Share

Reno melamar Rania

Bab 5

Pov Rania

Reno Melamar Rania

"Rania, sebenarnya sejak awal aku bertemu, aku sudah suka sama kamu," kata Reno.

Aku diam, menunduk mendengarkan kata-katanya. Karena sampai saat ini, aku belum ada keinginan untuk berpacaran apalagi menikah. Karena tujuan utamaku adalah membahagiakan kedua orang tua. Aku bingung harus jawab apa kalau tiba-tiba Reno menyampaikan hal yang paling kutakutkan itu.

Belum sempat Reno melanjutkan kata-katanya, pelayan datang memberikan buku menu dan bertanya kepada kami, makanan dan minuman apa yang akan dipesan.

"Permisi, Kak. Silakan dipilih, makanan dan minumannya, " kata sang pelayan.

"Menu spesialnya hari ini apa?" tanya Reno.

"Spesial menu hari ini, fried rice terderloin steak with mozarella sauce kak," ujarnya.

"Rania mau?" tanya Reno padaku.

"Aku ikut kamu saja pesanannya. ‘Kan kamu yang lebih tahu tentang restoran ini Reno," jawabku. Karena aku juga kurang tahu menu apa yang enak di sini. Keluargaku belum pernah makan di restoran semewah ini. Paling kalau ada acara keluarga kami ke restoran yang terjangkau kalangan menengah.

"Fried rice terdeloin steak with mozarella sauce dua dan fruit salad dua," kata Reno pada pelayan itu.

"Kamu mau minum apa Rania?" Reno bertanya lagi padaku.

"Aku ikut kamu juga deh," kataku.

"Oke mas, untuk minumnya vanilla latte dua ya, terima kasih," sambung Reno.

"Baik, Kak. Mohon ditunggu, kami akan segera mempersiapkan pesanannya," jawab pelayan sambil berlalu meninggalkan meja kami.

Aku cuma bisa melongo, kaget juga, banyak banget pesanannya. Mana cukup perutku menghabiskan semua pesanannya. Aduh, bisa malu aku sama Reno kalau makanan yang dipesannya tidak kuhabiskan. Nanti dia kecewa.

"Rania, selamat ya atas kelulusanmu. Kamu mau melanjutkan S2 atau langsung kerja?" tanya Reno.

"Kalau untuk melanjutkan ke S2, mungkin belum Reno, kan kamu tahu sendiri keadaan keluargaku," jawabku sambil menunduk.

"Insyaallah mau langsung kerja Reno," imbuhku.

"Apa sudah melamar kerja? Di mana?" tanya Reno lagi.

"Alhamdulillah sudah melamar kerja Reno, insyaallah minggu depan diberi kabar untuk panggilan wawancara kalau lamaran kerja diterima, ataupun ditolak," jelasku pada Reno.

"Alhamdulillah, semoga diterima, Rania," doa Reno untukku.

"Aamiin, terima kasih, Reno," sambil kutadahkan tangan dan kuaminkan doanya.

Aku berharap beberapa lamaran kerja yang kukirimkan, ada salah satu yang berminat menerimaku sebagai karyawan di perusahaan mereka. Karena aku juga berkeinginan melanjutkan kuliah ke jenjang S2.

Aku benar - benar ingjn membanggakan ayah dan ibuku. Telah berat beban mereka merawat dan membesarku dan kedua kakakku. Apalagi kedua kakakku masih belum bisa membantu ayah dan ibuku dalam hal keuangan.

"Rania," Reno memanggil namaku, sehingga membuyarkan lamunanku.

Aku kaget karena tadi sedang kurang fokus.

"Iya Reno, ada apa?" jawabku, tapi kenapa jantungku berdegup lebih kencang ketika menjawab panggilan Reno.

"Ada yang ingin kusampaikan, Rania.” Tiba-tiba Reno berdiri, lalu bersimpuh di hadapanku dengan satu lutut di lantai.

Jantungku semakin berdegup kencang. Oh Tuhan, jangan sekarang, aku belum siap. Aku harus bagaimana?

Reno memasukkan tangan ke kantong jasnya, dan mengeluarkan suatu kotak merah berbentuk bunga yang lucu dan imut.

"Will you marry me?" ucap Reno sambil menyodorkan kotak merah itu dan membukanya, yang ternyata isinya kalung, gelang dan cincin emas yang bertahtakan permata.

Dalam hatiku menangis.

Aku bingung harus jawab apa. Aku tertegun melihat ini semua. Seperti ada rasa tak percaya, apakah ini mimpi?

Aku tak pernah menyimpan perasaan apapun pada Reno. Karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri, ingin membahagiakan kedua orang tuaku dulu.

Aku harus jawab apa?

Apa aku tolak saja? Atau aku minta waktu untuk berpikir?

Namun, jika minta waktu, hanya membuatnya semakin menunggu dan memberi harapan palsu. Pemberi harapan palsu. PHP kalau kata anak jaman now.

Reno berdiri dari tempatnya. Lalu Dia terkekeh.

"Bagus, ‘kan aktingku? Kata Reno sambil tersenyum.

"Apa maksudmu Reno?" Aku semakin bingung dibuatnya.

"Haha, maafkan aku. Itu tadi aku sedang belajar, supaya nanti lancar kalau melamar calon istriku.”

"Hahahaha," aku tertawa miris.

Kena deh aku dikerjai sama Reno. Jahil banget anak ini.

Jarang ketemu, sekali ketemu, dikerjainya habis-habisan aku. Pasti mukaku merah padam sekarang.

Kemudian datang pelayan membawakan minuman kami. Memberikan waktu untukku untuk menghindar dari tatapan Reno yang tampak puas sekali sudah mengerjai aku.

"Permisi, vanila latte," kata mas pelayan.

"Iya mas, makasih," jawabku.

"Ayo diminum, ini minuman favoritku di sini," kata Reno.

"Nanti saja Reno, sekalian saja sambil menunggu makanan datang," jawabku, sambil pura-pura sibuk memainkan gawai.

"Oke deh, aku minum ya," imbuh Reno.

"Iya," jawabku datar.

Jengkel banget melihat kelakuan Reno. Awas ya, jika ada kesempatan pasti akan aku balas, batinku.

Oke sekarang kamu bisa tertawa bahagia, merasa sukses bisa mengerjai aku. Tiada maaf bagimu di lain hari. Hahahaha, aku tertawa lagi dalam hati.

Setelah Reno menyeruput minumannya, datang pelayan  mengantarkan  makanan kami. Kelihatannya enak sekali, kebetulan perutku sudah keroncongan.

"Silakan, Kak. Selamat menikmati hidangan terbaik dari restoran kami," ucap pelayan setelah meletakkan piring di hadapanku dan Reno.

“Ayo dimakan, Ran. Nanti keburu dingin,” kata Reno.

“Oke,” jawabku.

“Kamu sering makan di tempat ini, Ren? Kalau cuma nasi goreng, nasi goreng abang-abang di pinggir jalan banyak yang enak loh. Harganya juga murah meriah. Kita kalau jadi orang tidak boleh boros, harus pandai-pandai mengatur keuangan. Kita tidak akan pernah tahu kebutuhan mendadak di masa yang akan datang,” tuturku panjang lebar.

“Iya, iya, bawel banget sih. Belum jadi istri saja sudah cerewet banget. Bagaimana ya kalau sudah jadi istri, bisa setiap hari aku mendengar omelan tuan putri,” kata Reno sambil tertawa mengejek.

“Siapa juga yang mau menikah sama kamu, jangan berharap deh. Itu tadi aja aku sudah mau menolak, cuma tidak tega rasanya. Hahahaha,” jawabku sambil tertawa lebar.

“Masa sih kamu menolak aku? Tadi kulihat sepertinya wajah kamu bahagia. Makanya cepat aku selesaikan saja dramaku. Supaya tidak berkepanjangan menyakiti hatimu,” jawabnya.

“Hm, sok tahu deh kamu, Reno,” balasku jengkel.

“Gimana makanannya? Enak kan? Oh ya, kamu belum coba saladnya, enak banget loh. Kalau aku lebih suka salad sebagai hidangan penutup, karena rasa buah-buahan yang segar bisa menghilangkan lengket di mulut setelah makan berat,” katanya sambil menyuapkan salad ke dalam mulutnya.

“Kamu aneh banget sih, salad kan hidangan pembuka. Kok dijadikan dessert sih? Kocak banget kamu, lucu,” aku hanya bisa tertawa melihat kelakuan anehnya.

Setelah selesai makan, Reno memanggil pelayan untuk meminta tagihan. Setelah membayar Reno mengajakku pulang sambil membawakan beberapa bungkus makanan.

“Apa ini Reno? Banyak sekali,” tanyaku.

“Untuk keluarga di rumah Ran. Dimakan ya, jangan dibuang, sayang loh!” tuturnya.

“Makasih banyak Reno, semoga rezekimu semakin berlimpah,” doaku untuk Reno.

“Aamiin,” balas Reno.

“Yuk kita pulang,” ajak Reno.

“Kita tunggu Bima dan Disti dulu ya,” kataku.

“Mereka sudah menunggu dari tadi cantik,” goda Reno padaku.

“Genit kamu,” balasku jengkel.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status