Home / Romansa / Bidadari Surga Milik CEO / Bab 7. Keluarga Maheer.

Share

Bab 7. Keluarga Maheer.

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-09-17 16:02:32

"Waalaikumsalam, Vin. Kamu di mana sekarang?" balas Zalman sekaligus menanyakan keberadaan sang putra.

"Aku di kantin kampus, Pa. Baru selesai makan siang dan mau kembali ke kelas." Di sana Calvin menunjukan suasana keramain kantin kampus dengan kamera ponselnya sambil merapihkan topi dan jaket tebalnya.

"Makan siang sama siapa?"

"Sama teman-teman, kenapa?"

"Belajar yang benar, Calvin! Jangan pacaran terus," nasehat Zalman.

"Wahhh si kembar cerita apa, Pa?" Calvin langsung paham kemana arah pembicaraan papanya. Pasti adik sepupunya yang kembar lah yang mengadu kalau dia memiliki pacar baru. Pasalnya tadi pagi keduanya melakukan panggilan dengan video saat Calvin baru tiba di kampus untuk kuliah bersama seorang gadis dan gadis itu berbeda dari gadis yang biasanya.

"Si kembar tidak cerita apa-apa, kami sedang makan malam, sudah ya, take care, Assalamualaikum," pamit Zalman.

"Awas ya kalian kalau mengadu yang tidak-tidak sama papa, aku pulang ke Indonesia nanti ku jitak!" teriak Calvin sebelum mengakhiri panggilan dari Zalman. Dia tau kalau adik sepupu kembarnya juga ada di sana.

Zalman geleng kepala dan terkekeh melihat kelakuan putranya. Walaupun jauh mereka masih bisa berinteraksi, hebatnya teknologi. Pria itu bersyukur dunia semakin maju hingga jarak segitu jauhnya bisa di lewati dengan panggilan video seperti yang baru saja dia lakukan bersama sang putra.

"Habiskan makan malam kalian, setelah ini kembali ke kamar dan selesaikan tugas sekolah," titah Zalman tegas.

"Iya, Pa."

"Siap, Om."

Ketiga anaknya kompak menjawab.

Zalman menghela napas panjang. Menjadi orang tua tunggal ternyata tidak semudah yang dia kira, terlebih anaknya ada dua. Di tambah anak kakaknya yang kembar.

Pria itu tersenyum getir saat mengingat di mana dulu ketika mendiang Katrin masih hidup, bagaimana repotnya wanita itu mengurus ke dua anak yang masih kecil-kecil sedangkan Zalman sendiri sibuk di kantor tanpa mau ikut campur urusan rumah, saat Ketrin meninggal semuanya berbeda. Lima tahun Zalman lalui sebagai orang tua tunggal, bekerja mencari nafkah dan menjadi sosok ibu sekaligus menggantikan Katrin mengurus anak-anaknya di rumah. Jangan tanya lelahnya Zalman selama lima tahun ini seperti apa. Sampai dia tidak ada pikiran untuk mencari istri baru, ibu sambung untuk ke empat anaknya. Dia juga tidak mau mencari istri hanya untuk mengurus anak-anak kalau untuk itu dia bisa menyewa pengasuh pikirnya. 

Tapi dua tahun terakhir ini Zalman mulai mencari istri yang dia cintai dan mencintai dirinya bersama ke dua anaknya, istri soleha dan ibu sambung yang baik. Tapi nyatanya sulit. Banyak wanita yang mendekati Zalman hanya mencintai dirinya tapi tidak mau menerima ke dua anak-anaknya. 

***

"Alhamdulillah." Zalman mengucap syukur saat dia berbaring di atas kasur empuknya. Tidak lama setelah itu, wajah manis Ghina terbesit di benaknya. Apa kabar wanita itu? Sedang apa dia saat ini? Mengapa seketika Zalman merindukannya? Rindu senyumnya, tawanya dan cerita-ceritanya.

"Astagfirullah." Pria itu mengusap wajahnya kasar. Mengingat wanita lain yang bukan istrinya itu tidak baik.

Tapi Zalman tidak bisa pungkiri dia memang sedang memikirkan Ghina saat ini, ingin menghubunginya tapi dia lupa minta nomer ponselnya. Wanita itu juga tidak menghubunginya, walau hanya sekedar mengirimnya pesan. Zalman memandangi ponsel yang baru saja dia ambil di atas nakas dekat kasurnya. Berharap masuk salah satu di antara daftar pesan yang baru masuk ada nomer asing dari Ghina. Tapi nihil, semua pesan yang baru masuk ke ponselnya malam ini tidak ada nomer asing, semua nomer atas nama karyawannya.

Zalman menghela napasnya kasar, kecewa. 

***

Di rumah sakit, setelah makan malam dan ada seorang dokter yang datang untuk memeriksanya, Ghina mengambil ponsel.

Di tatapnya ponsel pintarnya itu, perlahan jemarinya mencari di daftar kontak nama Zalman tapi tidak ada di daftar urut huruf 'Z', wanita itu akhirnya mencari dari atas daftar huruf 'A' mungkin saja pria itu menyimpannya dengan nama 'Alman', tapi lagi-lagi nihil. Hingga akhirnya Ghina terkekeh saat melihat nama yang tertera di sana 'Tuan Z'. Ternyata pria itu menyimpannya dengan nama tersebut, lucu sekali. Ternyata Zalman memiliki sisi humor juga, pikir Ghina.

Jemari lentik Ghina mengetik beberapa kalimat pendek, tapi jemari itu seketika terdiam saat ingin menekan kata kirim, akhirnya Ghina menghapus ketikannya itu.

"Sudah malam, dia pasti sedang bersama keluarganya, apa kata istrinya jika ada wanita lain yang mengirim pesan ke ponsel suaminya." Ghina bermonolog sambil memutar ponsel dengan kedua tangannya. Berpikir keras dan memposisikan diri jika dia seorang istri, dia tidak ingin ada wanita lain mengusik mereka terlebih di malam hari saatnya bersama keluarga setelah seharian di luar.

Ghina mengigit bibir bawahnya, kemudian dia meletakan kembali ponselnya ke atas nakas dan tidak lama dia tertidur.

***

Pagi-pagi sekali Zalman susah rapih dengan pakaian kerjanya, kemeja, celana panjang, jas dan sepatu hitam yang selalu mengkilat.

Senyum Zalman mengembang sambil memasang jam tangannya. Entah mengapa pagi ini hatinya senang, apa karena akan bertemu dengan seorang wanita? Ghina? 

Setelah berkaca Zalman keluar kamarnya dan menemui putri dan dua keponakannya yang sudah duduk di tempatnya menikmati sarapan tanpa menunggu Zalman. Karena bus sekolah mereka akan tiba lebih pagi jadi mereka harus lebih dulu berangkat.

"Selamat pagi," salam Zalman, pria itu langsung duduk di kursinya.

"Pagi, Pa."

"Pagi, Om." 

Ketiganya kompak membalas salam dari Zalman.

Tapi tidak lama suara klakson bus sekolah berbunyi, memanggil penumpangnya.

Kila, Gana dan Gani langsung berpamitan pada Zalman. Mencium punggung tangan sang ayah serta pipi sudah menjadi kebiasaan keluarga Maneer.

"Belajar ya," ucap Zalman dengan sedikit berteriak sebelum ketiga anaknya benar-benar keluar dari rumah.

Semua mengangguk.

Kila yang sedang duduk di bangku SMA satu tempat sekolah dengan SD si kembar. Gedung sekolah terkenal sangat lengkap di mulai dari KB, TK, SD, SMP, SMA. Calvin pun sejak KB sudah bersekolah di sana hingga lulus dan kuliah di Jerman. Zalman mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada sekolahan tersebut. Dimana dulu mendiang Katrin juga alumni sekolah tersebut.

Rumah kembali hening saat semua sudah berangkat sekolah, tinggal Zalman yang tengah meningkat sarapannya, secangkir kopi susu dan roti bakar sambil memainkan ponselnya memeriksa pesan dan email sudah menjadi rutinitas Zalman. Ditemani Mbok Surti dan Mbok Kayum yang membereskan meja makan dari piring bekas anak-anak majikannya.

"Saya berangkat dulu," pamit Zalman pada asistent rumah tangganya setelah sarapannya selesai.

"Iya, Tuan. Hati-hati di jalan," sahut Mbok Kayum kemudian dia menyusul sambil berlari kecil mendahukui Zalman untuk membukakan pintu depan rumah.

"Makasih, Mbok." Zalman menepuk pundak Mbok Kayum kemudian masuk ke dalam mobil yang baru saja di bersihkan oleh Akbar.

"Jalan, Bar. Kita ke rumah sakit dulu," titah Zalman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bidadari Surga Milik CEO   Bab 109. Alasan Kemarahan Zalman.

    "Wajahmu akan cepat tua kalau ditekuk terus menerus seperti itu, Vin," sungut Zalman, menyelaraskan diri dengan kekesalan sang putra.Baginya, ini sangat tidak seimbang. Cuaca yang cerah dan aktivitas menyenangkan harus rusak karena penolakan yang dilakukan Calvin."Coba dulu nikmati, nanti kamu suka.""Suka darimana," jengah remaja tampan itu, "Sudah Calvin bilang, Calvin benci menunggu yang tidak pasti begini, Pa."Mata Zalman menyipit, mengarahkan jari telunjuknya ke bibir. "Ssttt, sejak kapan memancing disamakan dengan menunggu yang tidak pasti?""Kalau menunggu yang tidak pasti tuh, mencintai seseorang yang enggan untuk mencintai kita balik, Vin. Beda, dong," seloroh Zalman.Membuat Calvin merinding, tak tahan membayangkan harus berapa lama ia ada di sana."Kunci memancing itu harus sabar. Dengan begitu, umpan yang kita lempar pasti dapat hasilnya. Ini soal tabah dan penantian," ujar ayah dari lima orang anak itu, menasihati.Belum berselang sedetik dari menyelesaikan kalimatnya,

  • Bidadari Surga Milik CEO   Bab 108. Sampai pada Zalman. 

    Bian yang jelas aja sudah terpojok dan tidak bisa menyangkal dari pertanyaan Zalman hanya mampu terdiam hingga beberapa lama."Apa Ghina benar baik-baik saja, Bian?" desak Zalman, menunggu kalimat penjelasan dokter muda kepercayaan keluarganya.Sementara Bian, jangan tanya betapa gugupnya ia.Memikirkan dengan cara apa bisa menarik perhatian Zalman ke arah lain tidak lagi berpokus membahas perihal kondisi kesehatan Ghina yang jawabannya jelas tidak mungkin ia rahasiakan."Sesuatu pasti terjadi, 'kan?""Ada yang salah dengan Ghina?""Dia baik-baik saja atau kamu berusaha menyembunyikan sesuatu yang berkaitan dengannya, Bian?""Katakan sesuatu, jangan hanya diam!"Awalnya, Zalman menjadi yang paling tidak peduli dan tertarik dengan hal ini. Bianlah yang memancing pria itu untuk mencurigai ada hal yang tidak beres."Bu-bukannya tadi kamu yang memutuskan enggak mau membahas soal Ghina lagi, Zalman?" Bian mengungkit sikap Zalman, sebelum perdebatan ini."Menurutku, akan percuma saja bila h

  • Bidadari Surga Milik CEO   Bab 107. Pesan dari Ghina. 

    Zalman baru mulai menyadari betapa cantiknya suasana malam setelah ia menjadi pengunjung tetap balkon di gedung perusahaannya.Dari sana, seluruh pemandangan kota bisa dilihat dengan mudah. Mulai dari bangunan yang sama mewah seperti miliknya, sampai kerlap–kerlip lampu yang terus menyala.Wajahnya terasa kaku, sebab dinginnya angin tidak berhenti mengusiknya, sedari tadi."Hari ini, saya mendengar seseorang menyebut namamu lagi, Ghina." Bibir ranum itu mulai bergerak.Suara bariton khasnya yang penuh wibawa memecah keheningan dalam sekejap. "Saya agak terkejut. Jujur saja, jantung saya tidak bisa berhenti berdebar. Sudah lama sekali tidak ada yang menyinggung soal dirimu, kepada saya."Yang semula baik-baik saja, mulai terdengar gemetar. "Saya takut, Ghina. Saya takut mulai terbiasa tanpamu," bisik pria itu, begitu serak.Bicara seorang diri adalah kegiatan menyedihkan yang akhir-akhir ini Zalman lakukan. Demi menuntaskan rasa sedih dan rindunya pada Ghina.Bohong bila Zalman mengata

  • Bidadari Surga Milik CEO   Bab 106. Gugatan Cerai.

    "Tidak bisa.""Aku sudah katakan, ini kondisi darurat. Kita tahu Zalman mungkin akan keberatan, tapi lebih baik seperti itu daripada berakhir menyesal."Saat berbicara dengan Soraya di telpon membahas perihal Zalman yang harus mengetahui kabar mengenai kondisi Ghina, Bian terlampau pokus.Dokter muda itu sama sekali tidak menyadari kalau istri sahabatnya justru sedang berada tepat di belakangnya, ikut mendengarkan."Aku akan tetap menemui Zalman, dan mengatakan segalanya.""Membiarkannya untuk melampiaskan amarah jauh lebih baik daripada membuatnya terpuruk. Saat dia tahu kebenaran, mungkin dia sudah sangat terlambat."Hampir setengah jam lamanya Bian dan Soraya berdiskusi, mengambil jalan tengah.Jelas keputusan yang sulit karena luka Zalman sendiri belum sepenuhnya sembuh. Apa yang Ghina torehkan pada pria itu sepertinya membuat trauma besar.Selesai bicara, hendak bersiap-siap pergi ke kantor dimana tempat kekasihnya bekerja, Bian terkejut hingga kehilangan keseimbangannya.Tepat t

  • Bidadari Surga Milik CEO   Bab 105. Ada Apa dengan Ghina?

    Brak!"Saya tidak bisa selesaikan ini, Ra."Soraya yang baru meletakkan setumpuk laporan langsung memusatkan fokus pada sang Pimpinan.Matanya terbuka lebar.Zalman nampak kesal. Memerhatikan kertas yang harus ia baca dan setujui itu dengan ekspresi dingin."Apa ini masuk akal?""Saya sudah tanda tangani ratusan laporan, sejak pagi. Tapi lihat, kamu masih memberinya lagi dan lagi?" seloroh pria itu, tak biasanya bersikap kekanak-kanakan.Menekuk wajah dan acuh pada kehadiran Soraya di ruangan tersebut. "Tega sekali kamu, Ra. Ini penyiksaan, kamu tau?"Rahang gadis itu jatuh, tak percaya. "Sebentar, tapi apa yang terjadi, Pak?""Apanya? Saya bilang saya tidak mau lanjut!""Y-ya, tapi kenapa mendadak seperti ini?""Saya mau istirahat. Kita selesai hari ini," panjang lebar Zalman memerintahkan, satu tangannya ia gunakan memijat pelipisnya pelan.Apa yang bisa dilakukan jika atasan berpesan padanya seperti itu, Soraya hanya bisa menurut. Ia hendak pergi, sebelum Zalman melanjutkan dramany

  • Bidadari Surga Milik CEO   Bab 104. Zalman Perlahan Bangkit.

    Selama berhari-hari, Zalman hanya mengunci diri di kamar. Menolak untuk bertemu dengan siapapun, selain anak-anaknya.Bahkan orang-orang yang bekerja di rumahnya dibuat kewalahan karena Zalman memutuskan segala bentuk kontak fisik, pertemuan, dan laporan apapun yang menyangkut dirinya."Ini Calvin, Pa."Seperti biasa tepatnya setelah peristiwa yang mengharuskan Ghina pergi itu terjadi Calvin bertugas memerhatikan kewarasan Zalman di keluarga ini.Bukan karena mental Papanya itu terganggu, melainkan memang patah hati terkadang membuat seseorang mau tidak mau mulai terbiasa dengan kehidupan baru."Calvin bawa makan malam. Tolong buka pintunya sebentar, biar Calvin bisa masuk," ujar remaja yang masih tabah berada di luar walau sejak tadi panggilannya diacuhkan.Semenjak insiden perginya Ghina, tidak ada kehidupan di rumah itu, begitu suram.Zalman bergumam dari dalam, "Tunggu, Vin. Papa masih bersiap-siap. Tunggu lima menit, ya."Setelah beberapa lama, pintu akhirnya dibuka. Menampilkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status