Zalman menatap lekat wajah manis wanita yang baru saja di tolongnya.
Wajahnya baru dapat dia lihat setelah bersih, tadinya wajah Ghina berlumur darah karena kepalanya terbentur kaca mobil dan tergores hingga dia harus di jahit sedikit di bagian keningnya. Beruntung tidak ada cidera lainnya, patut di syukuri apapun itu bukan?
"Tuan Zalman mau pulang? Biar saya yang jaga Mba Ghina," tanya Akbar yang tidak tega melihat majikannya yang terlihat lelah.
"Kamu saja yang kembali pulang, Bar, istirahat dan nanti kembali ke sini bawakan pakaian ganti, untuk saya dan wanita ini, sepertinya pakaian Kila pas untuknya," titah Zalman.
Supir pribadi itu pun menurut, dia pamit untuk pulang dan berjanji akan kembali besok pagi dengan membawa pesanan atasannya.
***
Ghina meringis saat membuka mata, kepalanya terasa sakit terlebih pada bagian kening yang terbalut perban.
"Sshhhttt!" rintihnya.
Suara Ghina berhasil membangunkan Zalman yang tertidur di sofa. Kelas rawat inap VIP yang Zalman berikan untuk Ghina bukan semata-mata untuk wanita itu saja, tapi dia mempertimbangkan kenyaman dirinya. Ada sofa panjang dan fasilitas televisi serta jaringan internet memudahkan Zalman dalam bekerja semalam sambil menunggu Ghina sadar. Tapi ternyata dirinya malah tertidur di sofa itu.
"Anda sudah sadar? Biar saya panggilkan dokter," ucap Zalman. Pria itu langsung menekan tombol darurat yang ada di dekat ranjang pasien.
Dan tidak berselang lama, petugas medis pun datang. Seorang dokter jaga dan suster langsung memeriksa kondisi Ghina.
"Apa yang Anda rasakan saat ini, Bu? Pusing? Mual?" tanya dokter itu sambil memeriksa kedua mata Ghina dengan santer kecilnya.
"Sedikit pusing, dok. Dan sakit di sini." Ghina memegang keningnya. Tapi dengan sigap suster menarik tangan Ghina agar tidak menyentuk area itu.
"Kecelakaan semalam membuat cidera kepala Anda, kami harus menjahit sedikit kening Anda karena sobek terkena pecahan kaca mobil. Setelah ini akan saya jadwalkan pemeriksaan MRI, CT-scan juga untuk memeriksa dalam kepala Anda," tutur dokter pria yang bernama Iqbal.
"Saya rasa semua itu tidak perlu, dok," tolak Ghina karena dia memikirkan biayanya. Pemeriksaan yang dokter infokan barusan pasti tidak murah.
"Saya sudah sembuh dan mau pulang," lanjut Ghina tapi saat dia hendak turun dari brankar itu tubuhnya oleng. Beruntung Zalman sigap dan menangkapnya.
Ghina terdiam saat Zalman menangkapnya dan membuat Ghina masuk dalam pelukannya. Tatapan Zalman dan aroma maskulin dari tubuh Zalman membuat wanita itu terpaku.
"Anda belum sembuh Mba Ghina," ucap Zalman, membantu Ghina naik kembali ke brankarnya.
"Tapi-"
"Pak Zalman benar, Bu Ghina. Anda masih harus di rawat beberapa hari lagi di sini," timpal dokter Iqbal.
Ghina menghela napas panjang, pasrah. Bagaimanapun dia memang butuh istirahat dan perlindungan. Rumah sakit adalah tempat yang tepat pikir Ghina saat ini.
***
Setelah dokter dan suster itu pergi, keheningan menyelimuti kamar inap VIP itu.
"Ehem!" Zalman berdeham memecah keheningan.
"Kita belum berkenalan bukan? Saya Alaric Zalman Maheer, Anda bisa panggil saya Zalman saja," lanjutnya.
"Saya Ghina, Ghina Ulya Syarifa," balas Ghina.
"Bagaimana bisa Anda kecelakaan? Dan pria yang meninggal itu apa ada hubungannya dengan Anda, Mba Ghina?" tanya Zalman.
Sontak kedua mata Ghina membola tidak percaya dengan yang barusan didengarnya.
"Supir itu meninggal?" ulangnya.
'Oh jadi pria yang bersama wanita itu adalah supirnya,' bathin Zalman.
"Pria itu supir taxi online yang saya pesan untuk mengantar pulang ke apartemen," ucap Ghina dalam isak tangisnya. Walupun baru kenal saat itu tapi Ghina merasa bersalah.
"Tengah malam naik taxi online?" selidik Zalman.
"Sa-saya ... saya pulang kerja dan memesan taxi online lalu karena lelah saya tertidur di dalam, saya tahu kalau mobil sempat oleng dan naik ke atas trotoar, setelah itu tidak ingat lagi, dan tiba-tiba terbangun di sini," terang Ghina, ada sedikit jeda dalam kalimatnya. Dia tidak mau menceritakan apa yang sebelumnya terjadi pada dirinya.
"Saat Anda tertidur di dalam mobil, supir itu terkena serangan jantung dan mobilnya menabrak tiang listrik. Pria itu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit." Zalman menjelaskan pada Ghina.
Ghina menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"A-apa dia memiliki keluarga?" Ghina khawatir dan merasa bersalah pada keluarga supir tersebut.
"Pria itu memiliki seorang istri dan anak satu yang masih sekolah, polisi sudah mengurus dan jenazahnya sudah di bawa oleh keluarganya." Itu yang Zalman ketahui dari Polisi yang bernama Andri itu lewat pesan yang dibacanya sebelum Zalman tertidur.
***
Ghina merutuki dirinya karena ulahnya, membuat supir taxi Online itu meninggal dunia.
Benaknya kembali berputar sehari sebelum kejadian naas ini terjadi.
*Flashback On*
Ghina masuk ke dalam ruang kerja yang terlihat sangat glamor, dengan anggunnya dia berjalan dan duduk manis di salah satu sofa yang ada di tengah ruangan itu. Menunggu seorang wanita yang dia panggil dengan sebutan mami, sedang berbincang melalui ponselnya.
Hanya dengan tatapan mata sang mami, Ghina bisa paham kalau dia di minta menunggu sebentar. Sesekali wanita itu menghisap rokok elektriknya dan menelan asapnya kemudian mengeluarkannya melalui rongga hidung.
Aroma strawberry dan mint terhirup begitu pekat di penciuman Ghina. Wanita itu merasa terpanggil untuk melakukan hal yang sama dengan sang mami.
Wanita berpakaian seksi itu mengeluarkan rokok elektriknya dan mulai menghisapnya setelah alat itu dinyalakan. Ghina lebih menyukai aroma apel yang lebih segar menurutnya.
Setelah selesai dengan telponnya, sang mami berdiri dan menghampiri Ghina lalu dia duduk di sofa spesialnya. Dengan kaki satunya menopang di atas yang satunya.
"Malam ini, kamu ke alamat yang sudah mami kirim ke ponsel kamu. Layani dia dengan maksimal karena dia salah satu klien royal yang kita punya," ucap Lira-mucikari yang menaungi beberapa wanita malam dan mengatur jadwal mereka semua.
"Mr.Yudha itu?" tanya Ghina memastikan.
Kepala Lira mengangguk pelan, "Yup, kenapa? Ada masalah? Apa kamu takut dengan rumor yang simpang siyur itu?" cecar Lira, menghisap kembali rokok elektriknya dengan elegan lalu membuang asapnya ke arah Ghina.
Ghina kesulitan menelan saliva-nya. Kemudian dia menghempas napas panjang, pasrah. Pekerjaannya menuntutnya untuk berani, bukan hanya berani melayani semua pria hidung belang itu tapi berani menghadapi jika istri mereka yang memergoki dan melabrak wanita malam yang berkencan dengan suami mereka.
"Mr.Yudha sudah mengkonfirmasi barusan kalau istrinya sedang berada di luar negri. Apa yang menjadi berita tempo hari agar diabaikan," terangnya.
"Baiklah kalau begitu, Mami, saya akan ke sana malam ini." Ghina berdiri kemudian menghampiri Lira dan mencium pipi kiri dan kanan mucikari itu sebagai tanda pamit.
Dari sore Ghina sudah bersiap dan tampil cantik, selain menutupi bekas lukanya dengan foundation tebal, wanita memakai poni hingga menutupi keningnya menyamarkan. Baru kali ini dia menggunting rambut dan membuatnya poni, terlihat tambah manis dan imut tanpa mengurangi seksi dari tatapan mata dan bibirnya.Dengan pakaian sedikit formil namun masih seksi, Ghina menunggu mobil yang katanya akan tiba dalam waktu 5 menit untuk menjemputnya di lobby apartement.Tin!Klakson semua mobil mewah berbunyi mengisyaratkan kalau mobil itu datang menjemput Ghina.Dengan kaca hitam yang terbuka sedikit Ghina dapat melihat siapa yang duduk di dalam. Mr.Jansen jauh lebih tampan aslinya dibandingkan pada foto yang mami berikan."Selamat malam," salam Ghina setelah dia masuk ke dalam mobil itu."Selamat malam juga, Ghina. Kamu ternyata sangat cantik," puji Jansen."Terima kasih, Anda juga terlihat tampan," balas Ghina dengan senyum terbaiknya.Sepanjang jalan Ghina hanya terdiam karena Jansen sibuk denga
"Kamu tunggu di mobil aja, Bar. Saya tidak lama," titah Zalman pada sang supir pribadi."Siap, Tuan." Sudah biasa baginya menurunkan sang majikan di pintu utama sebuah gedung kemudian dia memarkir mobil di area parkir dan menunggu hingga Zalman menghubunginya kembali untuk minta jemput.Zalman masuk ke dalam rumah sakit dengan membawa bingkisan buah yang dia beli saat perjalanan tadi.***Betapa terkejutnya Zalman saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap Ghina, tapi ternyata ruangan itu kosong hanya ada ranjang yang sudah rapih.Pria itu kembali keluar kamar dan menghampiri meja jaga khusus suster dan dokter berada."Sus, pasien di kamar VIP atas nama Ghina kemana ya?" tanya Zalman pada salah satu suster jaga di sana."Mba Ghina sudah pulang, Pak. Setengah jam yang lalu setelah kunjungan dokter, beliau memaksa pulang," jawab suster bernama May di nametag-nya.Zalman mengeraskan rahang.'Kenapa dia tidak memberi kabar padaku.' Bathinnya."Apa dia meninggalkan nomer telpon yang bisa di h
"Waalaikumsalam, Vin. Kamu di mana sekarang?" balas Zalman sekaligus menanyakan keberadaan sang putra."Aku di kantin kampus, Pa. Baru selesai makan siang dan mau kembali ke kelas." Di sana Calvin menunjukan suasana keramain kantin kampus dengan kamera ponselnya sambil merapihkan topi dan jaket tebalnya."Makan siang sama siapa?""Sama teman-teman, kenapa?""Belajar yang benar, Calvin! Jangan pacaran terus," nasehat Zalman."Wahhh si kembar cerita apa, Pa?" Calvin langsung paham kemana arah pembicaraan papanya. Pasti adik sepupunya yang kembar lah yang mengadu kalau dia memiliki pacar baru. Pasalnya tadi pagi keduanya melakukan panggilan dengan video saat Calvin baru tiba di kampus untuk kuliah bersama seorang gadis dan gadis itu berbeda dari gadis yang biasanya."Si kembar tidak cerita apa-apa, kami sedang makan malam, sudah ya, take care, Assalamualaikum," pamit Zalman."Awas ya kalian kalau mengadu yang tidak-tidak sama papa, aku pulang ke Indonesia nanti ku jitak!" teriak Calvin s
Ponsel Zalman berbunyi, Ghina langsung terdiam dan menatap Zalman yang tengah berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana."Assalamualaikum," sapa Zalman lebih dahulu saat menjawab panggilan dari sang putri."Waalaikumsalam. Papa di mana? Kok belum pulang?" suara nyaring Kila sampai terdengar oleh Ghina walau tidak di speaker. Hingga membuat wanita berparas manis itu tersenyum getir merasa tidak enak karena Zalman menunggunya di rumah sakit padahal dia tengah di tunggu oleh anak-anaknya di rumah bahkan istrinya juga. Ya, istrinya. Kenapa Ghina bisa melupakan kalau pria itu sudah menikah, memiliki istri dan anak di rumah. Ghina merutuki dirinya yang malah sempat bahagia karena ada Zalman di sana menemaninya."Papa masih di rumah sakit, Sayang. Apa kamu sudah pulanng sekolah?" balas Zalman sambil menatap Ghina yang tengah menunduk."Iya aku sudah pulang sekolah tapi papa gak ada di rumah," protes Kila di seberang sana.Zalman menghela napas panjang dengan memij
"Kenapa Anda panggil saya dengan sebutan 'Tuan', heum?""Soalnya Pak Akbar tadi-""Dia itu karyawan saya, sedangkan Anda bukan, rasanya canggung sekali, bukan? Bagaimana kalau panggil nama saja? Zalman atau Alman?"Kepala Ghina menggeleng, "Tidak sopan rasanya memanggil orang yang lebih di atas saya usianya, terlebih orang tersebut sudah berjasa menolong saya," kelit Ghina. "Bagaimana ... Heum, kalau saya panggil Mas Alman?""Itu lebih baik, Mba Ghina, saya suka kamu memanggil saya dengan sebutan 'Mas' dari pada 'Tuan' seperti tadi," ucap Zalman.Seperti Ghina yang merubah panggilannya, Zalman juga merubah panggilannya dari 'Anda' menjadi 'Kamu' untuk Ghina."So, mau yang mana?" tanya Zalman.Ghina belum menjawab dia bimbang memilih antara makanan rumah sakit dan makan siang milik Zalman.Baru saja Ghina hendak membuka mulut untuk bicara."Kamu makan ini, biar saya makan makanan rumah sakit ini, terlihat lezat." Pria itu mengambil nampan milik Ghina dan kemudian mendekatkan makan sian
Ghina baru menyadari yang di maksud Akbar adalah Zalman, pria yang sudah menolongnya semalam. Kenapa seketika dia menjadi lambat dalam berpikir, mungkin ini karena benturan di kepalanya, pikir Ghina.Ghina terpaku saat melihat penampilan Zalman tampak segar dan lebih santai dengan celana panjang berbahan denim dan kaos berwarna putih, rambut yang masih sedikit basah membuat pesonanya bertambah di mata Ghina.Seketika Ghina menggeleng cepat dan melempar asal tatapannya saat Kedua matanya bertemu dengan mata Zalman. Pipinya merona seperti tomat karena tertangkap sedang menatap Zalman dengan intens."Oh, i-iya. Maaf saya lupa, kepala saya-""Sakit ya, Bu? Saya panggilkan dokter ya," potong Akbar cepat yang langsung keluar tanpa mengindahkan penolakan Ghina."Kamu sudah bangun?" tanya Zalman, pria itu melangkah ke arah sofa dan memasukan pakaian kotornya ke dalam paperbag yang kosong. Begitu juga dengan handuk yang di pakai untuk mengeringkan kepalanya.Kepala Ghina mengangguk saja memben