ログインDara terbangun dengan perasaan paling aneh yang pernah ia rasakan.Tubuhnya sakit, lemas, dan terasa berat, tapi ia tidak kedinginan. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih terjerat dalam pelukan Adrian. Pria itu tidur dengan lelap, tapi bahkan dalam tidurnya, lengannya melingkari pinggang Dara seperti sabuk pengaman, posesif dan tak terbantahkan.Semalam.Semua ingatan itu kembali menerjangnya. Sesuatu yang kacau, penuh gairah, dan dilakukan atas dasar... kesetaraan yang aneh?Ia menatap wajah pria yang tertidur di sampingnya. Garis rahangnya yang tegas tampak lebih rileks, bibirnya yang biasanya sinis kini terlihat lebih penuh.Dia menepati janjinya.Ia teringat Adrian berbisik, "Hanya kita." Dan untuk sisa malam itu, memang hanya mereka. Ia tidak menuntut atau menghukum. Mereka hanya... bercinta. Berkali kali. Hingga Dara kelelahan dan tertidur dalam pelukannya.Perlahan, sangat perlahan, Dara mencoba menggeser lengan Adrian. Ia harus bangun. Ia harus... memproses ini semua
Garasi itu terasa sunyi dan dingin, tapi udara di antara Adrian dan Dara terasa panas membara. Ciuman itu bukan lagi sebuah serangan. Itu adalah sebuah ledakan.Adrian tidak sedang memainkan peran Dosen Es, Tuan yang Posesif, atau Peneliti yang Kejam. Ia hanyalah... Adrian. Dan ia baru saja melihat seorang wanita muda membungkam ibunya yang tiran dan menghancurkan rivalnya (Dr. Rina) hanya dengan beberapa kalimat cerdas.Dan itu, bagi seorang pria yang menghargai kecerdasan di atas segalanya, adalah afrodisiak terkuat di dunia.Bibirnya melumat bibir Dara, tidak lagi menghukum, tapi... mempelajari. Menuntut, ya, tapi juga bertanya. Tangannya yang satu masih di pintu mobil, sementara tangan yang lain menangkup rahang Dara, ibu jarinya mengelus pipinya dengan gerakan yang nyaris lembut.Dara seharusnya mendorongnya. Ia seharusnya menamparnya. Ia seharusnya menagih janjinya soal kebebasan.Tapi tidak.Ia terhanyut. Ia baru saja selamat dari sarang naga. Adrenalin masih membanjiri tubuhn
Kedipan mata Dara yang cepat dan penuh makna itu adalah sebuah bom kecil yang meledak di tengah keheningan meja makan.Adrian membeku. Ia menatap Dara. Gadis ini, yang beberapa minggu lalu meringkuk ketakutan di bawah kungkungannya, baru saja menyelamatkannya dari ibunya sendiri. Ia tidak hanya memainkan perannya tapi ia baru saja mengambil alih seluruh naskah, menulis ulang dialognya, dan mengarahkan adegan itu dengan sempurna.Ibu Mahesa, yang jelas-jelas kalah telak, berdeham. "Anak muda jaman sekarang," katanya, suaranya kaku. "Selalu penuh... kejutan." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Hidangan utama."Suasana kembali cair, tapi semuanya telah berubah. Para paman dan bibi mulai berbisik di antara mereka, tatapan mereka pada Dara kini bukan lagi sekadar ingin tahu, tapi dipenuhi rasa hormat yang enggan. Dr. Rina tampak seperti akan sakit, ia meletakkan serbetnya dan menolak hidangan utama. Reza, yang terlalu mabuk untuk mengerti nuansa yang baru saja terjadi, hanya bersulang sendi
"Luar biasa," bisik Adrian di telinga Dara saat mereka berjalan menuju meja makan utama. "Akting yang sangat, sangat bagus.""Saya belajar cepat," balas Dara.Meja makan itu adalah sebuah karya seni. Panjangnya setidaknya bisa menampung tiga puluh orang, terbuat dari kayu gelap yang mengkilap, di atasnya tertata perangkat makan porselen yang rumit dan puluhan gelas kristal. Duduk di sana terasa seperti sedang menghadiri jamuan makan kerajaan.Dan Dara duduk di pusat neraka.Adrian ditempatkan di sebelah kanan Ibunya, sang Ratu, yang duduk di kepala meja. Dan Dara, sebagai "tunangan", duduk di sebelah Adrian. Di seberang mereka, duduk Dr. Rina, yang wajahnya seperti topeng porselen yang retak, penuh dengan kebencian yang nyaris tidak bisa disembunyikan. Di samping Rina, duduk Reza, yang tampak bosan dan sudah meraih gelas anggur ketiganya.Para paman dan bibi yang lain mengisi sisa kursi, obrolan mereka pelan dan berkelas, tapi Dara tahu, semua telinga tertuju pada mereka.Pelajaran ke
Sabtu. Pukul setengah tujuh malam.Kamar tidur utama Adrian Mahesa telah berubah menjadi ruang ganti backstage yang menegangkan. Seorang wanita asing dengan koper rias besar baru saja selesai menata rambut Dara menjadi sanggul modern yang elegan."Selesai, Nona. Anda terlihat... luar biasa," kata si penata rias, jelas terpesona oleh transformasi Dara.Dara menatap pantulan dirinya di cermin. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun merah darah yang mereka beli kemarin membungkus tubuhnya dengan sempurna. Riasannya tajam dan dewasa. Dan di lehernya, di atas kulitnya yang pucat, kalung berlian safir 'A' itu berkilau dingin, memantulkan cahaya lampu.Klik.Pintu kamar terbuka. Adrian masuk.Pria itu sudah rapi dalam setelan jas hitam yang dibuat khusus, tanpa dasi, dengan dua kancing teratas kemejanya terbuka. Ia tampak berbahaya, seperti seorang CEO mafia.Ia berhenti, matanya langsung tertuju pada Dara. Ia mengamati Dara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada kilatan di matany
Dara tidak ingat bagaimana ia bisa sampai ke kamar tidurnya.Setelah Bi Inah dengan polosnya menyuruhnya istirahat dari makan malam yang totalitas, Dara praktis berlari menaiki tangga. Ia tidak masuk ke kamar tidur utama. Instingnya membawanya kembali ke kamar tamu sangkarnya yang lama, yang kini terasa seperti satu-satunya tempat aman.Ia membanting pintu dan menguncinya. Sebuah gestur yang sia-sia, ia tahu Adrian bisa membukanya kapan saja, tapi ia butuh ilusi keamanan itu.Ia bersandar di pintu, napasnya terengah-engah. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena takut. Itu adalah sisa-sisa adrenalin. Ia bisa merasakan denyutan aneh di antara kedua pahanya, sebuah rasa sakit dan perih yang bercampur dengan... sisa kenikmatan.Ia menatap pantulan dirinya di cermin.Rambutnya adalah sarang burung. Gaun merahnya yang mahal robek di bagian ritsleting. Bibirnya bengkak dan merah. Dan di lehernya, di atas choker kulit hitam (yang ia pakai di balik gaun) dan kalung berlian 'A', ada tanda-tanda ba







