"Waalaikumsalam, Vin. Kamu di mana sekarang?" balas Zalman sekaligus menanyakan keberadaan sang putra.
"Aku di kantin kampus, Pa. Baru selesai makan siang dan mau kembali ke kelas." Di sana Calvin menunjukan suasana keramain kantin kampus dengan kamera ponselnya sambil merapihkan topi dan jaket tebalnya.
"Makan siang sama siapa?"
"Sama teman-teman, kenapa?"
"Belajar yang benar, Calvin! Jangan pacaran terus," nasehat Zalman.
"Wahhh si kembar cerita apa, Pa?" Calvin langsung paham kemana arah pembicaraan papanya. Pasti adik sepupunya yang kembar lah yang mengadu kalau dia memiliki pacar baru. Pasalnya tadi pagi keduanya melakukan panggilan dengan video saat Calvin baru tiba di kampus untuk kuliah bersama seorang gadis dan gadis itu berbeda dari gadis yang biasanya.
"Si kembar tidak cerita apa-apa, kami sedang makan malam, sudah ya, take care, Assalamualaikum," pamit Zalman.
"Awas ya kalian kalau mengadu yang tidak-tidak sama papa, aku pulang ke Indonesia nanti ku jitak!" teriak Calvin sebelum mengakhiri panggilan dari Zalman. Dia tau kalau adik sepupu kembarnya juga ada di sana.
Zalman geleng kepala dan terkekeh melihat kelakuan putranya. Walaupun jauh mereka masih bisa berinteraksi, hebatnya teknologi. Pria itu bersyukur dunia semakin maju hingga jarak segitu jauhnya bisa di lewati dengan panggilan video seperti yang baru saja dia lakukan bersama sang putra.
"Habiskan makan malam kalian, setelah ini kembali ke kamar dan selesaikan tugas sekolah," titah Zalman tegas.
"Iya, Pa."
"Siap, Om."
Ketiga anaknya kompak menjawab.
Zalman menghela napas panjang. Menjadi orang tua tunggal ternyata tidak semudah yang dia kira, terlebih anaknya ada dua. Di tambah anak kakaknya yang kembar.
Pria itu tersenyum getir saat mengingat di mana dulu ketika mendiang Katrin masih hidup, bagaimana repotnya wanita itu mengurus ke dua anak yang masih kecil-kecil sedangkan Zalman sendiri sibuk di kantor tanpa mau ikut campur urusan rumah, saat Ketrin meninggal semuanya berbeda. Lima tahun Zalman lalui sebagai orang tua tunggal, bekerja mencari nafkah dan menjadi sosok ibu sekaligus menggantikan Katrin mengurus anak-anaknya di rumah. Jangan tanya lelahnya Zalman selama lima tahun ini seperti apa. Sampai dia tidak ada pikiran untuk mencari istri baru, ibu sambung untuk ke empat anaknya. Dia juga tidak mau mencari istri hanya untuk mengurus anak-anak kalau untuk itu dia bisa menyewa pengasuh pikirnya.
Tapi dua tahun terakhir ini Zalman mulai mencari istri yang dia cintai dan mencintai dirinya bersama ke dua anaknya, istri soleha dan ibu sambung yang baik. Tapi nyatanya sulit. Banyak wanita yang mendekati Zalman hanya mencintai dirinya tapi tidak mau menerima ke dua anak-anaknya.
***
"Alhamdulillah." Zalman mengucap syukur saat dia berbaring di atas kasur empuknya. Tidak lama setelah itu, wajah manis Ghina terbesit di benaknya. Apa kabar wanita itu? Sedang apa dia saat ini? Mengapa seketika Zalman merindukannya? Rindu senyumnya, tawanya dan cerita-ceritanya.
"Astagfirullah." Pria itu mengusap wajahnya kasar. Mengingat wanita lain yang bukan istrinya itu tidak baik.
Tapi Zalman tidak bisa pungkiri dia memang sedang memikirkan Ghina saat ini, ingin menghubunginya tapi dia lupa minta nomer ponselnya. Wanita itu juga tidak menghubunginya, walau hanya sekedar mengirimnya pesan. Zalman memandangi ponsel yang baru saja dia ambil di atas nakas dekat kasurnya. Berharap masuk salah satu di antara daftar pesan yang baru masuk ada nomer asing dari Ghina. Tapi nihil, semua pesan yang baru masuk ke ponselnya malam ini tidak ada nomer asing, semua nomer atas nama karyawannya.
Zalman menghela napasnya kasar, kecewa.
***
Di rumah sakit, setelah makan malam dan ada seorang dokter yang datang untuk memeriksanya, Ghina mengambil ponsel.
Di tatapnya ponsel pintarnya itu, perlahan jemarinya mencari di daftar kontak nama Zalman tapi tidak ada di daftar urut huruf 'Z', wanita itu akhirnya mencari dari atas daftar huruf 'A' mungkin saja pria itu menyimpannya dengan nama 'Alman', tapi lagi-lagi nihil. Hingga akhirnya Ghina terkekeh saat melihat nama yang tertera di sana 'Tuan Z'. Ternyata pria itu menyimpannya dengan nama tersebut, lucu sekali. Ternyata Zalman memiliki sisi humor juga, pikir Ghina.
Jemari lentik Ghina mengetik beberapa kalimat pendek, tapi jemari itu seketika terdiam saat ingin menekan kata kirim, akhirnya Ghina menghapus ketikannya itu.
"Sudah malam, dia pasti sedang bersama keluarganya, apa kata istrinya jika ada wanita lain yang mengirim pesan ke ponsel suaminya." Ghina bermonolog sambil memutar ponsel dengan kedua tangannya. Berpikir keras dan memposisikan diri jika dia seorang istri, dia tidak ingin ada wanita lain mengusik mereka terlebih di malam hari saatnya bersama keluarga setelah seharian di luar.
Ghina mengigit bibir bawahnya, kemudian dia meletakan kembali ponselnya ke atas nakas dan tidak lama dia tertidur.
***
Pagi-pagi sekali Zalman susah rapih dengan pakaian kerjanya, kemeja, celana panjang, jas dan sepatu hitam yang selalu mengkilat.
Senyum Zalman mengembang sambil memasang jam tangannya. Entah mengapa pagi ini hatinya senang, apa karena akan bertemu dengan seorang wanita? Ghina?
Setelah berkaca Zalman keluar kamarnya dan menemui putri dan dua keponakannya yang sudah duduk di tempatnya menikmati sarapan tanpa menunggu Zalman. Karena bus sekolah mereka akan tiba lebih pagi jadi mereka harus lebih dulu berangkat.
"Selamat pagi," salam Zalman, pria itu langsung duduk di kursinya.
"Pagi, Pa."
"Pagi, Om."
Ketiganya kompak membalas salam dari Zalman.
Tapi tidak lama suara klakson bus sekolah berbunyi, memanggil penumpangnya.
Kila, Gana dan Gani langsung berpamitan pada Zalman. Mencium punggung tangan sang ayah serta pipi sudah menjadi kebiasaan keluarga Maneer.
"Belajar ya," ucap Zalman dengan sedikit berteriak sebelum ketiga anaknya benar-benar keluar dari rumah.
Semua mengangguk.
Kila yang sedang duduk di bangku SMA satu tempat sekolah dengan SD si kembar. Gedung sekolah terkenal sangat lengkap di mulai dari KB, TK, SD, SMP, SMA. Calvin pun sejak KB sudah bersekolah di sana hingga lulus dan kuliah di Jerman. Zalman mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada sekolahan tersebut. Dimana dulu mendiang Katrin juga alumni sekolah tersebut.
Rumah kembali hening saat semua sudah berangkat sekolah, tinggal Zalman yang tengah meningkat sarapannya, secangkir kopi susu dan roti bakar sambil memainkan ponselnya memeriksa pesan dan email sudah menjadi rutinitas Zalman. Ditemani Mbok Surti dan Mbok Kayum yang membereskan meja makan dari piring bekas anak-anak majikannya.
"Saya berangkat dulu," pamit Zalman pada asistent rumah tangganya setelah sarapannya selesai.
"Iya, Tuan. Hati-hati di jalan," sahut Mbok Kayum kemudian dia menyusul sambil berlari kecil mendahukui Zalman untuk membukakan pintu depan rumah.
"Makasih, Mbok." Zalman menepuk pundak Mbok Kayum kemudian masuk ke dalam mobil yang baru saja di bersihkan oleh Akbar.
"Jalan, Bar. Kita ke rumah sakit dulu," titah Zalman.
Dari sore Ghina sudah bersiap dan tampil cantik, selain menutupi bekas lukanya dengan foundation tebal, wanita memakai poni hingga menutupi keningnya menyamarkan. Baru kali ini dia menggunting rambut dan membuatnya poni, terlihat tambah manis dan imut tanpa mengurangi seksi dari tatapan mata dan bibirnya.Dengan pakaian sedikit formil namun masih seksi, Ghina menunggu mobil yang katanya akan tiba dalam waktu 5 menit untuk menjemputnya di lobby apartement.Tin!Klakson semua mobil mewah berbunyi mengisyaratkan kalau mobil itu datang menjemput Ghina.Dengan kaca hitam yang terbuka sedikit Ghina dapat melihat siapa yang duduk di dalam. Mr.Jansen jauh lebih tampan aslinya dibandingkan pada foto yang mami berikan."Selamat malam," salam Ghina setelah dia masuk ke dalam mobil itu."Selamat malam juga, Ghina. Kamu ternyata sangat cantik," puji Jansen."Terima kasih, Anda juga terlihat tampan," balas Ghina dengan senyum terbaiknya.Sepanjang jalan Ghina hanya terdiam karena Jansen sibuk denga
"Kamu tunggu di mobil aja, Bar. Saya tidak lama," titah Zalman pada sang supir pribadi."Siap, Tuan." Sudah biasa baginya menurunkan sang majikan di pintu utama sebuah gedung kemudian dia memarkir mobil di area parkir dan menunggu hingga Zalman menghubunginya kembali untuk minta jemput.Zalman masuk ke dalam rumah sakit dengan membawa bingkisan buah yang dia beli saat perjalanan tadi.***Betapa terkejutnya Zalman saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap Ghina, tapi ternyata ruangan itu kosong hanya ada ranjang yang sudah rapih.Pria itu kembali keluar kamar dan menghampiri meja jaga khusus suster dan dokter berada."Sus, pasien di kamar VIP atas nama Ghina kemana ya?" tanya Zalman pada salah satu suster jaga di sana."Mba Ghina sudah pulang, Pak. Setengah jam yang lalu setelah kunjungan dokter, beliau memaksa pulang," jawab suster bernama May di nametag-nya.Zalman mengeraskan rahang.'Kenapa dia tidak memberi kabar padaku.' Bathinnya."Apa dia meninggalkan nomer telpon yang bisa di h
"Waalaikumsalam, Vin. Kamu di mana sekarang?" balas Zalman sekaligus menanyakan keberadaan sang putra."Aku di kantin kampus, Pa. Baru selesai makan siang dan mau kembali ke kelas." Di sana Calvin menunjukan suasana keramain kantin kampus dengan kamera ponselnya sambil merapihkan topi dan jaket tebalnya."Makan siang sama siapa?""Sama teman-teman, kenapa?""Belajar yang benar, Calvin! Jangan pacaran terus," nasehat Zalman."Wahhh si kembar cerita apa, Pa?" Calvin langsung paham kemana arah pembicaraan papanya. Pasti adik sepupunya yang kembar lah yang mengadu kalau dia memiliki pacar baru. Pasalnya tadi pagi keduanya melakukan panggilan dengan video saat Calvin baru tiba di kampus untuk kuliah bersama seorang gadis dan gadis itu berbeda dari gadis yang biasanya."Si kembar tidak cerita apa-apa, kami sedang makan malam, sudah ya, take care, Assalamualaikum," pamit Zalman."Awas ya kalian kalau mengadu yang tidak-tidak sama papa, aku pulang ke Indonesia nanti ku jitak!" teriak Calvin s
Ponsel Zalman berbunyi, Ghina langsung terdiam dan menatap Zalman yang tengah berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana."Assalamualaikum," sapa Zalman lebih dahulu saat menjawab panggilan dari sang putri."Waalaikumsalam. Papa di mana? Kok belum pulang?" suara nyaring Kila sampai terdengar oleh Ghina walau tidak di speaker. Hingga membuat wanita berparas manis itu tersenyum getir merasa tidak enak karena Zalman menunggunya di rumah sakit padahal dia tengah di tunggu oleh anak-anaknya di rumah bahkan istrinya juga. Ya, istrinya. Kenapa Ghina bisa melupakan kalau pria itu sudah menikah, memiliki istri dan anak di rumah. Ghina merutuki dirinya yang malah sempat bahagia karena ada Zalman di sana menemaninya."Papa masih di rumah sakit, Sayang. Apa kamu sudah pulanng sekolah?" balas Zalman sambil menatap Ghina yang tengah menunduk."Iya aku sudah pulang sekolah tapi papa gak ada di rumah," protes Kila di seberang sana.Zalman menghela napas panjang dengan memij
"Kenapa Anda panggil saya dengan sebutan 'Tuan', heum?""Soalnya Pak Akbar tadi-""Dia itu karyawan saya, sedangkan Anda bukan, rasanya canggung sekali, bukan? Bagaimana kalau panggil nama saja? Zalman atau Alman?"Kepala Ghina menggeleng, "Tidak sopan rasanya memanggil orang yang lebih di atas saya usianya, terlebih orang tersebut sudah berjasa menolong saya," kelit Ghina. "Bagaimana ... Heum, kalau saya panggil Mas Alman?""Itu lebih baik, Mba Ghina, saya suka kamu memanggil saya dengan sebutan 'Mas' dari pada 'Tuan' seperti tadi," ucap Zalman.Seperti Ghina yang merubah panggilannya, Zalman juga merubah panggilannya dari 'Anda' menjadi 'Kamu' untuk Ghina."So, mau yang mana?" tanya Zalman.Ghina belum menjawab dia bimbang memilih antara makanan rumah sakit dan makan siang milik Zalman.Baru saja Ghina hendak membuka mulut untuk bicara."Kamu makan ini, biar saya makan makanan rumah sakit ini, terlihat lezat." Pria itu mengambil nampan milik Ghina dan kemudian mendekatkan makan sian
Ghina baru menyadari yang di maksud Akbar adalah Zalman, pria yang sudah menolongnya semalam. Kenapa seketika dia menjadi lambat dalam berpikir, mungkin ini karena benturan di kepalanya, pikir Ghina.Ghina terpaku saat melihat penampilan Zalman tampak segar dan lebih santai dengan celana panjang berbahan denim dan kaos berwarna putih, rambut yang masih sedikit basah membuat pesonanya bertambah di mata Ghina.Seketika Ghina menggeleng cepat dan melempar asal tatapannya saat Kedua matanya bertemu dengan mata Zalman. Pipinya merona seperti tomat karena tertangkap sedang menatap Zalman dengan intens."Oh, i-iya. Maaf saya lupa, kepala saya-""Sakit ya, Bu? Saya panggilkan dokter ya," potong Akbar cepat yang langsung keluar tanpa mengindahkan penolakan Ghina."Kamu sudah bangun?" tanya Zalman, pria itu melangkah ke arah sofa dan memasukan pakaian kotornya ke dalam paperbag yang kosong. Begitu juga dengan handuk yang di pakai untuk mengeringkan kepalanya.Kepala Ghina mengangguk saja memben