LOGINKedipan mata Dara yang cepat dan penuh makna itu adalah sebuah bom kecil yang meledak di tengah keheningan meja makan.Adrian membeku. Ia menatap Dara. Gadis ini, yang beberapa minggu lalu meringkuk ketakutan di bawah kungkungannya, baru saja menyelamatkannya dari ibunya sendiri. Ia tidak hanya memainkan perannya tapi ia baru saja mengambil alih seluruh naskah, menulis ulang dialognya, dan mengarahkan adegan itu dengan sempurna.Ibu Mahesa, yang jelas-jelas kalah telak, berdeham. "Anak muda jaman sekarang," katanya, suaranya kaku. "Selalu penuh... kejutan." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Hidangan utama."Suasana kembali cair, tapi semuanya telah berubah. Para paman dan bibi mulai berbisik di antara mereka, tatapan mereka pada Dara kini bukan lagi sekadar ingin tahu, tapi dipenuhi rasa hormat yang enggan. Dr. Rina tampak seperti akan sakit, ia meletakkan serbetnya dan menolak hidangan utama. Reza, yang terlalu mabuk untuk mengerti nuansa yang baru saja terjadi, hanya bersulang sendi
"Luar biasa," bisik Adrian di telinga Dara saat mereka berjalan menuju meja makan utama. "Akting yang sangat, sangat bagus.""Saya belajar cepat," balas Dara.Meja makan itu adalah sebuah karya seni. Panjangnya setidaknya bisa menampung tiga puluh orang, terbuat dari kayu gelap yang mengkilap, di atasnya tertata perangkat makan porselen yang rumit dan puluhan gelas kristal. Duduk di sana terasa seperti sedang menghadiri jamuan makan kerajaan.Dan Dara duduk di pusat neraka.Adrian ditempatkan di sebelah kanan Ibunya, sang Ratu, yang duduk di kepala meja. Dan Dara, sebagai "tunangan", duduk di sebelah Adrian. Di seberang mereka, duduk Dr. Rina, yang wajahnya seperti topeng porselen yang retak, penuh dengan kebencian yang nyaris tidak bisa disembunyikan. Di samping Rina, duduk Reza, yang tampak bosan dan sudah meraih gelas anggur ketiganya.Para paman dan bibi yang lain mengisi sisa kursi, obrolan mereka pelan dan berkelas, tapi Dara tahu, semua telinga tertuju pada mereka.Pelajaran ke
Sabtu. Pukul setengah tujuh malam.Kamar tidur utama Adrian Mahesa telah berubah menjadi ruang ganti backstage yang menegangkan. Seorang wanita asing dengan koper rias besar baru saja selesai menata rambut Dara menjadi sanggul modern yang elegan."Selesai, Nona. Anda terlihat... luar biasa," kata si penata rias, jelas terpesona oleh transformasi Dara.Dara menatap pantulan dirinya di cermin. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun merah darah yang mereka beli kemarin membungkus tubuhnya dengan sempurna. Riasannya tajam dan dewasa. Dan di lehernya, di atas kulitnya yang pucat, kalung berlian safir 'A' itu berkilau dingin, memantulkan cahaya lampu.Klik.Pintu kamar terbuka. Adrian masuk.Pria itu sudah rapi dalam setelan jas hitam yang dibuat khusus, tanpa dasi, dengan dua kancing teratas kemejanya terbuka. Ia tampak berbahaya, seperti seorang CEO mafia.Ia berhenti, matanya langsung tertuju pada Dara. Ia mengamati Dara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada kilatan di matany
Dara tidak ingat bagaimana ia bisa sampai ke kamar tidurnya.Setelah Bi Inah dengan polosnya menyuruhnya istirahat dari makan malam yang totalitas, Dara praktis berlari menaiki tangga. Ia tidak masuk ke kamar tidur utama. Instingnya membawanya kembali ke kamar tamu sangkarnya yang lama, yang kini terasa seperti satu-satunya tempat aman.Ia membanting pintu dan menguncinya. Sebuah gestur yang sia-sia, ia tahu Adrian bisa membukanya kapan saja, tapi ia butuh ilusi keamanan itu.Ia bersandar di pintu, napasnya terengah-engah. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena takut. Itu adalah sisa-sisa adrenalin. Ia bisa merasakan denyutan aneh di antara kedua pahanya, sebuah rasa sakit dan perih yang bercampur dengan... sisa kenikmatan.Ia menatap pantulan dirinya di cermin.Rambutnya adalah sarang burung. Gaun merahnya yang mahal robek di bagian ritsleting. Bibirnya bengkak dan merah. Dan di lehernya, di atas choker kulit hitam (yang ia pakai di balik gaun) dan kalung berlian 'A', ada tanda-tanda ba
“Yang lain?”Pertanyaan polos itu, diucapkan dengan nada ingin tahu yang dibuat-buat, menggantung di udara yang beraroma lilin lebah dan makanan mahal. Dara masih tersenyum tipis, matanya berkilat penuh kemenangan. Ia telah berhasil. Ia telah membuat pria paling terkontrol di dunia ini tersentak dan hendak kabur hanya dengan sentuhan sederhana di tangannya.Ia sedang menikmati kemenangannya, menunggu Adrian untuk bergumam, "Lupakan," dan melarikan diri ke perpustakaannya.Tapi Adrian tidak melarikan diri.Ia hanya berdiri di sana, di samping kursinya. Keheningan di ruang makan itu tiba-tiba berubah. Bukan lagi hening yang canggung. Tapi hening yang berat, seperti udara sebelum badai petir.Pria yang beberapa detik lalu menarik tangannya seolah tersengat, kini perlahan mengangkat kepalanya.Wajahnya bukan lagi wajah Dosen Es. Bukan juga wajah jengkel.Itu adalah topeng kosong. Topeng yang menakutkan, karena di baliknya, Dara bisa merasakan sesuatu yang membara. Ia baru saja melakukan
Dara menelan ludah. Ia menatap pantulan dirinya di kaca spion mobil. Seorang gadis dengan gaun mahal, dan sebuah kalung berlian berinisial A di lehernya. Rantai emas, bukan lagi rantai kulit. Ia tidak tahu mana yang terasa lebih berat."Latihanmu dimulai sekarang," kata Adrian. "Turun dari mobil. Jalan ke lobi. Dan tatap aku seolah kamu tidak bisa hidup tanpaku."“Huekk..” batin Dara menahan muntahnya.Dara menarik napas. Oke. Ini adalah pertukaran. Akting terbaik dalam hidupnya, ditukar dengan skripsi A plus dan kebebasannya. Ia bisa melakukan ini. Ia adalah mahasiswi cerdas. Ini hanyalah metodologi penelitian terapan.Ia membuka pintu mobil. Adrian sudah berdiri di sana, menunggunya, tangannya terulur.Dara meletakkan tangannya yang gemetar di atas tangan Adrian. Pria itu menggenggamnya erat dan menuntunnya keluar. Saat mereka berjalan melintasi lobi marmer yang luas menuju lift pribadi, Dara melakukan persis seperti yang diperintahkan.Ia menatap Adrian.Ia tidak menatap penjaga at







