Bab 2
Pertemuan dengan Mantan
Tak terasa sudah lima tahun kami menikah. Tapi Kami belum diberi keturunan.
Aku merindukan suara tawa dan tangis anak kecil. Namun, aku harus bersabar. Mungkin belum saatnya. Terkadang kulihat istriku merenung, sepertinya dia bersedih.
"Sabar sayang, mungkin belum saat ini," ujarku, ketika dia menunjukkan garis satu pada tespek yang baru dipakainya.
"Iya sayang, terima kasih ya sudah mau sabar selama ini bersamaku."
Pernikahan kami telah menginjak lima tahun, belum ada tanda-tanda istriku hamil.
Sedih, iya pasti. Tapi aku yakin, istriku pasti lebih sedih. Memang belum banyak usaha eksternal yang kami lakukan. Ke dokter saja kami belum sempat, karena kesibukanku. Pulang kerja, aku sudah lelah. Kalau harus ke dokter, mengantre, rasanya belum ada waktu luang bagi kami untuk ke dokter.
Kulihat murung di wajahnya. Aku berusaha menghiburnya.
"Sayang, jangan bersedih ya. Kita harus percaya, pasti kita akan mempunyai keturunan."
"Terima kasih sayang," jawabnya tetap dengan wajah murung, sambil melangkah ke kamar.
"Aku pusing, aku tidur dulu ya sayang."
Aku mengangguk, tak banyak kata kuucapkan, pasti hatinya sangat sedih. Aku juga bingung bagaimana harus menghibur hatinya lagi.
Pagi ini aku memulai aktivitas seperti biasa. Kulihat Rania masih tergolek lemah di kasur.
“Kamu sakit sayang?” tanyaku padanya.
“Enggak, cuma agak lemas badanku. Mungkin kurang istirahat,” jawabnya.
“Sebaiknya kamu istirahat saja, tidak usah masak. Sebentar lagi kubelikan nasi uduk untuk sarapan. Sekalian juga kubelikan sayur dan lauk untuk makan siang. Nasi biar aku yang masak,” ujarku pada Rania.
Rania hanya mengangguk, lalu kubiarkan dia beristirahat lagi. Supaya bisa menenangkan pikirannya.
Kemudian aku segera memasak nasi, membuatkan susu hangat untuk istriku, dan meluncur ke pasar dekat rumah membeli nasi uduk dan makanan untuk keperluan Rania.
Sepulang dari pasar, kulihat Rania masih tertidur. Kubangunkan agar segera minum susu dan sarapan.
“Ayah berangkat dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa hubungi ayah. Nanti sore kita ke dokter,” pesanku pada Rania.
“Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan, dan lancar pekerjaan hari ini,” jawab Rania sembari meraih tanganku dan menciumnya.
Aku segera berangkat ke kantor, karena aku tak mau terlambat. Sebagai manager harus bisa memberi contoh yang baik pada karyawan lainnya.
“Pagi pak,” sapa salah satu karyawan.
Aku melambaikan tangan, dan menjawab sapaannya juga.
Aku bergegas menuju ruanganku agar bisa segera menyelesaikan laporan hari ini. Karena nanti jam sepuluh ada meeting dengan klien.
Sebelum sampai ke ruangan, aku hampiri meja asistenku, Tya namanya.
“Bagaimana persiapan meeting hari ini?” tanyaku pada Tya.
“Sudah siap Pak, semua berkas yang harus diperiksa sudah saya letakkan di meja Bapak,” jawab Tya.
Aku memeriksa berkas yang sudah dipersiapkan Tya. Aku teliti satu persatu, jangan sampai ada yang terlewat.
Tiba-tiba seseorang memasuki pintu ruanganku yang terbuka. Masuk seorang wanita berpakaian tak pantas. Aku segera menundukkan pandanganku.
“Maaf, Anda siapa? Tidak pantas masuk ruangan saya tanpa ijin. Mohon keluar dari ruangan saya, sebelum saya panggilkan satpam,” tegasku pada wanita tak tau diri itu.
“Eh, kok malah duduk,” omelku karena wanita itu dengan seenaknya duduk di depanku tanpa menunggu ijin dariku. Dia sibuk membetulkan pakaiannya yang kekurangan bahan, karena ada bagian yang tidak tertutup sempurna.
Ingin kuteriak dan segera mengusir wanita ini. Gagang telepon segera diraih karena hendak menghubungi Tya, agar memberitahukan pada satpam.
Wanita itu lebih cepat meraih gagang telepon dan meletakkan kembali pada tempatnya.
Apa sih maunya orang ini? Oke aku ikuti permainannya.
“Perkenalkan, saya cindy,” dia mengulurkan tangan. Namun aku tak perduli, sebelum dia menjelaskan apa maksud kedatangannya.
Sebelum dia melanjutkan dialognya, aku mengambil taplak meja, dan kututupkan pada tubuhnya yang mengganggu itu. Hehehehe.
“Dilarang protes, atau aku keluar sekarang,” ujarku.
“Oke,” jawabnya singkat.
“Kamu beneran lupa sama aku?” ucapnya dengan manja.
“Untuk apa aku mengingat kamu? Tak penting,” jawabku jengkel.
Aku berusaha mengingat nama Cindy. Aku lupa apa mungkin aku punya teman bernama Cindy?
Baru kuingat, iya dia Cindy temanku ketika SMP. Kenapa dia berubah jadi seperti ini. Dulu dia sangat sopan. Sekarang dia berubah seratus delapan puluhderajat.
Aku tahu kenapa dia bisa masuk melewati satpam, karena Cindy adalah sahabat bosku. Cindy juga pernah menyatakan cintanya padaku. Tapi aku menolaknya. Karena aku sudah terlanjur cinta mati pada seseorang.
“Iya aku ingat, apa kabar?” sapaku seraya berdiri menuju pintu dan keluar dari ruanganku. Aku duduk di sofa ruang tunggu di sebelah meja Tya. Aku merasa tak nyaman jika harus berduaan dengannya di ruanganku. Bahaya guys!
“Kamu mau kemana?” pekiknya sambil melangkah mengikutiku lalu duduk di sebelahku yang terhalang meja. Kalau begini kan aman, batinku. Hehehe, aku terkekeh dalam hati.
“Kabarku baik, kamu enggak kangen sama aku? Aku baru pulang lulus S2 di Australia. Semalam baru tiba di Jakarta, langsung meluncur kesini,” ucapnya.
Namun, aku tak perduli. “Maaf, saya masih banyak urusan, saya juga sudah menikah, istri saya menunggu dirumah,” jawabku ketus.
“Baiklah, maaf sudah mengganggu,” jawabnya sedih, lalu dia pergi ke arah ruangan direktur. Mungkin mau bertemu sahabatnya. Aku kembali ke ruanganku dan kembali berjibaku dengan tugas.
Tak terasa sudah pukul sembilan lewat tiga puluh, Tya mengetuk pintu sembari mengingatkanku waktunya meeting.
“Maaf Pak, kita tidak jadi meeting di luar, rekan bisnis sudah datang ke kantor kita. Sudah saya persilakan menunggu di ruang meeting. Berkas juga sudah saya siapkan. Bapak sudah siap?” ucap Tya panjang lebar.
“Oke, terima kasih Tya. Mari kita segera ke ruangan meeting.” Aku tidak mau mengecewakan rekan bisnis kami yang baru. Karena jika proyek ini berhasil, bisa membuat banyak perubahan untuk perusahaan.
Aku melangkah memasuki ruang meeting, dan terkejut. Ternyata ada Cindy. Ya Tuhan, kenapa dia ada di sini? Aku harus tenang dan tidak boleh panik.
Ketika semua semua duduk di tempatnya, aku memulai meeting dengan menjelaskan prosedur, rancangan bamgunan dan rincian biaya yang diperlukan untuk pembangunan perumahan di kawasan elite yang disertai dengan mall dan water park. Tentu saja, mall adalah surga belanja para wanita dan untuk tempat bermain anak-anak, water park.
“Bismillah. Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas kehadiran rekan bisnis kami dari Mars Corp. Saya Reno akan menjelaskan tentang desain bangunan untuk perumahan dan mall serta water park yang akan kita bangun bersama,” ucapku mengawali meeting hari ini.
Setelah aku menjelaskan semuanya, rekan bisnisku berdecak kagum. Memuji keahlianku dalam mendesain dan merinci biaya untuk proyek ini.
“Luar biasa desainnya Pak Reno,” sanjung Pak Ahmad.
“Kami setuju dengan rencana yang dibuat Pak Reno, tapi semua keputusan ada pada pimpinan kami. Perkenalkan beliau Ibu Cindy, pemilik perusahaan Mars Corp yang akan membiayai semua proyek ini, jika beliau menyetujui,” jelasnya kemudian.
Semua pasti dapat menyaksikan kepanikan di raut wajahku. Aku tidak menyangka, Cindy ternyata sudah sukses menjadi direktur dan membangun perusahaan sendiri. Aku malu mengingat kelakuanku padanya tadi.
“Baik Pak Reno, saya setuju dengan Pak Ahmad, saya suka sekali dengan presentasi anda. Beri kami waktu, akan kami pertimbangan ide Anda. Segera kami beri kabar mengenai keputusannya. Semua akan menjadi mudah. Jika Anda juga memberi kemudahan,” ucap Cindy.
Aku tidak mau berpikiran buruk, aku yakin Cindy pasti memberi jalan untuk proyekku ini. “Baik Pak Ahmad dan Bu Cindy, terima kasih atas waktu dan perhatiannya. Semoga kerjasama kita bisa berlanjut,” jawabku.
“Sekian meeting hari ini, kami tunggu informasi dari Pak Ahmad untuk kelanjutannya. Terima kasih atas kehadirannya. Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” ucap Tya menutup meeting.
“Reno,” panggil Cindy.
“Iya, bu Cindy? Ada yang bisa dibantu?”
“Apakah Kamu bersedia makan siang dengan saya?”
“Maaf Bu Cindy, saya sudah membawa bekal, istriku yang selalu menyiapkannya.”
“Bagaimana kalau sekedar menemani saya minum kopi?”
“Maaf, Bu, saya sedang sibuk.”
“Baiklah kalau begitu. Kapan ada waktu? Bukankah Kamu ingin proyek kamu lolos?”
“Maaf Bu, bukankah kita tadi sudah membicarakannya?”
“Sepertinya Kamu masih belum paham. Besok siang, saya tunggu di kantor saya. Terima kasih,” ujar Cindy mengakhiri dialognya dan pergi bersama Pak Ahmad meninggalkan kantor kami. Tanpa menunggu keputusanku.
Apa ya maunya Cindy? Kenapa dia seperti ingin menyampaikan sesuatu? Namun tidak segera disampaikannya.
“Tya, besok siang saya ada jadwal? Tolong atur jadwal, besok siang saya meeting di kantor Mars corp. Kamu tadi juga mendengar kalau Bu Cindy memintaku kesana.besok siang?” tanyaku pada Tya.
“Ada pak, dengan Jaya Karsa. Apa perlu saya atur ulang jadwalnya?”
“Iya Tya, tolong kamu atur lagi jadwal dengan Jaya Karsa. Kalau jadwal pagi kosong, coba tanya rekan Jaya Karsa, apa berkenan meeting besok pagi!.”
“Baik, pak.”
Tya segera menelepon Pak Martin, rekan bisnis dari Jaya Karsa. “Selamat siang Pak Martin. Saya Tya dari PT. Maha Daya.”
“Ada yang bisa dibantu Bu tya?” jawab pak Martin.
“Mohon maaf sebelumnya pak. Saya meminta ijin untuk meeting besok siang, apa bisa diatur ulang jadwalnya? Kebetulan kami ada keperluan mendadak.”
“Kebetulan sekali Bu Tya, kami sebenarnya hendak menghubungi Anda juga. Besok jam 1 siang saya dan pimpinan harus melaksanakan perjalanan ke Surabaya. Bagaimana kalau meeting dijadwalkan besok jam 9 pagi?”
“Baik pak, kami juga bisa besok pagi. Terima kasih atas waktunya. Wassalamu’alaikum,” ucap Tya mengakhiri percakapannya.
Bab 22Siapa di ruang ICU?Gawai Reno berdering ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nama Rania tertera di layar. Reno segera menerima panggilan teleponnya dan hendak menyampaikan pada Rania bahwa dia belum bertemu dengan suaminya—Mas Alif.Rania berniat menyampaikan Bela sungkawa atas kepergian dokter Dewi, Rania juga menanyakan apakah Reno sudah bertemu dengan Mas Arif dan dia juga meminta maaf belum sempat untuk berangkat ke Bali karena Rania baru membaca informasi bahwa dokter Dewi telah meninggal setelah salat subuh tadi.Reno mengatakan bahwa dia belum bertemu dengan Mas Alif.Rania bertanya apakah sebaiknya dia berangkat ke Bali. Kemudian Reno menjelaskan jika ada waktu sebaiknya Rania berangkat ke Bali. Akhirnya dia memutuskan untuk segera memesan tiket dan menyusul berangkat ke Bali.Setelah sampai di rumah sakit, Reno segera mend
Bab 21Jasad siapa?Suster membuka perlahan pintu kamar jenazah. Dia menuntun Reno dan Pak Polisi mengikutinya.“Silahkan diperiksa Pak Reno, apakah anda mengenalinya?” kata suster rumah sakit pada Reno.“Baik, Bu,” jawab Reno dengan perasaan yang was-was.Bismillah, aku harus siap apapun yang terjadi batin Reno.Perlahan suster membuka kain yang menutup jenasah tersebut. Hanya dalam hitungan detik, Reno langsunh terkulai lemas. Sekujur tubuhnya seperti mati rasa. Dia ambruk, terduduk di lantai kamar jenasah. Suster segera menutup kembali kain putih yang tadi dibukanya.‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,” Reno mengucapkannya dengan gemetar.Pak Polisi berusaha membimbing Reno untuk berdiri. Akhirnya Reno bisa bangkit lagi, kemudian suster mengarahkan Reno dan Pak Polisi untuk ber
Bab 20Reno menyelidiki kasus sampai ke rumah sakitReno menuju resepsionis dan menjelaskan semua kejadiannya, setelah sampai di Rumah Sakit.Pihak Rumah Sakit meminta identitas Reno dan mengambil fotonya kemudian dikirim pada polisi yang bertugas menyelidiki tentang kecelakaan ini.Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa korban sopir taxi selamat namun sedang dirawat di ruang ICU karena kondisinya yang parah. Dua korban penumpang, yang satu tidak dapat diselamatkan dalam perjalanan menuju rumah sakit, sedangkan satu korban penumpang di ruang ICU juga.Reno berhasil mendapatkan informasi dimana korban ditempatkan.“Anda hendak melihat korban yang di ICU atau yang meninggal? Tanya Pak Polisi pada Reno.“Sebaiknya korban meninggal duluan, Pak,” ujar Reno.Seorang suster dan Pak polisi membawa Reno ke sebua
Bab 19Satu per satu fakta terungkapReno segera meninggalkan rumah setelah ojek yang dipesan datang menghampiri dan segera menuju losmen terdekat, karena dia tak mau boros jika harus menginap di hotel. Sungguh kekecewaan yang muncul di hatinya. Reno tak menyangka ini semua bisa terjadi.Satu-satunya orang yang telah memberinya kepercayaan penuh untuk menjalin hubungan pernikahan, tetapi mengapa malah menyakiti hatinya.Kecewa sudah pasti. Sekarang dia bingung harus bagaimana membuat keputusan. Apakah memberi kesempatan untuk Dokter Dewi memberikan penjelasan dan memaafkan semuanya asal mereka berjanji tidak akan melanjutkan hubungan terlarang mereka, atau berhenti disini saja?Rasanya tak sanggup Reno harus menjalani semuanya. Rania, tiba-tiba dia teringat akan Rania. Apa yang harus dijelaskan padanya? Atau sebaiknya diam saja dan berpura-pura tidak mengetahui peristiwa tragis yang barusan te
Bab 18Akhirnya bertemu dengan Dokter Dewi dan Mas AlifReno melajukan kendaraannya ke arah bandara. Setelah sampai di parkiran mobil, dia segera menuju ke maskapai penerbangan yang digunakan istrinya dan Mas Alif.“Selamat siang, Pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya pegawai maskapai penerbangan tersebut.“Selamat siang, ada beberapa yang ingin saya tanyakan masalah penerbangan pagi ini,” jawab Reno.“Mari, Pak silahkan duduk dulu,” ujar pegawai itu.“Baik, Pak, perkenalkan nama saya Weni, silahkan dijelaskan lagi,” ujarnya.“Jadi begini, tadi pagi istri saya dan kakak saya pergi dengan tujuan ke Bali menggunakan maskapai penerbangan ini. Namun sampai siang ini, mereka tidak bisa saya hubungi. Nomer ponselnya masih belum aktif,” jelas Reno pada Bu weni.&ldq
Bab 17Rania kebingungan mencari Mas AlifAkhirnya dia berpikiran untuk menghubungi Rania, ketika mencari nama Rania di kontak teleponnya, ternyata ada panggilan masuk pada ponselnya dari Rania maka Reno langsung menggeser tombol hijau yang bergoyang-goyang.[Assalamu’alaikum, Reno, maaf sebelumnya apa saya bisa meminta tolong?]Belum sempat Reno berbicara, rania sudah menyapanya terlebih dahulu.[Wa’alaikumsalam iya, Rania apa yang bisa kubantu?]Reno terdiam sejenak, tidak langsung menceritakan bahwa Dokter Dewi dan Mas Alif tidak bisa dihubungi.[Kamu sekarang berada dimana?][Aku masih di kantor, baru selesai sholat][Maaf sebelumnya, apa Dokter Dewi sudah sampai Bali?]Aku tersentak mendengar pertanyaannya, belum satu pertanyaan aku jawab, dia sudah bertanya lagi.&n