Myracle is a rich billionaire who meets Cedric and they fall in love but what Myracle doesn't know is that Cedric is his mother's toy boy who works to satisfy her sexual needs. Cedric however does this to keep his mother who is ill well taken care of.When the secret is out Myracle's father puts a hit on Cedric and accidentally kills his own wife. In addition to that secrets unravel that Myracle's father killed Cedric's father and stole his empire.
Lihat lebih banyakAku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?
"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.
"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"
Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.
Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.
Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.
"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.
Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.
"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.
Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.
"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"
"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.
"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."
Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....
"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?
Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?
Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.
Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.
Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.
Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"
"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.
"Anu apa? Tante mau anu?"
Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"
Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?
Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"
Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!
Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?
Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.
***
Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.
Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.
"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"
Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!
"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!
"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.
"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"
**
"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"
Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.
"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."
"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."
"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.
Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.
"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.
"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."
Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.
Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.
"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!
Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!
***
"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"
"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"
Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.
Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.
Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.
Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.
"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.
Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.
"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.
Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.
Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.
Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?
"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.
"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"
Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.
Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.
Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.
"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.
Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.
"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.
Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.
"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"
"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.
"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."
Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....
"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?
Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?
Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.
Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.
Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.
Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"
"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.
"Anu apa? Tante mau anu?"
Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"
Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?
Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"
Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!
Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?
Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.
***
Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.
Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.
"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"
Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!
"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!
"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.
"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"
**
"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"
Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.
"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."
"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."
"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.
Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.
"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.
"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."
Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.
Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.
"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!
Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!
***
"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"
"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"
Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.
Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.
Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.
Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.
"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.
Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.
"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.
Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.
Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.
Myracle's POVI went out of the bathroom completely amazed by what had just happened. I felt so embarrassed by what I had almost done with a complete stranger. I let my wobbly feet lead me back to the table where Nigel and I sat.As soon as I sat down I requested for a very strong drink which was denied to me by Nigel. Instead he asked me to be given another cup of strong coffee because the one I left there was cold."Nigel, did you see a tall man in black clothes leave this place?" I ask"The rude guy that walked past here like he owns the place." He says "What about him" he asks"Nothing, I was surprised you opened the restrooms for people at this time." I lied.Nigel does not buy the story as he can see my eyes jumping around suspiciously. He intensely looks at me and laughs when he has found his answer."What happened there?" He inquires."Nothing happened." I laugh."Symphony can drag it out of you." He says taking his phone and dialing Symphony who is on speed dial.I immediate
Cedric's PovMy phone rang off the hook all weekend. Melinda sent text messages but I had other plans. She called until she finally gave up and the last message she sent was a threat but I am not easily moved by them.I was heading to work when I spotted him entering the club he was at Friday night. I wondered why until I saw him , his shoulders slumped and he looked like he had just lost something. I had to speak to him.It took me a while before I gathered up the courage to approach the entrance. Shoulders held high I walked through the open door looking tough but deep down I was shitting bricks. I saw him at the table in the far corner and I gathered myself for the big reveal.I went into the club taking strides right after him and as I approached the entrance, he stood up and made his way to the bathroom. I found him crying and I couldn't help but hold him. He responded to my touch by wanting more which I couldn't give because he was vulnerable. I made sure he was calm before I t
Myracle's POV My mother is in a bad mood this morning, it's like she woke up on the wrong side of the bed and rolled on thorns. The weekend went by so fast.I walked into my mother's kitchen and found her with a cup of coffee in her hands." Good morning mother" I say planting a kiss on her forehead which is not received very well"Ook who took the dance off your feet?" I ask laughingShe looks at me and sighs, lifting the cup and placing it between her blood red lips." the incompetence of some workers" she begins to complain"You pay them good money to render good service to you but they disappear all weekend and do not even have the audacity to answer calls." I am in my good mind to fire the fool but because I have a good heart, I will hear what excuse they have for not being available when needed" she says in annoyance"Hmmmm whatever had to be done must have been important to have the great Melinda moved by it so early in the morning" I say laughing"I wanted to just come by and
Cedric's POVThe club was packed , it was not my scene but I had to be where he was. I wanted to see him up close and maybe even have a conversation with him. He sat with important people far from other people. The general kind. I followed him and never lost sight of him.I think instinct told him he was being watched. I think it became too much because he called in a few guys to beef up security but that didn't stop me. I wasn't going to touch him. I just wanted to look at him. He was a beautiful man, I must confess. I knew he was the one the day I laid eyes on him.My thoughts took me back to the very first day I saw him.He was drunk and he could barely stand. It was a Friday night. How he had managed to drink himself to paralysis surprised me. On this particular Friday night he was alone and he was going to do a reckless thing and drive himself. I saw him struggle to insert the key to open his car door and I knew I had to come to his rescue. I remember very well taking the key fro
Myracle's POVFriday nights were never quiet for me, Symphony and I would be out clubbing and enjoying ourselves. There wasn't much I could do at home, so I preferred spending my time out with my best friend.I had accustomed myself to working all week and resting on weekends and so my weekend began at 5pm every Friday. I worked hard and when I rested I rested hard too. When I was in the house I moved as little as possible so no one would think I'm dead.Nigel has a club and as usual Symphony and I make it a point to spend time there. Nigel is a friend and business associate. He has once again invited us to an event at his club.Today something about the atmosphere is different. We are in the VIP section as usual and I can feel eyes on me. I am used to being looked at but tonight whoever is looking at me has their eyes lingering. I think it's the buttoned down shirt I am wearing but I think otherwise."Do you feel like someone is watching us" I ask pulling Symphony so his ears are clo
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen