Share

Reno patah hati

Bab 7

Reno patah hati

Shock, aku tak percaya, hatiku hancur. Semalam aku memang mengerjai Rania, dengan berpura-pura melamarnya. Karena sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Cinta yang kupendam sejak SMP, akan aku sampaikan jika Rania sudah lulus kuliah.

Awalnya aku ingin melihat raut wajahnya saat aku melamarnya. Apakah dia akan marah atau tersipu malu? Ternyata nampak bahwa Rania tersipu malu. Jadi ada harapan bahwa sesungguhnya dia juga suka padaku. Mungkin hanya malu untuk mengungkapkan perasaannya. Memang dulu waktu SMP dia menolakku, pasti karena kami masih terlalu kecil.

Rencananya hari ini akan kusampaikan pada ayah dan ibu bahwa aku menyukai Rania dan meminta mereka untuk meminangnya.

Namun, semuanya terlambat. Ternyata Pakde Salim — kakak ayahku, terlebih dahulu telah meminang Rania untuk Alif, putranya.

Ibu menyampaikan padaku, untuk datang oke rumah Rania nanti siang.

“Jangan lupa ya, Reno, nanti siang ke rumah Rania. Pakde Salim hendak melamar Rania untuk Alif. Kita sekeluarga juga akan hadir. Jadi saat istirahat makan siang, kamu langsung kesana saja ya.” Pesan ibu padaku saat kami sedang sarapan bersama.

“Uhuk... Uhuk..” aku terbatuk, nasi goreng yang ada di dalam mulutku hampir saja keluar. Apa aku tidak salah dengar? Rania akan dilamar Mas Alif?

Aku tak bisa berkata-kata, batinku menangis. Jangan sampai ibu melihat kesedihanku. Kasihan juga kalau acara lamaran Mas Alif harus gagal gara-gara aku.

“Baik, Bu, insya allah Reno tak akan lupa. Aku usahakan jam istirahat segera meluncur ke rumah Rania.” Aku tersenyum pada ibu.

“Alhamdulillah kalau kamu bisa datang. Semoga acara nanti bisa berjalan lancar. Kalau sempat nanti kamu kabari Reni ya, tadi ibu belum sempat bilang, dia sudah berangkat kuliah jam enam pagi. Katanya ada acara di kampus, makanya berangkat kuliahnya pagi sekali.”

“Inggih, Bu,” jawabku.

(Iya, Bu)

Setelah selesai sarapan, aku mempersiapkan keperluanku dan segera berangkat kerja.

“Dalem bidhal rumiyen, Bu.” Pamitku pada ibu.

(Saya berangkat kerja dulu, Bu.)

“Iyo, Le. Ati-ati ning ndalan lan ojo lali ndungo,” pesan ibu lagi.

(Iya, Nak. Hati-hati di jalan dan jangan lupa berdoa.)

“Inggih, Bu, pangestunipun. Assalamu'alaikum.”

(Iya, Bu, mohon doa dan ridhonya.)

“Wa'alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh.”

Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku tak bisa berhenti memikirkan tentang Rania. Tak siap rasanya jika aku harus kehilangan dia. Tak rela dirinya menjadi milik orang lain.

Apa aku harus menggagalkan acara nanti siang? Namun, tak tega rasanya. Karena bagaimanapun juga Mas Alif sudah seperti kakak sendiri. Dia banyak membantuku. Mulai dari urusan kuliah, hingga urusan pekerjaan. Aku bisa menduduki jabatan ini juga karena dia.

Mas Alif memperkenalkan aku dengan salah satu sahabatnya yang memiliki perusahaan properti. Kebetulan juga, perusahaan tersebut membutuhkan arsitek. Walaupun aku masih harus melewati beberapa tahap ujian untuk bisa lolos, tetap saja semuanya berkat jasa Mas Alif.

Aku segera menuju ruanganku, setelah sampai di kantor. Tak lupa juga aku kabari Reni. Takutnya lupa juga, karena kalau sudah tenggelam dalam pekerjaan, bisa lupa segala hal.

“Assalamu’alaikum Reni, nanti pulang kuliah jam berapa?” sapaku pada Reni melaui panggilan telepon seluler.

“Wa'alaikum salam, hari ini aku pulang agak siang kak, mungkin sekitar jam satu atau jam dua. Ada apa kak?”

“Kakak Cuma mau kasih kabar, nanti pulang kuliah, langsung ke rumah Rania ya. Tadi ibu berpesan pada kakak, maaf tak sempat menyampaikan padamu. Lupa tadi, kata ibu.”

“Ada acara apa kak? Apa acara tasyakuran kelulusan Rania?”

“Penasaran ya. Kasih tahu enggak ya?”

“Kakak nakal, awas ya.”

“Iya, maaf. Acara lamaran, Ren.”

“Apa? Acara lamaran? Siapa kak? Kak Reno melamar Rania? Kenapa enggak bilang sih. Kok mendadak acaranya?”

“Banyak sekali pertanyaannya. Kamu lihat saja nanti deh.”

“Kak, jangan bikin aku kepikiran dong.”

“Memang kenapa kalau aku yang melamar Rania. Aku kan sudah bekerja. Enggak akan merepotkan orang lain.”

“Aku enggak mau kehilangan kamu kak. Aku benci Rania.” Kudengar suara isak tangis Reni.

“Reni, kamu enggak boleh bilang gitu. Kamu sudah dewasa. Kakak juga sudah dewasa. Kita akan menikah dengan pasangan masing-masing. Pasti kita akan berpisah. Hanya jarak yang memisahkan. Hati kita tetap akan selalu bersama. Kakak akan selalu sayang sama kamu, Reni. Sudah jangan menangis. Kakak mau kerja dulu. Assalamu’alaikum.”

“Iya kak. Wa'alaikum salam.” Jawab Reni.

Aku kembali berjibaku dengan pekerjaanku. Supaya bisa melupakan patah hatiku.

“Assalamu'alaikum,” Tya – asistenku mengetuk pintu.

“Wa'alaikum salam, iya masuk,” jawabku.

“Permisi, Pak Reno.”

“Ada apa Tya?”

“Ini berkas-berkas yang harus diperiksa di tanda tangani, Pak Reno.”

“Baik, sini berikan pada saya. Hari ini ada meeting?”

“Tidak ada, Pak. Hari ini jadwal kosong.”

“Baiklah. Ada lagi yang mau disampaikan?”

“Tidak ada pak. Saya permisi.”

“Oke. Terima kasih.”

Aku segera memeriksa berkas-berkas yang diberikan Tya. Aku harus teliti, jangan sampai ada kesalahan. Karena aku berharap semuanya sudah selesai sebelum makan siang. Aku tak ingin terlambat ke rumah Rania.

Ketika sedang sibuk dengan pekerjaanku, tiba-tiba gawaiku berdering. Nama Mas Alif yang muncul. Aku belum bisa menerima panggilannya. Aku selesaikan dulu pekerjaanku.

Tak terasa tiba waktu salat zuhur. Suara adzan berkumandang dengan merdunya. Aku segera menuju masjid di sebelah barat kantor. Kutunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Kucurahkan kesedihanku, penyesalanku, kesalahanku padaNya.

Seusai salat, aku ambil gawai menghubungi Mas Alif.

“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” sapaku pada Mas Alif setelah panggilan terhubung.

“Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh.”

“Maaf, Mas, baru bisa menghubungi, tadi aku agak sedikit repot.”

“Kamu masih di kantor, Reno?”

“Iya Mas, ada yang bisa kubantu?”

“Om dan tante apa sudah bercerita, kalau hari ini hendak melamar Rania? Apa kamu bisa menjemputku? Aku nervous nih. Hehehe.”

“Sudah, Mas. Ibu tadi pagi sudah menyampaikan. Maaf aku belum bisa menjemputmu. Kita bertemu disana saja ya?”

“Baiklah. Tapi kamu janji, pasti datang ya?”

“Iya Mas. Setelah selesai semua pekerjaanku, aku langsung meluncur ke rumah Rania.”

“Oke, makasih. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. “

“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh.” Kuakhiri panggilanku.

Aku tak bisa menjemput Mas Alif karena masih ada satu berkas yang belum selesai kuperiksa. Setelah selesai tugasku, aku segera berpamitan pada Tya dan meminggalkan kantor menuju rumah Rania.

Perjalanan terasa begitu cepat, tak terasa aku sudah di depan rumah Rania. Tampak di depan pagar, ada ayah dan ibu juga baru tiba. Aku parkir mobilku dan menghampiri ayah dan ibu.

Kami berjalan menuju pintu rumah Rania. Terdengar di dalam mereka sedang mengobrol serius, kemudian kami mengucap salam, dan disambut dengan hangat oleh keluarga Rania.

Rania tampak sedang bersedih. Pasti dia sudah mengetahui jika akan dilamar. Apakah dia belum siap? Tidak suka? Atau ada hal lain yang mengganjal di hatinya. Sebaiknya kutanyakan saja daripada aku memikirkannya. Namun, tidak kudapatkan jawaban, dia hanya bilang sedang sedih, kemudian terkekeh, sepertinya sedang menghibur diri.

Kami berkumpul  di ruang keluarga setelah selesai menikmati jamuan dari keluarga Rania. Tiba-tiba Reni datang dengan raut wajah yang tak karuan. Dia langsung marah dan menyampaikan bahwa tak mengijinkan aku menikah dengan Rania. Ya Allah, kau lupa bilang tadi. Padahal kan niatku hanya mengerjai Reni.

Mas Alif kemana ya, kenapa belum datang? Apa sebaiknya kutelepon saja? Ternyata gawaiku berdering, Mas Alif memanggil. Aku segera keluar dan menjemput Mas Alif. Kulirik raut wajah Rania tampak sumringah. Mungkin dia suka dengan Mas Alif. Siapa yang bisa menolak pesona kakak sepupuku yang satu ini. Dia sudah tinggi, gagah, pandai, tampan, mapan, CEO. Kurang apalagi coba? Aku langsung minder. Sepertinya aku harus melepaskan bayangan Rania untuk sekarang dan selamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status