Nafkah dua puluh juta sebulan
Aku Reno, usia dua puluh tiga tahun, menikah dengan Rania seorang sarjana ekonomi. Dia sosok yang rajin, cerdas, penyabar, dan pandai berhemat. Aku suka pada Rania sejak di bangku SMP. Kami bertetangga, tapi aku baru mengenalnya lebih dekat sejak SMP. Karena di rumah, Rania jarang keluar.
Sebagai seorang arsitek gajiku tak menentu, tergantung proyek yang diterima. Setidaknya setiap bulan aku masih mendapatkan upah dari perusahaan.
"Assalamu'alaikum," ucapku sambil membuka pintu rumah.
"Wa'alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah Ayah sudah pulang," jawab istriku sambil berjalan menghampiri, meraih punggung tanganku dan menciumnya.
“Ini gajiku, kamu pegang ya, kamu yang atur semua kebutuhan kita. Aku percaya kamu pandai mengatur keuangan. Keahlianmu tak perlu diragukan lagi.”
“Satu, dua, tiga, ini banyak sekali sayang?” Istriku melanjutkan menghitung.
“Kirimkan sebagian untuk ayah dan ibumu.”
“Ini dua puluh juta?”
“Iya, Sayang, itu gajiku selama satu bulan. Jangan khawatir masih ada lagi bonus dan tunjangan.”
“Seharusnya Kamu simpan sebagian, jangan diberikan semuanya padaku. Bagaimana kalau ada keperluan mendadak? Aku sudah kirim uang untuk ayah dan ibuku dari sebagian gajiku sayang.”
“Bagilah sebagian rejeki ini juga untuk ayah dan ibumu. Insyaallah akan semakin berkah.”
“Bagaimana dengan ayah dan ibumu? Aku kirim juga ya?”
“Tak usah sayang. Mereka selalu tercukupi.”
“Aku masih ada sedikit tabungan. Kalau ada perlu, aku bisa minta ke kamu.”
“Baik Sayang, akan kupakai dengan baik uang ini. Aku transfer lagi ke rekeningmu 5 juta ya?”
“Sudahlah, itu semua buat kamu. Atur dengan baik ya.”
“Baiklah, terima kasih, Sayang.”
"Ayah sudah makan?"
"Belum, Ma, ayah lapar sekali ini.”
"Alhamdulillah, aku sudah menanak nasi dan lauk kesukaanmu, tempe penyet, sambal bawang.” Dengan senyum yang merekah istriku menceritakan dengan bangga menu masakannya.
Iya, aku suka sekali dengan menu tempe. Walaupun setiap hari aku harus makan tempe, aku tidak akan pernah bosan.
Syaratnya, tempenya harus baru digoreng. Nasinya juga harus baru, aku kurang suka kalau nasinya dingin, apalagi kalau ada bagian yang kering walaupun sedikit. Rasanya seperti mengganjal di lidah. Tapi istriku aneh, dia malah suka nasi dingin, terkadang ada keraknya juga, dia tidak pernah mengeluh. Katanya enak kalau ada keraknya, seperti makan kerupuk. Apa hubungannya coba?
Namun, aku tahu, karena ibuku pernah bercerita. Seorang istri, selalu berkata suka memakan nasi kering. Padahal dia berpura-pura. Hal itu dilakukan supaya tak ada nasi yang terbuang.
Tuh, ‘kan, kebanyakan cerita, nasiku jadi dingin nanti. Hahaha.
"Sayang, ambilkan nasi ya, ayah sudah lapar sekali," pintaku sambil melepas sepatu dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah mandi, nasiku pasti sudah menjadi hangat dan siap disantap.
"Siap bos," katanya dengan mengangkat tangan hormat sambil tersenyum.
Kantor Rania lebih dekat dengan rumah. Jadi dia lebih sering pulang sendiri. Kasihan kalau harus menungguku pulang kerja. Jadi Rania bisa segera memasak sebelum aku pulang.
Aku selalu memesan menu makanan yang sederhana pada istriku, agar dia belajar berhemat. Karena kita tidak pernah tahu kebutuhan di masa depan yang tidak terduga.
Coba lihat seperti saat ini, di masa pandemi, banyak orang-orang yang kesulitan. Alhamdulillah kami masih mempunyai simpanan, karena keahlian kami dalam mengatur keuangan. Kami harus pandai berhemat. Kebutuhan untuk masa depan tidaklah sedikit.
Setiap gajian, aku selalu membeli semua kebutuhan rumah. Beras, gula, minyak goreng, telur, dan kebutuhan untuk memasak. Istriku selalu mencatat apa saja yang dibutuhkan dan tak lupa menitipkan uang belanja, karena setiap menerima gaji, selalu kuberikan semua pada Rania.
Untuk belanja bahan makanan, juga selalu aku, sepulang kerja, aku mampir dulu ke pasar kaget dekat rumah. Semua sudah tersedia.
Tapi, aku kan tidak perlu bingung, paling cuma beli tempe atau tahu, cabai dan bawang. Biasanya sayur juga suka yang bening, seperti sayur bayam, sayur sop, atau tumis kangkung.
Aku juga kurang suka makanan bersantan, mungkin satu bulan sekali kami masak bersantan.
Kebanyakan bercerita nasiku jadi dingin benaran. Lihat saja, istriku cemberut.
"Sayang, main hape melulu, ayo dimakan, keburu dingin nasinya," omelnya.
Aku senang sekali mendengar omelannya.
Oke guys, saya makan dulu ya.
Nanti deh, aku akan bercerita, nikmatnya bawang dan cabai yang diulek, disiram minyak panas, terus tempe yang baru digoreng dipenyet di atas sambalnya. Yummy.
Ditambah dengan nasi hangat, apalagi makannya pakai tangan. Masyaallah, nikmat sekali.
“Jadi, mau jalan-jalan kemana kita hari ini?”
“Besok saja ya, aku sedikit lelah hari ini. Banyak sekali laporan yang harus kukerjakan. Tak usah jalan-jalan, uang ini harus digunakan dengan baik. Besok pulang kerja kita ke rumah ayah dan ibu saja, sekalian ke rumah ayah dan ibumu.”
“Oke Sayang,” jawabku.
Pada bulan berikutnya pernikahan kami, gaji dua puluh juta selalu kuberikan semuanya pada istriku. Namun, dia tetap mengirimkan lagi tiga juta ke rekeningku. Padahal aku sudah bilang tak perlu.
"Sudah, ini buat kamu semua sayang, kamu yang atur," ujarku.
"Enggak sayang, kamu juga butuh buat pegangan, kalau suatu saat kamu butuh, tidak perlu menungguku," bijak sekali jawabnya.
Dengan uang tujuh belas juta di tangan istriku, aku berharap dia pandai mengelola keuangan.
Istriku sarjana ekonomi. Sudah pasti aku yakin, dia pandai mengaturnya.
Tiga bulan pernikahan kami, semuanya tampak baik-baik saja. Istriku tidak pernah mengeluh masalah keuangan. Di bulan ke empat, mulai tampak masalah.
"Sayang, uang dua puluh jutanya aku pegang semuanya ya? Kalau ada perlu, minta saja.”
Aku kaget, kenapa jadi berubah?
"Eh, iya sayang, pegang saja. Nanti kalau perlu aku masih ada simpanan," jawabku untuk membuat hatinya senang.
Ada keinginan untuk bertanya, untuk apa uang sebanyak itu? Tapi, aku tahan. Lebih baik aku cari informasi dulu, jangan gegabah. Kasihan juga kalau nanti dia sedih, hanya karena masalah uang sepuluh juta. Pernikahan kami jauh lebih penting.
"Terima kasih, Sayang," dia peluk aku. Sepertinya bahagia sekali.
Semoga Engkau mudahkan rezeki kami Ya Allah, bukankah membuat istri bahagia, juga membuka pintu rezeki. Aamiin.
Menurutku bulan depan, ‘kan, aku bisa minta jatah lagi. Mungkin bulan ini dia memang sedang membutuhkan, aku ingin dia bahagia. Karena bahagiaku, juga bahagianya.
Tapi, semua tidak sesuai harapan, bahkan sampai satu tahun pernikahan kami, istriku meminta semua gajiku.
Sekarang, uang tabunganku sudah mulai menipis, aku harus berbuat apa? Sebenarnya masih ada simpanan, tapi untuk kebutuhan masa depan. Jarang sekali kupakai kalau belum keadaan darurat ataupun terdesak.
Bingung aku putar otak. Supaya istriku tidak marah. Mau minta, malu, dan takut membuatnya kecewa. Namun, kalau aku harus bertahan seperti ini, juga tak mudah.
Oh iya, muncul ide cemerlang.
"Loh sayang, kok masih tiduran? Apa enggak kerja?" tanya istriku
"Mobilnya mogok , dari tadi aku coba starter enggak bisa," jawabku dengan nada sedih.
"Gimana sih sayang, mungkin bensinnya habis. Mana kunci mobilnya, sini aku cek,” katanya sambil cemberut.
Asyik berhasil, batinku. Kudengar suara mesin mobil dihidupkan. Kulihat istriku masuk rumah, sambil tersenyum.
"Kamu tuh ya, teledor banget sih sayang, sampai kehabisan bensin gitu. Kalau tak ada uang, bilang saja, jangan diam. Aku, 'kan cuma menguji kamu sayang. Seberapa besar cinta kamu ke aku. Apa kamu tulus memberikan semua gajimu sama aku?" tuturnya panjang lebar dengan senyum yang bikin hati adem.
"Astaghfirullah, baiknya istriku, maaf ya sayang. Aku juga tak tega minta uang ke kamu. 'Kan sudah aku berikan ke kamu, rasanya kok malu kalau harus meminta balik lagi.” Tak terasa menetes air mataku.
"Sudah, buruan ganti baju, nanti telat sayang. Ini ada uang tunai lima ratus ribu, buat beli bensin dan kebutuhan lainnya. Maaf ya sayang, sudah membuat kamu ke pikiran," dia berjalan masuk kamar.
"Sayang, sudah aku transfer lima juta ke rekening kamu," dia menyodorkan gawainya, menunjukkan bukti transfer.
"Kebanyakan sayang, ini lima ratus ribu sudah cukup."
"Sudah sayang, jangan komentar terus, buruan berangkat kerja, nanti telat loh."
"Ashiap bos."
Kehidupan kami tampak sangat bahagia, istriku yang pandai menyimpan keuangan, tidak boros dan juga tidak pelit. Tidak rajin beli skin care juga. Eh, emak-emak tidak boleh sewot ya.
“Bulan depan gajinya aku transfer semua ke kamu ya sayang?”
“Jangan semua, Ayah pasti juga membutuhkan, ambillah seperlunya. Berikan sebagian untukku.”
“Aku ingin kamu yang mengelola semua keuangan Rania.”
“Baiklah, tapi Ayah juga harus berjanji, jangan takut untuk meminta jika membutuhkan.”
“Oke.”
Bab 2 Pertemuan dengan Mantan Tak terasa sudah lima tahun kami menikah. Tapi Kami belum diberi keturunan. Aku merindukan suara tawa dan tangis anak kecil. Namun, aku harus bersabar. Mungkin belum saatnya. Terkadang kulihat istriku merenung, sepertinya dia bersedih. "Sabar sayang, mungkin belum saat ini," ujarku, ketika dia menunjukkan garis satu pada tespek yang baru dipakainya. "Iya sayang, terima kasih ya sudah mau sabar selama ini bersamaku." Pernikahan kami telah menginjak lima tahun, belum ada tanda-tanda istriku hamil. Sedih, iya pasti. Tapi aku yakin, istriku pasti lebih sedih. Memang belum banyak usaha eksternal yang kami lakukan. Ke dokter saja kami belum sempat, karena kesibukanku. Pulang kerja, aku sudah lelah. Kalau harus ke dokter, mengantre, rasanya belum ada waktu luang bagi kami untuk ke dokter. Kulihat murung di wajahnya. Aku ber
Pov CindyAku Harus Mendapatkanmu RenoAku merindukan negeri tempat aku dilahirkan. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki lagi di negeri tercintaku ini, sejak bertahun-tahun harus kutinggalkan demi menuntut ilmu ke negeri seberang.Hampir enam tahun aku tinggal di Australia. Sahabatku memberi bantuan biaya untuk menempuh pendidikan di Australia, karena mengetahui kepandaianku dan membutuhkan teman selama tinggal di negeri orang. Dia juga membutuhkan aku untuk menjalankan bisnis yang akan kami rintis bersama, sehingga dia membawaku serta meraih pendidikan yang terbaik, agar nantinya aku bisa menyeimbangkan kualitas diri untuk mengatur bisnisnya nanti.Pada awalnya aku menolak, karena tak mudah harus berpisah dengan orang tua dan keluarga besar selama bertahun-tahun. Namun, ayah dan ibuku memberi kekuatan.Mereka bilang bahwa tak mengapa berpisah
Pov RaniaAwal Kisah Pertemuan Reno dan RaniaAku Rania, menikah dengan Reno bukan karena terpaksa ataupun dijodohkan. Kami bertemu saat duduk di bangku SMP.Kami hanya berteman biasa. Tapi rumah kami berdekatan. Sehingga Reno sering mengajakku pulang bersama dengan dibonceng sepedanya. Aku selalu menolak tawaran itu, karena aku malu jika harus berboncengan dengan bukan mahramku.Maksud Reno sih baik, dia kasihan jika aku harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya, sekitar dua kilometer.Namun, aku tetap pada pendirianku. Lebih baik pulang sendiri berjalan kaki.Sepulang sekolah dia selalu menemaniku berjalan kaki. Hingga sampai saat kami lulus SMP tidak ada hubungan spesial di antara kami. Tetap hanya teman biasa.Reno sering main ke rumahku, sejak kami satu sekolah di SMP, ada saja alasannya, tanya tugas sek
Bab 5Pov RaniaReno Melamar Rania"Rania, sebenarnya sejak awal aku bertemu, aku sudah suka sama kamu," kata Reno.Aku diam, menunduk mendengarkan kata-katanya. Karena sampai saat ini, aku belum ada keinginan untuk berpacaran apalagi menikah. Karena tujuan utamaku adalah membahagiakan kedua orang tua. Aku bingung harus jawab apa kalau tiba-tiba Reno menyampaikan hal yang paling kutakutkan itu.Belum sempat Reno melanjutkan kata-katanya, pelayan datang memberikan buku menu dan bertanya kepada kami, makanan dan minuman apa yang akan dipesan."Permisi, Kak. Silakan dipilih, makanan dan minumannya, " kata sang pelayan."Menu spesialnya hari ini apa?" tanya Reno."Spesial menu hari ini, fried rice terderloin steak with mozarella sauce kak," ujarnya."Rania mau?" tanya Reno padaku.
Seseorang Melamar RaniaPagi ini, kulihat ibu sibuk, berbagai macam bahan makanan tertata di dapur. Ayam, sayuran, telur, tahu, tempe, banyak sekali. Seperti akan kedatangan tamu saja.“Kok diem aja, Sayang, buruan mandi lalu bantu ibu,” perintah ibu padaku.“Baik, Bu,” jawabku dan segera berlalu ke kamar mandi lalu menunaikan salat subuh.Setelah melaksanakan kewajibanku, aku menemui ibu. “Hari ini akan ada tamu istimewa, bantu ibu ya, Sayang,” ucap ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang.“Siap, Ibuku sayang,” balasku dengan sopan.Pagi ini kesibukanku diisi dengan membantu ibu memasak. Jadi aku putuskan untuk tidak berjualan kue hari ini. Kue setengah matang yang sudah kusiapkan, bisa kusuguhkan untuk tamu ibu saja. Siapa tahu mereka suka dan tertarik untuk memesan di kemudian hari.Tak
Bab 7Reno patah hatiShock, aku tak percaya, hatiku hancur. Semalam aku memang mengerjai Rania, dengan berpura-pura melamarnya. Karena sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Cinta yang kupendam sejak SMP, akan aku sampaikan jika Rania sudah lulus kuliah.Awalnya aku ingin melihat raut wajahnya saat aku melamarnya. Apakah dia akan marah atau tersipu malu? Ternyata nampak bahwa Rania tersipu malu. Jadi ada harapan bahwa sesungguhnya dia juga suka padaku. Mungkin hanya malu untuk mengungkapkan perasaannya. Memang dulu waktu SMP dia menolakku, pasti karena kami masih terlalu kecil.Rencananya hari ini akan kusampaikan pada ayah dan ibu bahwa aku menyukai Rania dan meminta mereka untuk meminangnya.Namun, semuanya terlambat. Ternyata Pakde Salim — kakak ayahku, terlebih dahulu telah meminang Rania untuk Alif, putranya.Ibu menyampaikan padaku, untuk
Bab 8Hari pernikahan Rania dan Mas AlifHari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui
Bab 9Aku rindu RaniaGawaiku berdering, kulihat nama Rania disana. Ada apa Rania menghubungiku di malam hari? Bukankah seharusnya Rania dan Mas Alif sedang berbulan madu ke Bali? Aku coba mengabaikan sambungan telepon dari Rania, mungkin dia salah tekan nomer. Aku belum siap mendengar suaranya.Akhirnya dering gawaiku berhenti. Sudah kupastikan Rania salah sambung, dia pasti tidak menghubungi aku lagi. Aku melanjutkan tidurku, lelah setelah seharian menyelesaikan pekerjaan kantor, harus meeting dengan pimpinan pusat dan presentasi dengan salah satu klien. Aku segera memejamkan mataku, namun sebelumnya aku setel gawaiku mode diam, karena aku tak ingin diganggu malam ini, esok hari masih banyak berkas yang harus kuselesaikan juga.Tak terasa suara alarmku berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera kuraih gawaiku, kumatikan alarm tanpa melihat notifikasi yang masuk di layar benda pipih itu. Sudah menja