LOGIN"Kenapa Anda panggil saya dengan sebutan 'Tuan', heum?"
"Soalnya Pak Akbar tadi-"
"Dia itu karyawan saya, sedangkan Anda bukan, rasanya canggung sekali, bukan? Bagaimana kalau panggil nama saja? Zalman atau Alman?"
Kepala Ghina menggeleng, "Tidak sopan rasanya memanggil orang yang lebih di atas saya usianya, terlebih orang tersebut sudah berjasa menolong saya," kelit Ghina. "Bagaimana ... Heum, kalau saya panggil Mas Alman?"
"Itu lebih baik, Mba Ghina, saya suka kamu memanggil saya dengan sebutan 'Mas' dari pada 'Tuan' seperti tadi," ucap Zalman.
Seperti Ghina yang merubah panggilannya, Zalman juga merubah panggilannya dari 'Anda' menjadi 'Kamu' untuk Ghina.
"So, mau yang mana?" tanya Zalman.
Ghina belum menjawab dia bimbang memilih antara makanan rumah sakit dan makan siang milik Zalman.
Baru saja Ghina hendak membuka mulut untuk bicara.
"Kamu makan ini, biar saya makan makanan rumah sakit ini, terlihat lezat." Pria itu mengambil nampan milik Ghina dan kemudian mendekatkan makan siang miliknya untuk wanita itu.
"Itu makanan rumah sakit, Mas," ucap Ghina.
"Iya saya tahu, lantas?"
"Rasanya pasti hambar karena mereka masak tidak memakai penyedap dan garam berlebih."
Seperti yang kita semua ketahui kalau makanan di rumah sakit mengutamakan kesehatan dari pada rasa.
"Saya memang sedang mengurangi semua itu," kelit Zalman yang langsung melahap makanan itu agar Ghina tidak memintanya kembali.
"Selamat makan," ucap Zalman dengan mulut penuh.
Ghina menahan tawanya dan dia mulai memakan nasi dan lauk pauk milik Zalman dengan lahap.
Di tengah menikmati makan siangnya, Ghina teringat percakapannya dengan Lira.
*Flashback On*
Saat Zalman keluar kamar VIP itu, Ghina baru bisa bernapas lega. Pasalnya sudah sejak tadi dia ingin mandi dan berganti pakaian dengan pakaian pemberian Zalman tapi sungkan karena pria yang masih asing baginya masih betah berada di sana.
Ghina langsung beranjak dari sana dengan perlahan karena bukan hanya kepalanya yang masih pusing dan membuat jalannya sempoyongan, tubuhnya terutama kakinya sakit dan masih lemah. Ghina mandi tanpa mengenai perban di keninganya dan berganti pakaian, cukup tubuhnya yang terkena air dia sudah senang.
Betapa terkejutnya Ghina saat keluar kamar ternyata sudah ada Lira.
"Ma-mami?" sapa Ghina.
"Hai, Cantik, Aku kira salah kamar, ternyata benar kamu di sini," sahutnya dengan tatapan mengintimidasi.
Ghina terdiam sambil melangkah pelan menuju ranjangnya.
"Apa ada seseorang yang menolong kamu?" tanya Lira tanpa beralaskan. Pasalnya dia melihat tas pria dan laptop serta beberapa berkas berantakan di sofa dan meja.
"Makasih karena Mami sudah menjengukku," ucap Ghina mengalihkan pertanyaan yang Lira lontarkan.
"Tentu saja, Cantik. Karena kamu salah satu anak asuh aku yang paling laris manis. Tapi aku ke sini bukan hanya menjenguk kamu," ungkap Lira.
Tatapan kedua mata Ghina cukup menunjukan tanda tanya besar. Apa tujuan sang Mami yang sebenarnya?
"Aku mau menginfokan, kamu harus mengganti rugi uang yang sudah Mr.Yudha berikan, istrinya meminta semuanya kembali tanpa kurang satu apapun atau mereka akan memenjarakan kamu!" sambung Lira.
Bukan salah Ghina, bahkan wanita itu menjadi korban kekejaman nyonya Yudha itu, tiga orang preman bayarannya melecehkan Ghina belum lagi supir taxi online yang menjadi korban karena mengantar dia pulang yang seharusnya Ghina pulang dengan mobil pribadinya.
*Flashback Off*
"Hei, Kamu melamun?" tanya Zalman saat dia lihat Ghina hanya mengaduk-aduk makanannya.
Suara bariton Zalman mengejutkan Ghina dan membuyarkan lamunannya.
"Heum? Ng-ngak kok." Ghina kembali menyuap makanannya ke dalam mulut.
"Apa karena wanita tadi?"
Deg!
Kedua mata Ghina sontak mendelik disertai tersedak. "Uhuk! Uhuk!"
Zalman langsung memberikan air minum untuk Ghina.
"Maaf, tadi saya sempat mendengar pembicaraan kalian, suara wanita itu sangat kencang, siapapun orang di depan pintu pasti akan mendengar," ungkap Zalman.
Ghina mengangguk pelan sambil menaruh kembali gelas minumnya, kemudian tersenyum.
"Jadi, Mas, sudah tau semuanya," gumam Ghina pelan.
"Lalu setelah tahu siapa saya sebenarnya, kenapa Mas masih di sini?" tanyanya lirih pada Zalman.
"Mba Ghina, saya bukan manusia yang suci dan harus bersama orang suci juga, saya memiliki banyak kenalan dari berbagai macam kalangan, tapi jujur, baru sekarang saya mengenal wanita yang berprofesi seperti kamu." Zalman mencoba menjelaskan kalau dia tidak pernah memandang orang lain dengan sebelah mata saja.
"Saya tidak masalah, karena semua sudah Tuhan atur bukan? Kita manusia hanya menjalankan semua rencana-Nya," lanjut Zalman.
Ghina terkesima dengan ucapan Zalman, baru kali ini ada pria bijaksana sepertinya.
Seketika kedua mata Ghina memanas dan mulai mengeluarkan air mata. Dengan sigap, Zalman memberikan tisu pada Ghina.
"Terima kasih," ucap Ghina sambil mengusap air matanya dengan tisu pemberian Zalman.
"Sudah makan siangnya?" tanya Zalman mengalihkan percakapan.
Kepala Ghina mengangguk karena seketika selera makannya hilang.
"Maaf gak habis, jadi mubazir deh!" sesal Ghina.
Zalman tersenyum sembari membereskan bekas makan mereka. Kemudian dia mengeluarkan bungkusan satu lagi yang berisi beberapa gelas jus buah.
"Astaga, Mas! Banyak banget," pekik Ghina saat Zalman mengeluarkan lebih dari lima gelas plastik di meja yang sama.
"Saya tidak tahu kamu suka buah apa, jadi saya beli semua." Zalman menggedikan kedua pundaknya.
"Sebenarnya, saya sudah kenyang," tolak Ghina secara halus.
"Saya sudah membelinya dan tidak terima penolakan. Lagi pula, kamu tadi makan hanya sedikit," cecar Zalman.
Ghina tersenyum, perasaannya tersentuh dengan perhatian kecil yang Zalman berikan.
"Pilih salah satu," pinta pria tampan itu.
"Jus mangga." Ghina mengambil gelas yang berwarna kuning jingga yang dia yakin itu adalah gelas yang berisi jus mangga.
Zalman membuka plastik yang membungkus sedotan lalu menuncapkannya di gelas pilihan Ghina.
"Sayang sekali sisanya, Mas," ucap Ghina sambil menghisap jus mangga.
"Beberapa bisa taruh di kulkas untuk nanti lagi, sisanya kita berikan pada para perawat, bagaimana?" usul Zalman.
Ghina mengangguk setuju.
Bersamaan dengan itu, Akbar datang dengan rantang susun di tangannya.
"Ma-maaf, Tuan, jalanan muacettt," lontar Akbar dengan napas terengah lalu menaruh rantang susun berisi makanan di atas meja.
"Kamu lari ke sini?" sindir sang majikan.
"I-iya, Tuan. Sa-saya lari dari parkiran mobil sampai sini," jawab Akbar sambil mengatur napasnya dan duduk di sofa. Rasa lelahnya mengalahkan sopan santunnya, duduk di sofa sebelum Zalman menyuruhnya seperti biasa.
"Siapa suruh Kamu lari?"
"Gak ada! Cuma saya takut telat bawa makan siang untuk Tuan Zalman, takut Tuan pingsan karena kelaparan."
Sontak Ghina tertawa lepas, wanita itu terbahak mendengar ucapan Akbar yang polos.
Tawa Ghina menular pada Zalman yang ikut tertawa walau pelan, tapi tawanya karena dia senang melihat Ghina bisa tertawa lepas seperti itu.
"Emang pernah Tuan Zalman pingsan?" tanya Ghina di tengah tawanya yang sedikit mereda.
"Pernah, Bu. Waktu-" Akbar tidak melanjutkan kalimatnya karena kedua mata Zalman melotot ke arahnya.
Ghina yang mengetahui hal itu kembali tertawa lepas.
"Wajahmu akan cepat tua kalau ditekuk terus menerus seperti itu, Vin," sungut Zalman, menyelaraskan diri dengan kekesalan sang putra.Baginya, ini sangat tidak seimbang. Cuaca yang cerah dan aktivitas menyenangkan harus rusak karena penolakan yang dilakukan Calvin."Coba dulu nikmati, nanti kamu suka.""Suka darimana," jengah remaja tampan itu, "Sudah Calvin bilang, Calvin benci menunggu yang tidak pasti begini, Pa."Mata Zalman menyipit, mengarahkan jari telunjuknya ke bibir. "Ssttt, sejak kapan memancing disamakan dengan menunggu yang tidak pasti?""Kalau menunggu yang tidak pasti tuh, mencintai seseorang yang enggan untuk mencintai kita balik, Vin. Beda, dong," seloroh Zalman.Membuat Calvin merinding, tak tahan membayangkan harus berapa lama ia ada di sana."Kunci memancing itu harus sabar. Dengan begitu, umpan yang kita lempar pasti dapat hasilnya. Ini soal tabah dan penantian," ujar ayah dari lima orang anak itu, menasihati.Belum berselang sedetik dari menyelesaikan kalimatnya,
Bian yang jelas aja sudah terpojok dan tidak bisa menyangkal dari pertanyaan Zalman hanya mampu terdiam hingga beberapa lama."Apa Ghina benar baik-baik saja, Bian?" desak Zalman, menunggu kalimat penjelasan dokter muda kepercayaan keluarganya.Sementara Bian, jangan tanya betapa gugupnya ia.Memikirkan dengan cara apa bisa menarik perhatian Zalman ke arah lain tidak lagi berpokus membahas perihal kondisi kesehatan Ghina yang jawabannya jelas tidak mungkin ia rahasiakan."Sesuatu pasti terjadi, 'kan?""Ada yang salah dengan Ghina?""Dia baik-baik saja atau kamu berusaha menyembunyikan sesuatu yang berkaitan dengannya, Bian?""Katakan sesuatu, jangan hanya diam!"Awalnya, Zalman menjadi yang paling tidak peduli dan tertarik dengan hal ini. Bianlah yang memancing pria itu untuk mencurigai ada hal yang tidak beres."Bu-bukannya tadi kamu yang memutuskan enggak mau membahas soal Ghina lagi, Zalman?" Bian mengungkit sikap Zalman, sebelum perdebatan ini."Menurutku, akan percuma saja bila h
Zalman baru mulai menyadari betapa cantiknya suasana malam setelah ia menjadi pengunjung tetap balkon di gedung perusahaannya.Dari sana, seluruh pemandangan kota bisa dilihat dengan mudah. Mulai dari bangunan yang sama mewah seperti miliknya, sampai kerlap–kerlip lampu yang terus menyala.Wajahnya terasa kaku, sebab dinginnya angin tidak berhenti mengusiknya, sedari tadi."Hari ini, saya mendengar seseorang menyebut namamu lagi, Ghina." Bibir ranum itu mulai bergerak.Suara bariton khasnya yang penuh wibawa memecah keheningan dalam sekejap. "Saya agak terkejut. Jujur saja, jantung saya tidak bisa berhenti berdebar. Sudah lama sekali tidak ada yang menyinggung soal dirimu, kepada saya."Yang semula baik-baik saja, mulai terdengar gemetar. "Saya takut, Ghina. Saya takut mulai terbiasa tanpamu," bisik pria itu, begitu serak.Bicara seorang diri adalah kegiatan menyedihkan yang akhir-akhir ini Zalman lakukan. Demi menuntaskan rasa sedih dan rindunya pada Ghina.Bohong bila Zalman mengata
"Tidak bisa.""Aku sudah katakan, ini kondisi darurat. Kita tahu Zalman mungkin akan keberatan, tapi lebih baik seperti itu daripada berakhir menyesal."Saat berbicara dengan Soraya di telpon membahas perihal Zalman yang harus mengetahui kabar mengenai kondisi Ghina, Bian terlampau pokus.Dokter muda itu sama sekali tidak menyadari kalau istri sahabatnya justru sedang berada tepat di belakangnya, ikut mendengarkan."Aku akan tetap menemui Zalman, dan mengatakan segalanya.""Membiarkannya untuk melampiaskan amarah jauh lebih baik daripada membuatnya terpuruk. Saat dia tahu kebenaran, mungkin dia sudah sangat terlambat."Hampir setengah jam lamanya Bian dan Soraya berdiskusi, mengambil jalan tengah.Jelas keputusan yang sulit karena luka Zalman sendiri belum sepenuhnya sembuh. Apa yang Ghina torehkan pada pria itu sepertinya membuat trauma besar.Selesai bicara, hendak bersiap-siap pergi ke kantor dimana tempat kekasihnya bekerja, Bian terkejut hingga kehilangan keseimbangannya.Tepat t
Brak!"Saya tidak bisa selesaikan ini, Ra."Soraya yang baru meletakkan setumpuk laporan langsung memusatkan fokus pada sang Pimpinan.Matanya terbuka lebar.Zalman nampak kesal. Memerhatikan kertas yang harus ia baca dan setujui itu dengan ekspresi dingin."Apa ini masuk akal?""Saya sudah tanda tangani ratusan laporan, sejak pagi. Tapi lihat, kamu masih memberinya lagi dan lagi?" seloroh pria itu, tak biasanya bersikap kekanak-kanakan.Menekuk wajah dan acuh pada kehadiran Soraya di ruangan tersebut. "Tega sekali kamu, Ra. Ini penyiksaan, kamu tau?"Rahang gadis itu jatuh, tak percaya. "Sebentar, tapi apa yang terjadi, Pak?""Apanya? Saya bilang saya tidak mau lanjut!""Y-ya, tapi kenapa mendadak seperti ini?""Saya mau istirahat. Kita selesai hari ini," panjang lebar Zalman memerintahkan, satu tangannya ia gunakan memijat pelipisnya pelan.Apa yang bisa dilakukan jika atasan berpesan padanya seperti itu, Soraya hanya bisa menurut. Ia hendak pergi, sebelum Zalman melanjutkan dramany
Selama berhari-hari, Zalman hanya mengunci diri di kamar. Menolak untuk bertemu dengan siapapun, selain anak-anaknya.Bahkan orang-orang yang bekerja di rumahnya dibuat kewalahan karena Zalman memutuskan segala bentuk kontak fisik, pertemuan, dan laporan apapun yang menyangkut dirinya."Ini Calvin, Pa."Seperti biasa tepatnya setelah peristiwa yang mengharuskan Ghina pergi itu terjadi Calvin bertugas memerhatikan kewarasan Zalman di keluarga ini.Bukan karena mental Papanya itu terganggu, melainkan memang patah hati terkadang membuat seseorang mau tidak mau mulai terbiasa dengan kehidupan baru."Calvin bawa makan malam. Tolong buka pintunya sebentar, biar Calvin bisa masuk," ujar remaja yang masih tabah berada di luar walau sejak tadi panggilannya diacuhkan.Semenjak insiden perginya Ghina, tidak ada kehidupan di rumah itu, begitu suram.Zalman bergumam dari dalam, "Tunggu, Vin. Papa masih bersiap-siap. Tunggu lima menit, ya."Setelah beberapa lama, pintu akhirnya dibuka. Menampilkan







