Share

Seseorang melamar Rania

Seseorang Melamar Rania

Pagi ini, kulihat ibu sibuk, berbagai macam bahan makanan tertata di dapur. Ayam, sayuran, telur, tahu, tempe, banyak sekali. Seperti akan kedatangan tamu saja.

“Kok diem aja, Sayang, buruan mandi lalu bantu ibu,” perintah ibu padaku.

“Baik, Bu,” jawabku dan segera berlalu ke kamar mandi lalu menunaikan salat subuh.

Setelah melaksanakan kewajibanku, aku menemui ibu. “Hari ini akan ada tamu istimewa, bantu ibu ya, Sayang,” ucap ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang.

“Siap, Ibuku sayang,” balasku dengan sopan.

Pagi ini kesibukanku diisi dengan membantu ibu memasak. Jadi aku putuskan untuk tidak berjualan kue hari ini. Kue setengah matang yang sudah kusiapkan, bisa kusuguhkan untuk tamu ibu saja. Siapa tahu mereka suka dan tertarik untuk memesan di kemudian hari.

Tak terasa hampir masuk waktu shalat dhuhur, semua hidangan sudah tersaji di meja. Ayah juga sudah rapi, hendak ke masjid dan siap menyambut tamunya.

Siapa ya kira-kira tamu istimewa beliau? Jadi penasaran.

Ibu memintaku segera membersihkan diri, dan turut menyambut tamunya.

Setelah salat zuhur, aku segera menyiapkan minuman, ada sirop, teh hangat dan kopi.

Tamunya sudah dekat, kata ibu. Alhamdulillah minumannya tidak keburu dingin ketika tamu ayah dan ibu datang.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," dari depan kudengar suara yang tak asing.

Apa itu tamu ibu? Aku tak berani keluar dari dapur. Karena sudah mendapat tugas mengantar minuman, setelah menunggu instruksi dari ibu.

"Wa'alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh, monggo pinarak, nyuwun pangapunten menawi mboten wonten persiapan istimewa," kudengar ayah menjawab salam dan mempersilahkan tamunya masuk.

(Silakan masuk, mohon maaf jika tidak ada persiapan istimewa)

"Inggih mboten menapa, sampun diterami mawon, dalem sekeluargi sampun bungah," jawab tamunya ayah dan ibu.

(Iya, tidak apa-apa, sudah diterima saja, kami sekeluarga sudah senang)

Dari dalam, semakin penasaran aku, kok sepertinya hafal dengan suaranya, tapi aku tidak berani berspekulasi.

Seperti suara pak Halim, ayahnya Reno. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku terlalu berhalusinasi mungkin. Hehehehe. Aku terkekeh dalam hati sambil tersenyum.

Ibu masuk ke dapur dan mengajakku keluar. "Ayo, Nduk, bantu ibu membawa minuman dan kue buatanmu ini," perintah ibu.

"Inggih, Bu," (iya bu) jawabku kalem, aku tidak berani bertanya pada ibu siapa tamunya. Karena sebentar lagi aku pasti bisa menyaksikan sendiri, apakah betul pak Halim sekeluarga atau bukan. Hatiku rasanya deg-degan.

Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu mengantarkan minuman yang diminta ibu.

Tarik napas yang dalam, keluarkan, berkali-kali kulakukan menghilangkan perasaan tak karuan dalam hatiku. Dari dapur hanya tampak punggung tamu ayah dan ibu.

Ternyata cuma dua orang saja. Kenapa ibu sampai heboh memasak, sepertinya akan ada sekitar 7 atau 8 orang tamunya.

Aku merendahkan langkahku, menunduk dan menyajikan minuman di meja. Aku takut menatap tamuku. Melirik juga tak mampu. Nervous sekali rasanya. Bahkan nampan hampir jatuh, karena degup jantungku benar-benar tak karuan.

'Kenalkan, Nduk, mereka adalah sahabat ayah dan ibu," kata ayah.

Aku bergegas berdiri lalu mengulurkan tanganku dan mencium tangan tamu ibu yang perempuan.

"Dalem Rania, Bu," ucapku lega. Ternyata bukan pak Halim dan Bu Halim.

(Saya Rania, Bu)

"Masyaallah, wes gede saiki, ayu pisan Nduk. Jare ibumu wes lulus kuliah Nduk?" kata tamu ibu.

(Masyaallah, sudah besar sekarang, cantik kamu Nak. Kata ibumu, kamu sudah lulus kuliah ya Nak?)

"Inggih Bu, alhamdulillah, matur sembah nuwun sanget, pangestunipun Bu, Pak," jawabku santun.

(Iya Bu, alhamdulillah, terima kasih banyak doa dan dukungannya Bu, Pak)

"Beliau adalah sahabat ayah dan ibu sejak SMA Nduk, kami berpisah sejak Pak Salim dan Bu Salim dipindah tugaskan ke Kalimantan. Beliau sempat kenal kamu waktu baru lahir. Bahkan Bu Salim yang mengantar dan menemani ibu melahirkan kamu. Karena ayahmu masih di kantor, dan segera menyusul ke rumah sakit," jelas ibu panjang lebar.

Ternyata bukan Pak Halim tamunya. Lega rasanya hatiku, kukira Reno akan membawa ayah dan ibunya kemari untuk meminangku. Ternyata anganku terlalu tinggi. Hehehehe...

Terang saja aku takut, kejadian semalam benar terjadi.

"Dulu waktu baru lahir, ibu yang menggendong kamu, Rania, karena ibumu habis operasi, jadi belum bisa bangun. Kamu dulu lucu, mungil, cantik," cerita Bu Salim.

"Bahkan kami juga berencana menjodohkan kamu dengan anak Pak Salim dan Bu Salim, karena kalian seumuran. Anak Bu Salim lahir lebih awal sekitar 5 bulan sebelum kamu. Kalian juga sejak bayi sudah bermain bersama. Bu Salim terkadang main kesini, atau ibu yang main ke rumah Bu Salim sambil menggendongmu," kisah ibu sambil mengingat masa kecilku dulu.

Apa aku tak salah dengar? Dijodohkan? Oh tidak, aku takut, aku belum siap, atau aku tak siap. Apalagi aku belum mengenal putra Bu Salim dan Pak Salim. Apakah dia baik hati? Apakah penyabar? Aku juga belum siap menikah.

Aku menangis, tapi dalam hati, tak berani kuungkapkan. Aku hanya sesekali menunduk mendengarkan ibu dan Bu Salim bercerita.

"Jangan khawatir sayang, ibu dan ayah serta Pak Salim sekeluarga juga tidak memaksamu, kalau kamu sudah ada pilihan lain juga tak mengapa. ibu yakin, kamu akan cocok dengan pilihan kami. Namun kami tetap tidak bisa memaksa keinginanmu, Sayang," tutur ibu padaku, yang sepertinya memahami kegelisahan hatiku.

Aku hanya mengangguk mendengarkan penuturan ibu. Tak berani aku menjawab dan membantah ucapan ibu. Bisa dikutuk jadi jambu monyet nanti aku. Hehehehe.

Ya sudahlah, jika memang seperti ini jalan hidupku, kuikuti saja alurnya. Kembali kuingat, tujuan awalku membahagiakan ayah dan ibuku. Jika dengan menerima tawaran ayah dan ibu bisa membuat mereka bahagia, akan kuusahakan.

"Ayo makan dulu, nanti keburu dingin makanannya, itu tadi Rania yang masak, rajin sekali dan pandai memasak dia," tutur ibu pada Bu Salim dan Pak Salim.

"Anak ibu itu sederhana Rania, kamu tahu makanan kesukaannya? Tempe goreng. Dia suka sekali tempe goreng sama sambal. Kalau ibu masak ayam goreng atau ikan, dia lebih memilih tempe goreng. Bahkan dia pernah cemberut, karena ibu lupa membeli tempe, karena kesiangan belanja, jadi kehabisan tempenya," kisah Bu Salim.

Tempe? Itu kan makanan kesukaan Reno? Kok bisa sama ya? Aduh... Jangan-jangan. Sudahlah, aku lelah berandai-andai.

Pak Salim membuka pembicaraan, setelah dari tadi kulihat beliau hanya diam saja menyaksikan kedua bidadari surga berkisah.

"Jangan takut Rania, bapak dan ibu tidak memaksa, kalau Rania tidak cocok dengan anak kami, kamu bilang saja," jelas Pak Salim.

"Maaf anak bapak datang agak terlambat, karena masih menyelesaikan urusan pekerjaannya," sambung Pak Salim.

"Assalamu'alaikum," kudengar dari arah depan ada suara salam. Aku tak bisa melihat siapa tamunya. Karena posisiku duduk membelakangi pintu.

"Wa'alaikumsalam," kami serempak menjawab salam dari tamu yang datang.

"Bu Halim dan Pak Halim, silakan masuk," sambut ayah.

Akhirnya aku berdiri hendak menyambut para tamu yang datang. Ada perlu apa ya Pak Halim dan Bu Halim? Apa mereka bersahabat juga?

Hatiku sangat kacau. Seperti lagu balonku. Kenapa hari ini jadi membingungkan ya?

Ternyata di belakang mereka ada Reno juga.

"Hai cantik," sapanya.

"Makasih," jawabku datar.

"Monggo langsung dhahar mawon, sampun siang," ucap ayah.

(Silahkan, langsung makan saja, sudah siang)

Ayah dan ibu mengantar para tamu ke meja makan. Aku masih duduk di kursi karena bingung ada apa ini sebenarnya. Karena semua hidangan sudah disiapkan, jadi aku tidak perlu repot lagi.

Reno menghampiriku. "Kenapa cemberut begitu?"

“Lagi sedih."

"Sedih kenapa?"

"Mau tau aja apa mau tau banget? Hehehehe," tawaku.

Reno ikut tertawa. Iya aku tahu, kita tidak boleh mengecewakan tamu, jadi aku berusaha menghapus kegundahan hatiku.

Apa mungkin Reno bukan anak pak Halim? Tapi anak pak Salim? Karena kulihat kemiripan pada wajah Reno dan pak Salim. Sepertinya pak Salim dan pak Halim bersaudara.

Baiklah, aku sudah siap, jika memang tujuan utamaku adalah membahagiakan ayah dan ibu, aku akan menerima lamaran Reno.

Sebenarnya, sejak SMA, aku juga mulai suka sama Reno. Tapi aku belum berani menyatakan dan aku tidak mau berpacaran. Karena pasti akan membuatku kesulitan mengatur waktu untuk belajar dan berjualan.

Baiklah, demi membahagiakan ayah ibu dan kalian para pembaca setia, aku terima saja ya lamaran Reno? Hehehe.

Padahal mereka juga belum menyampaikan, apa benar Reno yang sudah dijodohkan denganku. Kalau bukan Reno, aku harus bagaimana?

"Ayo, Rania, ajak Reno makan juga. Ayo Reno makan dulu, kamu pasti capek habis pulang kerja. Masakannya Rania enak loh. Kamu pasti suka," kata ayah.

Kami berdua melangkah menuju meja makan. Aku malas makan, karena pikiranku lelah. Apa hubungan Reno dengan ini semua.

Kemarin kan Reno bilang mau melamar seorang wanita, tapi siapa? Apa itu aku? Kenapa aku jadi galau ya?

"Kenapa melamun?" tanya Reno.

"Hehehe," jawabku.

Semua memuji masakan ibu, tapi ibu menolak, ibu mengatakan bahwa itu masakanku. Aku jadi malu, karena aku tidak pandai memasak, ibu yang pandai memasak.

Setelah selesai makan bersama, kami kembali berkumpul di ruang tamu.

Ayah mulai menyampaikan kepadaku maksud dan tujuan pak Salim dan istrinya, serta kehadiran keluarga pak Halim.

"Kulo haturaken matur sembah nuwun sanget dateng pak Salim kalian pak Halim sekeluargi. Dalem sekeluargi nyuwun agungipun pangapunten menawi suguhanipun tasih katah kekirangan," kata ayah.

(Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Salim dan pak Halim sekeluarga. Kami sekeluarga mohon maaf jika masih banyak kekurangan.)

"Sami-sami pak Wahyu, dalem sekeluargi ngaturaken agungipun samudra pangaksami, menawi sampun ngerepoti panjenengan sekeluargi," ucap pak Salim.

(Sama-sama pak Wahyu, kami sekeluarga menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya sudah merepotkan keluarga pak Wahyu.)

"Mugi pertemuan sakmeniko saget mbeto kebarokahan saha ridhonipun pangeran," sambung pak Salim.

(Semoga pertemuan saat ini bisa membawa keberkahan dan ridho Allah)

"Aamiin," kami semua serempak menjawab doa pak Salim.

"Pak Wahyu, kami memohon ijin, untuk menyampaikan tujuan utama kami silaturahmi ke rumah pak Wahyu. Kami ingin memperpanjang tali persaudaraan. Kami hendak melamar Rania untuk anak kami," sambung pak Salim.

"Sebelumnya kami sampaikan terima kasih atas pinangan yang ditujukan untuk putri kami. Namun semua keputusan ada di tangan Rania. Karena kami tidak mau memaksakan kehendak kepada anak," tutur ayah.

"Assalamu'alaikum," tiba-tiba dari pintu ada salam dari seorang perempuan. Ternyata Reni datang dengan tergopoh-gopoh dan sepertinya berlari. Karena nafasnya masih terengah-enggah.

"Jangan ambil Kak Reno dariku. Aku sayang sama Kak Reno. Aku tak mau berpisah dengannya," dengan lantang Reni mengungkapkan isi hatinya.

"Wa'alaikum salam, duduk dulu Reni," ucap bu Halim.

Baru kutahu sekarang, apa mungkin saat itu Reni menangis karena takut kalau aku merebut Reno darinya? Ternyata salah paham, beruntung saat itu aku langsung mengambil keputusan untuk menolak jemputan Reno.

"Siapa yang mau memisahkan kamu sama Reno?" tanya Bu Halim.

"Mama sama papa mau menikahkan mas Reno dengan kak Rania kan Karena yang aku tahu, seorang adik akan kehilangan kasih sayang kakaknya setelah dia menikah. Dia akan sibuk mengurus istri dan keluarga barunya. Sehingga lupa dengan keluarga aslinya, bahkan lupa dengan darah dagingnya.”

"Sepertinya kamu salah paham Reni. Yang akan menikah bukan Reno. Tapi anak Pakde Salim," kata pak Halim.

"Benaran bukan mas Reno?" kata Reni meyakinkan.

"Iya, Sayang, bukan Reno," kata bu Halim.

Tiba-tiba ada suara gawai berdering.

"Permisi, saya ijin mengangkat telepon," kata Reno sambil berlalu keluar pintu rumah.

"Iya benar yang pagar hitam," kata Reno sambil melambaikan tangan, entah kepada siapa.

Tak lama kemudian Reno menuju pintu rumah lagi, bersama seorang lelaki yang seumuran dengan kami, dan tentu saja tampan juga, sama seperti Reno. Ups, keceplosan aku. Iya sih, harus aku akui Reno memang tampan. Banyak juga cewek di kampus yang memperebutkannya.

"Assalamu'alaikum," salam lelaki itu sopan sekali.

"Wa'alaikumsalam," kami serempak menjawab.

"Mari masuk, silakan duduk," sambut ayah pada tamu yang baru datang bersama Reno.

"Alif, ini pak Wahyu dan Bu Wahyu," kata pak Salim.

Lelaki yang bernama Alif mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan ayahku. Pada ibu, hanya menangkupkan tangan di depan dada. Sepertinya tipe pria idaman juga. Hehehe.

"Rania, perkenalkan ini Alif putra kami. Lulusan S2 Harvard. Dari SMP ke SMA mengikuti aklerasi (kelas percepatan). Jadi Alif sudah lulus S2," terang pak Salim.

Pak Salim bercerita kalau Alif sudah merintis perusahaan di Jakarta sejak lulus S1. Alif membangun usaha bersama sahabatnya waktu kuliah S1 di Universitas Indonesia. Jadi Alif bisa memantau perkembangan perusahaannya ketika dia kuliah S2 di Harvard.

Sesuai dengan janjinya, pak Salim memberiku kesempatan untuk kenal lebih jauh dengan Alif. Jika memang cocok, bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Jika tidak, aku diharapkan segera menyampaikan pada keluarga beliau.

Kemudian Pak Salim dan Pak Halim sekeluarga berpamitan setelah selesai acara silaturahmi di rumah kami.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status