Pov Cindy
Aku Harus Mendapatkanmu Reno
Aku merindukan negeri tempat aku dilahirkan. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki lagi di negeri tercintaku ini, sejak bertahun-tahun harus kutinggalkan demi menuntut ilmu ke negeri seberang.
Hampir enam tahun aku tinggal di Australia. Sahabatku memberi bantuan biaya untuk menempuh pendidikan di Australia, karena mengetahui kepandaianku dan membutuhkan teman selama tinggal di negeri orang. Dia juga membutuhkan aku untuk menjalankan bisnis yang akan kami rintis bersama, sehingga dia membawaku serta meraih pendidikan yang terbaik, agar nantinya aku bisa menyeimbangkan kualitas diri untuk mengatur bisnisnya nanti.
Pada awalnya aku menolak, karena tak mudah harus berpisah dengan orang tua dan keluarga besar selama bertahun-tahun. Namun, ayah dan ibuku memberi kekuatan.
Mereka bilang bahwa tak mengapa berpisah sejenak, demi masa depan yang lebih baik lagi. Ibu juga mengingatkan bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Apalagi semua biaya kuliah, tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari ditanggung sahabatku. Dia juga menjelaskan, aku bisa bekerja sembari kuliah, jadi bisa mendapatkan uang tambahan yang bisa kukirimkan untuk ayah dan ibuku. Akhirnya aku menerima ajakan itu.
Kini setelah pendidikan selesai, aku kembali lagi ke tanah air, Indonesia. Negeri yang kubanggakan. Aku segera menemui jemputan yang sudah disiapkan oleh sahabatku yang bernama Bramantya. Aku telah berhutang banyak padanya.
Segera kehidupkan gawaiku dan menghubungi Bramantya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa'alaikumsalam. Sudah sampai bandara Cindy?”
“Iya Bram. Alhamdulillah, aku barusan landing.”
“Sopirku sudah menungggumu di sana. Pak Rahmat namanya. Nomer beliau sudah aku kirim. Kamu hubungi dia. Aku sudah kangen sama kamu.”
“Hahahaha. Bercanda kamu Bram. I miss you too. Oke aku hubungi Pak Rahmat. Thank you babe.”
Aku mengakhiri telepon dan segera menghubungi Pak Rahmat melalui fitur panggilan video.
“Assalamu'alaikum. Dengan Pak Rahmat?”
“Wa’alaikumsalam. Iya, Bu Cindy. Saya Pak Rahmat. Ibu sudah sampai bandara. Saya sudah di depan pintu keluar bandara.”
“Baik, Pak. Mohon ditunggu, ya. Saya masih mengambil koper dan barang-barang lainnya. Nanti saya hubungi lagi kalau sudah lengkap barang-barang saya. Terima kasih, Pak.”
“Iya, Bu Cindy.”
Aku segera menuju pintu keluar setelah semua barang-barangku terkumpul. Tak sulit mencari Pak Rahmat, karena aku sudah melihat wajahnya dari video call tadi.
Setelah sampai di pintu keluar, aku menghampiri Pak Rahmat.
“Mari, Bu. Saya bantu.”
“Terima kasih, Pak Rahmat.”
Ternyata beliau belum terlalu tua. Perkiraanku usianya sekitar empat puluh tahun.
Aku ikuti sopir Bram menuju parkiran mobil. Pak Rahmat menata barang-barangku di bagasi.
“Mau kemana, Bu Cindy?”
“Langsung menemui Pak Bramantya saja, Pak Rahmat.”
“Baik, Bu.”
“Perjalanannya berapa jam, Pak?”
“Kalau lancar sekitar satu jam, Bu. Kalau macet, saya tidak bisa memprediksi. Apa Ibu buru-buru? Karena kalau lewat jalan tikus akan semakin lama.”
“Tidak usah lewat jalan tikus, Pak. Saya tidak terburu-buru. Saya istirahat sebentar ya, Pak. Tolong bangunkan saya kalau sudah hampir sampai. Supaya saya bisa merapikan diri.”
“Siap, Bu.”
Sebaiknya aku tidur saja sebentar, mata dan badanku rasanya lelah sekali.
“Maaf, Cindy. Kamu memang cantik, baik. Tapi hatiku belum bisa menerima cintamu. Sebaiknya kita bersahabat saja, ya. Aku akan menjadi kakak yang siap membantu jika kamu sedang besedih.”
“Tapi aku mencintaimu, Kak Reno.”
“Iya sama, aku juga sayang sama kamu. Tapi hanya sebatas sahabat. Kita masih terlalu muda untuk berpacaran. Sebaiknya kamu fokuskan diri dengan belajar untuk meraih cita-citamu.”
Tiba-tiba aku terbangun. Ternyata aku bermimpi. Ingatanku tentang Reno sering muncul, bahkan datang lewat bunga tidur.
“Sebentar lagi sudah sampai, Bu. Sekitar lima belas menit lagi.” Pak Rahmat mengingatkanku. Mungkin beliau sudah melihat aku terbangun.
Aku segera merapikan diri. Tak ingin terlihat kucel dan berantakan di depan Bram.
Pak Rahmat memasuki sebuah gedung yang sangat megah. Sepertinya ini perusahaan Bramantya. Mewah sekali. Tentu saja, Bram adalah pengusaha sukses, walaupun dia tidak merintisnya sendiri, tapi meneruskan perusahaan ayahnya. Namun, Bram ingin mandiri, sehingga dia dan sahabat-sahabatnya membangun perusahaan juga.
“Silahkan, Bu. Ini kantor pak Bram.” Pak Rahmat membukakan pintu untukku.
“Terima kasih, Pak. Saya titip barang-barang, ya.”
“Baik, Bu.”
“Tamu Pak Bram,” kata Pak Rahmat pada satpam yang menjaga pintu.
Kemudian mereka membukakan pintu untukku.
“Hai Cindy, apa kabar? Bagaimana penerbanganmu?” sapa Bram setelah aku memasuki lobby kantor. Ternyata dia sudah menungguku.
Dia menghampiri sambil merentangkan tangan hendak memeluk. Aku menyambutnya dengan setengah berlari. Bram sudah seperti kakak untukku. Karena dia yang sudah membuatku menjadi lebih terhormat. Dibiayai kuliah, kebutuhan hidup, diberi uang saku, dan perhatian lainnya yang tak bisa kusebutkan secara rinci.
“Alhamdulillah baik. Perjalanan yang melelahkan, Bram. Kamu juga apa kabar? Sepertinya baru setahun tak bertemu, tapi sudah kangen. Hehehehe.”
“Sama Cindy, aku juga baik. Maaf ya, tahun kemarin aku pulang lebih awal, karena ayahku memintaku untuk segera mengurusi perusahaanya. Bisnis kita juga sudah mulai berjalan baik. Lia, Toni, Pras, Alif, dan Gina sudah sukses menjalankannya.”
“Kamu mau pulang dulu atau langsung ke cabang perusahaan yang harus kamu atur?”
“Baru datang, sudah disuruh kerja?”
“It's all up to you babes. You can do it now or tomorrow.”
“Okay, i'll do it now.”
“Sebaiknya kamu pulang dulu, menemui ayah dan ibumu. Lalu lanjut ke Malang. Kota tempat perusahaan yang harus kamu pimpin.”
“Apa Bram? Malang? Oh my God!” Bukannya aku tak suka jika harus ke sana. Terlalu banyak kenangan pahit periha kisah cinta yang tak mudah untuk kulupakan.
Sosok seseorang yang pernah kucintai, muncul kembali di anganku. Sesungguhnya aku tak ingin membuka kenangan itu lagi.
Jika harus menginjakan kaki di sana, pasti memoriku tentangnya akan muncul lagi.
“What happend, Cindy? Any something wrong?” Bram menatapku curiga.
“Nothing, Bram. Everything is fine.”
“Baiklah kalau semuanya baik-baik saja. Akupun berharap begitu. Pak Rahmat siap mengantarkanmu kemana saja. Beliau juga sudah mengetahui kantor tempat kamu bekerja. Kita pergi sendiri-sendiri ya. Kita bertemu di sana.”
“Okay, see you there honey. Thank you. Bye-bye.” Kuakhiri percakapan, agar bisa segera meluncur ke kantor tempatku bekerja nantinya. Akupun sudah merindukan ayah, ibu, dan kedua adikku.
Alhamdulillah aku bisa membantu biaya sekolah adik-adikku. Bram membantuku mendapatkan pekerjaan sampingan selama di Australia. Menjadi penjaga kedai kopi tidak terlalu melelahkan. Pemiliknya juga mengijinkan aku belajar, jika cafe tidak terlalu ramai.
Aku menghubungi Pak Rahmat. “Pak Rahmat di mana? Bisa mengantarkan saya?”
“Baik Bu, saya meluncur ke depan lobby.”
“Terima kasih Pak.”
“Kita ke perumahan Harmoni ya, Pak. Rumah orang tua saya.”
“Baik bu.”
Aku sudah merindukan mereka semua. Adikku sedang mencuci motornya ketika aku sudah sampai di depan rumahku. Dia segera berlari memelukku dan berteriak memanggil nama ayah dan ibu. Aku hanya tersenyum geli. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Walaupun kami sering bertemu melalui dunia maya, tapi tetap rasa rindu tak terobati. Ayah dan Ibu bersedih ketika kusampaikan aku langsung bertugas ke kota Malang. Mereka mungkin merasakan rindu yang teramat berat. Tapi sudah harus melepaskanku lagi.
“Tak lama, Bu. Mungkin hanya 3 hari. Maksimal satu minggu. Hehehehe.”
“Ya sudahlah, Nduk. Kita memang banyak berhutang budi pada Bram. Berikan usahamu yang terbaik untuk bisnis Bram. Kesuksesan bisnis Bram juga pasti ada menyokong kita sekeluarga.”
Kami sekeluarga juga tinggal di Malang. Kemudian Bram membawa keluargaku ke Jakarta dan membelikan rumah di sini. Karena di Malang kami belum mempunyai rumah. Rumah ini juga dibangun perusahaan Bram.
Tiba-tiba gawaiku berdering. Nama Bram muncul di situ.
“Iya, Bram. Aku masih di rumah ayah.”
“Kita berangkat besok pagi saja, flight pertama jam enam lewat tiga puluh pagi. Besok naik taksi online saja ya. Kasihan Pak Rahmat kalau terlalu pagi harus bekerja. Kalau hari ini mau jalan-jalan dengan ayah dan ibu, minta antar Pak Rahmat saja.”
“Makasih Bram, tapi aku lelah. Pak Rahmat aku suruh kembali ke kantor saja ya?”
“Tidak usah Cindy, kalau kamu tidak kemana-mana, Pak Rahmat sudah boleh pulang.”
“Oke. Akan kusampaikan ke Pak Rahmat.”
“Oke, see you tomorrow babes.”
Keesokan harinya jam enam pagi aku sudah sampai bandara. Di gate keberangkatan aku menunggu Bram.
Tak lama Bram datang bersama seorang wanita, cantik, muda, modis, elegan. Aku belum mengenalnya. Kemudian kami segera menuju pesawat kami melanjutkan perjalanan ke kota Malang. Kota kelahiranku.
“Cindy, perkenalkan ini Gendis.”
“Salam kenal, saya Gendis”
“Saya Cindy, sama-sama Bu Gendis.” Aku menerima uluran tangannya.
Tak terasa satu jam perjalanan kami sampai di kota Malang. Sopir Bram sudah menunggu di parkiran. Perjalanan dilanjutkan menuju kantor cabang Bram di daerah sini.
“Ayo, kita sudah sampai. Ini kantor cabang kita di Malang. Kamu akan tinggal di sini sementara waktu. Are you ready Cindy?”
“Siap Bram!”
“Ini ruanganmu, aku tunjuk kamu sebagai pimpinan di kantor ini. Kamu atur semua perusahaan. Perkenalkan ini Pras, pemimpin sementara sebelum kamu. Gendis juga akan mengatur semua jadwal kamu.”
“Bram, are you serious?” Aku tak percaya, Bram memberiku kepercayaan memimpin kantor cabangnya ini.
“Iya sayang, aku serius. Semua memang sudah aku persiapkan untuk kamu. Aku percaya dengan keahlianmu dan kepandaianmu dalam memimpin perusahaan. Apalagi dibantu Pras dan Gendis. Nanti ada lagi Pak Ahmad. Sebentar lagi beliau datang.”
“Makasih Bram.”
“Itu Pak Ahmad sudah datang.”
Kami berkenalan dan mulai membahas jadwal hari ini. Pak Ahmad menyampaikan akan ada meeting di kantor arsitek PT. Maha Daya. Bu Gendis sudah mempersiapkan semua. Namun hanya aku dan Pak Ahmad yang ke tempat meeting.
Bram berpamitan ada urusan yang lain juga dengan Pak Pras dan Bu Gendis.
Aku dan Pak Ahmad menuju lokasi meeting diantar sopir kantor. Aku sudah melupakan Reno. Aku harus menghapus kenangan tentangnya.
Sesampainya di PT. Maha Daya, aku terkejut, sepertinya aku mengenal seseorang yang berjalan di sampingku. Wajahnya tak begitu banyak berubah. Dia semakin tampan dan mempesona dengan setelan jas yang elegan. Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya di sini. Belum sempat aku menyapanya, dia sudah berjalan lebih dulu dan tak mungkin aku mengejarnya.
Setelah bertemu resepsionis, aku dan Pak Ahmad menunggu di satu ruangan. Kemudian seorang lelaki modis dan elegan menghampiri kami.
“Pak Ahmad, mari kita tunggu di ruangan saja.” Lelaki itu mengajak kami menuju ruangannya.
“Pak Ken, perkenalkan ini Bu Cindy, pimpinan kami yang baru, beliau baru datang dari Australia.” Pak Ahmad memperkenalkan aku dengan Pak Ken.
“Kamu Cindy anak SMP Satu?” tanya Pak Ken.
“Iya Ken, aku Cindy, apa kabar? Lama tak bertemu. Dulu kami bersahabat, Pak Ahmad. Ternyata dunia sempit, ya. Hehehe.”
Kami menuju ruangan Ken di lantai atas. Tiba-tiba aku melewati sebuah ruangan. Di sana ada pria yang tadi berpapasan di lobby.
“Itu Reno. Masih ingat?” Ken membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk. Ken pasti bisa menebak isi hatiku.
“Sudah sana kamu sapa. Kangen, 'kan? Kalau sudah menyapa dan bilang kangennya, langsung ke ruanganku, ya. Itu di sebelah.” Ken menunjuk ruangannya.
Aku segera melangkah menuju ruangan Reno, hendak memberinya kejutan. Dia menunduk menatap layar laptop. Jemarinya menari di atas keyboard. Dia tampak sibuk dengan pekerjaannya.
Banyak pertanyaan yang terbersit di kepala. Apa Reno sudah menikah? Apa aku masih bisa mendapatkan hatinya? Pasti bisa. Aku akan mendapatkanmu kembali Reno.
Pov RaniaAwal Kisah Pertemuan Reno dan RaniaAku Rania, menikah dengan Reno bukan karena terpaksa ataupun dijodohkan. Kami bertemu saat duduk di bangku SMP.Kami hanya berteman biasa. Tapi rumah kami berdekatan. Sehingga Reno sering mengajakku pulang bersama dengan dibonceng sepedanya. Aku selalu menolak tawaran itu, karena aku malu jika harus berboncengan dengan bukan mahramku.Maksud Reno sih baik, dia kasihan jika aku harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya, sekitar dua kilometer.Namun, aku tetap pada pendirianku. Lebih baik pulang sendiri berjalan kaki.Sepulang sekolah dia selalu menemaniku berjalan kaki. Hingga sampai saat kami lulus SMP tidak ada hubungan spesial di antara kami. Tetap hanya teman biasa.Reno sering main ke rumahku, sejak kami satu sekolah di SMP, ada saja alasannya, tanya tugas sek
Bab 5Pov RaniaReno Melamar Rania"Rania, sebenarnya sejak awal aku bertemu, aku sudah suka sama kamu," kata Reno.Aku diam, menunduk mendengarkan kata-katanya. Karena sampai saat ini, aku belum ada keinginan untuk berpacaran apalagi menikah. Karena tujuan utamaku adalah membahagiakan kedua orang tua. Aku bingung harus jawab apa kalau tiba-tiba Reno menyampaikan hal yang paling kutakutkan itu.Belum sempat Reno melanjutkan kata-katanya, pelayan datang memberikan buku menu dan bertanya kepada kami, makanan dan minuman apa yang akan dipesan."Permisi, Kak. Silakan dipilih, makanan dan minumannya, " kata sang pelayan."Menu spesialnya hari ini apa?" tanya Reno."Spesial menu hari ini, fried rice terderloin steak with mozarella sauce kak," ujarnya."Rania mau?" tanya Reno padaku.
Seseorang Melamar RaniaPagi ini, kulihat ibu sibuk, berbagai macam bahan makanan tertata di dapur. Ayam, sayuran, telur, tahu, tempe, banyak sekali. Seperti akan kedatangan tamu saja.“Kok diem aja, Sayang, buruan mandi lalu bantu ibu,” perintah ibu padaku.“Baik, Bu,” jawabku dan segera berlalu ke kamar mandi lalu menunaikan salat subuh.Setelah melaksanakan kewajibanku, aku menemui ibu. “Hari ini akan ada tamu istimewa, bantu ibu ya, Sayang,” ucap ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang.“Siap, Ibuku sayang,” balasku dengan sopan.Pagi ini kesibukanku diisi dengan membantu ibu memasak. Jadi aku putuskan untuk tidak berjualan kue hari ini. Kue setengah matang yang sudah kusiapkan, bisa kusuguhkan untuk tamu ibu saja. Siapa tahu mereka suka dan tertarik untuk memesan di kemudian hari.Tak
Bab 7Reno patah hatiShock, aku tak percaya, hatiku hancur. Semalam aku memang mengerjai Rania, dengan berpura-pura melamarnya. Karena sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Cinta yang kupendam sejak SMP, akan aku sampaikan jika Rania sudah lulus kuliah.Awalnya aku ingin melihat raut wajahnya saat aku melamarnya. Apakah dia akan marah atau tersipu malu? Ternyata nampak bahwa Rania tersipu malu. Jadi ada harapan bahwa sesungguhnya dia juga suka padaku. Mungkin hanya malu untuk mengungkapkan perasaannya. Memang dulu waktu SMP dia menolakku, pasti karena kami masih terlalu kecil.Rencananya hari ini akan kusampaikan pada ayah dan ibu bahwa aku menyukai Rania dan meminta mereka untuk meminangnya.Namun, semuanya terlambat. Ternyata Pakde Salim — kakak ayahku, terlebih dahulu telah meminang Rania untuk Alif, putranya.Ibu menyampaikan padaku, untuk
Bab 8Hari pernikahan Rania dan Mas AlifHari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui
Bab 9Aku rindu RaniaGawaiku berdering, kulihat nama Rania disana. Ada apa Rania menghubungiku di malam hari? Bukankah seharusnya Rania dan Mas Alif sedang berbulan madu ke Bali? Aku coba mengabaikan sambungan telepon dari Rania, mungkin dia salah tekan nomer. Aku belum siap mendengar suaranya.Akhirnya dering gawaiku berhenti. Sudah kupastikan Rania salah sambung, dia pasti tidak menghubungi aku lagi. Aku melanjutkan tidurku, lelah setelah seharian menyelesaikan pekerjaan kantor, harus meeting dengan pimpinan pusat dan presentasi dengan salah satu klien. Aku segera memejamkan mataku, namun sebelumnya aku setel gawaiku mode diam, karena aku tak ingin diganggu malam ini, esok hari masih banyak berkas yang harus kuselesaikan juga.Tak terasa suara alarmku berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera kuraih gawaiku, kumatikan alarm tanpa melihat notifikasi yang masuk di layar benda pipih itu. Sudah menja
Bab 10Rahasia RaniaAku bisa merasakan cinta yang luar biasa bila bersamamu. Namun kini kau telah pergi menjauh, tak dapat kurasakan lagi cintamu. Mengapa aku tak bisa menghapus cinta ini? Mengapa hadirmu selalu menjadi bayang-bayangku?Rania, aku mencintaimu. Aku menyesal karena gagal mendapatkan cintamu. Seandainya kau tahu bahwa sampai detik ini rasa itu tetap ada dan tetap sama seperti awal kita bertemu.Bayang-bayang Rania terus menari di dalam pikuranku. Segera kupacu mobilku agar bisa sampai lebih cepat ke kantor, karena aku ingin segera menghubungiku Rania. Kenapa harus menunggu sampai kantor? Bukankah sekarang aku sedang sendiri? Aku bisa segera menghubunginya.Kutepikan mobil ke tempat yang aman lalu kuraih gawaiku dan menghubungi nomer Rania. Nada panggil tersambung, berkali-kali berbunyi, tapi tak ada sahutan dari seberang sana. Kenapa lama sekali Rania menerima teleponku, membuat
Bab 11Terungkapnya rahasia RaniaKami berjalan memasuki lift, setelah pintu terbuka. Kulihat Rania menekan tombol angka tiga. Aku masih bertanya-tanya, sakit apa Mas Alif hingga Rania memaksaku untuk datang kesini. Apa Mas Alif terbaring di rumah sakit ini?Pintu lift terbuka, Rania keluar terlebih dahulu, aku mengikutinya di belakang. Dekat dugaanku benar, karena sampai detik ini tak kulihat sosok Mas Alif. Kami duduk di sofa ruang tunggu, disana terdapat beberapa pintu, setiap pintu bertuliskan nama dokter dan gelarnya serta nama ruangannya.Kubaca salah satunya poli anak dr. Harjoedi Hadiningrat. Ada juga poli obgyn dr. Dewi Kumala Sari. Sekitar lima menit kami menunggu, kemudian seorang suster menghampiri kami.“Silahkan masuk Bu Rania, dokter Dewi sudah menunggu anda,” ucapnya.“Terima kasih mbak,” jawab Rania.Rania semak