Share

LIMA

Bian saat ini sedang bersusah payah untuk fokus dengan materi. Kalimat teman-temannya di kantin tadi, sukses membuatnya memikirkan masalah itu, sampai-sampai tidak fokus ke pelajaran. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dari kelasnya, untuk menemui Misell dan pulang ke rumah. Sisa waktu pelajaran, hanya Bian gunakan untuk memandangi detik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.

KRINGGG!!!

Suara yang dinanti-nantikan, akhirnya berbunyi. Dengan secepat kilat, dia langsung membereskan buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan segera pergi ke luar kelas. Tama dan Arya hanya melongo kebingungan melihat tingkah Bian. Mereka berdua heran karena tidak biasanya Bian bersikap seperti ini.

Bian berlari menuju ruang di samping kelasnya yang bertuliskan 12 IPA-1 di pintu bagian atasnya. Setelah ia melihat kedalam, orang yang dicarinya masih berbicara dengan Bu Indah, guru Kimia SMA Pelita yang terkenal killer itu. "Ck, dasar! Masih aja suka cari muka sama bu Indah. Padahal seluruh sekolah ini juga udah tahu kalau dia murid kesayangannya.”

Setelah Bu Indah keluar meninggalkan kelas, Bian langsung masuk ke dalam kelas tanpa peduli siswa lain yang masih ada di kelas. Seluruh anak di IPA-1 sudah paham dan terbiasa dengan tingkah Bian yang suka nyelonong masuk untuk menemui Misell.

"Lama banget, sih! Masih sempet-sempetnya ngobrol sama Ibunda tercinta lagi!" omel Bian pada Misell.

Misell membelalakan matanya setelah mendengar perkataan Bian. "Hah? Apa kamu bilang? Ibunda tercinta? Bu Indah maksud kamu?"

Bian hanya mengedikkan bahunya kemudian menjawab pertanyaan Misell. "Hmm, ya gitu deh."

"Dasar nyebelin, nyebelin, nyebelin!" teriak Misell sambil memukuli Bian dengan buku paket Kimianya yang akan dia bereskan.

"Eh, eh, sakit Sell! Nyebelin gini tapi kamu sayang, ‘kan?"

Pertanyaan itu sontak membuat Misell terpaku di tempat tanpa mengatakan sepatah kata pun. Murid lain yang tidak sengaja mendengarnya juga hanya melongo ditempat, tidak berani berkata apa-apa untuk ikut campur masalah tersebut.

Bodoh, bodoh, bodoh! Ngapain sih Bian, lo pake ngungkit masalah itu lagi? Canggung lagi kan! kata Bian di dalam hati merutuki dirinya sendiri.

"NGACO! Kamu aja yang kecepetan ke sininya, biasanya juga molor dulu di kelas biar nggak sempit-sempitan di parkiran. Kenapa emang?" tanya Misell heran.

"Nggak apa-apa, aku lagi cape aja hari ini. Yuk pulang!"

Belum sempat Misell menjawab, Bian sudah menarik tangan Misell keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran. Saat baru beberapa langkah dari kelas, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Bian. "Kak Bian!"

Sontak Bian dan Misell menoleh ke arah sumber suara dan melepaskan gandengan tangannya.

"Halo, Kak Misell!" sapa Tiara.

"Eh, Hai Ra!" Misell membalas sapaan Tiara dengan senyum manisnya yang tidak pernah ketinggalan.

"Kamu kenal Tiara?" tanya Bian terlihat kaget.

"Ya kenal, lah, Bi. Aku, kan, dulu anak OSIS juga. Kebetulan waktu tes seleksi, aku yang ngetes Tiara."

Bian hanya mengangguk anggukan kepalanya menandakan bahwa ia paham. "Ada apa, Ra?" tanya Bian pada Tiara.

"Jadi gini Kak, karena deadline dari sekolah dimajuin, jadi secepatnya harus ngatur jadwal wawancara. Kalau sekarang, Kakak nggak bisa, ya?"

"Iya, sorry banget hari ini—" Belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba sudah dipotong oleh Misell.

"Bian bisa, kok, Ra! Ya, kan, Bi?" kata Misell melihat ke arah Bian, sebuah kode bahwa Bian harus meng-iya-kan perkataannya.

"Tapi, kan, aku harus pulang bareng kamu, Sell."

"Nggak usah khawatir Bi, aku nanti bisa bareng Salsa kok, dia tadi dipanggil pak Edy di ruang guru. Jadi kayaknya dia sekarang belum pulang deh," kata Misell meyakinkan Bian, bahwa ia tidak perlu mengkhawatirkannya.

Sebenarnya Misell berbohong soal ia akan pulang bersama Salsa, ia tahu bahwa sepertinya Salsa sudah meninggalkan sekolahan sejak tadi. Ia terpaksa berbohong karena ia tidak mau terus-terusan merasa mengekang hidup Bian. Bian juga harus melakukan kehidupannya yang lain. Misell tidak berhak menuntut ini-itu, karena ia dan Bian bukan lagi mereka saat kecil yang selalu ke mana-mana berdua.

Bian menghela napasnya berat. "Hmm, oke deh, hati-hati ya pulangnya. Nanti aku telepon," kata Bian yang terlihat sangat mengkhawatirkan Misell.

Tiara yang melihat mereka berdua hanya diam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Oke. Bye Bi, Ra!" kata Misell sembari pergi dan melambaikan tangannya.

Saat Misell sudah hilang dari pandangannya, Tiara mengajak Bian ke ruang OSIS, karena Tiara rasa, itu adalah tempat yang paling cocok untuk wawancara daripada tempat yang lain.

Perjalanan ke Ruang OSIS hanya mereka lalui dalam diam. Yang terdengar, hanyalah suara riuh dari anak basket dan cheers yang sedang latihan di lapangan. Tiara hanya tersenyum getir menghadapi situasi ini. Dia seolah hanya berjalan dengan raga Bian. Entah ke mana jiwa Bian telah pergi. Ia pikir, mungkin sudah pergi bersama Misell.

*****

Misell saat ini sedang berada di halte dan berniat memesan ojek online. Di sana, hanya tersisa tiga anak yang berada di halte termasuk dirinya. Misell rasa dua anak itu adalah anak kelas sepuluh, karena Misell jarang melihatnya.

Setelah ia mengisi alamat tujuan dan berniat untuk menekan tombol order, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Saat pemiliknya keluar, Misell terlonjak kaget setelah tahu siapa yang ada di dalam mobil.

"Hai Sell, lagi nunggu jemputan?" sapa seseorang yang baru keluar dari mobil dengan jaket denimnya

"Eh Halo, Ger, enggak kok. Lagi mau pesen ojek online."

"Udah pesen? Kalau belum pesen, bareng gue aja yuk, Sell. Kebetulan gue nggak lagi buru-buru."

Setelah Misell pikir-pikir, tidak ada salahnya mengiyakan ajakan Gerald untuk pulang bersama. Toh, juga akan enak di Misell, karena dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya ojek online-nya.

"Boleh Ger, tapi nggak ngerepotin, ‘kan?" tanya Misell terlihat ragu-ragu.

Lelaki itu tersenyum sekilas. “Santai aja kali Sell, gue nggak merasa direpotin sama sekali kok. Yuk!" kata Gerald seraya ia membukakan pintu sebelah kiri mobil itu.

"Oke, thank you."

Ucapan Misell tersebut hanya dibalas senyum oleh Gerald. Misell tak bisa memungkiri, bahwa lesung pipi yang dimiliki Gerald ini, mampu menjadikan Gerald salah satu the most wanted di SMA Pelita. Dalam perjalanan, mereka berdua sama-sama terdiam dan hanya mengatakan obrolan seperlunya.

"Sell, rumah lo daerah mana?" tanya Gerald memecah keheningan.

"Perumahan Puri Indah Blok X-6, Ger."

"Beneran? Ternyata rumah kita deketan," respon Gerald setelah mendengar jawaban Misell.

"Serius?"

"Iya Sell, bisa kali berangkat sekolah bareng," kata Gerald dengan senyum yang mengembang di wajahnya.

Misell hanya merespon perkataan Gerald dengan senyum dan ekspresi yang terlihat memikirkan sesuatu.

Melihat respons yang ditunjukkan gadis di sebelahnya, Gerald lantas bertanya, "Kenapa, Sell? Takut Bian cemburu?"

"Hahaha, ya nggak, lah, Ger! Gue mau gimana pun, Bian mana peduli sama gue.”

"Siapa tahu, kan … sekarang juga tumben nggak pulang bareng Bian?"

"Iya, tadi Bian masih ada wawancara sama anak OSIS. Daripada gue nungguin dia yang pasti bakalan lama, mending gue balik duluan, deh," ujar Misell menjawab pertanyaan Gerald.

Lelaki itu terkekeh sekilas. “Mau mampir makan dulu nggak, Sell? Sekalian ngebahas project angkatan kita," ajak Gerald.

Misell berpikir sejenak dan akhirnya mengiyakan ajakan tersebut. "Hmm, boleh, deh."

Gerald hanya tersenyum, kemudian mengalihkan pandangannya ke depan dan kembali fokus dengan kemudinya.

*****

Setelah satu jam berlalu, akhirnya selesai sudah wawancara yang melelahkan itu. Setelah berpamitan dengan Tiara, Bian langsung menuju ke parkiran dan hendak pulang. Sesampainya di parkiran, bukannya ia segera memakai helm dan pulang, Bian justru mengambil handphone-nya dan mencari nama Misell di sana.

"Halo Bi, kenapa?" balas Misell setelah menekan tombol berwarna hijau.

"Kamu udah sampai rumah, kan, Sell?" tanya Bian dengan khawatir.

"Hmm, udah, kok," jawab Misell di seberang sana.

"Ya udah, ini aku baru selesai wawancara. Nanti aku mampir sebentar, ya?"

Sontak Misell kebingungan mencari alasan, bagaimana supaya Bian tidak ke rumahnya. "Eh, eh, eh! Nggak usah Bi! Ngapain? Katanya kamu capek? Lagian aku habis ini juga mau keluar sama Mama," ucap Misell berbohong.

"Oh, ya udah deh. Besok aku jemput. Aku balik dulu ya, Sell. See you."

"Oke Bi, hati-hati." Misell pun menutup telepon dari Bian dengan perasaan tak karuan karena dia harus berbohong.

"Sell, lo gapapa? Kenapa pakai bohong segala?" tanya Gerald heran.

Saat ini, Misell memang masih bersama Gerald. Dia merasa tak enak hati bila harus berkata sesungguhnya pada Bian. "Eh, gapapa kok, Bian tahunya gue balik bareng Salsa. Gak enak juga kalau gue bilang niat awalnya naik ojek online. Bian bakal ngerasa bersalah banget kalau tahu.”

"Ya udah, kalau gitu balik aja, yuk! Kebetulan pembahasannya udah selesai, makanannya juga udah habis kan?" ajak Gerald

"Ya udah, yuk!"

Akhirnya Gerald mengantarkan Misell pulang. Berat rasanya ia harus berpisah dengan Misell, karena setelah obrolan tadi, dia merasa nyaman dengannya. Misell mampu mencairkan suasana, padahal ini adalah kali pertama mereka bertemu dan belum pernah mengenal sebelumnya. Misell adalah sosok perempuan yang humble dan mampu mencairkan suasana. Sifat itulah, yang membuat banyak laki-laki tertarik kepadanya. Mungkin saat ini, Gerald adalah salah satu laki-laki itu.

*****

Mobil hitam milik Gerald berhenti tepat di depan gerbang rumah bercat putih. Mereka berdua akhirnya tiba di rumah Misell. Saat mesin mobil benar-benar mati, Gerald bergegas keluar dan membukakan pintu mobil untuk Misell. Misell yang diperlakukan seperti itu hanya bisa tersenyum kaku.

"Thank you, Ger. Gue bisa buka pintu sendiri kali,” ucap Misell seraya tersenyum canggung.

"Sekali-sekali nggak apa-apa, ‘kan?" tanya Gerald tak lupa senyum manisnya.

"Ya nggak apa-apa sih, tapi—"

Belum selesai Misell berbicara, Gerald sudah memotongnya. "Kalau sekali-sekali nggak boleh, berarti berulang kali boleh?"

"Hah? Maksudnya, gimana?" tanya Misell terlihat kebingungan dengan perkataan Gerald.

Pertanyaan itu hanya dibalas senyuman oleh Gerald. Lelaki itu lantas mengalihkan pembicaraan untuk pamit. "Ya udah, masuk gih. Gue balik duluan ya, Sell. See you!"

"Oke Ger, hati-hati ya. See you!"

Setelah Misell sudah dipastikan benar-benar masuk ke dalam rumah, barulah Gerald beranjak dari posisinya dan segera masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar yang menandakan bahwa dirinya sedang bahagia.

Tanpa sadar, ada sepasang mata yang dalam diam menyaksikan kejadian tadi. Dia hanya terdiam di tempat, tanpa bertindak apapun di balik helm full face-nya. Yang dia rasakan, hanyalah perasaan mengganjal yang mengganggu fikirannya. Entah apa nama perasaan itu?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status