LOGINPonsel Zalman berbunyi, Ghina langsung terdiam dan menatap Zalman yang tengah berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana.
"Assalamualaikum," sapa Zalman lebih dahulu saat menjawab panggilan dari sang putri.
"Waalaikumsalam. Papa di mana? Kok belum pulang?" suara nyaring Kila sampai terdengar oleh Ghina walau tidak di speaker. Hingga membuat wanita berparas manis itu tersenyum getir merasa tidak enak karena Zalman menunggunya di rumah sakit padahal dia tengah di tunggu oleh anak-anaknya di rumah bahkan istrinya juga.
Ya, istrinya. Kenapa Ghina bisa melupakan kalau pria itu sudah menikah, memiliki istri dan anak di rumah. Ghina merutuki dirinya yang malah sempat bahagia karena ada Zalman di sana menemaninya.
"Papa masih di rumah sakit, Sayang. Apa kamu sudah pulanng sekolah?" balas Zalman sambil menatap Ghina yang tengah menunduk.
"Iya aku sudah pulang sekolah tapi papa gak ada di rumah," protes Kila di seberang sana.
Zalman menghela napas panjang dengan memijat pangkal hidungnya.
"Iya, iya, sebentar papa pulang sama Akbar."
"Oke, aku tunggu di rumah, hati-hati di jalan."
Kila mematikan panggilan lebih dahulu setelah dia mengucapkan salam tanpa menunggu balasan salam dari sang papa.
"Sebaiknya Mas pulang sekarang, keluarga Mas pasti khawatir," usir Ghina secara halus.
Zalman yang hendak membuka mulutnya untuk memberitahu Ghina tentang putrinya yang telpon mengurungkan niatnya karena mendengar ucapan wanita itu yang mengusirnya.
Keduanya sama2 terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya Zalman yang membuka suara, "Ya, Kamu benar. Kamu juga butuh istirahat bukan? Saya dan Akbar pulang dulu, nanti malam-"
"Tidak perlu, Mas," potong Ghina cepat.
"Mas Zalman juga butuh istirahat. Tidur di rumah lebih nyaman dari pada tidur di sofa, bukan?" tambah Ghina.
Zalman tersenyum dan kemudian mengangguk merespon ucapan Ghina. Entah ada apa dengan wanita ini, pikir Zalman. Kenapa Ghina mengusirnya dan bersikukuh melarangnya kembali malam ini.
"Baiklah, kalau begitu saya akan ke sini esok pagi, kalau ada sesuatu kamu bisa menghubungi saya." Pria itu mengambil ponsel Ghina yang tergeletak di atas nakas dan memasukan nomer ponselnya ke sana.
Akbar merapihkan semua perlengkapan milik majikannya tanpa ada tertinggal satu pun.
"Makan siangnya?" tanya Akbar yang ragu membawanya.
"Saya dan Ghina sudah makan siang, Bar. Kamu bisa bawa pulang dan kamu makan di rumah nanti," jawab Zalman.
Akbar lebih dulu keluar dengan membawa tas kerja milik Zalman.
Hening.
Keduanya hanya saling tatap.
Zalman sendiri tidak mengerti dengan dirinya, kenapa rasanya berat meninggalkan Ghina sendiri di rumah sakit, wanita yang baru saja semalam dikenalnya. Hatinya mencelos saat mengetahui siapa Ghina yang sebenarnya. Ingin rasanya dia menetap, tapi dia tidak bisa egois saat ada anaknya yang membutuhkan perhatiannya di rumah.
Begitu juga dengan Ghina, di saat dia mulai merasa nyaman dengan keberadaan Zalman di sisinya walau baru beberapa jam saja sejak kemarin, tapi hatinya merasa ingin Zalman tetap di sana. Walaupun mulutnya mengucapkan kalau dia meminta pria itu untuk pulang tapi hatinya berbeda. Dasar wanita, lain di bibir, lain di hati. Zalman pria pertama yang bisa membuat Ghina merasa nyaman dalam waktu yang sebentar.
Keduanya bersamaan menghela napas panjang dan kemudian terkekeh pelan.
"Baiklah, saya tinggal ya, Assalamualaikum," pamit Zalman.
"Hati-hati di jalan, wa-waalaikumsalam," balas Ghina dengan sedikit gugup saat menjawab salam.
Ghina terus menatap Zalman sampai pria itu menghilang dibalik pintu.
Wanita itu kembali merasakan sepi, sendiri, dengan kesedihannya sendiri yang dia tidak bisa bagi dengan siapapun. Bibirnya bisa tersenyum, dan tertawa tapi hatinya menangis saat sendiri seperti sekarang ini.
***
"Astaghfirullahaladzim," Zalman beristigfar.
"Kenapa, Tuan?" balas Akbar.
"Saya memasukan nomer ponsel saya ke ponsel dia tapi saya lupa minta nomernya," jawab Zalman.
"Apa kita putar balik, Tuan?"
"Tidak usah, besok pagi saja kita mampir dulu ke rumah sakit sebelum ke kantor."
Mobilnya sebentar lagi sampai di rumah, rasanya tidak lucu kalau dia harus kembali ke rumah sakit dengan kondisi jalan macet hanya untuk meminta nomer ponsel Ghina. Konyol sekali!
***
"Kila kemana, Mbok?" tanya Zalman setelah dia memberi salam saat masuk ke dalam rumahnya.
"Sepertinya nona Kila belajar di kamar, Tuan. Ada si kembar juga tadi datang di antar Nyonya Lita. Apa Tuan mau makan malam sekarang?" jawab Mbok Surti sekaligus melontarkan pertanyaan.
"Iya boleh, tolong siapkan ya, Mbok, makasih," jawab Zalman.
"Saya mau mandi dan sholat dulu," tambahnya.
Zalman tidak dapat menolak saat Lita-kakak perempuannya menitip kedua anak Kembarnya jika dia ada pekerjaan keluar kota.
Kila yang mendengar suara papanya langsung keluar kamar dan memeluk Zalman, memberi salam dengan mencium punggung tangan pria itu dengan takzim, begitu juga dengan si kembar.
"Om keluar kota yah? Kok baru pulang?" tanya Gana.
"Papa dari rumah sakit, Na," jawab Kila.
"Om sakit?" Dengan polosnya Gani bertanya. Kila menepuk jidatnya.
"Om gak sakit, Gani. Om jagain teman yang sedang sakit, kasihan dia yatim piatu," jawab Zalman lembut walaupun tubuhnya lelah.
"Ngobrolnya lanjut pas makan malam ya, papa mau mandi dulu, okay?" usul Zalman seraya memberi telapak tangannya untuk anak-anaknya tepuk tanda menyetujui permintaannya barusan.
Kila, Gana dan Gani bergantian menepuk telapak tangan Zalman. Setelah itu mereka kembali ke kamar masing-masing begitu juga Zalman.
"Jangan lupa sholat magrib," seru Zalman di ambang pintu sebelum masuk ke dalam kamar.
Tidak ada sahutan, tapi bukan berarti anak-anaknya tidak mendengar ucapan sang papa. Semuanya taat soal agama. Tanpa di suruh sudah lebih dulu mengerjakan kewajibannya.
***
Seperti biasa setiap malam semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan, Zalman, Kila, Gana dan Gani, minus Calvin karena pria itu sedang kuliah di Jerman. Bukan hanya suara dentingan sendok garpu pada piring masing-masing tapi semua anak-anak bercerita aktifitas apa saja yang mereka lakukan hari ini.
"Tadi aku dan Gana videocall mas Calvin," adu Gani.
"Kalian ngobrolin apa?"
"Gak ngobrolin apa-apa tapi dia lagi ada di cafe sama cewe barunya."
"Uhuk! Uhuk!" Zalman tersedak mendengar cerita salah satu keponakan kembarnya. Dan dia langsung meminum air putih yang ada di gelas miliknya.
"Kenapa sih, Mas Calvin gonta ganti cewe mulu?" tanya Kila.
Si kembar kompak bersamaan mengangkat kedua pundaknya.
"Tapi pacar mas Calvin yang sekarang lebih cantik, Mba." Gana kembali mengadu.
"Na, jangan bilang siapa-siapa kan kata mas Calvin tadi!" ungkit Gani. Gana langsung menutup mulut dengan kedua tangan, dia keceplosan.
"Kalian ini masih sekolah dasar tau-tauan pacar dan cewe cantik!" omel Kila.
Zalman langsung mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan video putra sulungnya-Calvin.
Beberapa saat setelah suara nasa tunggu akhirnya panggilan video itu pun terjawab di seberang sana.
Perbedaan waktu enam jam lebih cepat, saat ini di Jerman tepat pada siang hari.
"Assalamualaikum, Pa," salam Calvin lebih dahulu.
"Wajahmu akan cepat tua kalau ditekuk terus menerus seperti itu, Vin," sungut Zalman, menyelaraskan diri dengan kekesalan sang putra.Baginya, ini sangat tidak seimbang. Cuaca yang cerah dan aktivitas menyenangkan harus rusak karena penolakan yang dilakukan Calvin."Coba dulu nikmati, nanti kamu suka.""Suka darimana," jengah remaja tampan itu, "Sudah Calvin bilang, Calvin benci menunggu yang tidak pasti begini, Pa."Mata Zalman menyipit, mengarahkan jari telunjuknya ke bibir. "Ssttt, sejak kapan memancing disamakan dengan menunggu yang tidak pasti?""Kalau menunggu yang tidak pasti tuh, mencintai seseorang yang enggan untuk mencintai kita balik, Vin. Beda, dong," seloroh Zalman.Membuat Calvin merinding, tak tahan membayangkan harus berapa lama ia ada di sana."Kunci memancing itu harus sabar. Dengan begitu, umpan yang kita lempar pasti dapat hasilnya. Ini soal tabah dan penantian," ujar ayah dari lima orang anak itu, menasihati.Belum berselang sedetik dari menyelesaikan kalimatnya,
Bian yang jelas aja sudah terpojok dan tidak bisa menyangkal dari pertanyaan Zalman hanya mampu terdiam hingga beberapa lama."Apa Ghina benar baik-baik saja, Bian?" desak Zalman, menunggu kalimat penjelasan dokter muda kepercayaan keluarganya.Sementara Bian, jangan tanya betapa gugupnya ia.Memikirkan dengan cara apa bisa menarik perhatian Zalman ke arah lain tidak lagi berpokus membahas perihal kondisi kesehatan Ghina yang jawabannya jelas tidak mungkin ia rahasiakan."Sesuatu pasti terjadi, 'kan?""Ada yang salah dengan Ghina?""Dia baik-baik saja atau kamu berusaha menyembunyikan sesuatu yang berkaitan dengannya, Bian?""Katakan sesuatu, jangan hanya diam!"Awalnya, Zalman menjadi yang paling tidak peduli dan tertarik dengan hal ini. Bianlah yang memancing pria itu untuk mencurigai ada hal yang tidak beres."Bu-bukannya tadi kamu yang memutuskan enggak mau membahas soal Ghina lagi, Zalman?" Bian mengungkit sikap Zalman, sebelum perdebatan ini."Menurutku, akan percuma saja bila h
Zalman baru mulai menyadari betapa cantiknya suasana malam setelah ia menjadi pengunjung tetap balkon di gedung perusahaannya.Dari sana, seluruh pemandangan kota bisa dilihat dengan mudah. Mulai dari bangunan yang sama mewah seperti miliknya, sampai kerlap–kerlip lampu yang terus menyala.Wajahnya terasa kaku, sebab dinginnya angin tidak berhenti mengusiknya, sedari tadi."Hari ini, saya mendengar seseorang menyebut namamu lagi, Ghina." Bibir ranum itu mulai bergerak.Suara bariton khasnya yang penuh wibawa memecah keheningan dalam sekejap. "Saya agak terkejut. Jujur saja, jantung saya tidak bisa berhenti berdebar. Sudah lama sekali tidak ada yang menyinggung soal dirimu, kepada saya."Yang semula baik-baik saja, mulai terdengar gemetar. "Saya takut, Ghina. Saya takut mulai terbiasa tanpamu," bisik pria itu, begitu serak.Bicara seorang diri adalah kegiatan menyedihkan yang akhir-akhir ini Zalman lakukan. Demi menuntaskan rasa sedih dan rindunya pada Ghina.Bohong bila Zalman mengata
"Tidak bisa.""Aku sudah katakan, ini kondisi darurat. Kita tahu Zalman mungkin akan keberatan, tapi lebih baik seperti itu daripada berakhir menyesal."Saat berbicara dengan Soraya di telpon membahas perihal Zalman yang harus mengetahui kabar mengenai kondisi Ghina, Bian terlampau pokus.Dokter muda itu sama sekali tidak menyadari kalau istri sahabatnya justru sedang berada tepat di belakangnya, ikut mendengarkan."Aku akan tetap menemui Zalman, dan mengatakan segalanya.""Membiarkannya untuk melampiaskan amarah jauh lebih baik daripada membuatnya terpuruk. Saat dia tahu kebenaran, mungkin dia sudah sangat terlambat."Hampir setengah jam lamanya Bian dan Soraya berdiskusi, mengambil jalan tengah.Jelas keputusan yang sulit karena luka Zalman sendiri belum sepenuhnya sembuh. Apa yang Ghina torehkan pada pria itu sepertinya membuat trauma besar.Selesai bicara, hendak bersiap-siap pergi ke kantor dimana tempat kekasihnya bekerja, Bian terkejut hingga kehilangan keseimbangannya.Tepat t
Brak!"Saya tidak bisa selesaikan ini, Ra."Soraya yang baru meletakkan setumpuk laporan langsung memusatkan fokus pada sang Pimpinan.Matanya terbuka lebar.Zalman nampak kesal. Memerhatikan kertas yang harus ia baca dan setujui itu dengan ekspresi dingin."Apa ini masuk akal?""Saya sudah tanda tangani ratusan laporan, sejak pagi. Tapi lihat, kamu masih memberinya lagi dan lagi?" seloroh pria itu, tak biasanya bersikap kekanak-kanakan.Menekuk wajah dan acuh pada kehadiran Soraya di ruangan tersebut. "Tega sekali kamu, Ra. Ini penyiksaan, kamu tau?"Rahang gadis itu jatuh, tak percaya. "Sebentar, tapi apa yang terjadi, Pak?""Apanya? Saya bilang saya tidak mau lanjut!""Y-ya, tapi kenapa mendadak seperti ini?""Saya mau istirahat. Kita selesai hari ini," panjang lebar Zalman memerintahkan, satu tangannya ia gunakan memijat pelipisnya pelan.Apa yang bisa dilakukan jika atasan berpesan padanya seperti itu, Soraya hanya bisa menurut. Ia hendak pergi, sebelum Zalman melanjutkan dramany
Selama berhari-hari, Zalman hanya mengunci diri di kamar. Menolak untuk bertemu dengan siapapun, selain anak-anaknya.Bahkan orang-orang yang bekerja di rumahnya dibuat kewalahan karena Zalman memutuskan segala bentuk kontak fisik, pertemuan, dan laporan apapun yang menyangkut dirinya."Ini Calvin, Pa."Seperti biasa tepatnya setelah peristiwa yang mengharuskan Ghina pergi itu terjadi Calvin bertugas memerhatikan kewarasan Zalman di keluarga ini.Bukan karena mental Papanya itu terganggu, melainkan memang patah hati terkadang membuat seseorang mau tidak mau mulai terbiasa dengan kehidupan baru."Calvin bawa makan malam. Tolong buka pintunya sebentar, biar Calvin bisa masuk," ujar remaja yang masih tabah berada di luar walau sejak tadi panggilannya diacuhkan.Semenjak insiden perginya Ghina, tidak ada kehidupan di rumah itu, begitu suram.Zalman bergumam dari dalam, "Tunggu, Vin. Papa masih bersiap-siap. Tunggu lima menit, ya."Setelah beberapa lama, pintu akhirnya dibuka. Menampilkan







