Langit tersentak. Ia meraih wajah Senja dan menangkupkannya. Menatap dua buah bola mata indah milik Senja yang tampak berkaca dan sedikit memerah."Maaf, maafkan saya Senja. Saya belum bisa melupakannya." Langit berkata dengan lembut sambil terus menatap Senja.Jleb. Hati Senja semakin sakit. Bagai tertusuk belati tajam. Dengan gamblangnya Langit mengatakan itu tanpa memikirkan sedikitpun perasaan Senja.Senja menghela napas kasar. Menelan pahit ludahnya. "Kalau kau masih mencintainya, kenapa tidak melepaskanku? Saya ikhlas kau bersamanya karena memang seharusnya dia yang mendampingimu, bukan saya." Senja berusaha kuat menahan sakit. Wanita itu berusaha berkata meski mulut terasa berat bersuara. "Saya memang masih mencintainya. Namun, Saya juga mencintaimu, Senja. Saya tidak bisa melepaskanmu." Langit kembali berkata meski pelan. Namun, kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu begitu tajam terasa menembus jantung."Kau egois, Mas. Bagaimana bisa kau mencintai saya, semen
Pagi-pagi sekali Langit sudah bersiap ke kantor. Ia sengaja pergi karena semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pria itu tidak terbiasa dengan kehidupan yang Senja rasakan. Meski tempatnya bersih. Akan tetapi, terlalu kecil untuk seorang Langit.Pria itu pun beralasan ada pekerjaan pagi supaya bisa cepat pergi dari sana dan tidak menyinggung perasaan sang mertua. Setibanya di kantor, Langit langsung merebahkan tubuh pada sofa di ruangan tempat ia bekerja. Begitu nyenyak Langit tertidur sampai tidak mengetahui kedatangan Zack.Pria manis bertubuh tinggi itu menggelengkan kepala melihat Langit yang tertidur pulas seperti itu. Ia pun mendekat dan berusaha membangunkan dengan menggoyang-goyangkan pelan tubuh lelaki itu."Bos, Bos. Bangunlah. Ini sudah pagi. Apa kau tidak ingin bekerja?" Zack berkata dengan pelan takut membuat Langit terkejut.Pria itu membuka mata perlahan dan sedikit terkejut melihat Zack yang sudah duduk di sampingnya. "Zack! Sejak kapan kau datang?" Langit berkata cu
Langit terpaksa menjemput dan membawa Senja pulang. Sudah satu minggu wanita itu berada di rumah orang tuanya. Namun, tidak sekalipun mengabari Langit untuk dijemput. Senja kesal, tetapi dia tidak bisa menolak. Perempuan tersebut paham sekali sifat sang suami yang suka semaunya dan sulit dibantah."Mau menguji kesabaran saya?" Langit berkata kesal karena Senja sempat menolak diajak pulang. Bahkan kini ia merajuk.Senja bergeming. Bahkan enggan menatap Langit meski wajah pria itu sangatlah tampan. Langit bertambah kesal. Ia meraih wajah Senja dan memaksa untuk menatapnya."Kenapa selalu memalingkan wajah saat saya berbicara denganmu?" geram Langit sambil sedikit mencengkeram wajah Senja. Namun, wanita itu tetap diam. Hanya embusan napas bergemuruh terdengar."Senja! Bisakah kau hargai saya sebagai suamimu?" Langit semakin emosi. Ia menaikan nada bicaranya. Membuat Senja sedikit tersentak.Senja menelan ludahnya. Wanita itu menatap Langit tajam. "Kenapa memaksaku untuk pulang? Saya masi
Langit baru saja pulang bekerja. Ia langsung ke kamar dan melihat Senja yang sedang mengamati wajahnya yang masih memar akibat cengkraman Violeta tadi pagi. Pria itu mendekat dan langsung memeluk sang istri dari belakang."Kau sedang apa? Saya baru sampai tapi kau tidak menyambutku?" tanya pria tampan bermata elang itu sambil menyandarkan dagu pada sebelah pundak Senja."Ma--Mas Langit. Su--sudah pulang? Maaf, saya tidak mendengar kau pulang." Senja berkata dengan tersendat. Ia terkejut dengan kedatangan Langit yang tiba-tiba dan memeluknya."Tidak apa. Wajahmu kenapa memar seperti itu?" Langit memandang wajah Senja dari cermin. Ia terkejut mendapatinya memar."Ahh, ini. Anu. Emm, tadi saya tidak melihat jalan dan terbentur dinding saat mau masuk kamar. Jadi memar," bohong wanita itu dengan gugup."Biar saya lihat. Sepertinya ini bukan terbentur dinding. Tapi, seperti bekas cengkraman." Langit membalikkan tubuh Senja dan meraih wajahnya. Ia memeriksa bekas memar itu meski Senja berusah
Langit semakin panik. Ia bingung harus bagaimana. Jantungnya berdegup sangat kencang. Belum pernah lelaki tersebut seperti itu.Selepas dokter pergi. Langit duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Ia menautkan jari-jemarinya dan menyangga kepala. Pikirannya sangat kacau sekali."Ya Tuhan, selamatkan Senja dan calon anakku." Langit berkata lirih. Ada sepenggal penyesalan atas sikapnya kepada Senja selama ini."Kau harus kuat Senja. Saya mohon, bertahanlah. Saya janji akan memperlakukanmu dengan baik dan lebih mencintaimu. Maafkan saya, Senja." Kembali Langit bermonolog. Tidak terasa air matanya menetes membasahi punggung tangan lelaki itu.Zack datang membawa paper bag berisi pakaian ganti untuk Langit dan Senja. Ia juga membawakan beberapa makanan dan minuman. Sejak pulang kerja, Langit belum makan dan minum apa pun. Ia sibuk mengurus Senja."Bos, ini pakaian ganti dan beberapa makanan juga minuman. Bos harus makan supaya tidak sakit." Zack menaruh bungkusan itu di samping Langit dan d
Kondisi Senja sudah mulai membaik setelah mendapatkan perawatan selama satu minggu, begitupun dengan perkembangan sang buah hati. Ia sudah diperbolehkan pulang. Namun, tetap belum diizinkan melakukan banyak aktifitas sampai wanita itu benar-benar pulih.Langit semakin posesif sekali. Ia tidak ingin hal buruk terjadi pada Senja. Kejadian minggu lalu membuatnya trauma dan harus ekstra hati-hati menjaga Senja. Semua itu agar tidak terulang lagi.Senja hanya bisa pasrah dan menuruti perkataan Langit. Ia masih belum cukup kuat melawan pria itu. Meski hatinya masih belum menerima perbuatan Langit yang menyakiti hatinya dengan terus mengingat Violeta. Wanita seksi itu telah menjadi duri yang menusuk daging.Senja jenuh di dalam apartemen terus. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan santai ke taman tidak jauh dari tempat tinggalnya. Menghirup udara segar pagi hari dan sedikit berjemur di bawah sinar matahari pagi. Langit memang mengizinkan Senja pergi. Namun, tetap saja di awasi oleh para penjag
Langit mendongak. Ia menatap tajam ke arah Violeta. "Kau jangan asal bicara, Vio. Senja wanita baik-baik. Tidak ada pria lain yang dekat dengannya, kecuali saya." Pria itu tidak terima dengan perkataan Violeta. Ia tampak sedikit geram dengan wanita seksi yang duduk di hadapannya tersebut."Jangan marah. Kendalikan dirimu. Aku hanya berkata fakta. Kamu tidak tahu bagaimana kehidupannya sebelum menikah denganmu, bukan? Kamu juga baru mengenal dirinya saat memutuskan untuk menikahi wanita itu. Apa kamu yakin, kehidupan dia baik sebelum menikah denganmu? Apalagi perempuan itu dari kalangan bawah. Dia dapat uang dari mana untuk biaya hidup keluarga dan sekolah kalau tidak dari mendekati pria kaya hanya untuk mendapatkan uang?" ucap Vio terus memanasi Langit agar membenci Senja."Hayolah Langit. Buka matamu. Kamu telah digelapkan oleh wanita itu. Aku sudah tahu latar belakang Senja seperti apa. Jangan terpancing oleh parasnya yang polos. Dia tidak selugu yang kamu kira. Dia itu ular berbisa
"Siapa pria ini? Apa dia kekasihmu? Kau sengaja menjebakku dengan mengatakan mengandung anakku. Padahal ini anak kalian, bukan?" Langit semakin marah. Ia langsung menuduh Senja tanpa basa-basi lagi."Ini tidak benar, Mas. Kau ....""Jangan mengelak! Kau sudah tertangkap basah. Mau alasan apa lagi? Mau cari cara lain untuk menipuku lagi?" Kau ....""Cukup! Berhenti menghina Senja. Dia perempuan baik-baik. Semua yang kamu katakan tentang dia itu tidak benar!" Pemuda yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan saja pun ikut bicara. Ia tidak tahan dengan sikap Langit yang menuduh Senja tanpa bukti yang pasti."Oh, kau membelanya? Kalian sekongkol untuk menipuku, bukan?" Langit semakin emosi. Ia begitu kesal dengan ucapan pemuda berparas manis itu."Kamu tidak perlu marah-marah. Simpan emosimu. Kalau kamu meragukan istrimu, lakukan tes DNA saat anak ini lahir. Kita lihat siapa yang berbohong." Lelaki itu menantang Langit untuk menghentikan pria tersebut menghina Senja. Ia khawatir dengan k