bisa pergi, kalau belum dapat bahan, Bu,” balas Dinda beralasan.Dinda yakin, Briana sama sekali tidak mengingatnya. Ia memang pernah pergi ke kediaman Naratama, tetapi hanya sekali saja berpapasan dengan wanita itu. Itu pun, Briana sama sekali tidak menghiraukannya.“Jadi, saya bakal ada di samping Ibu, sampe saya dapat bahan. Kalau nggak dapat hari ini, besok juga nggak papa,” lanjut Dinda tetap memasang senyum ramah, “ini bukan seperti wawancara, cuma … seperti ngobrol biasa. Kalau Ibu nggak berkenan jawab, juga nggak papa.”“Siapa yang nyuruh kamu?” Briana tersenyum miring, “Cinta?”“Bos say
“Ngapain bumil sampe repot-repot datang ke sini?” celetuk Dinda begitu duduk di sebelah Cinta di kursi lobi. “Kan, sudah kubilang, kita ngobrol di telpon aja.”“Kangen lihat SM,” ucap Cinta sambil menggandeng lengan Dinda, “yok ke kafe atas bentar, mas Bias bentar lagi jemput. Masih di jalan dia.”“Hmm …” Dinda mencebik cukup lama, “kangen aku, apa kangen abang.”Cinta terkekeh pelan. “Nggak boleh lagi kangen sama abang, herdernya cemburuan.”Dinda tertawa lepas. Tidak pernah terbayang olehnya, hubungan Cinta dan Bias bisa sampai sejauh ini.Dulu, mereka bahkan tidak saling suka, apalagi cinta. Setiap hari, ada saja yang mereka ributkan. Namun, semua berubah. Dari pertengkaran yang tidak ada habisnya, perlahan tumbuh perasaan yang tidak bisa mereka sangkal.Akan tetapi, Dinda ikut bahagia ketika sahabatnya itu akhirnya bisa mendapatkan kasih sayang sebanyak ini. Karena ia tahu benar, bagaimana Cinta menjalani hidupnya setelah kehadiran Briana dan Ciara.“Ini aja aku disindir terus kar
“Permisiii, Bu Cinta.” Dinda tersenyum lebar setelah seorang wanita membukakan pintu untuknya. Ia berdiri di ambang pintu dan berterima kasih pada wanita yang telah mengantarkannya.Cinta tertawa lepas. Beranjak dari kursi kerjanya untuk menyambut kedatangan sahabatnya ke kantor.“Silakan masuk Bu Dinda,” ucap Cinta menggandeng lengan gadis itu lalu membawa masuk. Tidak lupa, Cinta menutup pintu ruangan yang kini telah jadi miliknya sepenuhnya. Altaf sudah pindah ke ruangan Kiano, jadi ia bisa bebas menerima tamu di ruangannya sendiri.“Enak, ya, sudah punya ruangan sendiri sekarang.” Tatapan Dinda menyapu seluruh ruang yang dekorasinya masih terkesan maskulin. “Dekorasinya nggak diganti.”“Aku lagi mager,” ucap Cinta yang duduk lebih dulu di sofa panjang. Membiarkan Dinda melihat-lihat ruangan kerjanya, “lagian bentar lagi juga kutinggal cuti.”“Eia, ngapain minta aku datang ke sini?” tanya Dinda kemudian duduk di kursi kerja Cinta. Mencoba merasakan bagaimana berada di posisi sahaba
“Ada yang mau aku bicarakan,” ujar Altaf sudah duduk lebih dulu di teras samping rumah dengan segelas kopi, “banyak sebenarnya. Tapi, kita bisa bicara semuanya pelan-pelan.”Melihat wajah Altaf yang serius, Kiano lantas mendesah pelan. Lagak-lagaknya, putranya akan membahas banyak hal yang akan membuatnya sakit kepala.“Apa lagi yang mau kita bicarakan sekarang?” ujar Kiano duduk di samping Altaf. Sebuah meja kecil menjadi pembatas di antara keduanya, menciptakan sedikit jarak.“Aku ada rencana nikah sama Ranu akhir bulan depan,” ujar Altaf membuka pembicaraan dengan hal yang lebih ringan, “intimate wedding. Jadi, cuma undang orang terdekat.”Kiano mengangguk, sedikit lega mendengar hal tersebut. “Papa serahkan semua sama kamu dan Papa setuju-setuju aja.”“Oke, kalau begitu minggu depan kita makan malam dengan keluarga Ranu sekaligus nentuin tanggal.”Kiano kembali mengangguk. “Apa mau digelar di tempat Bias sama Cinta kemarin?”“Untuk tempat, aku serahkan sama Ranu,” ujar Altaf, “dan
“Album foto?” tanya Altaf heran, saat menerima tumpukan album yang warna sampulnya sudah pudar dari tangan Cinta. Sudut-sudutnya sudah terkelupas, menandakan usia benda tersebut yang tidak lagi muda.Altaf terdiam sesaat. Ketiga album di hadapannya tampak begitu familiar. Dulu, ia sering melihat album-album itu berjajar rapi di rak buku di ruang kerja papanya, tetapi tidak pernah membukanya.Namun seiring waktu, Altaf tidak lagi memperhatikan ke mana perginya benda-benda tersebut. Sampai hari ini datang, ketika Cinta tiba-tiba membawanya di tengah makan malam mereka.“Kenapa–”“Bentar,” sela Cinta cepat, lalu membuka album foto yang paling atas. Mencari foto yang dimaksud, kemudian menunjuknya, “lihat ini,” ucapnya berlanjut pada album yang kedua dan ketiga. Cinta melakukan hal yang sama secara bergantian. Ia memperlihatkan sosok wanita yang ada di beberapa foto di dalam sana.“Ini …” Altaf menatap Cinta yang berdiri di sebelahnya.Bias buru-buru mengambil sebuah kursi, meletakkannya