Batin Hanna bertanya-tanya. Tak lama Subakhi meraih tangan anaknya, menyibak pergelangan tangan lalu memeriksa apakah ada lebam bekas luka. "Dia tidak menyakitimu kan?" tanya Subakhi yang khawatir kalau dugaannya dan Alex benar. "Disakiti? Oleh siapa, Pa? Kenapa aku harus disakiti?" Hanna balik bertanya sambil menyelidik ke arah sang papa. "Hem?" Subakhi melebarkan mata dengan dua alis terangkat. Apa ada yang salah dengan pertanyaannya? Kenapa Hanna mempertanyakan itu, apa sebenarnya puterinya tersebut sudah tahu? Atau hanya menduga-duga saja. "Papa kan orang tua kamu, Na. Kenapa malah pertanyaannu jadi terkesan aneh begitu?" tanya Subakhi mangkir. "Oh." Mulut Hanna membulat tanda mengerti. Namun, dia sudah terlanjur curiga. Sejak merasa tertipu oleh sikap Yusuf, dia jadi sulit percaya begitu saja pada ucapan orang lain bahkan papanya. Suara deru mobil kembali terdengar. "Itu pasti Mas Yusuf." "Yusuf? Jadi dia gak di rumah. Ke mana pagi-pagi begini?" tanya sang papa. "Tadi
Yusuf menatap Hanna pergi meninggalkannya. "Hem? Apa yang terjadi kalau begitu? Apa sekarang dia mau mengatakan bisa berbuat apa saja? Ditanya malah nyolot!" Yusuf pun menyusul Hanna yang lebih dulu turun, tak ingin sesuatu yang tak diinginkannya terjadi di bawah sana. Lebih setelah ia tahu Alex menyimpan perasaan padanya, jangan sampai dia mencari-cari kesempatan. Sampai di anak tangga, dan memperhatikan ke bawah, Yusuf lega, Hanna dan Alex tidak duduk bersebelahan. Yusuf pun duduk di dekat Hanna sambil tersenyum tipis ke arah papa mertuanya, kemudian Hanna. Namun, tiba-tiba sang istri bangkit. "Hem?" Kening Yusuf kembali berkerut. Kenapa Hanna berdiri saat dia datang? Seolah Hanna sedang menghindarinya. 'Ya Tuhan. Apa ini? Apa penting bagaimana sikapnya? Sejak kapan aku peduli dengan itu?' "Oya, aku tadi udah masak buat sarapan," ucap Hanna menunjuk dapur. "Wah, kebetulan lama sekali aku tak makan masakanmu, Na!" Alex berseru-seru senang. Dia sudah seperti anak kecil yang dibe
"Apa? Tentang apa ini, Mbak?" Hanna penasaran atas maksud kakak iparnya menelepon. Berita yang Indah bawa tidak utuh, hingga Hanna kesulitan mencernanya. Namun, ketika wanita itu menyebut nama Alex dan papanya seketika rasa penasaran pun hadir."Nggak tau, Na. Tapi karena masalah ini Alex sampai membatalkan penerbangan." Indah menambahkan."Kenapa ya?" kejar Hanna.Dia ingin semua jelas, sebab belakangan juga berpikir keluarganya ada sangkut pautnya dengan hal buruk yang menimpa Adelia.Dan entah kenapa, Hanna yakin apa yang Indah bicarakan ada sangkut pautnya dengan hal itu."Kita ketemu aja, mereka juga nyebut nama kamu dan Yusuf, Na. Aku yakin ini ada kaitannya dengan kalian," sambung Indah kemudian."Apa?!" Mata Hanna membeliak. Apa benar ini ada kaitannya dengan Adelia? 'Iya, aku sendiri yakin begitu.' Ditambah pernyataan Hanna makin kuatlah keyakinannya."Ketemu jam makan siang ya, di Kafe Keluarga." Indah langsung memberi tahu tempat di mana mereka akan ketemu.Hanna melirik pad
'Ini akan sangat memalukan kalau Hanna tahu. Untuk apa aku mengikutinya ke sini? Ck,' gerutunya dalam hati. Sambil menarik topi dan mencuri pandang ke meja Hanna. "Hei, assalamuallaikum Ammah!" Suara Indah terdengar di telinga Yusuf, hingga hatinya tak tahan untuk memaki. 'Ck. Kasihan, tampaknya dia wanita baik dan ngerti agama. Tapi punya suami macam penjahat kelamin seperti Zidan!' Hanna terdengar ramah seperti biasa. Dia juga seorang wanita yang bisa membawa diri di manapun berada. Sejauh ini, bahkan Yusuf belum menemukan keburukan perempuan itu, selain tulus pada siapa pun. Termasuk padanya yang jelas-jelas dzalim, menikahinya atslas dasar dendam. Dia masih peduli dan mau menolong Adelia, meski kenyataannya perempuan dalam bilik itu adalah awal dari neraka Hanna. Yusuf mendesah panjang. Lega. Tak ada yang perlu dicemaskan. 'Wait! Kenapa aku mesti cemas?' Pria tampan yang mengenakan jaket, dengan wajah ditutup masker itu menepis pikiran yang tidak-tidak. Lalu akhirnya bangkit
"Semua ini harus jelas, Mbak. Kapan Mas Zidan datang? Aku yakin ini tak ada sangkut pautnya dengan kesalahan dia. Jadi kita harus selidiki dan menemukan kebenaran." Hanna mengucap mantap. Jangan sampai Yusuf salah target balas dendam pada Zidan, dengan melampiaskan padanya sebagai adik. Namun, kenyataannya tidak demikian. "Ya, Na. Aku setuju. Aku akan kerahkan kemapuan untuk menyelidikinya." Indah menyahut mantap. "Oya, kapan Mas Zidan datang?" "Besok, insyaAllah." "Wah, cepat juga." "Huum. Katanya dia hanya akan tidur di pesawat. Dan lagi karena perjalanan ke Turkey dibatalkan. Katanya dia kan ke sana karena sebelumnya Alex yang ngajak. Deu, aneh banget tuh orang. Aku yakin, diam-diam Mas Zidan juga cemas, setelah kuprovokasi, Na." Indah merasa bangga sekaligus lega. Sang suami mau mendengarkannya. "Ouh, gitu. Yaudah, aku mau pulang dulu, Mbak. Ga enak kalau Mas Yusuf yang datang duluan dan menunggu. "Ciee, iye, iye. Pengantin baru," goda Indah, dan Hanna hanya tersenyum meliha
"Siapa yang menelepon?" tanya Hanna. "Sepertinya itu tak penting." Zaki menyahut cepat. Hanna hanya curiga saja, kalau ada orang yang selalu mengawasi papanya dan Yusuf sekaligus, mamata-matai untuk suatu kepentingan. Ia menyerah dan segera pergi, tampaknya Zaki memang tak mau terbuka padanya. Ketika Hanna pergi dua orang berpakaian rapi, dan kacamata melekat di mata kedua orang itu, datang pada Zaki. Saat Hanna melirik pada mereka, dan Zaki sempat menatap pada Hanna disela perbincangan mereka, wanita itu tak peduli dan memilih meneruskan tujuannya. Lalu masuk ke dalam lift. 'Paling keluarga pasien,' pikirnya. Pikiran Hanna terpecah. Di satu sisi penasaran mengenai apa yang terjadi dengan Yusuf dan Adelia, di satu sisi dia juga memikirkan nasib suaminya yang menyerang Alex di lapangan golf, hingga ia memutuskan menemui Yusuf dan Alex di lapangan golf. Meski begitu, ucapan Zaki terus terngiang di kepala seiring langkahnya. "Tolong jangan sakiti dan salah paham pada Yusuf. Dia ta
Zidan bergerak cepat kala, panggilan untuk para penumpang pesawat terdengar. Pria itu memutuskan pulang lebih cepat ke Indonesia, karena terus kepikiran apa yang Indah ceritakan. Namun, saat akan masuk antrian seseorang menyapa dengan mencolek punggungnya. Begitu menoleh seorang perempuan tengah tersenyum ke arahnya. "Zidan?" Wanita berkacamata hitam dengan syal terkalung di leher tersebut meletakkan telunjuk mengarah ke atas, sebagai ekspresi mengingat wajah pria di depannya. Zidan mengerutkan kening, sembari membalik tubuh agar posisinya tampak lebih serius menanggapi orang yang mengenalinya itu. "Siapa, ya?" tanyanya kemudian. "Arista, ketemu waktu di Bali. Inget?" tanya wanita itu lagi. "Hem? Bali?" Zidan menggumam sambil meneleng kepala. Mengingat-ingat. Namun, rupanya tak kunjung ingat juga siapa pemilik wajah di depannya. Terlalu banyak wajah manusia yang ia temui. Apalagi wanita, meski ia menjaga jarak dengan mereka. "Pacarnya Alex." Wanita itu meletakkan satu tangan di
Adelia menatap Hanna dan Yusuf berdiri di depannya dengan tersenyum. Namun, ketika matanya bergerak semakin ke bawah dan melihat Yusuf dan Hanna bergandengan tangan, senyum itu seketika pudar. Tak suka melihat pria itu terlalu dekat dengan orang yang baru ditemukannya. Yusuf yang menyadari itu lebih dulu, segera melepaskan tangan Hanna. "Kamu udah baikan?" Ia bergerak mendekat ke dipan. Hanna seketika menoleh. Menatap wajah Yusuf yang tampaknya merasa tak nyaman pada Adelia. Seketika cemburu kembali hadir, dan membuat nyeri segumpal daging dalam dadanya. Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu tampak miris, sambil menautkan dua tanganya yang terasa kosong. Pertanyaan-pertanyaan pun kembali hadir di hati Hanna. Apakah akan terus seperti ini selama mereka bertiga bersama? Sebenarnya, Yusuf mencintainya atau tidak? Adelia melengos, tak suka akan kehadiran pria itu. Ia lalu memanggil Hanna agar mendekat. "Mama," rengeknya bak anak kecil. "Ah, ya." Mata Hanna melebar, tak menyangka j