Malam sudah semakin larut, tetapi lelaki ini tak kunjung memejamkan matanya. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur dengan maksud mengubah posisi tidurnya agar cepat terlelap. Namun, tetap saja semua terasa sia-sia.
Hingga detik ini, ia tak kunjung memejamkan matanya. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar, seakan bermaksud meluapkan seluruh perasaan yang mengganjal di hatinya sejak tadi. Sebenarnya, apa yang ada di pikirannya saat ini?
Entahlah, terlalu banyak sampai ia tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya.
*****
Keseharian Bian tidak pernah berubah sejak dulu, setiap pagi dia harus menjemput Misell untuk berangkat ke sekolah bersama. Bukan masalah besar bagi Bian jika harus menjemput Misell. Karena, rumahnya hanya berbeda blok di perumahan yang sama. Walaupun masalah kemarin masih mengganggu pikirannya, dia tetap harus bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Bian berpikir, mungkin Misell membohonginya karena suatu alasan.
Saat Bian sudah tiba di depan rumah Misell, ia membunyikan klaksonnya. Menandakan bahwa dia sudah ada di depan rumah Misell. Perempuan yang menjadi pemilik rumah itu, keluar dengan ekspresi yang penuh semangat. Perempuan yang memiliki rambut sebahu itu, adalah sahabat yang sering menyusahkannya, tapi Bian tak pernah ada niatan sedikit pun untuk meninggalkannya.
"Good Morning, Biantara Adhi Bachtiar!"
"Good Morning, Misellia Alya Faticha!" Bian membalas sapaan Misell dengan senyum teduhnya yang selalu membuat Misell merasa tenang saat melihatnya.
Misell segera menaiki sepeda motor dan memeluk tubuh Bian, bermaksud berpegangan agar tidak jatuh nantinya. Hal ini sudah sering dia lakukan, sehingga terasa biasa saja tanpa ada rasa canggung atau yang lainnya.
Bian segera melajukan motornya menuju ke sekolah, karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Dalam perjalanan, tidak ada perkataan apa pun antara kedua orang ini. Namun, tiba-tiba suara Misell memecah keheningan. "Bi, maafin Misell, ya?"
Bian tersentak mendengar ucapan Misell. Misell seolah memahami apa yang saat ini dirasakan oleh Bian. Perlahan, tangan kiri Bian yang semula ada pada setir sepeda motor, kini beralih menggenggam erat tangan Misell yang saat ini masih memeluknya. Walaupun Bian tidak mengatakan apa pun, Misell paham bahwa Bian bermaksud mengatakan semuanya baik-baik saja.
Misell semakin mengeratkan pegangannya pada tubuh Bian. Ingin rasanya ia mengutarakan apa yang saat ini ia rasakan. Namun apa daya, keduanya hanya saling diam. Rasanya, mereka sudah jatuh terlalu dalam pada hubungan persahabatan yang semakin rumit ini. Begitu pula Bian, rasanya segala pertanyaannya semalam sudah terjawab dan kini membuatnya merasa lega.
*****
Setibanya di sekolah, mereka berjalan beriringan menuju ke kelas masing-masing. Namun, saat di koridor, Bian dan Misell berpapasan dengan Bu Indah yang sedang berjalan sembari membawa tas tangan merahnya.
"Selamat Pagi, Bu Indah," sapa Bian dan Misell hamper bersamaan, tetapi Misell yang terlihat lebih ceria.
"Selamat Pagi, Misell, Bian! Kalian ini ke mana-mana selalu berdua, saya sampai hafal. Jadi inget masa muda dulu," balas Bu Indah sembari terkekeh pelan.
Mendengar ucapan itu, Misell membalasnya dengan ikut tertawa bersama, sedangkan Bian, menunjukkan respon yang sangat berbeda. Bian hanya terdiam, karena heran yang dilihatnya ini apakah benar Bu Indah yang terkenal killer di SMA Pelita ataukah kembarannya?
Bagaimana bisa seorang guru killer yang ditakuti para murid, bisa tertawa semudah ini?
Saat kepergian Bu Indah, Bian langsung menanyakan pertanyaan pada Misell, yang sebenarnya tidak terlalu penting. "Sell, Bu Indah kamu apain sampai bisa kaya gitu sama kamu?"
Tawa gadis itu langsung pecah. “Emang aku pernah ngapain Bu Indah?" Misell bukannya menjawab, justru malah balik bertanya pada Bian.
"Ya aku, kan, nggak tahu, makanya nanya kamu."
"Nggak tahu, saking sayangnya Bu Indah sama aku, kali. Makanya nggak aku apa-apain, juga udah sebaik itu," kata Misell membanggakan dirinya.
"Iya, deh, selamat."
"Selamat?" tanya Misell yang kebingungan.
"Selamat, karena sudah berhasil membuatnya sayang."
"Siapa yang menyayangi aku?" tanya Misell sekali lagi.
"Siapa lagi kalau bukan Bu Indah."
"Oh, aku kira kamu, Bi," ucap Misell dengan santainya.
"Aku?" Bian memutar tubuhnya menghadap Misell dengan dahi yang sudah berkerut.
Misell terbahak melihat ekspresi Bian. “Bercanda, Bi.” Gadis itu masih mengulas senyum jailnya dan pergi meniggalkan Bian yang masih terpaku di tempat.
******
Suasana kelas saat ini masih riuh, karena Bu Erni, guru yang akan mengajar di jam pertama belum memasuki kelas. Misell lebih memilih bermain ponsel dan membuka instagram daripada dia harus ikut-ikutan ribut karena masih pagi.
Tiba-tiba, Salsa menggeser kursinya ke dekat kursi Misell. Ia menatap Misell lekat-lekat, seolah akan menginterogasi. Dan benar saja, Salsa langsung memburu Misell dengan beberapa pertanyaan. "Sell, lo udah sejauh apa sama Gerald? Gitu ya lo sekarang, punya gebetan baru nggak bilang-bilang," tanya Salsa secara tiba-tiba.
"Hah? Gebetan baru? Gerald? Nggak usah ngaco, deh!"
"Ngaku deh! Lo kemarin habis dianter pulang, kan, sama Gerald?" tanya Salsa tepat sasaran.
Misell langsung membelalakkan matanya kearah Salsa karena terkejut, bagaimana sahabatnya itu bisa tahu. "Kok lo tahu? Jangan-jangan berita ini juga udah nyebar?" tanya Misell dengan panik.
"Hahaha, panik banget, sih. Takut sama fans-fansnya Gerald?" tebak Salsa.
"Ya menurut lo aja deh, siapa coba yang nggak takut sama cewek-cewek alay-nya SMA Pelita," kata Misell bergidik ngeri. Saat kelas sepuluh, tidak jarang Misell terkena amukan mereka karena Bian juga merupakan salah satu most wanted di SMA Pelita. Namun, karena dia bersikap bodo amat, akhirnya mereka juga berhenti dengan sendirinya.
"Tenang aja, kayaknya cuma gue deh yang tahu," jawab Salsa kemudian.
Misell mengembuskan napasnya lega. "Terus, kenapa cuma lo doang yang tahu?"
"Jadi, kemarin Gerald telepon gue, katanya kalau misalkan ditanya sama Bian, lo pulang sama gue apa nggak, gue disuruh jawab, lo balik bareng gue," jelas Salsa panjang lebar.
Misell hanya terdiam sejenak.
"Katanya lo bohong ya sama Bian? Gerald bilang itu ke gue, karena dia pengen, lo nggak berantem sama Bian. Kelihatan dari suaranya, dia khawatir banget sama lo," kata Salsa menambahi perkataannya tadi.
"Iya, gue kemarin terpaksa bohong sama Bian, karena gue takut, Bian ngerasa nggak enak sama gue."
"Gerald orang yang baik, Sell. Lo yakin nggak mau ngebuka hati buat dia? Kayaknya, dia suka sama lo," tanya Salsa seraya menatap lekat wajah Misell.
"Gue cuma nggak pengen—"
Belum sempat Misell menyelesaikan ucapannya, Salsa langsung memotongnya, "Lo masih trauma gara-gara mantan lo yang waktu itu? Nggak semua cowok punya sifat yang sama, Sell. Nggak ada salahnya, lo coba buka hati buat Gerald."
Ucapan Salsa membuat Misell terdiam dan membuatnya bergelut dengan pikirannya sendiri. Bukan itu yang sebenarnya dia takutkan. Bukan karena mantannya yang dulu meninggalkannya secara tiba-tiba. Bukan. Dia hanya tak ingin menyakiti orang yang menyayanginya karena hatinya selalu menginginkan lelaki seperti Bian. Misell selalu berekspektasi bahwa semua lelaki yang menjadi pacarnya harus seperti Bian. Gadis itu hanya tidak mau membuang-buang waktu untuk menjalani hubungan yang palsu. Palsu karena dia tidak pernah benar-benar bahagia dan selalu melibatkan Bian ke dalam hubungannya.
*****
Waktu istirahat telah tiba. Seperti biasa, Salsa mengajak Misell pergi ke kantin untuk istirahat. "Sell, kantin, yuk!"
"Lo sendirian aja deh, gue mau ke belakang aja," jawab Misell dengan membawa earphone dan novel yang ia baca.
Belum sempat Salsa menjawab, Misell sudah pergi meninggalkan kelas. Salsa tidak akan mengikutinya, karena ia paham jika saat ini Misell ingin sendiri. Ia lalu memutuskan pergi ke kantin sendirian daripada harus berdiam diri di kelas.
Di sisi lain, tanpa Misell sadari, seorang lelaki mengetahui dirinya pergi menuju ke arah taman belakang sekolah. Lelaki itu bukannya langsung mengikuti Misell, tetapi ia berlari ke kantin untuk berniat membeli sesuatu terlebih dahulu.
*****
Saat ini, Misell sudah duduk di bangku taman dengan novel yang ada di tangannya. Earphone yang tadi ia bawa kini sudah menyumpal telinganya. Yang dia inginkan saat ini hanyalah ingin sendirian dan sejenak melepas masalah-masalah yang akhir-akhir ini ia hadapi.
Saat ia sedang asyik membaca novelnya yang baru saja ia baca satu halaman, tiba-tiba seseorang datang menghampirinya dan menyodorkan minuman kaleng dingin ke arahnya sambil tersenyum.
"Gerald? Lo ngapain ke sini?" tanya Misell setelah dia tahu siapa yang datang.
"Tadi gue lihat lo jalan ke arah taman belakang, jadi gue ke sini deh karena ada beberapa hal yang pengen gue omongin juga."
"Tentang project angkatan?"
"Iya, memangnya tentang apa lagi, Sell?" tanya Gerald sambil menampilkan senyumnya.
Misell hanya menjawabnya dengan gelengan kepala sekilas dan dilanjutkan dengan senyum.
"Jadi, ini ada beberapa rincian rencana kegiatan, mulai dari jobdesc per tim, sampai anggaran dana nya. Bisa lo baca-baca dulu, kalau bingung lo bisa tanyain ke gue, kapan pun lo mau," jelas Gerald panjang lebar sambil memperlihatkan beberapa lembar kertas ke Misell.
"Oke Ger, makasih ya. Nanti bakalan gue baca."
"Oke Sell, sama-sama," jawab Gerald.
"Oh iya makasih juga buat yang kemarin," kata Misell menambahkan.
"Kan kemarin lo juga udah bilang makasih pas gue nganterin lo."
"Bukan itu Ger, tapi makasih lo udah minta tolong ke Salsa soal kemarin," kata Misell ragu-ragu.
"Oh itu, hehe. Iya Sell sama-sama. Gue nggak enak sama lo soalnya."
"Hehe nggak apa-apa lagi. Santai aja," kata Misell pada Gerald.
Gerald tersenyum pada Misell. "Gue balik ke kelas dulu ya.” Tak sengaja kedua mata Gerald, menangkap kedatangan Bian yang sepertinya sedang berjalan menuju ke arah mereka berdua. Tatapan mereka saling bertemu.
Misell menganggukan kepalanya. "Sekali lagi, makasih ya, Ger."
Gerald mengangguk kemudian beranjak dari sana, menghidari supaya ia tidak bertemu dengan Bian. Bukannya Gerald membenci Bian, hanya saja ia tak ingin merasakan rasa sakit saat melihat Misell bersama Bian.
Sepeninggal Gerald, Misell tidak langsung kembali ke kelas. Ia membuka lembar kertas yang tadi diberikan oleh Gerald. Kepalanya menunduk membaca dan memahami setiap konsep yang tertulis di sana.
"Nih …."
Misell terkejut karena kedatangan Bian. Lelaki itu menyodorkan minuman dingin ke arah Misell. Namun, tiba-tiba tangannya terhenti saat melihat, sudah ada minuman kaleng dingin di samping Misell. "Oh, udah punya, ya? Ya udah deh nggak jadi, aku masukin lagi."
"Eh, eh, Bian! Nggak apa-apa, siniin aja buat persediaan,” jawab Misell cengengesan.
"Kok kamu tahu, aku di sini?" tanya Misell saat minuman tersebut sudah berada di tangannya.
"Apa, sih, Sell yang nggak aku tahu tentang kamu,” ujar Bian seraya terkekeh pelan.
"Bian! Serius dong," kata Misell dengan gemas.
"Tadi pas di kantin, aku lihat Salsa sendirian. Pas aku tanya, katanya kamu ada di sini. Ya udah, aku susulin. Eh, ternyata udah ada yang nyusulin duluan tadi," kata Bian dengan nada yang menyindir.
"Gerald, maksud kamu? Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Misell menggoda Bian.
"Aku cemburu sama kamu? Sell, cemburu hanya untuk orang-orang yang punya hubungan khusus."
"Jadi, kalau nggak punya hubungan khusus kaya kita, nggak boleh cemburu?
"Nggak boleh, emang kamu pernah cemburu sama aku?" Bukannya menjawab, Bian justru balik bertanya dengan mata teduh yang mulai menyorot mata gadis di depannya.
Dalam hati, Misell mengiyakan pertanyaan Bian. Ia pernah cemburu kepada Bian, saat Bian sedang wawancara dengan Tiara. "Nggak, lah! Nggak ada yang mau aku cemburuin. ‘Kan kamu nggak punya pacar,” elak Misell.
"Iya deh, yang gebetannya baru. Cepet jadian ya, biar kamu nggak nyusahin aku lagi," ucap Bian pada Misell.
"Bian! Nyebelin!" teriak Misell sambil memukul punggung Bian.
Perkataan Bian tadi, membuat Misell semakin yakin bahwa saat ini, dia sedang mengalami cinta sendiri. Bian tetap menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat. Apakah Misell harus menghapus perasaannya pada Bian dan membuka hatinya untuk Gerald?
*****
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahan😋Bian berdecak pelan, lalu memba