“Aku deg-degan,” ucap Cinta sambil menyentuh dadanya sendiri. “Yang aku bingung, kalau memang bu Desty itu sahabatnya almarhum mama, kenapa aku nggak pernah tau? Aku nggak pernah lihat mama ketemua sama bu Desty.”Saat ini Cinta dan Bias sudah berada di Bali dan kembali menginap di resor milik keluarga Wahyu. Mereka berangkat kemarin malam dengan pesawat terakhir, setelah mendapat izin dari Alma, serta mengantongi surat dari dokter kandungan. “Nanti, kamu langsung tanya aja sama bu Desty,” ujar Bias sambil menyantap pudingnya setelah selesai sarapan, “bentar lagi juga datang, sama mas Wahyu.”Cinta membuang napas panjang melalui mulutnya sambil mengusap perut. Mencoba untuk tenang dan tidak tegang. Pikirannya semakin tidak karuan, setelah mendapat laporan dari Dinda tentang pembicaraannya dengan Briana. Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga Briana kekeh menutup mulutnya. Terlebih ketika Dinda curiga, semua itu ada hubungannya dengan Ciara.“Itu … Pak Wahyu datang dengan ibunya.” Cin
“Mama sama papa ada undangan,” ujar Bias saat Altaf mempertanyakan kedua orang tuanya. “Nggak tau pulang jam berapa. Pokoknya malam. Mereka lanjut kencan kali.”Altaf terkekeh sebentar. Selain hendak mengambil mobil, kedatangan Altaf ke kediaman Manggala juga karena ingin bertemu dengan Danuar. Ada hal yang ingin ditanyakannya, setelah melanjutkan obrolan dengan Esi siang tadi.“Cinta nggak tau aku ke sini, kan?” tanya Altaf memastikan sekali lagi.Sebelumnya, Altaf menghubungi Bias lebih dulu dan ingin memastikan bahwa Cinta sedang beristirahat.“Aku suruh tidur cepat,” jawab Bias. Ia juga sudah meminta Denok dan yang lainnya untuk tutup mulut. Tidak ada yang boleh memberitahu Cinta, jika Altaf bertamu ke rumah. “Besok rencana mau ke rumah sakit, karena Cinta dari tadi gelisah. Aku khawatir yang di perut ikutan stres.”Altaf mengangguk kecil. Sangat menyayangkan semua terungkap ketika kondisi adiknya sedang berbadan dua.“Kalau gitu aku pulang,” pamit Altaf bangkit dari kursi teras,
“Sebenarnya, pernikahan bapak sama ibunya Mbak Cinta itu nggak pernah disetujui sama Pak Jati,” tutur Esi menjelaskan beberapa hal yang masih diingatnya. “Bu Ranti itu sudah dijodohin sama … pokoknya ada. Anak temannya Pak Jati. Tapi, bu Ranti tetap milih pak Kiano.”“Kenapa opa nggak setuju mama nikah sama papa?” tanya Altaf.“Karena pak Kiano cuma karyawan biasa di Graha Jati, Mas,” jawa Esi. “Nggak level. Itu kata Bapak kalau sudah marah-marah sama bu Ranti. Tapi namanya sudah jodoh, pak Jati sudah nggak bisa apa-apa. Sudah pasrah.”Cinta mengangguk-angguk. Ia tidak pernah menduga, jika masa lalu orang tuanya ternyata penuh liku. Selama ini, yang ia tahu, kedua orang tuanya hanya berbeda latar belakang keluarga, tetapi tidak sampai mendapat penolakan seperti itu.“Bagaimana dengan Briana, Bu?” tanya Cinta tidak sabar mendengar bagian tersebut. “Apa mama saya sama Briana itu temen dekat?”“Mereka memang deket,” jawab Esi mengangguk. “Briana sering main ke rumah. Pokoknya mereka itu
“Siang, Bu Briana,” sapa Dinda formal dan ramah, tetapi tetap santai. “Saya Dinda Kanaya, dari–”“Saya nggak terima wawancara apa pun,” tolak Briana memotong ucapan gadis yang memakai kemeja putih dan celana hitam. Mirip penampilan seorang karyawan magang. Dari name tag yang tergantung di lehernya, Briana dapat membaca dari perusahaan mana gadis itu berasal, “jadi pergi dari sini.”“Saya nggak bisa pergi, kalau belum dapat bahan, Bu,” balas Dinda beralasan.Dinda yakin, Briana sama sekali tidak mengingatnya. Ia memang pernah pergi ke kediaman Naratama, tetapi hanya sekali saja berpapasan dengan wanita itu. Itu pun, Briana sama sekali tidak menghiraukannya.“Jadi, saya bakal ada di samping Ibu, sampe saya dapat bahan. Kalau nggak dapat hari ini, besok juga nggak papa,” lanjut Dinda tetap memasang senyum ramah, “ini bukan seperti wawancara, cuma … seperti ngobrol biasa. Kalau Ibu nggak berkenan jawab, juga nggak papa.”“Siapa yang nyuruh kamu?” Briana tersenyum miring, “Cinta?”“Bos say
“Ngapain bumil sampe repot-repot datang ke sini?” celetuk Dinda begitu duduk di sebelah Cinta di kursi lobi. “Kan, sudah kubilang, kita ngobrol di telpon aja.”“Kangen lihat SM,” ucap Cinta sambil menggandeng lengan Dinda, “yok ke kafe atas bentar, mas Bias bentar lagi jemput. Masih di jalan dia.”“Hmm …” Dinda mencebik cukup lama, “kangen aku, apa kangen abang.”Cinta terkekeh pelan. “Nggak boleh lagi kangen sama abang, herdernya cemburuan.”Dinda tertawa lepas. Tidak pernah terbayang olehnya, hubungan Cinta dan Bias bisa sampai sejauh ini.Dulu, mereka bahkan tidak saling suka, apalagi cinta. Setiap hari, ada saja yang mereka ributkan. Namun, semua berubah. Dari pertengkaran yang tidak ada habisnya, perlahan tumbuh perasaan yang tidak bisa mereka sangkal.Akan tetapi, Dinda ikut bahagia ketika sahabatnya itu akhirnya bisa mendapatkan kasih sayang sebanyak ini. Karena ia tahu benar, bagaimana Cinta menjalani hidupnya setelah kehadiran Briana dan Ciara.“Ini aja aku disindir terus kar
“Permisiii, Bu Cinta.” Dinda tersenyum lebar setelah seorang wanita membukakan pintu untuknya. Ia berdiri di ambang pintu dan berterima kasih pada wanita yang telah mengantarkannya.Cinta tertawa lepas. Beranjak dari kursi kerjanya untuk menyambut kedatangan sahabatnya ke kantor.“Silakan masuk Bu Dinda,” ucap Cinta menggandeng lengan gadis itu lalu membawa masuk. Tidak lupa, Cinta menutup pintu ruangan yang kini telah jadi miliknya sepenuhnya. Altaf sudah pindah ke ruangan Kiano, jadi ia bisa bebas menerima tamu di ruangannya sendiri.“Enak, ya, sudah punya ruangan sendiri sekarang.” Tatapan Dinda menyapu seluruh ruang yang dekorasinya masih terkesan maskulin. “Dekorasinya nggak diganti.”“Aku lagi mager,” ucap Cinta yang duduk lebih dulu di sofa panjang. Membiarkan Dinda melihat-lihat ruangan kerjanya, “lagian bentar lagi juga kutinggal cuti.”“Eia, ngapain minta aku datang ke sini?” tanya Dinda kemudian duduk di kursi kerja Cinta. Mencoba merasakan bagaimana berada di posisi sahaba